Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Faktor yang mempengaruhi suatu ekosistem pertanian sangat beragam,
tetapi secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga pengaruh besar: pengaruh
praktek atau perlakuan budidaya, pengaruh kondisi alami, dan pengaruh kegiatan
manusia. Dari ketiga pengaruh itu, yang relatif dapat dikendalikan atau ditangani
oleh seorang ahli pertanian adalah praktek dan perlakuan budidaya. Usaha untuk
menetralkan kondisi alam juga banyak dilakukan, tetapi tingkat kendalinya amat
terbatas. Sementara pengaruh kegiatan manusia acapkali di luar jangkauan ahli-
ahli pertanian, karena selain wewenangnya tidak sampai, di Indonesia kepakaran
ahli jarang dipergunakan sebagai landasan penentuan kebijakan dan pengambilan
keputusan.
Secara rinci sebenarnya pengaruh tersebut bersifat timbal-balik, sehingga
lebih merupakan interaksi-saling tindak-antara agroekosistem dan lingkungan atau
ekosistem lain yang ada di sekelilingnya. Saling tindak ini bersifat dinamik dan
progresif, tetapi apabila agroekosistem tidak lagi mampu menyeimbangkan
pengaruh-pengaruh tersebut, maka akan terjadi kondisi regresif. Dalam kondisi ini
agroekosistem mengalami kemunduran, tidak produktif dan dinamikanya menuju
ke degradasi ekosistem. Seringkali hal tersebut terjadi karena tidak terkendalinya
faktor pengaruh kegiatan manusia, kadang-kadang juga oleh kondisi alam yang
ekstrim (bencana alam, kondisi cuaca yang tetap berkepanjangan dll.). Namun
dapat juga hal itu terjadi karena praktek budidaya yang salah, yang tidak sesuai
lingkungan, yang tidak melihat ke depan, atau ringkasnya, yang tidak menjamin
kelestarian usaha pertanian (non-sustainable).
Sebagai ahli pertanian, pertimbangan praktek budidaya agar agroekosistem
menuju ke sistem yang lestari atau sustainable harus diperhitungkan secara
optimal. Kelestarian atau keberlanjutan ini menyangkut aspek-aspek ekonomi,
budidaya, sosial, lingkungan, dan pada akhirnya juga hukum dan politik. Mungkin
seorang ahli pertanian tidak akan bertindak pada semua aspek yang

1
bersalingtindak menyusun kelestarian agroekosistem tersebut, tetapi tahu dan
sadar bahwa dinamika agrosekosistem yang berlanjut tergantung kepada semua
aspek di atas sama pentingnya dengan bertindak.
Praktek budidaya adalah tindakan yang langsung diterapkan pada lahan pertanian,
maupun pada tumbuhan dan tanaman yang berada pada lahan ybs. Ketika usaha
pertanian sudah bergerak dari sifat subsisten ke sifat usaha ekonomi, maka
praktek budidaya pun ditingkatkan untuk memperoleh tidak hanya kualitas dan
kuantitas produksi, namun juga nilai dan nilai tambah hasil atau produk pertanian.
Pada usaha subsisten memilih benih dan bibit yang terbukti memberi hasil unggul
hampir pasti diikuti dengan penyelenggaraan penanaman yang lebih intensif:
pengolahan tanah, pengaturan air pengairan, penyusunan baris dan tata tanam.
Tujuannya terutama adalah diperolehnya produksi yang "memuaskan". Pada
usaha tani ekonomi, kata "memuaskan" ini diujudkan secara lebih nyata: produk
yang unggul sehingga memiliki nilai ekonomi lebih tinggi, dengan kata lain, lebih
mahal. Usaha tidak langsungnya adalah dengan meningkatkan potensi media
pertanaman, efisiensi lahan, pengaturan irigasi dll., sedang yang langsung adalah
memilih jenis yang memang menurut pengalaman menghasilkan "banyak"
(kuantitatif) dan "besar, enak" (kualitatif); menjaga agar gangguan jasad
pengganggu rendah atau tidak ada (kuantitatif) dan hasil berpenampilan baik
tanpa bekas-bekas diganggu (kualitatif).
Demikianlah, tujuan utama dalam melakukan praktek budidaya adalah produksi,
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dari segi ekonomi, dorongan untuk terus
meningkatkan hasil dalam pertanian dicapai dengan intensifikasi dan
ekstensifikasi. Di wilayah-wilayah yang hamparan tanah siap-garap (arable land)
masih luas, ekstensifikasi dilakukan dengan relatif mudah dan dengan hasil yang
sangat baik. Namun di tanah subur yang luasnya terbatas, atau terbatas karena
kondisi sosial, maka ekstensifikasi dapat melebar ke wilayah-wilayah yang
seharusnya tidak boleh dijamah: lereng-lereng pegunungan, wilayah penyangga
air, wilayah dengan suksesi lambat; bahkan cagar alam dan kawasan hutan
lindung dapat pula diubah-paksa menjadi wilayah tanah garapan.
Sementara itu di tanah-tanah yang luasnya terbatas, peningkatan hasil dilakukan

2
dengan intensifikasi, sehingga praktek dan perlakuan budidaya yang
dimaksimalkan. Pada umumnya ini berarti masukan yang lebih banyak lagi sarana
produksi seperti bahan-bahan kimia pertanian. Dorongan untuk memperoleh laba
yang sebanyak-banyaknya pada suatu luas hamparan yang makin lama makin
sempit sebetulnya malahan menggiring kebanyakan petani pada kondisi lingkaran
setan. Masukan yang diberikan tidak memberikan keuntungan ekonomi sama
sekali, tetapi membawa kemunduran dan degradasi lahan maupun lingkungan.
Dalam jangka panjang kerugian yang diderita amat menyeluruh, pada jangka
pendek sebenarnya keuntungan yang diperoleh pun tidak sebanding dengan usaha
yang dilakukan. Dengan kata lain: rugi.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan agroekosistem?
1.2.2 Bagaimana sumber daya lahan dapat mengalami penurunan?
1.2.3 Bagaimana Struktur agroekosistem?
1.2.4 Apa saja fungsi dalam agroekosistem?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mampu menjelaskan pengertian agroekosistem.
1.3.2 Mampu menjelaskan penurunan sumber daya lahan.
1.3.3 Mampu menjelaskan struktur agroekosistem.
1.3.4 Mampu menjelaskan fungsi dalam agroekosistem.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Agroekosistem


Dalam pengertian Agroekosistem, banyak pendapat yang mengungkapkan
tentang pengertian agroekosistem. Ada yang berpendapat bahwa agroekosistem
adalah sistem interaksi antara manusia dengan lingkungan biofisik, sumber daya
pedesaan, dan pertanian guna meningkatkan kelangsungan hidup penduduknya.
(Anonymous, 2010). Pendapat lain menyebutkan bahwa agroekosistem dapat
diartikan pula sebagai suatu unit yang tersusun oleh semua organism di dalam
areal pertanaman bersama-sama dengan keseluruhan kondisi lingkungan yang
telah dimodifikasi oleh manusia, misalnya pertanian, industri, tempat rekreasi, dan
aktivitas social manusia lainnya. (Anonymous, 2010). Agroekosistem adalah
sebuah sistem lingkungan yang telah dimodifikasi dan dikelola oleh manusia
untuk kepentingan produksi pangan, serat dan berbagai produk pertanian lain
(Conway, 1987).
Dari tiga pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa agroekosistem
merupakan suatu ekosistem alami yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk
mempertahankan kehidupan dan tersusun makhluk hidup (biotik) dan makhluk tak
hidup (abiotik). Manusia, dalam hal ini memiliki peran penting yang berperan
sebagai petani, melakukan intervensi terhadap sistem lingkungan dengan tujuan
utama meningkatkan produktivitas sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan
hidup bagi keluarganya. Dalam perspektif yang lebih luas, peran yang juga ikut
dalam mendukung intervensi adalah masyarakat, yang dikarenakan untuk
menghasilkan pangan dengan harga yang terjangkau bagi mereka-mereka yang
tidak bekerja di sektor pertanian, seperti halnya para pekerja di sektor-sektor
industri, dan lain sebagainya.
Ekosistem alam (nature ecosystem) memiliki lingkup dan pengertian yang
berbeda dengan agroekosistem. Dalam agroekosistem, penggunaan sumber energi
tidak hanya menggunakan sumber energi pada sinar matahari, air dan nutrisi
tanah, akan tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain yang sudah

4
dikonsolidasikan oleh manusia, seperti pupuk, pestisida, teknologi dan lain
sebagainya. Hal lain yang membedakan adalah tingkat keanekaragaman hayati
pada agroekosistem cenderung rendah, didominasi oleh varietas-varietas yang
seragam, serta kontrol dikendalikan oleh faktor eksternal, dalam hal ini manusia,
bukan oleh feedback system sebagaimana yang terjadi pada ekosistem alam.
Dengan hal ini, dalam agroekosistem, manusia adalah faktor yang memegang
peranan sangat penting untuk menglola dan memanfaatkan agroekosistem yang
ada.
Atas dasar itu, maka sebagaimana yang ditulis Rambo (1983), untuk
menganalisis agroekosistem perlu diarahkan pada proses interaksi antara dua
sistem yang menjadi penopang utama, yakni system sosial (social system) dan
ekosistem alam(natural ecosystem). Conway (1987) memperkenalkan kepada kita
tentang sistem properti yang penting untuk diperhatikan dalam setiap analisis
agroekosistem, yaitu: produktivity, stability, sustainability, dan equitability,
dengan kata lain keempat hal di atas merupakan empat aspek yang ada dalam
agroekositem. Dengan memperhatikan sistem property atau aspek ini,
menurutnya, pengelolaan agroekosistem dapat terkontrol sedemikian rupa
sehingga bisa memberikan kontribusi optimal pada sistem sosial tanpa harus
menghancurkan ekosistem alam. Berangkat dari gagasan Rambo dan Conway
tersebut, setidaknya ada tiga komponen analisis penting dalam sebuah
agroekosistem, pertama: unsur-unsur yang menopang sistem produksi atau sering
disebut sebagai faktor produksi (modal, tenaga kerja, sumber daya fisik
dll); kedua model interaksi dari unsur-unsur penopang sistem (harmoni,
disharmoni atau gabungan antara keduanya); dan yang ketiga adalah arah dan
kecenderungan dari sistem (sustainabilitas, stabilitas, produktivitas dll).
Agroekosistem, dengan demikian ditopang oleh dua system yang saling
berinteraksi dan mempengaruhi, yakni sistem natural dan sistem sosial. Beberapa
komponen natural dalam agroekosistem antara lain meliputi faktor-faktor biofisik
seperti tanah, air, iklim, tumbuhan, hewan dan lain sebagainya yang satu sama lain
berinteraksi dalam suatu mekanisme tertentu sehingga perubahan pada komponen
yang satu akan berpengaruh pada keberadaan komponen yang lain. Misalnya saja,

5
perubahan iklim yang mengarah pada tingkat kekeringan tertentu akan
berpengaruh pada ketersediaan air di dalam tanah, yang pada gilirannya juga akan
memberikan pengaruh pada sebaran tumbuhan dan hewan yang ada di atasnya.
Demikian juga dengan sistem sosial, beberapa komponen demografi, organisasi
sosial, ekonomi, institusi politik dan sistem kepercayaan Rambo, (1983) adalah
hal- sosial seperti hal yang saling memberikan pengaruh pada terbentuknya
karakter tertentu, daya tahan, stabilitas dan tingkat kemajuan.
Sementara itu, interaksi antara system sosial dan system natural dalam
sebuah agroekosistem juga saling memberikan pengaruh. Perubahan pada system
natural akan berpengaruh pada system sosial, dan sebaliknya perubahan dalam
system sosial juga akan memberikan pengaruh pada system natural. Contoh
menarik untuk hal ini adalah laporan Jacobson dan Adams (1953) tentang
kemunduran kebudayaan Mesopotamia yang diyakini terjadi akibat meningkatnya
kadar garam pada kanal-kanal irigasi mereka; dan laporan Drew (1983) tentang
meningkatnya kerusakan ekosistem pegunungan di Eropa sejak dipergunakannya
alat-alat pertanian dari logam di sana.
Dalam hal ini, Geerzt (1963) membedakan agroekosistem di Indonesia
menjadi dua, yakni agro-ekosistem intensif di jawa dan agro-ekosistem ekstensif
di luar jawa. Apa yang dinamakan sebagai agroekosisem intensif, menurut Geertz,
adalah sebuah agroekosistem yang didominasi oleh tanaman tunggal yang
terbuka, sangat tergantung pada mineral yang dibawa air sebagai bahan
makanannya (oleh karenanya pada tahap tertentu juga memerlukan intervensi
bangunan air), memiliki keseimbangan yang relative stabil, dan cenderung
mengatasi tekanan penduduk dengan cara memusatkan. Salah satu contoh dari
agroekosistem intensif ini adalah sawah yang banyak terdapat di Jawa. Sementara
itu yang dinamakan sebagai agroekosistem ekstensif adalah sebuah agroekosistem
yang memiliki tingkat keragaman tanaman cukup tinggi, bersifat tertutup,
peredaran zat-zat makanan yang menopang sistem terjadi melalui mekanisme
kehidupan (biotis), memiliki tingkat keseimbangan tinggi dan cenderung
mengatasi tekanan jumlah penduduk dengan cara menyebarkan. Contoh dari
model agroekosistem seperti ini adalah ladang-ladang tebas bakar yang banyak

6
terdapat di luar Jawa. Kendatipun demikian, menurut Geertz, baik sawah maupun
ladang pada dasarnya adalah sebuah usaha untuk mengubah ekosistem alam
sehingga dapat menaikkan arus energy ke manusia. Persawahan mencapai hal ini
dengan cara mengolah kembali alam sekitar, sedangkan perladangan dengan cara
meniru alam sekitar.

Gambar 1. Hubungan agroekosistem dengan ekosistem alami


Manusia telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mulai mengenal
pemukiman. Mereka membersihkan hutan dan lahan rumput untuk mengusahakan
tanaman bahan makanan dan bahan makanan ternak untuk dirinya dan ternaknya
melalui berbagai pengalaman. Mereka mengembangkan pertanian dengan
membersihkan tanah, membajaknya, menanam tanaman musiman dan
memberikan unsur-unsur yang diperlukan, seperti pupuk dan air. Setelah
menghasilkan kemudian dipanen. Sejak menebar benih sampai panen tanaman
pertanian sangat tergantung alam, gangguan iklim, hama dan penyakit.
Agroekosistem (ekosistem pertanian) ditandai oleh komunitas yang
monospesifik dengan kumpulan beberapa gulma. Ekosistem pertanian sangat peka
akan kekeringan, frost, hama/penyakit sedangkan pada ekosistem alam dengan

7
komunitas yang kompleks dan banyak spesies mempunyai kemampuan untuk
bertahan terhadap gangguan iklim dan makhluk perusak. Dalam agroekosistem,
tanaman dipanen dan diambil dari lapangan untuk konsumsi manusia/ternak
sehingga tanah pertanian selalu kehilangan garam-garam dan kandungan unsur-
unsur antara lain N, P, K, dan lain-lain. Untuk memelihara agar keadaan
produktivitas tetap tinggi kita menambah pupuk pada tanah pertanian itu. Secara
fungsional agroekosistem dicirikan dengan tingginya lapis transfer enersi dan
nutrisi terutama di grazing food chain dengan demikian hemeostasis kecil.
Kesederhanaan dalam struktur dan fungsi agroekosistem dan
pemeliharaannya untuk mendapatkan hasil yang maksimum, maka menjadikannya
mudah goyah dan peka akan tekanan lingkungan seperti kekeringan, frost,
meledaknya hama dan penyakit dan sebagainya. Peningkatan produksi pertanian
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat akhir-akhir ini
dihasilkan satu tehnologi antara lain : mekanisasi, varietas baru, cara pengendalian
pengganggu, pemupukan, irigasi dan perluasan tanah dengan membuka hutan dan
padang rumput.
Semua aktivitas pertanian itu menyebabkan implikasi ekologi dalam
ekosistem dan mempengaruhi struktur dan fungsi biosfere. Peningkatan hasil
tanaman dimungkinkan melalui cara-cara genetika tanaman dan pengelolaan
lingkungan dengan menyertakan peningkatan masukan materi dan enersi dalam
agroekosistem. Varietas baru suatu tanaman dikembangkan melalui program
persilangan dan saat akan datang dapat diharapkan memperoleh varietas baru
melalui rekayasa genetika yang makin baik. Varietas baru mempunyai syarat-
syarat kebutuhan lingkungan dan ini penting untuk diketahui ekologinya sebelum
disebarkan ke masyarakat dengan skala luas. Pengelolaan lingkungan
menimbulkan beberapa persoalan pada erosi tanah, pergantian iklim, pola drainase
dan pergantian dalam komponen biotik pada ekosistem.

8
2.2 Penurunan Sumber Daya Lahan (Degradasi Sumber Daya lahan)
Sumberdaya lahan saat ini mengalami penurunan (degradasi). Penurunan
sumberdaya lahan dapat menyebabkan beberapa masalah, diantaranya banjir,
longsor, kebakaran, gagal panen, produksi berkuran, suplai air bersih berkurang,
padamnya listrik, banyak lahan produktif yang berkurang, dan lain sebagainya
yang menunjukkan adanya penurunan di tingkat lahan (plot) maupun taman baik
sekala nasional maupun global. Masalah-masalah ini berhubungan dengan hal-hal
dibawah ini, yaitu:
a. Terganggunya fungsi hidrologi DAS ( jumlah dan kualitas air)
b. Menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan hara dan kandungan
bahan organic tanah
c. Menurunnya kualitas udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (CO 2,
N2O, CH4) melebihi daya serap daratan dan lautan.
d. Berkurangnya tingkat keindahan lanskap
e. Berkurangnya tingkat biodiversitas flora dan fauna baik di atas tanah maupun
di bawah tanah.
Penurunan sumber daya lahan dapat dibedakan secara kuantitatif dan
kualitatif. Secara kuantitatif bahwa telah terjadi penurunan jumlah sumber daya
lahan yang dapat di manfaatkan oleh manusia. Hal ini terjadi karena adanya
peralihan guna lahan hutan menjadi lahan pertanian (intensif) dengan masukan
yang berlebihan. Hal lain yang dapat terjadi adalah adanya kecenderungan
perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi pemukiman terutama di
wilayah perkotaan menunjukkan semakin menurunnya sumber daya lahan, karena
dengan berubahnya lahan menjadi pemukiman, maka menjadikan sumber daya
alam tidak dapat diperbaharui. Sifat permanen dari pemukiman menjadikan lahan
permukiman tidak lagi produktif, hal tersebut akan berbeda apabila lahan tetap
dibiarkan menjadi lahan pertanian, maka lahan sebagai sumber daya alam yang
memiliki produktvitas tinggi dapat dimanfaatkan oleh manusia dengan berbagai
variasi maupun rotasi seperti dari lahan sebagai sawah, dan dari kebun kemudian
dihutankan dan sebagainya.

9
Pada tahun 1977 State of World Environment Report (UNEP),
memperingatkan bahwa, tanah yang dapat ditanami terbatas, hanya ± 11%
permukaan bumi dapat diusahakan untuk pertanian. Secara total 1.240 juta ha
untuk populasi 4.000 juta (rata-rata 0,31 ha/orang). Area ini pada tahun 2.000
akan tereduksi sampai hanya tinggal 940 juta ha dengan populasi penduduk dunia
6.250 juta. Sehingga perbandingan lahan/orang tinggal 0,15 ha saja. Ini
merupakan suatu peringatan dan memerlukan perhatian segera.
Sebab-sebab semakin kecilnya tanah yang dapat ditanami antara lain :
a. Pemotongan vegetasi/penggundulan sehingga tanah terbuka sehingga
b. mudah tererosi air dan angin.
c. Mekanisasi pertanian dan penggunaan pupuk organik yang menggemburkan
tanah dan membuatnya peka terhadap erosi.
d. Irigasi tanpa diimbangi dengan drainase yang mengakibatkan terbentuknya
lapisan kedap air dan tanah menjadi kekurangan air. Lebih dari 300.000 ha
tanah yang dapat ditanami dirugikan karena salinisasi dan kebanjiran setiap
tahun.
e. Pengerjaan tanah yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan erosi.
f. Urbanisasi.
Hal yang disebutkan di atas merupakan situasi yang dibuat oleh manusia
dan dia sendiri sebenarnya dapat mengendalikannya/mencegahnya melalui
pengelolaan agroekosistem berdasarkan prinsip-prinsip ekologi. Studi ekologi
ekosistem tanah pertanian disertai dengan pengetahuan autekologi tanaman dan
gulma dengan dilengkapi watak pertumbuhannya dan sifat kompetitifnya.
Hubungan tanaman-gulma pada tingkat intra dan antar spesies memerlukan
informasi, yang berguna untuk praktek agronomi kita.
Hubungan tanah-tanaman merupakan aspek lain yang memerlukan data
untuk pengelolaan subsistem tanah dalam maksud memulihkan tingkat kesuburan
tanah yang maksimum. Pengetahuan pergantian komponen fisik, kimia dan
biologi tanah pertanian di bawah pola tanam yang berbeda sangat penting untuk
pengelolaan ekosistem. Penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida berpengaruh
terhadap ekosistem dengan skala luas berpengaruh terhadap lapisan Ozon di

10
Stratosfer. Kebanyakan pestisida/herbisida merubah sifat fisik, kimia dan biologi
subsistem tanah.
Beberapa bahan kimia mengalir ke kolam dan sungai dengan demikian
mempengaruhi flora dan fauna ekosistem air tawar. Revolusi hijau dalam 1970
membawa pergantian pandangan pertanian kita. Siapnya tanah yang dapat diairi
dan air pengairan menjadi tidak cukup dan sekarang hampir terjadi keduanya di
daerah yang sama. Kesuburan jangka panjang tanah pertanian yang stabil
(mantap) dibahayakan tidak hanya oleh pengetahuan yang sedikit tentang efek
tekanan kimia, ekologi dan mekanisasi dalam intensifikasi tetapi juga tekanan
populasi langsung antara lain overgrazing, penggundulan, penanaman di daerah
dengan kemiringan yang berbahaya, urbanisasi tanah pertanian utama dan
pengaruh sampingan langsung dan tidak langsung.
Laporan UNEP (1977) tentang gambaran keadaan lingkungan kurangnya
makanan terutama protein sekarang terjadi dengan implikasi yang mencemaskan,
dua hal yang kelaparan dan untuk kestabilan politik dunia. Situasi hari ini dengan
pola distribusi penduduk seperti itu yaitu perkembangan kota dengan lebih banyak
manusia dan kurang memproduksi makanan memaksa mereka impor bahan
makanan dari negara terbelakang.
Menurunnya sumberdaya lahan dapat terjadi dari karena hal-hal di bawah ini:
a. Perusakan hutan / illegal logging
Tanaman hutan memiliki manfaat sebagai daya serap tanah dan dapat menampung
serta menahan air. Dengan adanya perusakan hutan, maka tidak ada lagi yang mampu
menahan dan menyerap air, sehingga akan mengakibatkan:
 Terjadinya erosi tanah
 Rusaknya fungsi hidrologis hujan,
 Menurunnya keanekaragaman hayati
 Punahnya flora dan fauna tertentu.
b. Proses mekanis air hujan
Air hujan yang turun sangat deras dapat mengikis dan menggores tanah di
permukaannya, sehingga air hujan dapat membawa tanah ke hilir. Pada daerah yang tidak

11
bervegetasi, hujan lebat dapat menghanyutkan tanah berkubik-kubik. Air
hujan dapat pula membawa material lain yang terkandung di dalam tanah.
c. Tanah longsor
Tanah longsor adalah turunnya atau ambruknya tanah dan/atau
bebatuan ke bawah bukit akibat tidak adanya akar-akar pohon yang mampu
menahan tanah. Hujan deras dapat mempercepat terjadinya longsor tanah
karena tanah menjadi longgar dan berat.
d. Erosi oleh air hujan
Erosi menurunkan kualitas tanah karena erosi mengakibatkan hilangnya lapisan
permukaan atas tanah yang subur, dan seringkali hanya meninggalkan lapisan tanah regolit.
Akibat hiangnya lapisan tanah atas tersebut, horizon- horizon mineral yang tersingkap
tersebut membutuhkan waktu yang lama agar siap untuk siap menjadi media tanam suatu
tanaman. Pergerakan tanah dapat disebabkan oleh air hujan, misalnya tanah
labil yang ada di pinggir-pinggir sungai apabila tertimpa hujan lebat akan
lepas dan jatuh ke sungai.
e. Menurunnya kesubuuran tanah
Penurunan kesuburan tanah seringkali terjadi akibat kurang tepatnya pengelolaan
tanah. Agar unsure-unsur hara selalu tersedia dalam jumlah yang cukup bagi tanaman, maka
diperlukan khusus teknik-teknik pengawetan tanah.
g. Terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi)
h. Penjenuhan tanah oleh air.

12
Gambar 2. Hubungan agroekosistem dengan lingkungan.

2.3 Struktur Agroekosistem


Pada dasarnya, struktur agroekosistem tidak berbeda jauh dengan ekosistem
alam, yang tersusun atas komponen biotik dan komponen abiotik.
a. Produsen primer
Untuk mengendalikan gulma terbaik antara lain adalah dengan
mengatur daur hidup bersama dengan tanaman. Penelitian di lapangan
menunjukkan bahwa ada indikasi bahwa gulma sangat bervariasi dari
lapangan ke lapangan tergantung tipe tanaman dan musim pertumbuhan. Sifat
fisik dan kimia tanah, faktor iklim mikro di dekat permukaan tanah, dominasi
benih gulma memungkinkan adanya variasi kualitatif dan kuantitatif
dalam flora gulma di lapangan pertanian.
Gulma berkompetisi dengan tanaman pokok untuk faktor
pertumbuhannya dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil. Biomas
merupakan yang baik untuk struktur komunitas. Tidak seperti komunitas

13
alam, biomas tanaman tetap bertambah dari permulaan, stadium pertumbuhan
vegetatif sampai panen.
Nilai biomas tanaman yang diperoleh waktu panen memperlihatkan
variasi yang lebar di antara tanaman yang berbeda di pertanaman monokultur.
Kecuali ubi-ubian, perbandingan yang lebih besar penimbunan bahan kering
terjadi di batang. Akar menempati proporsi yang kecil dari keseluruhan
biomas (15-20%). Dengan demikian perbandingan akar dan batang kecil (0,1-
0,3) di tanaman pertanian. Perbandingan itu bervariasi antara 0,8 - 3,1 di
padang rumput yang didominasi oleh rumput tahunan dan legum
memperlihatkan akumulasi biomas bagian dalam tanah lebih besar.
Luas daun tanaman merupakan pengukuran terbaik untuk besarnya
fotosyntesis dan pengukuran luas daun yang lebih praktis untuk lapangan
pertanian dengan hasil ditunjukkan per unit luas lahan, ialah luas daun per
unit luas lahan (LAI). Kominitas tanaman pertanian mempunyai nilai rata-rata
antara 6 - 13 (hutan) dan 3 - 15 (rumput-rumputan). Dalam tanaman semusim
LAI terus naik dengan bertambahnya umur dan menuju puncak pada
pembungaan yang kemudian turun. Komunitas alam tidak seperti itu.Pada
serealia LAI tidak menghitung asimilasi total yang terdapat di batang dan
bulir yang memiliki khlorofil memperlihatkan secara nyata efisiensi
fotosintetik tanaman. LAI ada korelasi positif dengan produktivitas dalam
beberapa contoh produksi maksimum diperoleh bila LAI di sekitar 4.
Perhitungan lebih jauh dalam LAI tidak membawa efek positif pada
produksi bersih karena harus mengimbangi kehilangan respirasi. Sudut daun
dan posisinya berinteraksi dengan LAI dalam peranan penetrasi cahaya ke
dalam kanopi. Daun yang tegak dengan sudut yang kecil/tajam semacam
rumput-rumputan menyebabkan distribusi cahaya yang lebih efisien dalam
kanopi daripada yang horizontal.
Pola daun yang spesifik menentukan produksi komunitas tanaman
pertanian. Dari beberapa penelitian memperlihatkan bahwa arah barisan
(Utara, Selatan, Barat, Timur) dapat memberikan pengaruh pada hasil
hubungannya dengan penetrasi cahaya.

14
Khlorofil (zat hijau daun) merupakan hal penting bagi organism
autotrof yang dapat membuat makanan sendiri. Dengan adanya klorifil
cahaya matahari dapat ditangkap untuk proses fotosintesis yang selanjutnya
akan ditransfer ke seluruh bagian tanaman. Setiap tanaman hijau memiliki
kandunga klorofil yan berbeda. Kandungan khlorofil ada hubungannya
dengan produksi bahan kering, dan digunakan sebagai suatu indeks produksi
potensial produksi populasi tanaman/komunitas. Dalam hubungannya dengan
umur memperlihatkan peningkatan sampai dengan pembungaan kemudian
turun karena ada senescene dan sheding daun bawah.
Table 1. Kandungan khlorofil pada ekosistem tanaman yang berbeda (gr/m2)
Tanaman Khlorofil
Tanaman pertanian yang rapat 0,30 - 0,50
Jagung 2,66
Gandum 7,11 - 10,75
Padi 2,05 - 4,25
Stratifikasi distribusi khlorofil pada padi dan gandum menunjukkan
bahwa kandung-an khlorofil terkecil di dekat permukaan tanah dan secara
berangsur-angsur naik dengan semakin jauh dari permukaan tanah sampai
calon bulir, tetapi setelah pembungaan jumlah khlorofil di semua strata
cenderung menurun. Akumulasi khlorofil lebih besar dalam strata yang lebih
atas kemungkinan hubungannya dengan penggunaan yang lebih efisien dalam
enersi cahaya.
Kandungan enersi per unit berat jaringan dan jumlahnya dalam
phytomass menunjukkan struktur subsistem produsen dalam ekosistem.

15
Konsentrasi kalori di beberapa tanaman sebagai berikut :
Table 2. Kandungan enersi pada beberapa tanaman (K cal/gr berat kering)
Tanaman Daun Cabang Buah Akar
Jagung (India) 3,445 3,145 4,025 2,805
Jagung (Jerman) 4,045 4,155 4,291 3,192
Heliantus annus 3,404 4,014 5,014 4,611
Triticum aestivum 3,672 4,074 4,109 4,024
Phaseolus aureus 3,870 0,073 4,498 4,267
Oryza sativa 4,126 3,684 4,005 3,578
Umur tanaman dan komposisi kimia membawa pengaruh terhadap
variasi kandungan enersi. Di beberapa varietas pada kandungan enersi yang
tinggi terjadi selama pertumbuhan vegetatif dari awal. Pada gandum dan
rumput memperlihatkan konsentrasi kalori berhubungan dengan berubahnya
perbandingan lemak, karbohidrat dan protein dalam tanaman. Lemak dan
minyak merupakan organ yang diperkaya enersi. Pola akumulasi enersi di
beberapa varietas padi terjadi selama fase pertumbuhan vegetatif.
Pada permulaan menunjukkan 41 - 53% dari titik enersi diakumulasi
di helaian daun dan 16 - 23% di akar. Akumulasi enersi di batang secara
bertahap meningkat sesuai dengan meningkatnya berat tanaman. Tingkat
kemasakan 85 - 90%, total enersi diperlihatkan oleh biomas dalam bentuk biji
dan daun, dan sisanya 10 - 15% berupa batang dan akar.

b. Konsumen
Konsumen dalam agroekosistem merupakan bagian penting yang
tidak bisa dipisahkan. Konsumen yang berperan adalah manusia, hama, dan
makhluk hidup lain yang ada dalam agroekosistem dan merupakan konsumen
pertama maupun kedua. Dalam hal ini, rantai makanan sangat sederhana
dengan 2-3 tingkatan trofik. Lebih-lebih dengan beberapa aktivitas
pengolahan tanah, irigasi, penyiangan dan sebagainya yang mempengaruhi
binatang dalam tanah dan kadang-kadang hal ini pengaruhnya sangat tegas

16
sehingga tercipta kondisi baru. Komunitas tanaman hanya dapat dijadikan
tempat tinggal binatang kecil yang hanya datang secara temporer.
c. Pengurai
Keberadaan pengurai dangat dipengaruhi oleh tipe pertanian yang ada
dalam agroekosistem di tempat tertentu. Bila tipe pertanian yang digunakan
adalah pertanian anorganik, maka keberadaan aktivitas dekomposer/pengurai
akan semakin dipersempit karena tidak ada atau sedikitnya bahan organik
yang ada dalam agroekosistem tersebut. Sebaliknya, dengan bertani
menggunakan bahan organik, keberadaan organisme pengurai dapat di
perluas aktivitasnya, karena keberadaan zat organik yang harus diuraikan oleh
dekomposer.
d. Abiotik
Seperti halnya diatas, praktek bercocok tanam yang berbeda dapat
menyebabkan komposisi fisik dan kimiawi tanah yang berbeda. Tanah
merupakan komponen abiotik yang paling banyak dibuthkan dalam
agroekosistem. Dengan tanah, banyak hal dan banyak organisme yang
tumbuh dan hidup di dalam maupun diatas tanah. Selain tanah, komponen
abiotik yang berperan adalah cahaya matahari, suhu, kelembaban, dan curah
hujan.

2.4 Fungsi Dalam Agroekosistem


a. Produktivitas primer
Dari tinjauan produktivitas organik dengan masukan enersi,
agroekosistem dunia saat ini menghasilkan ± 10 milyar ton bahan
kering/tahun.
Cahaya matahari yang masuk ke kanopi tanaman digunakan dalam
proses fotosintesis yang menghasilkan kekuatan dalam produktivitas organik.
Penelitian dari beberapa disiplin menghasilkan suatu kesimpulan bahwa
sekarang ada 3 mekanisme fotosintesis ialah siklus Kelvin, C 4 - asam
dekarboksilat dan metabolisme asam grasulacean. Sejumlah tanaman penting
(jagung, gula, shorgum dan sebagainya) mempunyai jalur C4. Produktivitas

17
bersih tanaman C4 lebih tinggi dari tanaman siklus Kelvin. Tanaman selama
puncak musim pertumbuhan mengkonversi 6 - 8% total enersi sinar matahari
ke bahan organik dalam produksi kotor. Produksi bersih rata-rata ½ produksi
kotor itupun hanya 50% yang dapat untuk heterotrop (hewan dan manusia).
Efisiensi konversi enersi berbeda karena :
- beda varietas
- musim pertumbuhan
- kondisi pertumbuhan/pertanaman

Table 3. Hubungan antara enersi solar dan produksi bersih/kotor (K cal/cm2/hr)


Tanaman Radiasi Solar Prod. Bersih Prod. Kotor Author’s
Gula (Hawai) 4.000 190 306 Montieth, ‘65
Jagung (Israel) 6.000 190 405 Montieth, ‘65
Gula bit (Ingg.) 2.650 144 202 Montieth, ‘65
Gandum (India) 1.567 43 55 Dwivedi, ‘70
Padi (India) 2.904 60 - Singh, MK, ‘74
Sumber : K.C. Misra (1980)

Di samping cahaya dan suhu, sebagai pengendali produksi bersih dalam


agro-ekosistem adalah kelembaban tanah, nutrisi dan kompetisi baik intra/antar
spesies. Untuk lebih mendalami variasi produksi bahan kering kita perlu
mengetahui beda varietas dan kondisi lingkungan dengan analisis pertumbuhan
(growth analysis) yaitu dengan mendeterminasi :
1. Laju asimilasi per unit luas daun (NAR)
2. Laju produksi bahan kering per unit berat bagian tanaman (RGR)
3. Luas daun per unit luas lahan (LAI)
RGR menentukan produktivitas, nilai tertinggi pada fase vegetatif awal
untuk menuju NAR yang lebih besar. Tetapi NAR turun karena adanya peneduhan
daun pada puncak periode pertumbuhan vegetatif, RGR menunjukkan menurun
tajam. Penurunan RGR diimbangi dengan peningkatan LAI dan NPP. Pada waktu
tanaman mendekati masak, ukuran relatif akan turun dan juga efisiensi

18
asimilasinya karena adanya sheding dan senescence yang memungkinkan RGR
turun dengan tajam juga NPP.
Pada tanaman semusim yang merupakan dasar tanaman pertanian
menunjukkan produktivitas/kesatuan luas relatif rendah karena tanaman semusim
hanya produktif untuk masa kurang dari 6 bulan. Penanaman ganda dengan
menggunakan 2 - 3 tanaman yang produksinya sepanjang tahun dapat mendekati
produktivitas kotor komunitas alam yang terbaik.
Suatu perbandingan produktivitas primer bersih musiman komunitas
terestrial memperlihatkan sedikit lebih tinggi untuk tanah yang diusahakan. Lebih
tingginya produktivitas bersih di agroekosistem karena adanya tambahan masukan
enersi, nutrisi, perbaikan genetika tanaman pertanian dan tindakan pengendalian
serangga.
Table 4. Produksi primer bersih musiman (t/ha) komunitas terestrial
Komunitas Produksi Author’s
hutan musim tropik 15,50 Misra, 1972
Padang rumput 7,44-23,13 Singh, J.S., 1967
Jagung/Gandum 24,45 Misra dan Pandey, ‘72

19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penelasan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Agroekosistem merupakan kesatuan dari ekologi tanaman yang dewasa ini
diaplikasikan pada pertanian.
b. Agroekosistem memiliki perbedaan dengan ekosistem alam.
c. Agroekosistem dibagi menjadi agrosistem intensif dan ekstensif.
d. Agroekosistem dapat berdapampak pada ekosistem alami.
e. Agroekosistem tersusun atas komponen abiotik dan biotic.
f. Penurunan sumber daya lahan dapat disebabkan oleh kegiatan manusia
sendiri.
g. Fungsi dalam agroekosistem yang berupa produktivitas yang akan
menentukan tingkat keberhasilan dalam agroekosistem.
h. Semua hal tersebut sangat berkaitan erat. Terutama demi terjaganya
eksistem dan ekologi lingkungan. Termasuk di dalamnya ekologi tanaman,
dan lebih khususnya agroekosistem.

20
DAFTAR PUSTAKA

ahahermanto.wordpress.com/.../aspek-aspek-dalam-agroekoekosistem. diakses
pada 1 maret 2013.
Barraclough dan Ghimire. 2000. Agricultural Expansion and Tropical
Deforestation: Poverty, International and Land Use. UK dan USA,
Earthscan Publications Ltd.
fp.uns.ac.id/~hamasains/ekotan%208.htm diakses tanggal 1 maret 2013.
Hanum, Chairani. 2009. Ekologi Tanaman. Sumatera : USU Press.
Jaulex . org/ index. Php/ component/ content/ article/44-tajuk/43-agroekosistem-sebuah
catatan-u/-proses-produksi-di-datarantinggi.html diakses tanggal 1 maret 2013.
kusumacanggih.blogspot.com/2010/11/agroekosistem.html
marno.lecture.ub.ac.id/.../KONSDEP diakses tanggal 1 maret 2013.
perkebunan.litbang.deptan.go.id. diakses tanggal 1 maret 2013.
sustainableag.unl.edu/.../chapter2.pdf. diakses tanggal 1 maret 2013.

21

Anda mungkin juga menyukai