Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN CVA-ICH

Disusun untuk Melengkapi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal


di Ruang 26 Stroke RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh :

Putri Sakinah
180070300111033
Kelompok 1

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
CVA-INTRACEREBRAl HEMORRHAGE

1. Definisi
Stroke adalah disfungsi neurologis yang umum dan timbul secara mendadak sebagai
akibat dari adanya gangguan suplai darah ke otak dengan tanda dan gejala sesuai dengan
daerah otak yang terganggu (WHO, 1989). Stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu
pada setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau
terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak ( Sylvia A. Price, 2006 ). Stroke
merupakan penyakit peredarah darah otak yang diakibatkan oleh tersumbatnya aliran darah
ke otak atau pecahnya pembuluh darah di otak, sehingga suplai darah ke otak berkurang
(Smltzer & Bare, 2010).
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan disebabkan oleh
perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma
kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. (Djoenaidi
Widjaja et. al, 1994). Stroke hemoragik yaitu suatu kerusakan pembuluh darah otak
sehingga menyebabkan perdarahan pada area tersebut. Hal ini menyebabkan gangguan
fungsi saraf (Haryono, 2002)
Stroke hemoragik terjadi karena salah satu pembuluh darah di otak (aneurisma,
mikroaneurisma, kelainan pembuluh darah kongenital) pecah atau robek. Keadan penderita
stroke hemoragik umumnya lebih parah. Kesadaran umumnya menurun.Mereka berada
dalam keadaan somnolen, osmnolen, spoor, atau koma pada fase akut.
2. Epidemiologi
Sekitar 10% kasus stroke disebabkan oleh PIS. Sumber data dari Stroke Data Bank
(SDB), menyebutkan bahwa setidaknya 1 dari 10 kasus stroke disebabkan oleh perdarahan
parenkim otak. Populasi dimana frekuensi hipertensinya tinggi, seperti Amerika-Afrika dan
orang-orang Cina,Jepang dan keturunan Thai, memiliki frekuensi yang tinggi terjadinya PIS.
Perdarahan intraserebral dapat terjadi pada rentang umur yang lebar, dapat terjadi pada
dekade tujuh puluh, delapan puluh dan sembilan puluh. Walaupun persentase tertinggi
kasus stroke pada usia dibawah 40 tahun adalah kasus perdarahan, PIS sering juga terjadi
pada usia yang lebih lanjut.
3. Etiologi
 Perdarahan serebri
Stroke PIS (perdarahan intra serebri) biasanya terjadi pada saat seseorang sedang aktif
bekerja. PIS dapat mengganggu fungsi motorik volunter karena perdarahannya biasanya
terjadi di arteri dalam (arteri cerebri) yang berdekatan dengan ganglia basalis dan kapsula
interna. Gangguan yang terjadi pada PIS biasanya adalah paralisis dan kerusakan korteks
motorik.
Beberapa penyebab Perdarahaan Intra Serebrum (PIS):
1. Perdarahan intracerebrum hipertensif
2. Perdarahan subaraknoid (PSA)
- Ruptura aneorisma sakular (berry)
- Ruptura malformasi arteriovena (MAV)
- Trauma
 Pecahnya aneurisma
Biasanya perdarahan serebri terjadi akibat aneurisme yang pecah maka penderita biasanya
masih muda dan 20% mempunyai lebih dari satu aneurisme. Dan salah satu dari ciri khas
aneurisme adalah kecendrungan mengalami perdarahan ulang (Sylvia A. Price, 1995).
 Aterosklerosis (trombosis)
40 % kaitannya dengan kerusakan lokal dinding akibat anterosklerosis. Proses
aterosklerosis ditandai dengan plak berlemak pada lapisan intima arteri besar. Bagian intima
arteri serebri menjadi tipis dan berserabut, sedangkan sel-sel ototnya menghilang. Lumina
elastika interna robek dan berjumbal sehingga lumen pembuluh sebagian berisi oleh materi
sklerotik tersebut.
 Embolisme
Embolisme serebri termasuk urutan kedua dari penyebab utama stroke. Kebanyakan emboli
serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi
sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung, jarang terjadi berasal dari plak
ateromatosa sinus carotikus (carotisintema). Setiap batang otak dapat mengalami
embolisme tetapi biasanya embolus akan menyumbat bagian-bagian yang sempit.
4. Patofisiologi
Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral sehingga terjadi
perdarahan ke dalam jaringan otak atau area sekitar), hemoragik dapat terjadi di
epidural, subdural, dan intraserebral. (Hudak & Gallo, 2005; Ranakusuma, 2002). Stroke
hemoragik terjadi perdarahan yang berasal dari pecahnya arteri penetrans yang
merupakan cabang dari pembuluh darah superfisial dan berjalan tegak lurus menuju
parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman kapiler. Aterosklerosis dapat
terjadi dengan bertambahnya umur dan adanya hipertensi kronik, sehingga sepanjang
arteri penetrans terjadi aneurisma kecil-kecil dengan diameter 1 mm. Peningkatan
tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan pecahnya aneurisme ini,
sehingga dapat terjadi perdarahan dalam parenkim otak yang bisa mendorong struktur
otak dan merembas ke sekitarnya bahkan dapat masuk kedalam ventrikel atau ke ruang
intrakranial.
Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh karena ruptur arteri serebri.
Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan atau subaraknoid, sehingga jaringan yang
ada disekitarnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangatn mengiritasi jaringan otak,
sehingga dapat mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar perdarahan. Spasme
ini dapat menyebar ke seluruh hemisfer otak dan sirkulus willis. Bekuan darah yang
semula lunak akhirnya akan larut dan mengecil. Daerah otak disekitar bekuan darah
dapat membengkak dan mengalami nekrosis, karena kerja enzim-enzim maka bekuan
darah akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga. Sesudah beberapa bulan semua
jaringan nekrotik akan diganti oleh astrosit dan kapiler-kapiler baru sehingga terbentuk
jalinan desekitar rongga tadi. Akhirnya rongga-rongga tersebut terisi oleh astroglia yang
mengalami proliferasi (Price & Willson, 2002).
Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik. Keadaan ini
menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil, terutama pada cabang-
cabang arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal ganglia dan kapsula
interna. Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah, sehingga terjadi robekan dan
reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan media dan akhirnya terbentuk
aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-Bouchard. Hal yang sama
dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai pons dan serebelum. Rupturnya satu dari
pembuluh darah yang lemah menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak
(Gilroy,2000; Ropper, 2005).
A. Pohon Masalah dan Diagnosa Keperawatan

Riwayat merokok, konsumsi lemak tinggi

Factor resiko
Hipertensi Aterosklerosis Penggunaan
tidak serebral obat-obatan herediter
terkontrol narkotik,
antikogulan
oral Jenis kelamin laki2
Peningkatan Penumpukan
tekanan pada blood clot
sistem vaskular pada
serebral pembuluh ↑ kekakuan
darah dalam vaskuler
jangka waktu
lama
Kelainan pada struktur
pembuluh darah otak

Ruptur pembuluh darah

Darah masuk ke dalam jaringan serebral

vasospasme Hemoragik serebral Rembesan darah darah


mengenai lobus mengenai
motorik lobus speech
↑ tahanan vaskuler Metabolisme otak terganggu

Gangguan Gangguan
↑ tekanan intracranial mobilitas komunikasi
fisik verbal

ketidakefektifan Deficit
perfusi jaringan perawatan
serebral diri
5. Faktor Resiko

Faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya stroke hemoragik


dijelaskan dalam tabel berikut.
Faktor Resiko Keterangan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.Sekitar 30%
dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70%terjadi pada mereka yang 65 ke
atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap 10 tahun di atas
55 tahun.
Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini berlaku
untuk semua dua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko
perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar, menariknya risiko
stroke pada tingkat hipertensi sistolik kurang dengan meningkatnya
umur, sehingga ia menjadi kurang kuat, meskipun masih penting dan
bisa diobati, faktor risiko ini pada orang tua.
Seks Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-laki
dibandingkan perempuan, perbedaan seks bahkan lebih tinggi sebelum
usia 65 tahun.
Riwayat keluarga Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara kembar
monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar laki-laki dizigotik
yang menunjukkan kecenderungan genetik untuk stroke. Pada 1913
penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga kali lipat
peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu kandungnya
meninggal akibat stroke, dibandingkan dengan laki-laki tanpa riwayat ibu
yang mengalami stroke. Riwayat keluarga juga tampaknya berperan
dalam kematian stroke antara populasi Kaukasia kelas menengah atas di
California.
Diabetes mellitus Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes mellitus
dapat meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua kali lipat
hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa diabetes. Diabetes
dapat mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia serebral melalui
percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang besar, seperti arteri
koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal pada mikrosirkulasi
serebral.
Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih dari
dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang fungsi
jantungnya normal.
Penyakit Arteri koroner:
Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular
aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural karena
miocard infarction.
Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi: Berhubungan
dengan meningkatnya kejadian stroke.
Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial karena penyakit
jantung rematik, meningkatkan risiko stroke sebesar 17 kali.
Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke, seperti
prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek septum atrium,
aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik dan trombotik dari
ascending aorta.
Karotis bruits Karotis bruits menunjukkan peningkatan risiko kejadian stroke, meskipun
risiko untuk stroke secara umum, dan tidak untuk stroke khusus dalam
distribusi arteri dengan bruit.
Merokok Beberapa laporan menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan
peningkatan risiko stroke untuk segala usia dan kedua jenis kelamin,
tingkat risiko berhubungan dengan jumlah batang rokok yang dihisap,
dan penghentian merokok mengurangi risiko, dengan resiko kembali
seperti bukan perokok dalam masa lima tahun setelah penghentian.
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika hematokrit
hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah keseluruhan adalah dari
isi sel darah merah, plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan
peranan penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia,
hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya menyebabkan
gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan, tinnitus, dan penglihatan
kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh kurang umum, dan
dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat trombositosis. Perdarahan
Intraserebral dan subarachnoid kadang-kadang dapat terjadi.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke trombotik.
tingkat fibrinogen Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat, seperti antitrombin
& kelainan sistem III dan kekurangan protein C serta protein S dan berhubungan dengan
pembekuan vena thrombotic.
Hemoglobino Sickle-cell disease :
Pathy Dapat menyebabkan infark iskemik atau hemoragik, intraserebral dan
perdarahan subaraknoid, venasinus dan trombosis vena kortikal.
Keseluruhan kejadian stroke dalam Sickle-cell disease adalah 6-15%.
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria:
Dapat mengakibatkan thrombosis vena serebral
Penyalah gunaan Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
obat methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain. Amfetamin
menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat mengakibatkan
pendarahan potensial menyebar, atau fokus bidang iskemia dan infark.
Heroin dapat timbulkan sebuah hipersensitivitas vaskular menyebabkan
alergi . Perdarahan subarachnoid dan difarction otak telah dilaporkan
setelah penggunaan kokain.
Hiperlipidemia Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan
penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke kurang
jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk menjadi faktor risiko
untuk aterosklerosis karotis, khususnya pada laki-laki di bawah 55 tahun.
Kejadian hiperkolesterolemia menurun dengan bertambahnya usia.
Kolesterol berkaitan dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan
subarachnoid. Tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat kolesterol
dan infark lakunar.
Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke pada
wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan masalah ini,
tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor risiko paling kuat
pada wanita yang lebih dari 35 tahun. Mekanisme diduga meningkat
koagulasi, karena stimulasi estrogen tentang produksi protein liver, atau
jarang penyebab autoimun
Diet Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid
dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa muda.
Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke termasuk efek
pada darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma, hematokrit, dan sel-sel
darah merah. Selain itu, alkohol bisa menyebabkan miokardiopati,
aritmia, dan perubahan di darah aliran otak dan autoregulasi.
Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body massindexs, obesitas telah
secara konsisten meramalkan berikutnya stroke. Asosiasi dengan stroke
dapat dijelaskan sebagian oleh adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah
berat relatif lebih dari 30% di atas rata-rata kontributor independen ke
atherosklerotik infark otak berikutnya.
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui
pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh darah.
Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat menyebabkan arteritis
otak dan infark.
Homosistinemia Predisposisi trombosis arteri atau vena di otak. Estimasi risiko stroke di
atauhomosistinuria usia muda adalah 10-16%.

6. Klasifikasi
 Menurut etiologinya:
a. Stroke Hemoragik
Stroke yang terjadi karena pendarahan subarakhnoid yang disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak pada daerah tertentu. Biasanya terjadi saat
melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat
(pendarahan intraserebral, pecahnya aneunisme dan tumor otak yang
mengalami pendarahan).
b. Stroke Non Hemoragik
Stroke ini biasanya dapat berupa iskenik, trombosis dan emboli serebral,
biasanya terjadi pada saat setelah lama beraktivitas, baru bangun tidur atau
dipagi hari. Tidak terjadi askemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya
dapat timbul edema sekunder, kesadaran pasien umumnya baik.
 Sroke menurut perjalanan penyakitnya
a. TIA (Transient Ischemic Attoks)
Merupakan gangguan neurologik fokal yang timbul secara tiba-tiba dan
menghilang dalam beberapa detik sampai beberapan jam. Gejala hilang < 24 jam
b. RIND (Reversible Iskemic Neurologik Defisit)
Terjadi lebih lama dari TIA, gejala hilang <24 jam tapi tidak lebih dari 1 minggu.
c. Progesif Stroke Inevaluation
Perkembangan stroke perlahan-lahan sampai akut munculnya gejala makin lama
semakin buruk proses pregresif berupa jam sampai beberapa hari.
d. Stroke Lengkap
Gangguan neurologi maksimum sejak saat serangan dan sedikit memperlihatkan
perbaikan didahului TIA yang berulang dan stroke inevaluatior. Bentuk kelainan
sudah menetap, gangguan neurologis sudah maksimal/berat sejak awal
serangan.
Stroke Haemorhagi dibagi dua, yaitu:
(a) Perdarahan Intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hypertensi mengakibatkan
darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan
menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan
kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan
karena hypertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons dan serebelum.
(b) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM. Aneurisma yang
pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat
di luar parenkim otak (Juwono, 1993: 19). Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang sub
arachnoid menyebabkan TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka nyeri dan
vasospasme pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi sensorik, afasia, dll) (Siti
Rohani, 2000).
Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan
tarjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga
timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan
selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat
mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5
hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang
setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan
yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh
arteri di ruang subarakhnoid. Vasispasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global
(nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik,
afasia danlain-lain).
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
punya cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila
kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat
otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik anaerob, yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
Perbedaan perdarahan Intra Serebral (PIS) dan Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
Gejala PIS PSA
Timbulnya Dalam 1 jam 1-2 menit
Nyeri Kepala Hebat Sangat hebat
Kesadaran Menurun Menurun sementara
Kejang Umum Sering fokal
Tanda rangsangan +/- +++
Meningeal.
Hemiparese ++ +/-
Gangguan saraf otak + +++

7. Tanda dan Gejala Klinis


- Nyeri kepala akut dan terasa berat,
- leher bagian belakang kaku,
- muntah,
- penurunan kesadaran yang berkembang cepat sampai keadaan koma
- Pasien dengan perdarahan pada lobus temporal atau lobus frontal dapat mengalami
seizure/kejang tiba-tiba yang dapat diikuti kelumpuhan kontralateral
- 90% menunjukkan adanya darah dalam cairan serebrospinal (bila perdarahan besar
dan atau letak dekat ventrikel), dari semua pasien ini 70-75% akan meninggal dalam
waktu 1-30 hari, biasanya diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke
system ventrikel, herniasi lobus temporalis, dan penekanan mesensefalon, atau
mungkin disebabkan karena perembasan darah ke pusat-pusat yang vital (Hieckey,
1997; Smletzer & Bare, 2005).
Mayoritas pasien mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran yang
berkembang cepat sampai keadaan koma. Pada pemeriksaaan biasanya di dapati hipertensi
kronik. Gejala dan tanda tergantung lokasi perdarahan. Herniasi uncal dengan hilangnya
fungsi batang otak dapat terjadi. Pasien yang selamat secara bertahap mengalami
pemulihan kesadaran dalam beberapa hari. Pasien dengan perdarahan pada lobus temporal
atau lobus frontal dapat mengalami seizure tiba-tiba yang dapat diikuti kelumpuhan
kontralateral.
a. PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL
2. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih. Lakukan
pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan
seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk
lubang hidung yang satunya.
3. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
a. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum pemeriksaan. Periksa
ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart
untuk jarak jauh.
b. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta
untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan
mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal dari arah
luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila pertama melihat benda tersebut.
Ulangi pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat
kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk
melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
4. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)
a. Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan
ptosis kelopak mata
b. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya perdarahan
pupil
c. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal)
yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien
mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
5. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
a. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla, mandibula
dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan ya bila
merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
b. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di ketiga
area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul.
c. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan diketiga area
wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana yang merasakan
sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.
d. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala yang
digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien mengatakan
getaran tersebut terasa atau tidak
e. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat lurus ke
depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata dan lihat refleks
menutup mata.
f. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi periksa otot
maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien
melakukan gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula.
6. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
a. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan sentuhkan ke
ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam
b. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua al;is
berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa
kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata kuat-kuat dan
coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan
dengan kedua jari.
7. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
a. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan weber
test dan rhinne test
b. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri tegak,
kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh,
minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien dapat
mempertahankan posisi
8. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
a. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila uvula
terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
b. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
c. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air sedikit, observasi
gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat klien
berbicara.
9. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
a. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu secara
bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
b. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien menoleh ke kanan
dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian tanpa
mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi
c. Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan kedua
telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya
ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
d. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien untuk menoleh
kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan daya
dorong
10. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
a. Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi
kesimetrisan gerakan lidah
b. Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi dengan
ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong kedua pipi dengan
kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain
b. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK
Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri,
impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis
dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.
1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai
persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan
berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan
pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
a. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku.
Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap
gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak
tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.
b. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan
terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.
c. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
3. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan
tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan
diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai 0
– 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau
gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.
c. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan
sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya
dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang
menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan
masih bisa konsentrasi dengan baik).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap beberapa
stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis stimulus.
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli
(tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau
perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan
otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai
keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan
refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.
d. PEMERIKSAAN FUNGSI REFLEKS
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks
hammer.
Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :


1. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang
lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul
dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu
ekstensi dari lutut.
2. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan
pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks
hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi
sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran
gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi
ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai
otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
4. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan
plantar fleksi kaki.
5. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus.
Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah
yang digores.
6. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit
traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral
telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian
jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan
jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari
kaki.

Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan selaput


otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :
1. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala
klien dan tangan lain didada klien untuk mencegah badan
tidak terangkat.
Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif.
Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi
pada
sendi panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul
secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba
meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila
tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai
atas. Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan
menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang m. ischiadicus.
9. Pemeriksaan Penunjang
1. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara apesifik seperti perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur.
2. CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan
otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti. CT scan merupakan
pemeriksaan paling sensitif untuk PIS dalam beberapa jam pertama setelah
perdarahan. CT-scan dapat diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas.

3. Pungsi lumbal
Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan adanya proses inflamasi.
4. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetic untuk menentukan posisi serta besar/
luas terjadinya perdarahan otak.

5. USG Dopler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).
6. EEG
Melihat masalah yang timbul dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya
impuls listrik dalam jaringan otak.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mengetahui adanya anemia, trombositopenia dan leukositosis yang
dapat menjadi factor risiko stroke hemoragik
b. Pemeriksaan glukosa darah
Untuk mengetahui kadar glukosa darah sebagai sumber bahan bakar untuk
metabolisme sel otak. Apabila kadar glukosa darah yang terlalu rendah maka akan
dapat terjadi kerusakan pada jaringan otak
c. Pemeriksaan analisa gas darah
Untuk mengetahui gas darah yang disuplai ke jaringan otak sebagai sumber
untuk metabolisme
d. Pemeriksaan serum elektrolit
Pengobatan Konservatif

1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi


maknanya :pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
3. Tatalaksana pencegahan vasospasme
a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau
secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral
terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme.
Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak
bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu
hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan mempertahankan
“cerebral perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia
serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu
bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada
pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
 Pencegahan vasospasme:
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
 Delayed vasospasm:
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure
12-14 mmHg.
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
4. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering
dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid
acid dengan dosis 6-12 g/hari.
5. Antihipertensi
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah
sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90
mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD
lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit
sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200
mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan
vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra
yang mungkin terjadi akibat vasospasme.
6. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu
diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-
1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang
menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200
mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena
menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan
hiponatremi.
7. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan
tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien
yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma
arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari
risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai
profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV.
Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari
dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan
kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada
penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada
penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya,
hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.
8. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.
Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau
drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi
perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara
temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
9. Terapi Tambahan
a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.
Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic
compression devices.
b. Analgesik:
 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
 Tylanol dengan kodein.
 Hindari asetosal.
 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
 Propofol 3-10 mg/kg/jam.
 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
 Antagonis H2
 Antasida
 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah:

1. Hipoksia serebral
Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke
jaringan, pemberian oksigen mempertahankan hemoglobin serta hematokrit akan
membantu mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Penurunan aliran darah serebral
Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh
darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin penurunan
viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi
ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan
potensi meluasnya area cedera.
3. Embolisme serebral
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium
atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan
aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral.
Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan menghentikan
trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan
harus diperbaiki.
PENCEGAHAN

American Heart Associaton (AHA) tahun 2010, mengeluarkan beberapa rekomendasi


preventif primer maupun sekunder diantaranya:

1. Preventif Stroke pada Hipertensi


Hipertensi harus dikendalikan untuk mencegah terjadinya stroke (preventif
primer) dan pengendalian pada pasien hipertensi yang pernah mengalami TIA atau
stroke dapat mengurangi atau mencegah resiko terjadinya stroke berulang (preventif
sekunder). Pengendalian hipertensi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu
pengendalian gaya hidup (lifestyle) dan pemberian obat anti hipertensi. Pengendalian
gaya hidup untuk masalah hipertensi menurut Bethesda stroke center (2007) adalah:
a. Mempertahankan berat badan normal untuk dewasa dengan perhitungan indeks
masa tubuh 20-25kg/m2.
b. Mengurangi asupan garam, kurang dari 6 gram dapur atau kurang dari 2,4 gr
Na+/hari.
c. Olahraga 30 menit/hari, jalan cepat lebih baik dari pada angkat besi
d. Makan buah dan sayur.
e. Mengurangi konsumsi lemak baik yang jenuh maupun tidak jenuh.
2. Preventif Stroke pada Diabetes Mellitus
Penderita DM rentan terhadap komplikasi vaskuler termasuk stroke. DM
merupakan suatu faktor resiko untuk stroke iskemik dan pasien DM beresiko tinggi
untuk terkena stroke pada pembuluh darah besar atau kecil Kontrol DM yang ketat
terbukti mencegah komplikasi vaskuler yang lain dan dapat menurunkan resiko
stroke, juga selain itu perbaikan Kontrol DM akan mengurangi progresi pembentukan
atherosclerosis. Pengendalian glukosa direkomendasikan sampai kadar yang hampir
normoglikemik pada pasien diabetes mikrovaskular. ACE-1 Dan ARB lebih efektif
dalam menurunkan progresivitas penyakit hipertensi dan ginjal dan
direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk pasien diabetes mellitus (Siswanto,
2005).
3. Preventif Stroke pada Gaya Hidup Sehat
Jika kita menjalankan pola hidup yang sehat, maka berbagai penyakit akan
jauh dari kita. Gaya hidup atau pola hidup utama yang tidak sehat sangat erat
kaitannya dengan faktor resiko stroke penyakit pembuluh darah. Upaya merubah
gaya hidup yang tidak benar menjadi gaya hidup yang sehat sangat diperlukan untuk
upaya mendukung prevensi sekunder.
Usia merupakan salah satu faktor resiko stroke, namun kini stroke mulai
mengancam usia-usia produktif dikarenakan perubahan pola hidup yang tidak sehat
seperti banyak mengkonsumsi makanan siap saji yang sarat akan kolesterol,
merokok, minuman keras, kurangnya berolahraga dan stress. Karena gaya hidup
sehat meliputi pengaturan gizi yang seimbang, olah raga secara teratur, berhenti
merokok, dan mengurangi alcohol (Siswanto, 2005).

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL


1) Ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran darah
ke otak terhambat
2) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke
otak
3) Defisit perawatan diri: makan, mandi, berpakaian, toileting berhubungan
kerusakan neurovaskuler
4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
5) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran.
6) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi fisik
7) Resiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran
8) Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran
DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. 2009. Cara Mudah Memahami & Menghindari Hipertensi, Jantung, dan Stroke.
Dianloka Pustaka: Yogyakarta
American Heart Association. 2010. Heart disease & stroke statistics – 2010 Update. Dallar,
Texas: American Heart Association
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatab pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Salemba Medika: Jakarta
Bulechek GM, Butcher HW, Dochterman JM. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC)
ed5. St Louis: Mosby Elsevier.
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi ed 3. Jakarta: EGC.
Davey, P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Herdman H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions and Classifications
2012-2014. Oxford: Wiley Blacwell.
Junaidi, I. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Mitchell, et al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit ed.7. Jakarta: EGC.
Morrhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2008. Nursing Outcomes Classification
(NOC) ed4. St Louis: Mosby Elsevier.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Salemba Medika: Jakarta
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik
Edisi 4. EGC: Jakarta
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta
Ruhyanudin, Faqih. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan. Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Umm Press: Malang.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Wardhana, W.A. 2011. Strategi mengatasi & bangkit dari stroke. Penerbit Pustaka Pelajar :
Yogyakarta
Williams, SH., Hopper. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing. Philadelphia:

Anda mungkin juga menyukai