BAB II
1 TINJAUAN PUSTAKA
1. Beban hidup
Pada tata cara perencanaan yang diuraikan pada peraturan PBI 1987, plat-
plat yang menumpu pada kedua tepi yang sejajar dan memikul beban-beban
terpusat dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
P
q eq = → Beban roda ditumpu satu pelat lantai ................... ....(2.1a)
B
2P
q eq = → Beban roda ditumpu dua pelat lantai......................... (2.1b)
B
Dimana:
P = Beban roda sesuai kelas jembatan
B = Lebar pelat
Berdasarkan PPPJJR 1987, beban hidup pada trotoar adalah 500 kg/m2. Jadi
beban hidup yang bekerja pada trotoar permeter dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
qLy= 500 kg/m2 x B trotoar ....................................................................................................... (2.1c)
Momen ultimit
Berdasarkan SK-SNI T-15-1991-03 untuk plat yang ditumpu bebas pada
kedua sisinya atau plat satu arah diperoleh dengan persamaan berikut:
1
Mult = 11 q ult × L2 → Momen ultimit lapangan........................ (2.2b)
1
Mult = 24 q ult × L2 → Momen ultimit tumpuan........................ (2.2c)
Dimana:
q ult = Beban ultimit
L = panjang bentang yang ditinjau
q dl = Beban mati (𝑑𝑒𝑎𝑑 𝑙𝑜𝑎𝑑)
q ll = Beban hidup (𝑙𝑖𝑣𝑒 𝑙𝑜𝑎𝑑)
Dimana:
q = Berat beban mati
x = Besar penyebaran muatan
h = Tinggi penyebaran muatan
λi
2. Beban hidup
Beban hidup terdiri dari beban terbagi rata “q” dan garis “P” menurut SNI
03-1725-1989, untuk menghitung pengaruh-pengaruh dinamis. Tegangan
akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan koefisien kejut, untuk
menghitung koefisien kejut digunakan rumus:
20
K = 1 + 50+𝐿 ........................................................................................... (2.4a)
Dimana:
K = Koefisien Kejut
L = Panjang bentang jembatan
q = Beban terbagi rata
λi = Jarak gelagar memanjang
P = Beban Garis
3. Beban angin
Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987), tekanan angin diperhitungkan
150 kg/m2 yang bekerja pada ketinggian 2 m dari lantai kendaraan pada
jarak antara gelagar memanjang, maka luas bidang yang mengalami tekanan
angin = 2 m x jarak antara gelagar memanjang. Jarak as roda kendaraan =
1,75 m seperti yang dapat diperlihatkan pada gambar berikut ini:
7
q = 150 kg/m²
P
2m
1m
1,75 m
Pada gelagar melintang penyebaran muatan akibat plat lantai dan aspal serta
air yang tergenang pada saat hujan berbentuk segitiga, sehingga besarnya
penyebaran beban dihitung dengan menggunakan rumus:
qekivalen = q . x .................................................................................... (2.5a)
x = ⅔ x h ......................................................................................... (2.5b)
Dimana:
q = Berat beban mati
x = Besar penyebaran muatan
h = Tinggi penyebaran muatan
2. Beban hidup
Beban hidup terdiri dari beban terbagi rata “q” dan garis “P” menurut SNI
03-1725-1989, untuk menghitung pengaruh-pengaruh dinamis. Tegangan
akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan koefisien kejut, untuk
menghitung koefisien kejut digunakan rumus:
20
K = 1 + 50+𝐿 ........................................................................................... (2.6a)
Dimana:
K = Koefisien Kejut
L = Panjang bentang jembatan
q = Beban terbagi rata
λ = Jarak gelagar melintang
P = Beban Garis
3. Beban angin
Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987), tekanan angin diperhitungkan
150 kg/m2 yang bekerja pada ketinggian 2 m dari lantai kendaraan pada
jarak antara gelagar melintang, maka luas bidang yang mengalami tekanan
angin = 2 m x jarak antara gelagar melintang. Jarak as roda kendaraan =
1,75 m seperti yang dapat diperlihatkan pada gambar berikut ini
q = 150 kg/m²
P
2m
1m
1,75 m
D 7 C -S3
+S5
4 RA -S1
3 5 6
-S1 +S6
1 E 2 B RA
A (A) -S2
-S2
RB +S7
RA P RB -S3
-S3 +S7 RB -S3
+S4
-S5 +S6 (C) +S4
-S2
(D)
(B)
2. Beban hidup
Berdasarkan PPPJJR SKBI-1.3.28-1987, beban hidup yaitu semua beban
yang berasal dari kendaraan yang bergerak dan penjalan kaki yang dianggap
bekerja pada jembatan. Beban hidup pada jembatan terdiri dari beban “T” yang
merupakan beban terpusat untuk lantai kendaraan dan beban “D” yang
merupakan beban jalur untuk gelagar. Beban “D” atau beban jalur adalah susunan
beban pada setiap jalur lalu lintas yang terdiri dari beban terbagi rata sebesar “q”
12
ton/meter sepanjang jalur dan beban garis “P” sebesar 12 ton per jalur lalu lintas
tersebut.
Besarnya beban terbagi rata “q” dengan bentang 30< L < 60 meter adalah :
1,1
q = 2,2 t/m1 - (L-30) t/m .................................................................. (2.8a)
60
Beban hidup permeter lebar jembatan ditentukan dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
q ( t / m2 )
q= ..................................................................................... (2.8b)
2,75
P (ton)
P= .......................................................................................... (2.8c)
2,75
Dimana:
q = Beban terbagi rata
P = Beban garis
L = Panjang bentang jembatan
Besarnya gaya batang akibat beban hidup dihitung dengan menggunakan
metode garis pengaruh. Metode garis pengaruh adalah suatu cara untuk
menghitung gaya batang dengan beban P = 1 ton bekerja disepanjang jembatan,
proses kerja garis pengaruh diperlihatkan pada gambar 2.5c berikut ini :
13
BatangAtas
BatangBawah
BatangDiagonal
3. Beban kejut
Untuk menghitung pengaruh-pengaruh getaran dan pengaruh dinamis
lainnya, beban-beban yang timbul akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan
koefisien kejut yang akan memberikan hasil maksimum, sedangkan beban merata
“q” tidak dikalikan dengan koefisien kejut. Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28–
1987), koefisien kejut diperhitungkan dengan rumus :
20
K=1 ....................................................................................... (2.8h)
50 L
Dimana:
K = Koefisien kejut
L = Panjang bentang Jembatan (m)
b. Beban sekunder
Beban sekunder adalah beban sementara, yang dipengaruhi oleh beban
angin, pengaruh suhu dan gaya rem. Beban ini meliputi:
15
1. Beban angin
Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987), tekanan angin diperhitungkan
150 kg/m2 yang bekerja tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Bagian–bagian
sisi jembatan yang terkena angin untuk jembatan rangka diambil 30 % luas bidang
sisi jembatan dan ditambah 15 % luas sisi lainnya. Perencanaan sebuah jembatan
tekanan angin diperhitungkan bekerja pada tiga tempat, yaitu :
a. Tekanan angin pada lantai kendaraan(Wr).
b. Tekanan angin pada kendaraan (Wm), yang diperhitungkan bekerja
setinggi 2 meter dari lantai kendaraan.
c. Tekanan angin pada konstruksi jembatan (Wbr).
Akibat dari gaya–gaya angin tersebut, maka akan menimbulkan gaya
vertikal yang berpengaruh terhadap bertambah besarnya gaya–gaya batang untuk
perencanaan suatu konstruksi jembatan. Gaya angin yang bekerja pada konstruksi
jembatan, diperlihatkan pada gambar 2.2 dibawah ini:
K K
Berdasarkan Struyk dan Van Der Veen, besarnya gaya reaksi yang timbul
pada bagian tumpuan rangka jembatan dapat dihitung dengan persamaan statis
momen, yaitu :
Wbr x hbr Wm x hm Wr hr
K = .......................................... (2.9a)
b
16
Dimana:
K = Gaya reaksi yang timbul pada bagian tumpuan jembatan
Wbr = Tekanan angin pada rangka jembatan
Wm = Tekanan angin pada kendaraan
Wr = Tekanan angin pada lantai kendaraan
hbr, hm, hr = Jarak masing – masing tekanan angin terhadap tumpuan
b = Lebar Jembatan
c. Beban khusus
Beban khusus adalah beban yang tidak langsung membebani jembatan
tetapi hanya mempengaruhi bagian–bagian tertentu pada konstruksi jembatan.
Beban khusus ini terdiri dari gaya tumbukan, gaya sentrifugal, dan gaya-gaya lain.
Dalam perhitungan ini beban khusus tidak ditinjau, karena perencanaan hanya
dibatasi pada bagian rangka utama jembatan saja.
17
d. Ikatan Angin
Perhitungan ikatan angin terdiri dari ikatan angin atas (Ka) dan ikatan
angin bawah (Kb). Berdasarkan PPJJR beban angin diambil 150 kg/cm2. Gaya-
gaya yang mempengaruhi ikatan angin atas dan ikatan angin bawah diperlihatkan
pada gambar G.2.5 di bawah ini :
Setelah diketahui masing-masing luas, maka dapat dihitung jumlah (n) dan jarak
tulangannya (s) menggunakan persamaan berikut:
As
n = (As ) ........................................................................................... (2.13h)
tul
B
n = n − 1 ................................................................................................ (2.13i)
- Sayap
𝑏 170
λf = 2 𝑡𝑓 < λp = ......................................................................... (2.14b)
√𝐹𝑦
- Badan
ℎ 1680
λ = 𝑡𝑓 < λp = ........................................................................ (2.14c)
√𝐹𝑦
𝑋₁
Lr = iy (𝐹 ) √1 + √1 + 𝑋2 . 𝐹𝐿 ² ............................................................ (2.14e)
𝐿
FL = Fy – fr ............................................................................................ (2.14f)
𝐸
G= ............................................................................................. (2.14g)
2 (1+𝜐)
1
J = Σ 3 x b x t³......................................................................................... (2.14h)
𝜋 𝐸𝐺𝐽𝐴
X1 = 𝑆𝑥 x √ .................................................................................... (2.14i)
2
ℎ𝑒𝑓𝑓 ²
Iw = Iy . .......................................................................................... (2.14j)
4
𝑆𝑥 𝐼𝑤
X2 = 4 {𝐺 .𝐽} ² . .................................................................................... (2.14k)
𝐼𝑦
Dimana:
Lp = Panjang plastis
Fy = Tegangan leleh profil
Fr = Tegangan residu
Sx = Modulus penampang
E = Modulus Elastisitas
G = Modulus Geser
J = Konstanta puntir
Menurut SNI 03-1729-2002, kuat momen lentur nominal untuk kasus Lp <
Lb < Lr dihitung dengan menggunakan rumus:
𝐿𝑟−𝐿
Mn = Cb x [𝑀𝑟 + (𝑀𝑝 − 𝑀𝑟) 𝐿𝑟−𝐿𝑝]................................................... ...(2.14l)
Mp = Zx x Fy .......................................................................................... (2.14n)
Dimana:
Mn = Kuat nominal momen lentur dari penampang
Mr = Kuat nominal yang tersedia untuk beban layan
Mp = Momen plastis
Sx = Modulus penampang
Fy = Tegangan leleh profil
Fr = Tegangan residu
Pengecekan terhadap kelangsingan geser diperhitungkan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
ℎ
λw = .................................................................................................. (2.14o)
𝑡𝑤
5
kn = 5 + 𝑎 ............................................................................................. (2.14p)
( )²
𝑏
𝑘𝑛 𝑥 𝐸
1,10 √ ............................................................................................. (2.14q)
𝐹𝑦
𝑘𝑛 𝑥 𝐸
Untuk λw < 1,10 √ , maka digunakan rumus:
𝐹𝑦
Ø Vn = 0,6 x Fy x Aw..............................................................................(2.14r)
Dimana:
λw = Kelangsingan penampang
kn = Faktor panjang tekuk
E = Modulus Elastisitas
Fy = Tegangan leleh profil
a = Lebar jembatan
b = Tinggi efektif penampang
Kombinasi momen lentur dan geser dihitung dengan menggunakan persamaan:
𝑀𝑢 𝑉𝑢
+ 0,625 x ≤ 1,375 .................................................................... (2.14s)
Ø 𝑀𝑛 Ø 𝑉𝑛
Dimana:
Mu = Beban momen lentur terfaktor
Mn = Kuat nominal momen lentur dari penampang
22
1 lk Fy
λ= x x ......................................................................................... (2.16)
i min E
23
Dimana:
imin = Jari-jari kelembaman profil
λ = Angka kelangsingan
Apabila 0 < < 1,2 persamaan yang digunakan untuk mencari nilai ω, yaitu:
1,43
ω= ............................................................................. (2.17a)
1,6 0,67c
Apabila 0 <> 1,2persamaanyang digunakanuntuk mencari nilai ω, yaitu:
ω =1,25 c2 ........................................................................................................................... (2.17b)
Batang yang dipilih harus memenuhi kriteria design, yaitu:
Nu
< 1 ......................................................................................................... ( 2.18)
Nn
Dimana:
Nu = Beban maksimal
øNn = Kuat tekan rencana
2. Batang tarik
Dalam merencanakan batang tarik, faktor yang harus diperhatikan adalah
luas batang profil dan perlemahan akibat sambungan. Tentukan luas minimum
yang diperlukan oleh kondisi leleh dan kondisi fraktur :
Kondisi leleh
Nu
Ag min = .................................................................................................... (2.19)
Fy
Dimana:
Ag min = Luas minimum yang dibutuhkan
Nu = Beban maksimal
Fy = Teganganleleh (Mpa)
Kondisi fraktur
Nu
Ag min = + Luas lubang baut ............................................................ (2.20)
Fu .U
Dimana:
Ag min = Luas minimum yang dibutuhkan
24
Nu = Beban maksimal
Fu = Tegangan
W = 5,5 cm
R 2 cm
N1 2d
Baut
e1 N2
3d
e2 Gelagar Memanjang
Plat Siku
Gelagar Melintang
GelagarUtama W R
2d
N1 3d
e1 N2
e2
3d
2d
Tegangan geser
V
τ = < , dimana V = T sin .................................................... (2.33)
F
Dimana:
P = Gaya tarik pada plat buhul (kg)
R = Gaya batang bawah
M = Momen pada plat buhul
F = Luas tampang plat buhul
e = Titik tangkap momen pada plat buhul
V = Gaya geser pada plat buhul
tr = Tegangan tarik yang timbul
τ = Tegangan geser yang timbul
2.6 Lendutan
Berdasarkan Hukum Hooke, perubahan panjang-panjang dapat dihitung
dengan persamaan :
PxL
L = ....................................................................................... (2.34)
E xF
Dimana:
L = Panjang elastomeric bearing
V = Beban yang bekerja
W = Lebar elastomeric bearing
Fc’ = Tegangan ijin elastomeric bearing
Dimana:
SF = safe factor = 3
L = Panjang elastomeric bearing
W = Lebar elastomeric bearing
t = Tebal elastomeric bearing
Berdasarkan ukuran elastomeric bearing, AASHTO membatasi dengan
persyaratan sebagai berikut:
Plane Bearing = 5t < 60 cm
Laminated Bearing = 5t < 60 cm