Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama. Kehidupan
beragama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan seluruh
masyarakat Indonesia, termasuk kita sebagai pelajar. Kemerdekaan beragama dan
berkepercayaan mengandung makna bahwa setiap manusia bebas memilih,
melaksanakan ajaran agama menurut keyakinan dan kepercayaannya, dan dalam
hal ini tidak boleh dipaksa oleh siapapun, baik itu oleh pemerintah, pejabat
agama, masyarakat, maupun orang tua sendiri. Kemerdekaan beragama dan
berkepercayaan muncul dikarenakan secara prinsip tidak ada tuntunan dalam
agama apa pun yang mengandung paksaan atau menyuruh penganutnya untuk
memaksakan agamanya kepada orang lain, terutama terhadap orang yang telah
menganut salah satu agama.
Kemerdekaan beragama bukan pula dimaknai sebagai kebebasan untuk
menarik orang yang telah beragama atau mengubah agama yang telah dianut
seseorang. Selain itu kemerdekaan beragama juga tidak diartikan sebagai
kebebasan untuk beribadah yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama
masing-masing, dengan kata lain tidak diperbolehkan untuk menistakan agama
dengan melakukan peribadatan yang menyimpang dari ajaran agama yang
dianutnya.
Dalam hidup beragama, tentunya kerukunan antar umat sangatlah tidak
boleh lemah. Kerukunan umat beragama merupakan sikap mental umat beragama
dalam rangka mewujudkan kehidupan yang serasi dengan tidak membedakan
pangkat, kedudukan sosial dan tingkat kekayaan. Kerukunan umat beragama
dimaksudkan agar terbina dan terpelihara hubungan baik dalam pergaulan antara
warga baik yang seagama, berlainan agama maupun dengan pemerintah.
Kerukunan antar umat beragama adalah cara atau sarana untuk
mempersatukan dan mempererat hubungan antara orang-orang yang tidak
Kemerdekaan beragama dan kepercayaan tidak boleh dimaknai
sebagai kebebasan untuk tidak beragama atau kebebasan untuk
memaksaakan ajaran agama kepada orang lain yang sudah memeluk
agama yang diyakininya. Seagama dalam proses pergaulan pergaulan di
masyarakat, tetapi bukan ditujukan untuk mencampuradukan ajaran agama. Ini
perlu dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme ekstrim yang
membahayakan keamanan, dan ketertiban umum.
Bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah dengan adanya dialog antar umat
beragama yang di dalamnya bukan membahas perbedaan, akan tetapi
memperbincangkan kerukunan, dan perdamaian hidup dalam bermasyarakat.
Intinya adalah bahwa masing-masing agama mengajarkan untuk hidup
dalam kedamaian dan ketentraman.
Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, maksudnya adalah
dalam hidup beragama, masyarakat tidak lepas dari adanya aturan pemerintah
setempat yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Masyarakat tidak
boleh hanya mentaati aturan dalam agamanya masing-masing, akan tetapi juga
harus mentaati hukum yang berlaku di negara Indonesia.
Untuk itulah penulis menelaah dan mengkaji bagaimana keadaan
kemerdekaan beragama dan berkepercayaan di Indonesia serta mengkaji apa saja
hal yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak yang meliputi pemerintah dan
masyarakat Indonesia agar dapat menjaga kerukunan penduduk Indonesia dalam
beragama dan memiliki kepercayaan masing – masing.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari karya tulis ini, yaitu :
1. Bagaimana keadaan penduduk Indonesia dalam beragama dan berkepercayaan di
Indonesia?
2. Bagaimana membangun kerukunan umat dalam beragama dan berkepercayaan di
Indonesia?
3. Bagaimana sikap toleransi masyarakat terhadap keberagaman agama dan
kepercayaan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Seputar Mengenai Agama


Agama di dunia jumlahnya ada banyak sekali. Sedangkan di Indonesia ada 6
agama yang diakui secara resmi yaitu Katolik, Kristen Protestan, Islam, Hindhu,
Buddha, Khonghucu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian
atau definisi agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Istilah
agama sendiri adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta “āgama”
yang memiliki arti “tradisi”.
Istilah asing lainnya yang mempunyai pengertian sama dengan agama
adalah religi yang berasal dari bahasa latin “religio” dan berakar pada kata kerja
“re-ligare” yang memiliki arti “mengikat kembali”. Mengikat di sini maksudnya
yaitu dengan ber-religi maka seseorang akan mengikat dirinya kepada tuhan.Di
Indonesia ini, mayoritas penduduknya memeluk agama Islam dengan total
pemeluknya mencapai 87,18% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia.
Kemudian kristen protestan sebanyak 6,96%, katolik sebanyak 2,9%; hindu
sebanyak 1,69%; buddha sebanyak 0,72%; dan Khonghucu sebanyak 0,05%;.
Data tersebut diperoleh berdasar hasil sensus tahun 2010. Bisa saja saat ini
jumlahnya telah mengalami sedikit perubahan.
Adapun pengertian agama menurut para ahli :
a. Menurut Émile Durkheim definisi Agama adalah suatu sistem yang terpadu
yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci
dan menyatukan semua penganutnya dalamsuatu komunitas moral yang di
namakan umat.
b. Menurut prof Dr.m. Drikarya definisi Agama adalah kenyakinan adanya suatu
kekuatan supranatural yang mengatur danmenciptakan alam dan isinya.
c. Menurut H. Moenawar Chalil definisi Agama adalah perlibatan yang
merupakan tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan
supranatural tersebut sebagai konsekuensi atas pengakuannya.
d. Menurut Hendro Puspito definisi Agama adalah sistem nilai yang mengatur
hubungan manusia dan alam semesta yang berkaitan dengan keyakinan.
e. Menurut Jappy Pellokild definisi Agama adalah percaya adanya tuhan yang
maha esa dan hukum-hukumnya.
B. Definisi Kepercayaan
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain
dimana kita memiliki keyakinan padanya. Kepercayaan merupakan kondisi
mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya. Ketika
seseorang mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan
berdasarkan pilihan dari orang- orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang
kurang dipercayai (Moorman, 1993).
Menurut Rousseau et al (1998), kepercayaan adalah wilayah psikologis yang
merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap
perilaku yang baik dari orang lain. Kepercayaan konsumen didefinisikan sebagai
kesediaan satu pihak untuk menerima resiko dari tindakan pihak lain berdasarkan
harapan bahwa pihak lain akan melakukan tindakan penting untuk pihak yang
mempercayainya, terlepas dari kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan
tindakan pihak yang dipercaya (Mayer et al, 1995).
Menurut Ba dan Pavlou (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai
penilaian hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi
tertentu sesuai dengan harapan dalam sebuah lingkungan yang penuh
ketidakpastian. Universitas Sumatera Utara Kepercayaan terjadi ketika seseorang
yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang yang dipercaya (Morgan &
Hunt, 1994). Doney dan Canon (1997) bahwa penciptaan awal hubungan mitra
dengan pelanggan didasarkan atas kepercayaan.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh McKnight, Kacmar, dan Choudry
(dalam Bachmann & Zaheer, 2006), menyatakan bahwa kepercayaan dibangun
sebelum pihak-pihak tertentu saling mengenal satu sama lain melalui interaksi
atau transaksi. Kepercayaan secara online mengacu pada kepercayaan dalam
lingkungan virtual. Menurut Rosseau, Sitkin, dan Camere (1998), definisi
kepercayaan dalam berbagai konteks yaitu kesediaan seseorang untuk menerima
resiko.
Diadaptasi dari definisi tersebut, Lim et al (2001) menyatakan kepercayaan
konsumen dalam berbelanja internet sebagai kesediaan konsumen untuk
mengekspos dirinya terhadap kemungkinan rugi yang dialami selama transaksi
berbelanja melalui internet, didasarkan harapan bahwa penjual menjanjikan
transaksi yang akan memuaskan konsumen dan mampu untuk mengirim barang
atau jasa yang telah dijanjikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepercayaan
konsumen adalah kesediaan satu pihak menerima resiko dari pihak lain
berdasarkan keyakinan dan harapan bahwa pihak lain akan melakukan tindakan
sesuai yang diharapkan, meskipun kedua belah pihak belum mengenal satu sama
lain.
C. Ciri – Ciri Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan
Ciri – ciri kemerdekaan beragama dan berkepercayaan begitu banyak contoh
sikapnya. Diantara contoh sikapnya adalah :
1. Kebebasan memeluk agama, yaitu setiap orang bebas memeluk agamanya
masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
2. Negara menjamin kemerdekaan warganya untuk bribadah, yaitu negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing - masing, dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
3. Kebebasan untuk menetapkan agama atas pilihan sendiri, yaitu setiap orang
berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama.
4. Tanpa paksaan dalam menganut agama / kepercayaan, yaitu tidak seorang
pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
5. Hanya ketentuan hukum yang bisa membatasi seseorang dalam menentukan
agama / kepercayaan, yaitu kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau
kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum.
6. Pendidikan agama harus sesuai dengan keyakinan masing-masing individu
Negara. Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang
tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa
pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan
mereka sendiri

D. Dasar Hukum Yang Mengatur Tentang Beragama dan Berkepercayaan


Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada
konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(“UUD 1945”) :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD
1945juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Akan
tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1)
UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang
lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak
tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang.
Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada
pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang. Lukman Hakim
Saifuddin dan Patrialis Akbar, selaku mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusipernah menceritakan
kronologis dimasukkannya 10 pasal baru yang mengatur tentang HAM dalam
amandemen kedua UUD 1945, termasuk di antaranya pasal-pasal yang kami
sebutkan di atas. Menurut keduanya, ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal
28A sampai 28I UUD 1945 telah dibatasi atau “dikunci” oleh Pasal 28J UUD
1945.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bagaimana Keadaan Penduduk Indonesia Dalam Beragama dan


Berkepercayaan Di Indonesia?
Beragama adalah menjadikan suatu ajaran agama sebagai jalan dan pedoman
hidup berdasarkan keyakinan bahwa jalan tersebut adalah jalan yang benar.
Karena bersumber dari keyakinan diri, maka yang paling menentukan
keberagamaan seseorang adalah hati nurani. Oleh karena itu agama adalah urusan
paling pribadi. Apakah seseorang meyakini dan menjalankan ajaran suatu agama
atau tidak, ditentukan oleh keyakinan dan motivasi pribadi dan konsekuensinya
pun ditanggung secara pribadi.
Keberagamaan seseorang menjadi tidak bermakna sama sekali jika
dilakukan tanpa keyakinan dan semata-mata ditentukan oleh faktor di luar diri
sendiri. Islam secara tegas dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama.
Beragama dengan keterpaksaan adalah sebuah kemunafikan.
Oleh karena itu beragama adalah hak asasi manusia yang masuk dalam kategori
hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Konsekuensinya,
siapapun harus menghormati, menghargai, dan tidak melanggar hak orang lain
dalam beragama.
Bahkan negara tidak memiliki otoritas untuk menentukan mana agama yang
benar dan mana agama yang salah. Keyakinan saya bahwa agama Islam adalah
agama yang benar dan diridloi Allah SWT bukan karena Islam diakui sebagai
agama yang “sah” oleh negara. Sebaliknya, saya tidak memilih agama yang lain
juga bukan karena agama tersebut tidak diakui secara “sah” oleh negara.
Yang menentukan adalah keyakinan saya sendiri. Jika saya memeluk Islam
sebagai agama saya dan beribadah menurut ajaran seperti mayoritas yang
dilakukan oleh umat Islam yang lain semata-mata karena pengakuan yang
diberikan oleh pemerintah, maka saya telah menjadi munafik, dan keberagamaan
saya tidak bermakna sama sekali dihadapan Allah.
Sebaliknya, tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi hak warga
negara dan memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya. Dalam konteks ke-
Indonesia-an, salah satu tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia, tentu saja tanpa diskriminasi baik berdasarkan suku, bahasa, maupun
agama. Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas negara untuk melindungi hak
kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat.
Beragama secara mendasar adalah wilayah pribadi setiap insan manusia,
karena yang paling esensi dalam beragama adalah keyakinan dan kepercayaan
individual. Namun demikian, karena agama tidak hanya mengajarkan kehidupan
pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur kehidupan bermasyarakat,
agama juga menjadi wilayah masyarakat. Apalagi, jika agama tersebut telah
berkembang luas dan menjadi salah satu identitas yang menonjol dari suatu
masyarakat.
Konsekuensi perkembangan agama sebagai identitas dan wilayah
kemasyarakatan adalah munculnya peran masyarakat mayoritas yang menentukan
keberagamaan seseorang, serta justifikasi sosial apakah aliran agama tertentu
benar atau salah, paling tidak dapat diterima atau tidak. Peran tersebut
bagaimanapun juga telah mengurangi hakikat agama sebagai hak asasi yang
mendasar berdasarkan keyakinan dan kepercayaan individual.
Hal itu tidak dapat dihindari karena masyarakat membutuhkan kepastian dan
pegangan dalam beragama. Bagi masyarakat awam, adalah tugas para pemimpin
agama untuk memberikan kepastian tentang keberagamaan yang dipandang benar
diantara berbagai aliran yang ada.
Namun tentu juga merupakan tugas para pemimpin agama untuk senantiasa
memberikan pemahaman bahwa tidak ada paksaan dalam agama, membangun
ukhuwah dalam keberagaman. Oleh karena itu, adanya kekerasan terhadap
kelompok aliran agama minoritas juga menjadi tanggungjawab para pemuka
agama. Mengingat kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi, dan negara
memiliki tanggungjawab untuk memberikan perlindungan, penghormatan, dan
pemajuan hak asasi, maka dalam hal tertentu kehidupan beragama juga menjadi
wilayah negara. Pada posisi inilah harus terdapat pembeda yang dapat dijadikan
pegangan sehingga peran negara tidak terlalu jauh memasuki urusan individu,
serta tidak pula memasuki ranah masyarakat. Jika negara telah memasuki urusan
individu, maka hakikat beragama sebagai wujud keyakinan hati nurani dan
kepercayaan individual akan hilang.
Di sisi lain, jika negara terlalu jauh memasuki wilayah masyarakat, maka
negara dapat tergelincir menjadi alat mayoritas yang menindas minoritas. Untuk
menentukan bagaimana seharusnya negara berperan dalam kehidupan beragama,
harus terdapat prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai pegangan. Pertama,
pengakuan hak kebebasan beragama sebagai hak asasi. Pengakuan tersebut
mengharuskan negara tidak dapat melarang agama apapun atau aliran apapun
yang masuk dan berkembang di Indonesia, sepanjang sesuai dengan prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Persoalan apakah agama atau aliran tersebut akan diterima oleh masyarakat
dan berkembang atau tidak, itu adalah wilayah masyarakat. Negara tidak dapat
menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang salah. Negara juga
tidak dapat menentukan cara beribadah mana yang benar dan mana yang salah.
Konsekuensinya, negara tidak dapat melarang cara beribadah tertentu walaupun
oleh mayoritas masyarakat hal itu dipandang menyimpang. Hingga saat inipun
tidak ada larangan hukum terhadap cara ibadat tertentu, walaupun terhadap suatu
aliran yang dinyatakan menyimpang.
Jika negara memasuki wilayah pribadi, maka negara telah membatasi hak
kebebasan beragama dan beribadat.
Di sisi lain, keberagamaan dan ibadah yang dilakukan berdasarkan paksaan
akan menghilangkan makna keberagamaan seseorang karena dilakukan tanpa
keyakinan dan kepercayaan, tetapi karena paksaan semata. Jika berharap terjadi
perubahan, maka biarlah perubahan tersebut juga didasari oleh perubahan
keyakinan. Perubahan keyakinan hanya dapat dilakukan melalui proses dialog dan
penyadaran yang menjadi wilayah masyarakat, bukan oleh paksaan negara. Oleh
karena itu, sikap yang menyatakan suatu agama atau aliran tersebut menyimpang
atau tidak, termasuk cara beribadahnya adalah wilayah masyarakat. Negara baru
dapat masuk wilayah agama dalam dua kondisi. Pertama, jika agama atau aliran
yang dipandang menyimpang tersebut bertentangan dengan dasar-dasar
perikemanusiaan dan kemasyarakatan.
Intervensi negara tersebut sah adanya karena pada prinsipnya setiap agama
mengajarkan penghargaan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip
kemanusiaan dan kemasyarakatan. Jika suatu agama atau aliran menghalalkan
pembunuhan, pencurian, memutus hubungan kekeluargaan, maka negara harus
bertindak. Tindakan negara tersebut tidak hanya terhadap tindakan-tindakan
berdasarkan ajaran agama yang merupakan tindak pidana, tetapi juga dapat
melarang perkembangan agama tersebut.
Pelarangan itu memiliki legitimasi karena agama atau aliran agama
dimaksud nyata-nyata bertentangan dengan hakikat ajaran agama dan merugikan
kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kondisi kedua di mana dibutuhkan peran
negara adalah pada saat masyarakat, atau sekelompok orang melakukan tindakan
yang melanggar hak kebebasan beragama orang lain, padahal keyakinan dan
kepercayaan orang yang dilanggar itu tidak bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Walaupun agama atau aliran agama itu dinyatakan menyimpang dan atau
telah berada di luar suatu agama, sekelompok orang tidak dapat melanggar hak
kebebasan keyakinan dan beribadat para pemeluk agama atau aliran agama
tersebut. JIka hal itu terjadi, negara harus melindungi. Bahkan jika terjadi
kekerasan terhadap para penganut agama atau aliran agama yang dipandang
menyimpang, maka negara harus menindak para pelakunya. Tindakan tersebut
adalah terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan, bukan terhadap keyakinan
bahwa agama atau aliran agama tertentu adalah menyimpang.
Masyarakat atau organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau
bahkan MUI memiliki hak untuk menentukan suatu aliran tertentu masih dapat
diakui sebagai Islam atau tidak. Penentuan itupun tentu dilakukan melalui
mekanisme pengkajian dan pengambilan keputusan yang diatur oleh masing-
masing organisasi. Namun dalam kehidupan tertib bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, tentu organisasi-organisasi tersebut dan masyarakat secara umum tidak
dapat melakukan kekerasan terhadap aliran yang dipandang tidak sesuai lagi
dengan pinsip ajaran Islam.
Sebaliknya, organisasi-organisasi itu tentu memiliki kewajiban untuk
mencegah terjadinya kekerasan. Oleh karena itu setiap fatwa harus diikuti dengan
“petunjuk” bagaimana menyikapi fatwa tersebut sebagai bentuk
pertanggungjawaban agar tidak terjadi kekerasan dan paksaan terhadap minoritas.
Kekerasan dan paksaan itu tidak saja bertentangan dengan hukum negara, tetapi
juga bertentangan dengan hukum agama.
2. Bagaimana Membangun Kerukunan Umat Dalam Beragama dan
Berkepercayaan Di Indonesia?
Kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling
menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus
melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di
bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam
mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan
yang berbadan hukum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi,
maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta
instansi pemerinth lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk
memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan
instensi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling
menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah
ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di
Provinsi dan Kabupaten.
Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan dialog
dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas
keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan. Kerukunan antar umat beragama
dapat diwujdkan dengan;
1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan
4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan
Negara atau Pemerintah.
Dengan demikian akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat
beragama, ketentraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan
bernegara. Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai
dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Toleransi agama adalah suatu sikap
saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun,
khususnya dalam masalah agama.
Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat penting untuk mencapai
sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini. Seperti yang kita ketahui, Indonesia
memiliki keragaman yang begitu banyak. Tak hanya masalah adat istiadat atau
budaya seni, tapi juga termasuk agama. Walau mayoritas penduduk Indonesia
memeluk agama Islam, ada beberapa agama lain yang juga dianut penduduk ini.
Kristen, Khatolik, Hindu, Budha dan Konghucu adalah contoh agama yang
juga banyak dipeluk oleh warga Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan
masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk
berpecah belah. Sebagai satu saudara dalam tanah air yang sama, kita harus
menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia untuk bersama-sama
membangun negara ini menjadi yang lebih baik.

Adapun konsep tri kerukunan umat beragama di Indonesia, yaitu :


1. Kerukunan intern umat beragama, yaitu suatu bentuk kerukunan
yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan
sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen.
2. Kerukunan antar umat beragama , yaitu suatu bentuk kerukunan
yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda.
Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama
Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.
3. Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yaitu bentuk
kerukunan semua umat-umat beragama menjalin hubungan yang yang
harmoni dengan Negara/ pemerintah. Misalnya tunduk dan patuh terhadap
aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah ikut andil
dalam menciptakan suasana tentram, termasuk kerukunan umar
beragama dengan pemerintah itu sendiri. Semua umat beragama yang
diwakili oleh tokoh-tokon agama dapat sinergi dengan pemerintah.
Bekerjasama dan bermitra dengan pemerintah untuk menciptakan
stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.
Seluruh peraturan pemerintah yang membahas kerukunan hidup umat
beragama, harus mencakup empat pokok masalah, yaitu sebagai berikut.
1. Pendirian Rumah Ibadah
2. Penyiaran agama
3. Bantuan keagamaan dari luar negeri
4. Tenaga asing bidang keagamaan
3. Bagaimana Sikap Toleransi Masyarakat Terhadap Keberagaman Agama
dan Kepercayaan Di Indonesia?
Semua manusia pada dasarnya sama. Membeda-bedakan perlakuan terhadap
sesama manusia karena warna kulit atau bentuk fisik lainnya adalah sebuah
kesalahan. Tuhan menciptakan manusia berbeda dan beragam. Perbedaan itu
adalah anugerah yang harus kita syukuri. Mengapa kita harus bersyukur dengan
keragaman itu? Dengan keragaman, kita menjadi bangsa yang besar dan arif
dalam bertindak. Agar keberagaman bangsa Indonesia juga menjadi sebuah
kekuatan, kita bangun keberagaman bangsa Indonesia dengan dilandasi persatuan
dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan dan kesatuan di
sebuah negara yang beragam dapat diciptakan salah satunya dengan perilaku
masyarakat yang menghormati keberagaman bangsa dalam wujud perilaku toleran
terhadap keberagaman tersebut. Sikap toleransi berarti menahan diri, bersikap
sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-
orang yang memiliki pendapat berbeda.
Toleransi sejati didasarkan sikap hormat terhadap martabat manusia, hati
nurani, dan keyakinan, serta keikhlasan sesama apa pun agama, suku, golongan,
ideologi atau pandangannya. Perhatikan dan bacalah penjelasan perilaku toleran
terhadap keberagaman agama, suku, ras, budaya, dan gender di bawah ini.

1. Perilaku Toleran dalam Kehidupan Beragama


Semua orang di Indonesia tentu menyakini salah satu agama atau
kepercayaan yang ada di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengakui enam agama
yang ada di Indonesia. Agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Khonghucu. Bukankah kalian sejak kecil sudah meyakini dan
melaksanakan ajaran agama yang kalian anut. Negara menjamin warga negaranya
untuk menganut dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing.
Jaminan negara terhadap warga negara untuk memeluk dan beribadah diatur
dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Bunyi lengkap Pasal 29 ayat (2) adalah
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam kehidupan berbangsa, seperti kita ketahui keberagaman dalam agama
itu benar-benar terjadi. Agama tidak mengajarkan untuk memaksakan keyakinan
kita kepada orang lain. Oleh karena itu, bentuk perilaku kehidupan dalam
keberagaman agama di antaranya diwujudkan dalam bentuk:
a. menghormati agama yang diyakini oleh orang lain;
b. tidak memaksakan keyakinan agama kita kepada orang yang berbeda agama;
c. bersikap toleran terhadap keyakinan dan ibadah yang dilaksanakan oleh yang
memiliki keyakinan dan agama yang berbeda
d. melaksanakan ajaran agama dengan baik; serta
e. tidak memandang rendah dan tidak menyalahkan agama yang berbeda dan
dianut oleh orang lain.
f. Perilaku baik dalam kehidupan beragama tersebut sebaiknya kita laksanakan,
baik dikeluarganya, sekolah, masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

2. Perilaku Toleran Terhadap Keberagaman Suku dan Ras di Indonesia


Perbedaan suku dan ras antara manusia yang satu dengan manusia yang lain
hendaknya tidak menjadi kendala dalam membangun persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia maupun dalam pergaulan dunia. Kita harus menghormati harkat
dan martabat manusia yang lain. Marilah kita mengembangkan semangat
persaudaraan dengan sesama manusia dengan menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan.
Perbedaan kita dengan orang lain tidak berarti bahwa orang lain lebih baik
dari kita atau kita lebih baik dari orang lain. Baik dan buruknya penilaian orang
lain kepada kita bukan karena warna, rupa, dan bentuk, melainkan karena baik dan
buruknya kita dalam berperilaku. Oleh karena itu, sebaiknya kita berperilaku baik
kepada semua orang tanpa memandang berbagai perbedaan tersebut.

3. Perilaku Toleran Terhadap Keberagaman Sosial Budaya


Kehidupan sosial dan keberagaman kebudayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia tentu menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Kita tentu harus bersemangat
untuk memelihara dan menjaga kebudayaan bangsa Indonesia. Siapa lagi yang
akan mempertahankan budaya bangsa jika bukan kita sendiri. Bagi seorang
pelajar perilaku dan semangat kebangsaan dalam mempertahankan keberagaman
budaya bangsa di antaranya dapat dilaksanakan dengan:
a. mengetahui keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa
Indonesia.
b. mempelajari dan menguasai salah satu seni budaya sesuai dengan
minat dan kesenangannya;
c. merasa bangga terhadap budaya bangsa sendiri; dan
d. menyaring budaya asing yang masuk ke dalam bangsa Indonesia.

4. Kesadaran Gender
Tuhan menciptakan manusia dalam dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama. Hubungan sosial antara laki-laki
dan perempuan itulah yang dinamakan dengan jenis kelamin. Jadi, jenis kelamin
merujuk pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak
perempuan, dan bagaimana hubungan tersebut dilihat berdasarkan sifat kodrat.
Pengertian gender tidak didasarkan pada sifat kodrat manusia. Gender
adalah konsep hubungan sosial yang membedakan kedudukan, fungsi, dan peran
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Gender dibentuk dan
berkembang seiring dengan budaya masyarakat. Gender bukan bawaan sejak lahir.
Tiap-tiap masyarakat memiliki perkembangan budayanya sendiri, demikian
pula dalam perkembangan budaya bangsa Indonesia. Pemahaman gender di
Indonesia tentulah akan sejalan dengan perkembangan budaya bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pemahaman dan kesadaran gender bersifat dinamis dan dapat
berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Kesadaran gender bararti meletakan kedudukan, fungsi, dan peran antara
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat secara sejajar. Misalnya dalam
keluarga, maka setiap anggota keluarga bertanggung jawab atas kebersihan dan
kerapian rumah tempat tinggalnya. Anak laki-laki atau anak perempuan, keduanya
bisa menjaga kebersihan dan kerapian rumah tempat tinggalnya. Di sekolah, laki-
laki atau perempuan sama-sama dapat menjadi guru. Dalam masyarakat, baik laki-
laki maupun perempuan dapat mengambil peran yang berguna bagi sesama
manusia lainnya.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Adapun beberapa simpulan dalam karya tulis ini yaitu :
1. Keadaan penduduk Indonesia dalam beragama dan berkepercayaan akan
menjadi baik jika dilandasi dengan sikap toleransi yang tinggi dan akan
memburuk jika tidak dilandasi sikap kerukunan antar sesama.
2. Membangun kerukunan umat dalam beragama dan berkepercayaan di Indonesia
dapat dilakukan dengan cara menerapkan tri kerukunan umat beragama yang
dapat menjaga kerukunan antar sesama umat beragama dan berkepercayaan di
Indonesia.
3. Sikap toleransi masyarakat terhadap keberagaman agama dan kepercayaan di
Indonesia saat ini rendah, karena masyarakat kurang memiliki kesadaran dalam
menjaga kerukunan antar sesama umat dalam beragama dan berkepercayaan
sehingga menyebabkan kurangnya sikap toleransi diantara sesama.

B. Saran
Adapun saran yang terdapat dalam karya tulis ini yaitu :
1. Perlu adanya peningkatan sikap toleransi di kalangan para siswa agar
terciptanya kerukunan antar siswa dalam menyikapi keberagaman agama dan
kepercayaan yang ada di Indonesia.
2. Diharapkan agar setiap masyarakat dapat hidup rukun dengan selalu
menerapkan konsep tri kerukunan umat beragama agar dapat menyikapi
keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dengan sikap yang
baik.

Anda mungkin juga menyukai