Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Ratna 40 tahun berat badan 40 kg dating berobat dengan keluhan
gatal diketiak, bawah payudara kadang juga dilipat paha dan disekitar
kelamin. Keluhan tersebut dirasakan sejak 1 minggu yang lalu dan semakin
gatal dan merah jika cuaca panas dan berkeringat. Sehari – hari berjualan
sayur di pasar dari pagi hingga siang. Keluarga tidak ada yang sakit seperti
itu.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
1. Gatal : gejala kelainan kulit menyebabkan rangsangan ingin
menggaruk
1.3 Kata Kunci
1. Ratna 40 tahun, BB 40 kg
2.
1.4 Rumusan Masalah

1.5 Analisis Masalah


1.6 Hipotesis
Ratna 40 tahun mengalami Kandidosis Kutis
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Pruritus
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
2. Candidosis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Klasifikasi
e. Faktor resiko
f. Pencegahan
g. Patofisiologi
h. Manifestasi klinis
i. Diagnosis dan diagnosis banding
j. Pemeriksaan penunjang
k. Tata laksana
l. Prognosis
m. Komplikasi
3. Jelaskan tentang Tinea Cruris !
4. Perbedaan antara infeksi bakteri dan jamur !
5. Mengapa lesi semakin gatal dan merah ketika pada keadaan panas dan
berkeringat ?
6. Apa hubungan kasus dalam pemicu dengan dengan jualan sayur pagi
hingga siang hari ?
7. Apa hubungan umur dan berat badan pada kasus tersebut ?
8. Edukasi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pruritus
2.1.1 Definisi
Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit
yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk.[1]

2.1.2 Etiologi
Pruritus atau rasa gatal yang timbul adalah tanpa kelainan primer.
Kelainan sekunder dapat disebabkan akibat garukan (misalnya eksosriasi,
jaringan parut, dan prurigo). Adapun pada pruritus setempat jarang
ditemukan. Kulit mungkin tetap normal, tetapi yang lebih sering terjadinya
beberapa abnormalitas. Dua bentuk pruritus setempat adalah liken simpleks
kronik dan prurigo, serta pruritus anogenital.[2]

2.1.3 Patofisiologi

Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik)


dapat memicu terjadi pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang
terletak di dekat junction dermoepidermal bertanggung jawab untuk
sensasi ini. Sinaps terjadi di akar dorsal korda spinalis (substansia grisea),
bersinaps dengan neuron kedua yang menyeberang ke tengah, lalu menuju
traktus spinotalamikus kontralateral hingga berakhir di thalamus. Dari
thalamus, terdapat neuron ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke
pusat persepsi di korteks serebri.[3]
Sempat diduga bahwa pruritus memiliki fungsi untuk menarik
perhatian terhadap stimulus yang tidak terlalu berbahaya (mild surface
stimuli), sehingga diharapkan ada antisipasi untuk mencegah sesuatu
terjadi. Namun demikian, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran
dan penemuan teknik mikroneurografi (di mana potensial aksi serabut
saraf C dapat diukur menggunakan elektroda kaca yang sangat halus)
berhasil menemukan serabut saraf yang terspesiaslisasi untuk
menghantarkan impuls gatal, dan dengan demikian telah mengubah
paradigma bahwa pruritus merupakan stimulus nyeri dalam skala ringan.[3]
Saraf yang menghantarkan sensasi gatal (dan geli, tickling
sensation) merupakan saraf yang sama seperti yang digunakan untuk
menghantarkan rangsang nyeri. Saat ini telah ditemukan serabut saraf yang
khusus menghantarkan rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer,
maupun di sistem saraf pusat.[4] Ini merupakan serabut saraf tipe C – tak
termielinasi. Hal ini dibuktikan dengan fenomena menghilangnya sensasi
gatal dan geli ketika dilakukan blokade terhadap penghantaran saraf nyeri
dalam prosedur anestesi.[5] Namun demikian, telah ditemukan pula saraf
yang hanya menghantarkan sensasi pruritus. Setidaknya, sekitar 80%
serabut saraf tipe C adalah nosiseptor polimodal (merespons stimulus
mekanik, panas, dan kimiawi); sedangkan 20% sisanya merupakan
nosiseptor mekano-insensitif, yang tidak dirangsang oleh stimulus
mekanik namun oleh stimulus kimiawi. Dari 20% serabut saraf ini, 15%
tidak merangsang gatal (disebut dengan histamin negatif), sedangkan
hanya 5% yang histamine positif dan merangsang gatal. Dengan demikian,
histamine adalah pruritogen yang paling banyak dipelajari saat ini. Selain
dirangsang oleh pruritogen seperti histamin, serabut saraf yang terakhir ini
juga dirangsang oleh temperatur.

Gambar 1 – Jaras naik dan turun yang memodulasi pruritus, gambaran


tersimplifikasi[5]
Lebih dari itu, perkembangan ilmu kedokteran telah
menunjukkan bahwa selsel keratinosit mengekspresikan mediator
neuropeptida dan receptor yang diduga terlibat dalam patofisiologi
pruritus, termasuk diantaranya NGF (nerve growth factor) dan reseptor
vanilloid TRPV1 ; serta PAR 2 (proteinase activated receptor type 2),
juga kanal ATP berbasis voltase. Dengan demikian, epidermis dan segala
percabangan serabut saraf intraepidermal terlebih tipe C-lah yang
dianggap sebagai reseptor gatal, bukan hanya persarafan saja.
TRPV1 diaktivasi dan didesentisasi oleh senyawa yang
terkandung dalam cabe, capsaicin. Reseptor kanabioid (CB1) terletak
bersama-sama dengan TRPV1 dan menyebabkan endokanabioid juga
dapat merangsang TRPV1 dan memungkinkan kanabioid berperan dalam
modulasi pruritus.[4]
Melaui jaras asenden, stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks
serebri. Saat ini, melalui PET (ositron-emission tomography) dan fMRI
(functional MRI), aktivitas kortikal dapat dinilai dan terkuak bahwa girus
singuli anterior (anterior singulate) dan korteks insula terlibat dan berperan
dalam “kesadaran” sensasi gatal, menyebabkan efek emosional
berpengaruh kepada timbulnya gatal, serta korteks premotor yang diduga
terlibat dalam inisasi tindakan menggaruk.[6]
Sensasi gatal hanya akan dirasakan apabila serabut-serabut
persarafan nosiseptor polimodal tidak terangsang. Rangsangan nosiseptor
polimodal terhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagai
nyeri, dan akan menginhibisi 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal.
Namun demikian, setelah rangsang mekanik ini dihilangkan dan
pruritogen masih ada, maka sensasi gatal akan muncul lagi.
Perlu diingat bahwa tidaklah semua rangsang gatal dicetuskan
dari serabut saraf histamin positif ini, melainkan ada pula rangsang gatal
yang dicetuskan oleh rangsangan nosiseptor polimodal. Pada hewan,
ditemukan refleks garuk (scratch reflexes) yang timbul akibat adanya
eksitasi terhadap reseptor pruritus. Fenomena refleks ini kontras dengan
fenomena refleks tarik (withdrawal reflex) apabila terjadi rangsang nyeri.

2.2 Candidosis

2.2.1 Definisi

Kandidosis adalah penyakit infeksi jamur yang bersifat akut atau


subakut yang disebabkan oleh jamur genus Candida terutama Candida
albicans dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronkhi atau paru,
kadang-kadang dapat menyebabkan septikemia, endokarditis, atau
meningitis. Sinonim dari kandidosis adalah kandidiasis dan moniliasis. [7]
2.2.2 Etiologi

Penyebab tersering pada kandidosis ialah Candida albicans yang


dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang
normal. Sebagai penyebab endocarditis kandidosis ialah C. parapsilosis dan
penyebab kandidosis septicemia adalah C. tropicalis.[8]

2.2.3 Epidemiologi

Spesies Candida adalah penyebab paling umum infeksi jamur pada


orang dengan gangguan imun. Kolonisasi Oropharyngeal ditemukan pada
30% -55% orang dewasa muda yang sehat, dan spesies Candida dapat
dideteksi pada 40% -65% flora feses normal.[9]
Tiga dari setiap 4 wanita mengalami setidaknya satu kali kandidiasis
vulvovaginal (VVC) selama masa hidup mereka.[9]
Lebih dari 90% orang yang terinfeksi HIV yang tidak menerima
terapi antiretroviral (ART) yang tinggi akhirnya mengembangkan
kandidiasis orofaringeal (OPC), dan 10% akhirnya mengembangkan
setidaknya satu kali kandidiasis esofagus. [9]
Tidak ada jenis kelamin yang cenderung dalam kolonisasi kandida;
Namun, VVC adalah penyebab vaginitis terbanyak kedua pada wanita. [9]
Orang pada usia ekstrem (neonatus dan dewasa> 65 tahun) paling
rentan terhadap kolonisasi kandida. Kandidiasis mukokutan juga lebih
umum pada neonatus dan orang dewasa yang lebih tua. Bayi dengan berat
lahir sangat rendah dan bayi berat lahir rendah sangat berisiko tinggi untuk
kultur darah - terbukti candidiasis onset lambat (didefinisikan sebagai sepsis
yang berkembang setelah usia 72 jam). [9]

2.2.4 Klasifikasi

Kandidiasis dapat dibagi menjadi beberapa jenis1 :


1) Kandidiasis Mukosa
a) Kandidiasis Oral/orofaringeal
Kandidiasis orofaringeal atau thrush merupakan kandidiasis yang
berkembang di mulut atau tenggorokan (CDC, 2016). Kandidiasis ini
tampak sebagai bercak putih diskret yang dapat menjadi konfluen pada
mukosa bukal, lidah, palatum, dan gusi (Klenk, et al.,2003).
b) Kandidiasis Vulvovaginal
Kandidiasis vulvovaginal, kadang disebut sebagai infeksi jamur
(ragi) vagina, merupakan infeksi yang umum terjadi ketika terdapat
pertumbuhan berlebih dari jamur kandida. Kandida selalu ada di dalam
dan permukaan tubuh dalam jumlah yang kecil. Akan tetapi, ketika
terjadi ketidakseimbangan, seperti perubahan keasaman vagina atau
perubahan hormonal, kandida dapat bermultiplikasi. Ketika hal tersebut
terjadi, gejala kandidiasis dapat muncul (CDC, 2016). Pasien biasanya
memiliki keluhan sangat gatal atau pedih disertai keluar cairan yang
putih mirip krim susu/keju, kuning tebal, tetapi dapat cair seperti air atau
tebal homogen dan tampak pseudomembran abuabu putih pada mukosa
vagina. Lesi bervariasi, dari reaksi eksema ringan dengan eritema
minimal sampai proses berat dengan pustul, eksoriasi dan ulkus, serta
dapat meluas mengenai perineum, vulva, dan seluruh area inguinal.
Sering dijumpai pada wanita hamil, dan pada wanita tidak hamil
biasanya keluhan dimulai seminggu sebelum menstruasi. Gatal sering
lebih berat bila tidur atau sesudah mandi air hangat. Umumnya didapati
disuria dan dispareunia superfisial. Dapat juga terjadi vulvitis tanpa
disertai infeksi vagina. Umumnya vulva eritema dengan fisura yang
sering terlokalisata pada tepi mukosa introitus vagina, tetapi dapat
meluas mengenai labia mayora. Intertrigo perineal dengan lesi vesikular
dan pustul dapat terjadi (Richardson, et al., 2003).
c) Balanitis / Balanopostitis Kandidiasis
Balanitis kandidiasis merupakan kandidiasis yang teri pada glans
penis, sedangkan balanopostitis mengenai glans penis dan prepusium
pada laki-laki yang belum disirkumsisi. Gambaran klinis tampak erosi
merah superfisialis dan pustul berdinding tipis di atas glans penis,
sulkus koronarius (balanitis) dan pada prepusium penis yang tidak
disirkumsisi (balanopostitis) (Hay, et al., 2010). Papul kecil tampak
pada glans penis beberapa jam sesudah berhubungan seks, kemudian
menjadi pustul putih atau vesikel dan pecah meninggalkan tepi yang
mengelupas. Bentuk ringan ini biasanya sedikit pedih dan iritasi. Pada
bentuk lanjut tampak bercak putih susu di glans penis, sulkus
koronanius dan kadang-kadang di batang penis. Dapat meluas ke
skrotum, paha dan seluruh area inguinalis, terutama pada udara panas.
Pada kasus berat lesi tampak pada epitel uretra (Rippon, 1988).
2) Kandidiasis Kutis
Kandidiasis kutis merupakan penyakit infeksi pada kulit yang
disebabkan oleh jamur genus kandida. Gambaran klinis kandidiasis kutis
berdasarkan tempat yang terkena dibagi menjadi : kandidiasis kutis
intertriginosa, kandidiasis paronikia dan onikomikosis, kandidiasis kutis
generalisata, kandidiasis kutis granulomatosa, dan diaper rash (Ramali,
2004).
a) Kandidiasis Kutis Intertrigo
Kandidiasis intertrigo merupakan infeksi pada kulit yang disebabkan
oleh Candida albicans, khususnya terletak di antara lipatan intertriginosa
kulit yang berdekatan. Gambaran klinis tampak sebuah bercak merah yang
gatal, diawali dengan vesikulopustul yang membesar dan pecah,
menyebabkan maserasi dan membentuk fisura pada area intertrigo yang
terlibat. Area yang terlibat memiliki batas bergerigi dengan pinggiran
putih yang terdiri dari epidermis yang mengalami nekrosis, yang
mengelilingi dasar maserasi yang ertitem. Lesi satelit biasanya dijumpai
dan dapat menyatu dan meluas menjadi lesi yang lebar (Scheinfeld,
2016).
b) Kandidiasis Mukokutaneus Kronik
Kandidiasis mukokutaneus kronik adalah infeksi heterogen pada
rambut , kuku , kulit , dan selaput lendir yang terus berlanjut meskipun
dengan terapi, ditandai dengan infeksi kronik dari kandida, yang terbatas
pada permukaan mukosa, kulit, dan kuku. Munculnya penyakit biasanya
dimulai pada masa bayi atau dalam dua dekade pertama kehidupan.
Kondisi ini mungkin ringan dan terbatas pada area tertentu dari kulit atau
kuku (Edward,
2008).
c) Kandidiasis Paronikia
Kandidiasis paronikia merupakan inflamasi pada lipatan kuku, yang
disebabkan oleh Candida albicans. Tampak daerah lipatan kuku menjadi
eritem, bengkak, dan lunak, dengan discharge sesekali. Kutikulia
menghilang, bersama dengan distrofi kuku dan onikolisis dengan
perubahan warna di sekitar daerah lipatan kuku bagian lateral. Terdapat
warna kehijauan dengan akumulasi cairan hyponychial yang mungkin
terjadi yang merupakan hasil dari infeksi kandida (Scheinfeld, 2016).
Pasien akan merasakan pembengkakan yang sakit pada sekitar kulit kuku
(Edward, 2008).
d) Kandidiasis Onikomikosis
Gejala yang paling umum dari infeksi jamur kuku adalah kuku
menjadi menebal dan berubah warna menjadi putih, hitam, kuning atau
hijau. Saat infeksi berlangsung kuku bisa menjadi rapuh. Jika tidak diobati,
kulit bisa menjadi meradang dan nyeri di bawah dan di sekitar kuku.
Mungkin juga timbul bercak putih atau kuning pada kuku atau kulit
menjadi bersisik disekitar kuku dan berbau busuk
(NHS, 2015).
e) Kandidiasis Kutaneus Kongenital
Kandidiasis kutaneus kongenital merupakan kondisi kulit pada bayi
baru lahir yang disebabkan oleh ketuban pecah dini yang bersamaan
dengan jalan lahir yang terinfeksi Candida albicans. Biasanya
bermanifestasi sebagai erupsi makulopapular eritematosa yang mengenai
badan dan ekstremitas, akan sembuh setelah deskuamasi yang luas. Pustula
dan vesikula biasanya dangkal dan menghilang secara spontan atau dengan
pengobatan topikal. Adanya mikroabses putih pada plasenta dan tali pusat
bayi dengan erupsi tersebut harus dicurigai kandidiasis kutaneus
kongenital (Scheinfeld, 2016).
f) Diaper Rash
Diaper rash kandidiasis merupakan sebuah infeksi oleh Candida
albicans pada area diaper pada anak. Infeksi perineum yang umum pada
bayi, pustular dan eritem (Edward, 2008). Maserasi dari mukosa anal dan
kulit perianal sering merupakan manifestasi klinis pertama. Erupsi khas
dimulai dengan papula bersisik yang bergabung dan membentuk lesi yang
jelas. Kemudian lesi terkikis dengan perbatasan bergerigi (Scheinfeld,
2016).
g) Kandidiasis Kutis Generalisata
Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara,
intergluteal, dan umbilicus. Sering disertai glossitis, stomatitis, dan
paronikia. Lesi berupa ekzematoid, dengan vesikel-vesikel dan pustul-
pustul (Scheinfeld,
2016).
h) Kandidiasis Unspecified
Kondisi dimana Candida albicans, tumbuh diluar kendali di daerah
kulit yang lembab. Biasanya merupakan akibat dari sistem kekebalan
tubuh yang lemah, tetapi dapat pula akibat dari efek samping kemoterapi
atau terapi antibiotik. Dikatakan kandidiasis unspecified ketika seseorang
mengalami kandidiasis mukokutan kronik, atau kandidiasis kutis, atau
kandidiasis oral, atau monilial vaginitis secara bersamaan (ICD 10, 2016).
(belum ada dapus)

2.2.5 Faktor resiko

Berdasarkan survey yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, waktu kunjungan pasien infeksi kandida pada kulit dan kuku pada
tahun 2011-2013 terbanyak adalah bulan April hingga Mei, hal itu mungkin
disebabkan musim kemarau awal yang biasanya terjadi perubahan kondisi
lokal, yaitu suhu, kelembaban, dan perubahan pH kulit yang dapat
meningkatkan patogenitas infeksi kandida pada kulit dan kuku.[10]

Prevalensi menunjukkan jumlah pasien perempuan lebih banyak


dibandingkan pasien laki-laki, hal itu sesuai dengan penelitian oleh
Pandeleke dan kawan-kawan bahwa kandidiasis kutis ditemukan banyak
terdapat pada perempuan, diduga karena perempuan lebih banyak
melakukan pekerjaan rumah tangga seperti kontak dengan air, kehamilan,
dan memakai pakaian ketat sehingga menyebabkan keringat dan lembab.
Selain itu, perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan kenyamanan
sehingga memilih untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.[10]

Infeksi kandida di kulit terbanyak pada tahun 2011-2013 adalah


pada usia 1-4 tahun. Kemungkinan karena pendidikan masyarakat Indonesia
yang menengah kebawah kurang baik sehingga kurangnya pengetahuan
menjaga higiene pada anak-anak. Kondisi iklim Indonesia yang tropis juga
merupakan faktor eksogen, anak-anak berumur 1-4 tahun yang sedang aktif
bermain, mudah berkeringat dan membuat menjadi kulit menjadi lembap
atau basah.[11]

Hal itu disebabkan bahwa jamur kandida memiliki predileksi daerah


lipatan yang sering maserasi, didukung oleh cuaca yang panas
menyebabkan produksi keringat yang banyak dan mengakibatkan lokasi
lipatan kulit yang tertutup pakaian menjadi lembap dan rentan terhadap
infeksi kandidiasis intertriginosa.[11]

Infeksi kandida dapat terjadi, apabila ada faktor predisposisi baik


endogen maupun eksogen:[12]

1. Perubahan fisiologik: usia, kehamilan, dan haid.

2. Faktor mekanik: trauma (luka bakar, aberasi), oklusi lokal, kelembaban,


maserasi, kegemukan.

3. Faktor nutrisi: avitaminosis, defisiensi zat besi, malnutrisi.

4. Penyakit sistemik: penyakit endokrin (misal: DM, sindroma Cushing),


Down Syndrome, acrodermatitis enteropatika, uremia, keganasan, dan
imunodefisiensi.

5. Iatrogenik: penggunaan kateter, iradiasi sinar X, penggunaan obat-obatan


(misal: glukokortikoid, agen imunosupresi, antibiotika, dll).
2.2.6 Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan pada kandidiosis adalah dengan


meningkatkan standar sanitasi lingkungan serta menghindari faktor-
faktor predisposisi lain seperti pemakaian antibiotic yang lama, obesitas,
alkohol, gangguan vaskularisasi, hyperhidrosis dan lain-lain.[13]

2.2.7 Patofisiologi

Langkah pertama dalam pengembangan infeksi kandida


adalah kolonisasi permukaan mukokutan. Semua faktor yang
diuraikan di atas terkait dengan peningkatan tingkat kolonisasi. Rute
invasi kandida meliputi (1) gangguan permukaan terjajah (kulit atau
mukosa), memungkinkan akses organisme ke aliran darah, dan (2)
persarafan melalui dinding gastrointestinal, yang mungkin terjadi
setelah kolonisasi besar dengan sejumlah besar organisme yang
langsung masuk ke aliran darah.[9]

2.2.8 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang muncul berupa gatal yang mungkin sangat


hebat. Terdapat lesi kulit yang kemerahan atau terjadi peradangan, semakin
meluas, makula, atau papul, mungkin terdapat lesi satelit (lesi yang lebh
kecil yang kemudian menjadi lebih besar). Lesi terlokalisasi di daerah
lipatan kulit, genital, bokong, di bawah payudara, atau di daerahh kulit yang
lain. Infeksi folikel rambut (folikulitis) mungkin seperti “pimple like
appearance”.[14]

2.2.9 Diagnosis dan Diagnosis banding [12]

1. Kandidosis kutis lokalisata  Eritrasma, Dermatitis intertriginosa,


Dermatofitosis (tinea) dll.
2. Kandidosis kuku  tinea unguium.

3. Kandidosis vulvovaginitis  Trikomonas vaginalis, Gonore akut.

Penegakkan diagnosis infeksi spesies kandida pada kulit dan kuku


didasarkan pada gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang yang rutin dilakukan untuk infeksi kandida adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung dengan menggunakan KOH 20% dan tinta Parker.
Pada pemeriksaan langsung, kerokan kulit atau kuku diletakkan diatas glas
ojekditetesi KOH 20% atau dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram, dan
dapat dilihat di bawah mikroskop.[15,16] Pada pemeriksaan di bawah
mikroskop, pembesaran 10x dan 40x akan tampak gambaran infeksi spesies
kandida yang ditandai dengan bentukan blastospora, hifa semu
(pseudohifa).[15,16] Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang dilakukan
untuk menegakkan diagnosis spesies kandida pada kulit dan kuku. Hasil
negatif pada pemeriksaan ini tidak lantas menyingkirkan diagnosis, hal ini
dapat dipengaruhi berbagai faktor, yaitu pasien sudah mengobati sendiri
dengan obat topikal, atau dapat juga karena pemeriksaan kurang tepat.[15]

2.2.10 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis adalah: [8]


1) Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan
KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram, terlihat sel ragi,
blastospora, atau hifa semu.
2) Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dektrosa glukosa
Sabouraud, dapat pula agar ini dibubuhi antibiotic (kloramfenikol)
untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan disimpan dalam
suhu kamar atau lemari suhu 37°C, koloni tumbuh setelah 24-48
jam, berupa yeast like colony. Identifikasi Candida albicans
dilakukan dengan membiakan tumbuhan tersebut pada corn meal
agar.

2.2.11 Tata laksana

1) Kandidiasis kulit
Sebagian besar infeksi kandidiasis kutaneus lokal dapat diobati
dengan sejumlah agen antijamur topikal (misalnya, klotrimazol, ekonazol,
ciclopirox, miconazole, ketoconazole, nystatin). Jika infeksi adalah
paronychia, aspek yang paling penting dari terapi adalah drainase abses,
diikuti oleh terapi antijamur oral dengan flukonazol atau itrakonazol.
Dalam kasus infeksi kulit yang luas, infeksi pada pasien
immunocompromised, folikulitis, atau onikomikosis, terapi antijamur
sistemik dianjurkan. Untuk onikomikosis Candida, itraconazole oral
(Sporanox) tampaknya paling berkhasiat. Dua rejimen pengobatan
tersedia: dosis harian itrakonazol yang diambil selama 3-6 bulan atau
rejimen dosis pulsed yang membutuhkan dosis harian yang sedikit lebih
tinggi selama 7 hari, diikuti dengan 3 minggu pemberian obat. Siklus ini
diulang setiap bulan selama 3-6 bulan.[9]

2) Kandidiasis saluran genitourinary

Kandidiasis vulvovaginal (VVC) dapat diobati dengan agen


antijamur topikal atau dosis tunggal flukonazol oral. Satu dosis tunggal
flukonazol oral (150 mg) pada masa akut VVC telah terbukti
menghasilkan khasiat klinis dan mikrobiologi sebaik atau lebih baik
daripada agen antijamur topikal. Persentase kecil (<5%) wanita
mengalami infeksi VVC kronis berulang, yang sering membutuhkan
terapi azole oral jangka panjang atau profilaksis untuk kontrol. Pada
pasien seperti itu, rejimen yang dianjurkan termasuk flukonazol 150 mg
setiap hari selama 3 dosis, diikuti oleh flukonazol mingguan 150-200 mg
selama 6 bulan. Rejimen ini mencegah kekambuhan lebih lanjut pada
lebih dari 80% wanita. Pada wanita hamil, hanya satu atau dua dosis
flukonazol oral untuk kandidiasis vagina selama kehamilan tidak terkait
dengan risiko kematian lahir mati atau kematian neonatal yang meningkat
secara signifikan, menurut penelitian kohort Skandinavia 2018.[9]

2.2.12 Prognosis

Umunya baik, bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi.


Dengan perawatan yang tepat, kebanyakan infeksi kandida sembuh tanpa
masalah lebih lanjut. Infeksi ragi vagina, sariawan, dan ruam popok
biasanya reda dalam 1-2 minggu. Pada orang dengan sistem kekebalan yang
lemah, infeksi ini bisa kambuh dan menjadi sulit diobati.[17]

Gambar 2. Infeksi Candidiasis di area sekitar anus[17]


Prognosis karena beberapa spesies Candida relatif kurang peka terhadap
beberapa obat antijamur yang tersedia saat ini. Setelah dilakukan kultur
dapat dilakukan identifikasi spesies dan pemeriksaan sensitivitas terhadap
antifungal dengan mesin otomatis Vitek 2. Prognosis dikatakan buruk
apabila terdapat faktor predisposisi endogen yang tidak dapat dihilangkan
atau sulit ditangani, misalnya obesitas, hiperhidrosis, adanya penyakit
sistemik seperti diabetes melitus yang tidak terkontrol, gagal ginjal kronik,
keganasan, dan infeksi HIV, munculnya lesi baru atau lesi lama tidak
kunjung membaik setelah pengobatan.[18]

2.3.13 Komplikasi
2.3 Jelaskan tentang Tinea Cruris !
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung
zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, serta kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita, yang mampu mencernakan
keratin.

Tinea kruris sebagai salah satu dermatofitosis, disebabkan oleh jamur


golongan dermatofita, terutama suatu kelas Fungi imperfecti, yaitu Genus
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Tinea kruris sering
ditemukan pada kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal.
Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal,
yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal.[19]

Faktor penting yang berperan dalam penyebaran tinea kruris adalah


kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang padat, dan
kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab. Obesitas dan diabetes
melitus juga merupakan faktor resiko tambahan oleh karena keadaan tersebut
menurunkan imunitas untuk melawan infeksi. Penyakit ini dapat bersifat akut
atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur
hidup.[20]

Tinea kruris lebih sering pada rentang usia 51-60 tahun dan tiga kali lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita.[21] Orang dewasa
lebih sering menderita tinea kruris bila dibandingkan dengan anak-anak.[22]

Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Tricophyton rubrum


dan Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan spesies yang
paling sering menyebabkan terjadinya epidemi. T. Mentagrophytes dan T.
verrucosum jarang menyebabkan tinea kruris. Tinea Kruris seperti halnya tinea
korporis, menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan peralatan
yang terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi
dan lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab. Autoinfeksi dapat terjadi
dari sumber penularan yang jauh letaknya seperti tinea pedis, yang sering
disebabkan oleh T. rubrum atau T. mentagrophytes.[19]

Manifestasi klinis tinea kruris adalah rasa gatal yang meningkat saat
berkeringat atau terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan
daerah perineum.[17] Berupa lesi yang berbentuk polisiklik / bulat berbatas
tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif.[21]

Gambar 3. Gambaran klinis tinea kruris[20]

Diagnosis banding tinea kruris adalah kandidosis intertrigo, eritrasma,


psoriasis, dan dermatitis seboroik. Pada kandidosis intertrigo lesi akan tampak
sangat merah, tanpa adanya central healing, dan lesi biasanya melibatkan
skrotum serta berbentuk satelit. Eritrasma sering ditemukan pada lipat paha
dengan lesi berupa eritema dan skuama tapi dengan mudah dapat dibedakan
dengan tinea kruris menggunakan lampu wood dimana pada eritrasma akan
tampak fluoresensi merah (coral red). Lesi pada psoriasis akan tampak lebih
merah dengan skuama yang lebih banyak serta lamelar. Ditemukannya lesi
pada tempat lain misalnya siku, lutut, punggung, lipatan kuku, atau kulit kepala
akan mengarahkan diagnosis kearah psoriasis. Pada dermatitis seboroik lesi
akan tampak bersisik dan berminyak serta biasanya melibatkan daerah kulit
kepala dan sternum.[23]

2.4 Perbedaan antara infeksi bakteri dan jamur !


2.5 Mengapa lesi semakin gatal dan merah ketika pada keadaan panas dan
berkeringat ?
Saraf yang menghantarkan sensasi gatal (dan geli, tickling sensation) merupakan
saraf yang sama seperti yang digunakan untuk menghantarkan rangsang nyeri. Saat
ini telah ditemukan serabut saraf yang khusus menghantarkan rangsang pruritus,
baik di sistem saraf perifer, maupun di sistem saraf pusat. Ini merupakan serabut
saraf tipe C- tak termielinisasi. Hal ini dibuktikan dengan fenomena menghilangnya
sensasi gatal dan geli ketika dilakukan blockade terhadap penghantaran saraf nyeri
dalam prosedur anestesi. Namun demikian, telah ditemukan pula saraf nyeri dalam
prosedur anestesi. Namun demikian, telah ditemukan pula saraf yang hanya
menghantarkan sensasi pruritus. Setidaknya, sekitar 80% serabut saraf tipe C adalah
nosiseptor polimodal (merespon stimulus mekanik, panas, dan kimiawi); sedangkan
20% sisanya merupakan nosiseptor mekano-insensitif, yang tidak dirangsang oleh
stimulus mekanik namun oleh stimulus kimiawi. Dari 20% serabut saraf ini, 15%
tidak merangsang gatal (histamine negatif), sedangkan hanya 5% yang histamine
positif dan merangsang gatal. Dengan demikian, histamine adalah pruritogen yang
paling banyak dipelajari saat ini. Selain dirangsang oleh pruritogen seperti
histamine, serabut saraf yang terakhir juga dirangsang oleh temperatur.[24,25]
Oleh karena itu, diketahui waktu pasien bekerja serta tempat pasien bekerja
merupakan salah satu faktor eksogen pada kandidosis. Akibat cuaca yang panas
menyebabkan pasien berkeringat yang kemudian memicu terjadinya peningkatan
kelembaban pada kulit. Pekerjaan adalah salah satu aktivitas yang dilakukan oleh
wanita setiap hari dan bisa melelahkan, sehingga menyebabkan daya tahan tubuh
menurun dan muncul gejala kandidiasis.[8,24,25]

2.6 Apa hubungan kasus dalam pemicu dengan dengan jualan sayur pagi
hingga siang hari ?
Cuaca yang panas menyebabkan produksi keringat yang banyak dan
mengakibatkan lokasi lipatan kulit yang tertutup pakaian menjadi lembap dan
rentan terhadap infeksi kandidiasis.[11]

Hal itu disebabkan bahwa jamur kandida memiliki predileksi daerah lipatan
yang sering maserasi, didukung oleh cuaca yang panas menyebabkan produksi
keringat yang banyak dan mengakibatkan lokasi lipatan kulit yang tertutup pakaian
menjadi lembap dan rentan terhadap infeksi kandidiasis.[11]

2.7 Apa hubungan umur dan berat badan pada kasus tersebut ?
Pada kasus kandidiosis usia merupakan salah satu faktor resiko, pada orang
tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologiknya tidak
sempurna.[8]

2.8 Edukasi
Pada pasien diberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang
penyakit, penyebab penyakit, faktor risiko, dan terapi. Pada pasien disarankan
untuk menghindari kelembapan dengan cara cepat berganti baju apabila
berkeringat, mengenakan pakaian dengan bahan tipis yang menyerap keringat.
Mandi menggunakan sabun antiseptik dan mencampur air mandi dengan larutan
antiseptik juga harus dihentikan dan pasien disarankan menggunakan sabun
bayi. Pasien juga disarankan untuk memotong kukunya agar tidak
menimbulkan luka saat menggaruk lesi.[26]

BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Djajakusumah, T.S., 2011. Penatalaksanaan Pruritus Anogenital.
Dermatoses & STIs Associated with Travel to Tropical Countries: 293-208.
2. Graham-Brown, Robin. 2008. Dermatologi. Ed.8. Jakarta : Erlangga. pp:33-
34

3. Greaves MW. Recent advances in pathophysiology and current management


of itch. Ann Acad Mes Singapore. 2007 Sep;36(9):788-92
4. Burns T. Breathnach S. Cox N. Griffiths C. (editor). Rook’s textbook of
dermatology: volume 1, eight edition. Oxford: Wiley-Blackwell Publishers;
2010. p.931-48
5. Guyton AC. Hall JE. Human physiology and mechanism of disease.
Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1982. p.378-9
6. Burton G. Pathophyisiology of pruritus. Australian College of Veterinary
Scientists Dermatology Chapter Science Week Proceeding. 2006; 34(6):18-
25
7. Kuswadji. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Kandidosis. Edisi 5.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp. 106-9.
8. Wasitaatmadja SM, Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2010.

9. Jose A Hidalgo. 2018. Candidiasis. https://


emedicine.medscape.com/article/213853-overview. Diakses 1 November
2018
10. Suyoso S, Ervianti E, Sukanto H. Onikomikosis. In: Pedoman diagnosis dan
terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3ed. Surabaya: Rumah
Sakit Umum Dokter Soetomo; 2005. h. 79-83.

11. Tan H. Superfisial fungal infection seen at the national skin center. Jpn J
Med Mycol 2005; 46: 77-80.

12. Sri Linuwih, Kusmarinah B, Wresti I. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Ketujuh (cetakan kelima). Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2018.
13. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit ed. 3. Jakarta : EGC;
2015.

14. Smith, D. Scott. Cutaneous Candidiasis. 2006

15. Bramono K, Budimulja U. Epidemiology of onychomycosis in Indonesia :


Data obtained from three individul studies. Jpn J Med Mycol 2005; 46: 171-
6.

16. Suyoso S, Ervianti E, Sukanto H. Onikomikosis. In: Pedoman diagnosis dan


terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3ed. Surabaya: Rumah
Sakit Umum Dokter Soetomo; 2005. h. 79-83.

17. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyait kulit dan Kelamin. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2013
18. Kundu RV, Garg A. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea(Pityriasis)
versicolor, and Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw-Hill.
2012.p.2298-2311.
19. Adiguna MS. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2011.
20. Wiratma MK. Laporan kasus tinea kruris pada penderita diabetes melitus.
Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2011.
21. Yadav A, Urhekar AD, Mane V, Danu MS, Goel N, Ajit KG. Optimization
and isolation of dermatophytes from clinical samples and in vitro antifungal
susceptibility testing by disc diffusion method. Journal of Microbiology and
Biotechnology. 2013; 2(3)19-34.
22. Abdelal EB, Shalaby MAS, Abdo HM, Alzafarany MA, Abubakr AA.
Detection of dermatophytes in clinically normal extra- crural sites in
patients with tinea cruris. The Gulf Journal of Dermatology and
Venereology. 2013; (20)1: 31-9.
23. Haber M. Dermatological fungal infections. Canadian Journal of Diagnosis
University of Calgary’s. 2007.
24. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of
Dermatology, 4 Volume Set. 8 edition. Chichester, West Sussex, UK ;
Hoboken, NJ: Wiley-Blackwell; 2010. 4432 p.

25. Cohen MS, Anderson DJ. Genitourinary Mucosal Defenses. Dalam :


Holmes KK, Sparling PF, Mardh PA, et al, editors. Sexually Transmitted
Disease. 6rd ed. USA : McGraw-Hill;2009.h.203-15

26. Brooks G.F., Carrol K.C., Butel J.S., & Morse S.A. Medical
Microbiology. 24th ed, Mc Graw Hill, 2007 : 642-5.

Anda mungkin juga menyukai