Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

CA RECTI
A. Definisi

B. Anatomi dan fisiologi


Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ke-3 sampai ke garis
anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
spinchter. Bagian spinchter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus
levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian ampula terbentang dari vertebra
sakrum ke-3 sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani. Panjang rektum
berkisar antara 10-15 cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid junction, dan 35
cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 4
lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), serta lapisan
serosa.

Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media,


dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektalis superior) merupakan kelanjutan
dari arteri mesentrika inferior, arteri ini memiliki 2 cabang yaitu dekstra dan sinistra. Arteri
hemoroidalis media (arteri rektalis media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna, dan
arteri hemoroidalis inferior (arteri rektalis inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda
interna.3,8
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan berjalan
ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui vena lienalis
dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup, sehingga tekanan dalam rongga
perut atau intraabdominal sangat menentukan tekanan di dalam vena tersebut. Hal inilah
yang dapat menjelaskan terjadinya hemoroid interna pada pasien-pasien dengan kebiasaan
sulit buang air besar dan sering mengejan. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah
ke vena pudenda interna, untuk kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem
vena kava.
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang
berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan
di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya
dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material
akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi
tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung – ujung serabut
saraf rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa feses. Sensasi rectum
ini berperan penting pada mekanisme continence dan juga sensasi pengisian rectum
merupakan bagian integral penting pada defekasi normal. Hal ini dapat digambarkan
sebagai berikut : pada saat volume kolon sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu
kontraksi dengan mengosongkan isinya ke dalam rectum. Studi statistika tentang fisiologi
rectum ini mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi rectum yaitu : (1) Simple contraction
yang terjadi sebanyak 5 – 10 siklus/menit ; (2) Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit
dengan amplitudo diatas 100 cmH2O ; dan (3) Slow Propagated Contractions dengan
frekuensi amplitudo tinggi. Distensi dari rectum menstimulasi reseptor regang pada
dinding rectum, lantai pelvis dan kanalis analis. Bila feses memasuki rektum, distensi
dinding rectum mengirim signal aferent yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang
merangsang terjadinya gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid dan
rectum sehingga feses terdorong ke anus. Setelah gelombang peristaltik mencapai anus,
sfingter ani interna mengalami relaksasi oleh adanya sinyal yang menghambat dari pleksus
mienterikus; dan sfingter ani eksterna pada saat tersebut mengalami relaksasi secara
volunter,terjadilah defekasi.Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan
intraabdominal oleh kontraksi otot–otot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis,
muskulus obliqus interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis dan diafraghma.
Muskulus puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan relaksasi
sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu diingat bahwa area anorektal membuat
sudut 900 antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga akan tertutup. Jadi pada saat
lurus, sudut ini akan meningkat sekitar 1300 – 1400 sehingga kanalis analis akan menjadi
lurus dan feses akan dievakuasi. Muskulus sfingter ani eksterna kemudian akan
berkonstriksi dan memanjang ke kanalis analis. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi
sfingter ani eksterna yang berada di bawah pengaruh kesadaran ( volunteer ). Bila defekasi
ditahan, sfingter ani interna akan tertutup, rectum akan mengadakan relaksasi untuk
mengakomodasi feses yang terdapat di dalamnya. Mekanisme volunter dari proses defekasi
ini nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat. Setelah proses evakuasi feses selesai, terjadi
Closing Reflexes. Muskulus sfingter ani interna dan muskulus puborektalis akan
berkontraksi dan sudut anorektal akan kembali ke posisi sebelumnya. Ini memungkinkan
muskulus sfingter ani interna untuk memulihkan tonus ototnya dan menutup kanalis analis.

C. Angka kejadian
Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang
muda. Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid. Di Negara barat, perbandingan insiden
pria : wanita = 3 : 1 dan kurang dari 50 % ditemukan di rektosigmoid dan merupakan
13
penyakit orang usia lanjut. Pada tahun 2002 kanker kolorektal berada pada peringkat
kedua pada kasus kanker yang dialami oleh pasien pria setelah kanker paru pada urutan
pertama, sedangkan pada pasien wanita kanker kolorektal berada pada urutan ketiga setelah
kanker payudara dan kanker leher rahim. 12. Histopatologis dari kanker kolorektal sebesar
96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4%
epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma, sedangkan untuk lokasinya, sebagian
besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon descendens
(8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal (0,28%).

D. Klasifikasi
E. Berdasarkan klasifikasi Dukes
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu pada
mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis
dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar
dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak
menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar
kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau
ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer

Gambar 13. Stadium Ca Recti I-IV


F. Berdasarkan sistem TNM
Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System*

TNM Stadium Modified Deskripsi


Dukes
Stadium
T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submucosa
T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria
T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural
T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric
T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric
T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan
Any T, M1 D Metastasis jauh
*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)

G. Etiologi
Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rectum sama
seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor predisposisi
munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial, defisiensi Imunologi, kolitis
ulseratifa, granulomartosis dan Kolitis. Faktor predisposisi penting lainnya yang mungkin
berkaitan adalah kebiasaan makan. Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi protein
hewani dan lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi.15
Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa diet rendah
serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora feces dan perubahan
degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari
zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang
berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses
meningkat. Akibatnya kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus
bertambah lama.
Penyebab nyata dari kanker kolon dan rektal tidak diketahui, tetapi faktor risiko telah
teridentifikasi termasuk riwayat kanker kolon atau polip pada keluarga, riwayat penyakit
usus inflamasi kronis dan diet tinggi lemak protein dan daging serta rendah serat.
 Polip di usus (Colorectal polyps): Polip adalah pertumbuhan pada dinding
dalam kolon atau rektum, dan sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas.
Sebagian besar polip bersifat jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip
(adenoma) dapat menjadi kanker.
 Colitis Ulcerativa atau penyakit Crohn: Orang dengan kondisi yang
menyebabkan peradangan pada kolon (misalnya colitis ulcerativa atau penyakit
Crohn) selama bertahun-tahun memiliki risiko yang lebih besar
 Riwayat kanker pribadi: Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal
dapat terkena kanker colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan
riwayat kanker di indung telur, uterus (endometrium) atau payudara mempunyai
tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker colorectal.
 Riwayat kanker colorectal pada keluarga: Jika Anda mempunyai riwayat
kanker colorectal pada keluarga, maka kemungkinan Anda terkena penyakit ini
lebih besar, khususnya jika saudara Anda terkena kanker pada usia muda.
 Faktor gaya hidup: Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang
tinggi lemak dan sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat risiko yang
lebih besar terkena kanker colorectal.
 Usia di atas 50: Kanker colorectal biasa terjadi pada mereka yang berusia lebih
tua. Lebih dari 90 persen orang yang menderita penyakit ini didiagnosis setelah
usia 50 tahun ke atas.

H. Patofisiologi
Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami regenerasi
setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi perubahan genetik yang
mengganggu proses differensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang dimulai dengan
inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi
tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan
menyebabkan terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K- ras onkogen dan mutasi gen
p53, hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel.

Patofisiologi kanker rektum

Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta
merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat
terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).
Tumor yang berupa massa polipoid besar, tumbuh ke dalam lumen dan dengan cepat
meluas ke sekitar usus sebagai cincin anular. Lesi anular lebih sering terjadi
pada bagian rektosigmoid, sedangkan polipoid atau lesi yang datar lebih sering terdapat
pada sekum dankolon asendens.Kanker kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara
yaitu :a. Secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam
kandung kemih. Melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolonc.
Melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirakan darah ke systemportal.d.
Penyebaran secara transperitoneale. Penyebaran ke luka jahitan, insisi abdomen atau lokasi
drain.Adenokarsinoma secara jalur APC (adenomatous polyposis coli) melibatkan
beberapamutasi genetik, dimulai dengan inaktivasi dari gen APC, yang memungkinkan
replikasiseluler di bawah permukaan dinding. Dengan peningkatan pembelahan sel, terjadi
mutasilebih lanjut, mengkibatkan aktivitas dari onkogen K-ras pada tahap awal dan mutasi
padatahap-tahap selanjutnya. Kerugian kumulatif ini dalam fungsi gen supresor tumor
mencegahapoptosis dan memperpanjang umur sel tanpa batas. Jika mutasi APC
diwariskan, akanberakibat pada sindrom poliposis adenomatosa kekeluargaan
(Leggett, 2001). Secarahistologis, adenoma diklasifikasikan dalam tiga kelompok :
tubular, tubulovillous, danvillous adenoma. Mutasi K-ras dan ketidak stabilan mikrosatelit
telah diidentifikasi dalamhiperplastik polip. Oleh karena itu, hiperplastik polip mungkin
juga memiliki potensi ganasdalam berbagai derajat
I. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah :
 Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu
darah segar maupun yang berwarna hitam.
 Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat
BAB
 Feses yang lebih kecil dari biasanya
 Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh
pada perut atau nyeri
 Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
 Mual dan muntah,
 Rasa letih dan lesu
 Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada
daerah gluteus.

J. Pemeriksaan penunjang
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum, antara lain:
1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan. Secara
patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar 90
sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa,
carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.2
2. Pemeriksaan Tumor marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-
9 , uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat perdarahan di jaringan.18,22,23
3. Digital rectal examination atau biasa disebut rectal touche (colok dubur). Sekitar 75%
karsinoma rekti dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal. Pemeriksaan dengan rektal
touche akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba
keras dan menggaung.17
Gambar 9. Colok dubur pada karsinoma rekti

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:


a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os
coccygis.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan
otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam
umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur
ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding
anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.
4. Foto rontgen dengan barium enema yaitu cairan yang mengandung barium, dimasukkan
melalui rektum untuk kemudian dilakukan foro rontgen.

Foto rontgen dengan barium enema


5. Endoskopi
a. Sigmoidoskopi
yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid
apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan
dapat diambil untuk biopsi.
Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker
kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi
merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10
mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya berhubungan dengan
neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien. 18

sigmoidoskopi
b. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa
kolon dan rectum Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip
dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar
94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2
Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol
perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat
aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya
muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat
berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi
daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi diagnostik. 18

Kolonoskopi

6. Virtual colonoscopy (CT colonography)


Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru, menggunakan X-
ray dan software komputer,untuk melihat dua dan tiga-dimensi dari seluruh usus
besar dan rektum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal.14
7. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang
digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi
tehnik ini bukan merupakan screening tes.18
a. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif.
CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan
organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan
nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai
55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi
pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan kontras
dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah
intraperitoneal.
b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya
yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis
ke hepar.
c. Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih
untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital
rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor
dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan
ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan
keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa
dilakukan di bawah bimbingan EUS.

K. Penatalaksanaan medis
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah terapi
standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk
kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :
1) Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium
III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam
metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-
surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi
sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada
kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II
dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun
sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien
masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk
membunuh sel kanker yang tertinggal.
Tipe pembedahan yang dipakai antara lain :
 Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat
dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika
kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan
polypectomy.
 Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan
anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu
diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung sel kanker.
Gambar Reseksi dan Anastomosis

 Reseksi dan kolostomi :


Gambar Reseksi dan Kolostomi

2) Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III
lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan
pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan
untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama
ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan
setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan lokal
di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan
metastasis jauh, radiesi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis
tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi
paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable
3) Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki
penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau
tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III). terapi
standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin
dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti
metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole,
(meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi leucovorin. Protopkol
ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira 15% dan menurunkan angka
kematian kira – kira sebesar 10%.

B. Prognosis

Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah


sebagai berikut :

 Stadium I - 72%
 Stadium II - 54%
 Stadium III - 39%
 Stadium IV - 7%

50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa


kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering
terjadi pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu
pertama setelah operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya
rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan
kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif tumor.
DAFTAR PUSTAKA

De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media Aesculapius. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai