Anda di halaman 1dari 14

BAB II

GEOLOGI DAN KEADAAN ENDAPAN

2.1. Geologi Regional

Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian selatan,
yaitu zona plato. Bagian utara dan timur Kulon Progo ini dibatasi oleh dataran
pantai Samudera Indonesia dan bagian barat laut berhubungan dengan
Pegunungan Serayu Selatan.

2.1.1. Topografi/Batimetri

2.1.2. Litologi
2.1.3. Struktur Geologi
2.2. Geologi Lokal
2.2.1. Topografi/Batimetri
2.2.2. Litologi
2.2.3. Struktur Geologi
2.3. Geologi
2.3.1. Fisiografi dan Geomorfologi Regional
2.3.2. Stratigrafi
Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo merupakan tinggian
yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat dan
Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada
pembagian tektofisiografi wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Yang mencirikan
tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya gunung api purba yang timbul dan tumbuh
di atas batuan paleogen, dan ditutupi oleh batuan karbonat dan napal yang
berumur neogen. Dalam stratigrafi regional mengenai daerah fieldtrip, dibahas
umur batuan berdasarkan batuan penyusunnya, untuk itu perlu diketahui sistem
umur batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut antara lain :
1. Sistem Eosen

II-21
Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung, napal, napal
pasiran, batu andesit , serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun
moluska. Sistem eosen ini disebut “Nanggulan group”. Tipe dari sistem ini
misalnya di Desa Kalisongo, Nanggulan Kulon Progo, yang secara
keseluruhannya tebalnya mencapai 300 m. Tipe ini dibagi lagi menjadi empat
yaitu “Yogyakarta beds”, “Discoclyina”, “Axiena Beds” dan Napal
Globirena, yang masing - masing sistem ini tersusun oleh batu pasir, napal,
napal pasiran, lignit dan lempung. Di sebelah timur ”Nanggulan group” ini
berkembang facies gamping yang kemudian dikenal sebagai gamping eosen
yang mengandung fosil foraminifera, colenterata, dan moluska
2. Sistem Oligosen – Miosen
Sistem oligosen – miosen terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang memuncak
dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang berupa letusan
dan dikeluarkannya material – material piroklastik dari kecil sampai balok
yang berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian material ini disebut Formasi
andesit tua, karena material vulkanik tersebut bersifat andesitik, dan terbentuk
sebagai lava andesit dan tuff andesit. Sedang pada sistem eosen, diendapkan
pada lingkungan laut dekat pantai yang kemudian mengalami pengangkatan
dan perlipatan yang dilanjutkan dengan penyusutan air laut. Bila dari hal
tersebut, maka sistem oligosen – miosen dengan Formasi andesit tuanya tidak
selaras dengan sistem eosen yang ada dibawahnya. Diperkirakan ketebalan
istem ini 600 m. Formasi andesit tua ini membentuk daerah perbukitan
dengan puncak – puncak miring.
3. Sistem Miosen
Setelah pengendapan Formasi andesit tua daerah ini mengalami
penggenangan air laut, sehingga Formasi ini ditutupi oleh Formasi yang lebih
muda secara tidak selaras. Fase pengendapan ini berkembang dengan batuan
penyusunnya terdiri dari batu andesit reef, napal, tuff breksi, batu pasir, batu
andesit globirena dan lignit yang kemudian disebut Formasi Jonggrangan,
selain itu juga berkembang Formasi sentolo yang Formasinya terdiri dari batu
andesit , napal dan batu andesit konglomeratan. Formasi Sentolo sering

II-22
dijumpai kedudukannya diatas Formasi Jonggrangan. Formasi Jonggrangan
dan Formasi Sentolo sama – sama banyak mengandung fosil foraminifera
yang beumur burdigalian – miosen. Formasi – Formasi tersebut memiliki
persebaran yang luas dan pada umumnya membentuk daerah perbukitan
dengan puncak yang relatif bulat. Diakhir kala pleistosen daerah ini
mengalami pengangkatan dan pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan
vulkanik dimana pembentukan tersebut berlangsung terus – menerus hingga
sekarang yang letaknya tidak selaras diatas formasi yang terbentuk
sebelumnya.

Gambar 2.5
Stratigrafi Pegunungan Baturagung dan Perbukitan Jiwo (dimodifikasi dari
Sudarno, 1997)

II-23
Berdasarkan sistem umur yang ditentukan oleh penyusun batuan
stratigrafi regional menurut Wartono Rahardjo dkk (1977), Wirahadikusumah
(1989), dan Mac Donald dan partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi
menjadi 4 formasi, yaitu :
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan
lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu
andesit dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan
300 m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur Formasi
nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap
di daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian Timur Kali Progo. Formasi
Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari
abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya
berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
b. Yogyakarta Beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras
denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung yang
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta
beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
c. Discocyclina Beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta
beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang
terinteklasi dengan batu andesit dan tuff vulakanik, kemudian
terinterklasi lagi dengan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada
discocyclina beds adalah discocyclina.
2. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang
tersingkap di Daerah Kulon Progo. Formasi ini diendapkan secara tidak

II-24
selaras dengan Formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m.
Diperkirakan Formasi ini Formasi ini berumur oligosen – miosen.
3. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi,
batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian
atasnya terdiri dari batu andesit kelabu bioherm diselingi dengan napal dan
batu andesit berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini
tidak selaras dengan Formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini
diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah
poraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
4. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan
dan batu andesit , dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan.
Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak Formasi initak selaras dengan
Formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah
sampai pleistosen.
Sedang menurut Van Bemellen Pegunungan Kulon Progo
dikelompokkan menjadi beberapa Formasi berdasarkan batuan penyusunnya.
Formasi tersebut dimulai dari yang paling tua yaitu sebagai berikut :
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan
lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu
andesit dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan
300 m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur Formasi
nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap
di daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian Timur Kali Progo. Formasi
Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari
abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya
berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.

II-25
b. Yogyakarta Beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras
dengan ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung yang
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta
beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
c. Discocyclina Beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta
beds dengan ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang
terinterklasi dengan batu andesit dan tuff vulakanik, kemudian
terinterklasi lagi dengan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada
discocyclina beds adalah discocyclina.
2. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang
tersingkap di Daerah Kulon Progo. Formasi ini diendapkan secara tidak
selaras dengan Formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m.
Diperkirakan Formasi ini Formasi ini berumur oligosen – miosen.
3. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi,
batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian
atasnya terdiri dari batu andesit kelabu bioherm diselingi dengan napal dan
batu andesit berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak Formasi ini
tidak selaras dengan Formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini
diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat pada Formasi ini ialah
poraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
4. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan
dan batu andesit , dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan.
Ketebalan Formasi ini sekitar 950 m. Letak Formasi ini tak selaras dengan
Formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah
sampai pleistosen

II-26
5. Formasi Alluvial dan gumuk pasir
Formasi ini merupakan endapan tidak selaras terhadap lapisan batuan yang
umurnya lebih tua. Litologi Formasi ini adalah batu pasir vulkanik merapi
yang juga disebut Formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir terdiri dari
pasir baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan endapan alluvialnya
terdiri dari batuan sediment yang berukuran pasir, kerikir, lanau dan lempung
secara berselang – seling.
Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri
termasuk dalam Formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang
penyusunnya berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava
andesit. Dari penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat beberapa
fosil plankton seperti Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria Yeguaensis
weinzeierl dan applin dan Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut menunjukka
batuan berumur Oligosen atas. Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
pada bagian terbawah gunung berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen
andesit tua diperkirakan berumur oligosen atas sampai miosen bawah dengan
ketebalan 660 m.
2.3.3. Struktur Geologi

Gambar 2.6
Peta Geologi Regional PT. Kalisonggo Corporation

II-27
Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang
dikelilingi oleh dataran alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja
adalah sebagai berikut :

1. Struktur Dome
Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan
merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km mengarah NE –
SW dan 20 km mengarah SE – NW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu
dataran yang luas disebut jonggrangan plateu. Kubah ini memanjang dari
utara ke selatan dan terpotong dibagian utaranya oleh sesar yang berarah
tenggara – barat laut dan tertimbun oleh dataran magelang, sehingga sering
disebut oblong dome. Pemotongan ini menandai karakter tektonik dari zona
selatan jawa menuju zona tengah jawa. Bentuk kubah tersebut adalah akibat
selama pleistosen, di daerah mempunyai puncak yang relatif datar dan sayap
– sayap yang miring dan terjal. Dalam kompleks pegunungan Kulon Progo
khususnya pada lower burdigalian terjadai penurunan cekungan sampai di
bawah permukaan laut yang menyebabkan terbentuknya sinklin pada kaki
Selatan pegunungan Menoreh dan sesar dengan arah Timur – Barat yang
memisahkan gunung Menoreh dengan vulkanik gunung Gadjah. Pada akhir
miosen daerah Kulon Progo merupakan dataran rendah dan pada puncak
Menoreh membentang pegunungan sisa dengan ketinggian sekitar 400 m.
2. Unconformity
Didaerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan (disconformity)
antar Formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah dijelaskan dalam
stratigrafi regional berupa Formasi andesit tua yang diendapkan tidak selaras
di atas Formasi Nanggulan, Formasi Jonggrangan diendapkan secara tidak
selaras diatas Formasi Andesit Tua, dan Formasi Sentolo yang diendapkan
secara tidak selaras diatas Formasi Jonggrangan.

2.4. Keadaan Endapan

II-28
Keadaan, sifat, dan kualitas Batu Andesit diperoleh berdasarkan data
singkapan, sample/contoh, dan data uji laboratorium. Berdasarkan analisis
tersebut dapat diperoleh gambaran mengenai penyebaran Batu Andesit potensial
dan dapat diketahui jumlah potensi sumberdaya dan cadangan Batu Andesit yang
terdapat di lokasi tersebut. Data tersebut dapat menjadi gambaran awal
perencanaan dari suatu proses penambangan Batu Andesit tersebut.
2.4.1. Bentuk dan Penyebaran Endapan
Berdasarkan analisis data singkapan, contoh dan data uji kualitas
endapan bahan galian dapat diperoleh gambaran bentuk dan penyebaran endapan
batu andesit yang potensial serta dapat diketahui jumlah potensi sumberdaya dan
cadangan Batu Andesit dilokasi tersebut. Penyebaran batu andesit didasarkan
pada pengamatan singkapan yang sekaligus diambil contoh batuannya, Batu
Andesit terdapat disemua bagian dan tertutupi oleh lapisan tanah pucuk yang tipis
rata–rata kurang dari 30 cm.

2.4.2. Sifat dan Kualitas Endapan


Sifat dan kualitas endapan Batu Andesit yang terdapat di Dusun
Kalisonggo , Desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo
ini diketahui setelah dilakukannya pengujian di Laboratorium Program Studi
Teknik Pertambangan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta. Terdapat
tiga sampel batuan yang diambil dari lokasi daerah yang direncanakan akan
dilakukan kegiatan penambangan. Pegujian yang dilakukan baik fisik dan
mekanik dari contoh yang telah diambil dari lokasi, dimana data yang didapat
akan diolah dan hasilnya merupakan data untuk memilih metode penambangan
dan rancangan geoteknik. Adapun yang diuji di laboratorium Mekanika Batuan
Program Studi Teknik Pertambangan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
Yogyakarta adalah sebagai berikut :
1. Uji sifat fisik terdiri dari bobot isi asli, bobot isi kering, bobot isi jenuh,
apperent spesific gravity, true specific gravity, kadar air asli, kadar air jenuh,
derajat kejenuhan, porositas, angka pori.
2. Uji sifat mekanik terdiri dari uji kuat tekan uniaksial dan uji kuat geser

II-29
Sedangkan untuk mengetahui kualitas Batu Andesit dapat dilakukan
pengujian kandungan Batu Andesit yang dilakukan di Laboratorium Kimia
Analitik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Pengujian kandungan yang
dilakukan ini dilakukan untuk mengetahui besarnya kadar senyawa kimia yang
terkandung didalamnya. Pada batu andesit yang diuji adalah kadar CaO, MgO,
SiO2, CaCO3, serta mineral pengotor lainnya.

2.4.3. Sumberdaya dan Cadangan


Penaksiran sumberdaya dan cadangan adalah suatu kegiatan dalam dunia
pertambangan yang dilakukan setelah tahap eksplorasi dan sebelum dilakukan
tahap perencanaan dan perancangan penambangan.Hasil penaksiran cadangan
dapat dikatakan layak bila memenuhi persyaratan-persyaratan yaitu sesuai dengan
kondisi ekonomi, teknis, dan lingkungan. Batu Andesit termasuk adalah bahan
galian industri sehingga hasil akhir penaksiran dinyatakan dalam bentuk raw
material dalam satuan volume ataupun berat.
1. Cara penaksiran cadangan
Penaksiran cadangan digunakan untuk menentukan nilai cadangan terukur dan
terkira bahan galian tersebut yaitu batu andesit . Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Pengambilan contoh
Pengambilan contoh harus memperhatikan empat komponen yaitu: statistik,
geologi, fisik dan kimia. Komponen statistik berkaitan dengan berapa kali
pengambilan contoh dan berapa berat setiap pengambilan contoh. Komponen
geologi terkait dengan lokasi pengambilannya.
b. Penentuan daerah pengaruh
Untuk contoh yang digambarkan dalam bentuk titik maka digunakan prinsip
garis berat, sedangkan contoh yang digambarkan dalam bentuk garis digunakan
prinsip garis bagi.
c. Interpretasi daerah pengaruh
Ada tiga macam interpretasi yang perlu diperhatikan yaitu interpretasi analitis
(rule of gradual changes atau rule of nearest points), interpretasi naturalatau

II-30
intristic (terkait dengan kondisi geologi, teknologi, dan ekonomi increment),
dan interpretasi empiric (kebiasaan).
d. Ekstrapolasi daerah pengaruh
Daerah pengaruh yang diterapkan untuk titik yang terpisah, luasannya
disamakan dengan luas daerah pengaruh titik yang mengelompok.

e. Ketebalan semu dan ketebalan sebenarnya


Pengukuran ketebalan harus tegak lurus dari sumbu terpanjang dari endapan
bahan galiannya.Ketebalan semu bukan merupakan ketebalan yang sebenarnya
sedangkan ketebalan sebenarnya merupakan ketebalan yang sesungguhnya.
f. Korelasi lubang bor/test pit
Dilakukan setelah plotting posisi pengambilan conto, baik dengan cara
pemboran maupun test pit. Korelasi harus memperhatikan ketinggian
permukaan, ketebalan, dan kualitas endapan. Untuk kualitas atau jenis yang
sama dari setiap ketebalan dapat dihubungkan.
g. Perhitungan luas
Berbagai macam metode perhitungan luas masing-masing memiliki kelemahan
dan kelebihannya.
h. Perhitungan volume
Pada dasarnya, pendekatannya dapat menggunakan metode kerucut, frustum
ataupun mean area. Penentuan penggunaan frustum atau mean area tergantung
dari perbedaan anatara satu luasan dengan luasan lainnya.
i. Perataan dan pembobotan kadar
Diperlukan dalam penaksiran untuk mempermudah perhitungan kadar pada
bahan galian.
j. Cut off Grade
Merupakan batasan ekonomi antara sumberdaya dan cadangan sekaligus
berkaitan dengan batas perhitungan, Cut off Grade dapat dibedakan menjadi 2
yaitu kadar terendah dan kadar rata-rata terendah.
k. Ultimate pit slope

II-31
Digunakan sebagai penaksiran cadangan tertambang. Derajat kemiringan
lereng yang akan tertambang yang ditaksir sebagai cadangan.Ultimate pit slope
merupakan batas akhir yang harus ditinggalkan untuk tidak ditambang.
Tujuan dilakukan penaksiran untuk rancangan penambangan yang akan
dilakukan didaerah tersebut. Tahapan pekerjaan eksplorasi sebagai berikut :
 Tahap persiapan
 Tahap kerja lapangan
 Tahap pengolahan data
 Tahap pelaporan
Metode eksplorasi yang digunakan adalah metode cara langsung tepatnya
pada permukaan yaitu pemetaan langsung, penyelidikan singkapan (outcrop),
Penjajakan float (tracing float), pembuatan parit uji (trenching), pembuatan sumur
uji (test pitting). Jenis bahan galian yang ada didaerah penelitian merupakan batu
andesit , dan diklasifikasikan sebagai bahan galian industri.
Daerah yang akan direncanakan untuk ditambang adalah berupa
perbukitan Batu Andesit. Metode yang digunakan untuk penghitungan sumber
daya dan cadangan adalah metode kontur dengan menggunakan rumus-rumus
sebagai berikut:
a. Frustum
𝐿1 +𝐿2 + √𝐿1 𝑥𝐿2
V= 𝑥 𝑝𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛
3

b. Kerucut
1
V = 3 𝐿𝑎 𝑥 𝑝𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛

c. Silinder
𝐿1+𝐿2
V= 𝑥 𝑝𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛
2

Keterangan:
- V = Volume
- L1 = Luas penampang 1

II-32
- L2 = Luas penampang 2
Perhitungan sumberdaya dilakukan pada setiap elevasi dengan perbedaan
ketinggian 10 meter. Bobot isi atau densitas batu andesit adalah 1,967 gram/cm3
atau 2.38 ton/m3.

Tonase = Volume x Bobot Isi

2. Klasifikasi dan Jumlah Cadangan


Sumberdaya Mineral (Mineral resources) adalah endapan mineral yang
diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata. Sumberdaya mineral dengan
keyakinan geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan setelah dilakukan
pengkajian kelayakan tambang dan memenuhi kriteria layak
tambang.Sedangkan cadangan (reserve) adalah endapan mineral yang telah
diketahui ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas dan kualitasnya, dan yang secara
ekonomi, teknis, hukum, lingkungan, dan sosial dapat ditambang pada saat
perhitungan dilakukan.
Tabel 2.5.
Jarak Informasi Menurut Kondisi Geologi

Kondisi Sumberdaya
Kriteria
Geologi Hipotetik Tereka Tertunjuk Terukur
Jarak titik
Tidak 1000 < x ≤
Sederhana informasi 500 < x ≤ 1000 x ≤ 500
Terbatas 1500
(m)
Jarak titik
Tidak
Moderat informasi 500 < x ≤ 1000 250 < x ≤ 500 x ≤ 250
Terbatas
(m)
Jarak titik
Tidak
Kompleks informasi 200 < x ≤ 400 100 < x≤ 200 x ≤ 100
Terbatas
(m)

Klasifikasi sumberdaya dan cadangan yang diterapkan di Indonesia adalah


usulan Mc Kelvey, karena dianggap paling detil, penuh pertimbangan geologi

II-33
dan ekonomi, serta wawasannya luas tentang klasifikasi cadangan. Di
Indonesia juga dicantumkan dalam:
a. SNI Amandemen 1-SNI-13-4726-1998 tentang Klasifikasi Sumber Daya
Mineral dan Cadangan.
b. SNI Amandemen 1-SNI-13-5014-1998 tentang Klasifikasi Sumber Daya dan
Cadangan Batubara.

II-34

Anda mungkin juga menyukai