Anda di halaman 1dari 26

3

BAB II

1 TINJAUAN PUSTAKA

Jembatan adalah suatu konstruksi yang berguna untuk menghubungkan jalan


yang terhalang oleh suatu rintangan baik berupa sungai, rawa-rawa dan jurang.
Perhitungan konstruksi jembatan harus didukung oleh teori-teori, rumus-rumus
dan peraturan-peraturan dalam perencanaan. Dalam bab ini akan diuraikan
mengenai peraturan-peraturan standard jembatan di Indonesia dan rumus-rumus
untuk perencanaan jembatan rangka baja.

2.1 Standar Jembatan


Merencanakan suatu jembatan, baik ditinjau dari volume lalulintas maupun
berat lalulintas yang melewati jembatan tersebut, maka pihak Direktorat Jenderal
Bina Marga menggolongkan jembatan atas tiga kelas, yaitu :
1. Jembatan kelas A, lebar lantai jembatan 7,00 meter dan 2 x 1,00 meter
sebagai trotoir dengan beban 100 % dari loading Sistem Bina Marga.
2. Jembatan kelas B, lebar lantai jembatan 6,00 meter dan 2 x 0,50 meter
sebagai trotoir dengan beban 70 % dari loading Sistem Bina Marga.
3. Jembatan kelas C, lebar lantai jembatan 4,50 meter dan 2 x 0,50 meter
sebagai trotoir dengan beban 50 % dari loading Sistem Bina Marga.
Berdasarkan klasifikasi diatas, maka jembatan yang direncanakan tidak
termasuk ke dalam klasifikasi tersebut. Akan tetapi klasifikasi jembatan yang
diberikan oleh dosen pembimbing adalah jembatan tipe B, lebar lantai jembatan 7
m dan 2 x 0,5 m sebagai trotoar. Beban 70% dari loading Sistem Bina Marga.

2.2 Analisa Pembebanan


2.2.1 Sandaran (Railing)
Beban yang bekerja pada sandaran yaitu beban dari berat sendiri profil yang
digunakan dan berat beban hidup yang berdasarkan persyaratan PPPJJR berat
beban hidup diperhitungkan 100 kg/m.
4

2.2.2 Plat Lantai dan Trotoar


Beban yang bekerja pada pelat lantai dan trotoar terdiri dari berat sendiri,
berat beban hidup, dan beban ultimit atau kombinasi. Adapun pembagian masing-
masing beban dapat dilihat pada tabel berikut:

Beban Mati Beban Hidup Beban dan Momen Ultimit


1. Beban roda ditumpu satu
1. Berat lantai
pelat lantai
Merupakan kombinasi
2. Berat lapisan 2. Beban roda ditumpu
B.mati dan B.hidup
aspal dua pelat lantai
3. Berat air hujan

1. Beban hidup
Pada tata cara perencanaan yang diuraikan pada peraturan PBI 1987, plat-
plat yang menumpu pada kedua tepi yang sejajar dan memikul beban-beban
terpusat dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

P
q eq = → Beban roda ditumpu satu pelat lantai ................... ....(2.1a)
B
2P
q eq = → Beban roda ditumpu dua pelat lantai......................... (2.1b)
B
Dimana:
P = Beban roda sesuai kelas jembatan
B = Lebar pelat
Berdasarkan PPPJJR 1987, beban hidup pada trotoar adalah 500 kg/m2. Jadi
beban hidup yang bekerja pada trotoar permeter dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
qLy= 500 kg/m2 x B trotoar ....................................................................................................... (2.1c)

2. Beban dan momen ultimit


 Beban ultimit
q ult = 1,2 q dl + 1,6 q ll ................................................................. (2.2a)
5

 Momen ultimit
Berdasarkan SK-SNI T-15-1991-03 untuk plat yang ditumpu bebas pada
kedua sisinya atau plat satu arah diperoleh dengan persamaan berikut:
1
Mult = 11 q ult × L2 → Momen ultimit lapangan........................ (2.2b)
1
Mult = 24 q ult × L2 → Momen ultimit tumpuan........................ (2.2c)

Dimana:
q ult = Beban ultimit
L = panjang bentang yang ditinjau
q dl = Beban mati (𝑑𝑒𝑎𝑑 𝑙𝑜𝑎𝑑)
q ll = Beban hidup (𝑙𝑖𝑣𝑒 𝑙𝑜𝑎𝑑)

2.2.3 Analisa Pembebanan Gelagar Memanjang


Beban yang bekerja pada gelagar memanjang adalah beban mati, beban
hidup, beban angin dan beban rem.
1. Beban mati
Besarnya penyebaran beban dihitung dengan menggunakan rumus:
qekivalen = q . x .................................................................................... (2.3a)
4 𝑥 𝑎²
x = h x (1 − ) ......................................................................... (2.3b)
3 𝑥 𝑙²

Dimana:
q = Berat beban mati
x = Besar penyebaran muatan
h = Tinggi penyebaran muatan

λi

Gambar 1.1 Penyebaran Muatan Pada Gelagar Memanjang


6

2. Beban hidup
Beban hidup terdiri dari beban terbagi rata “q” dan garis “P” menurut SNI
03-1725-1989, untuk menghitung pengaruh-pengaruh dinamis. Tegangan
akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan koefisien kejut, untuk
menghitung koefisien kejut digunakan rumus:
20
K = 1 + 50+𝐿 ........................................................................................... (2.4a)

Besarnya beban terbagi rata untuk panjang bentang 30 m < L < 60 m


digunakan rumus:
1,1
q = 2,2 – x (L – 30) .......................................................................... ..(2.4b)
60

Beban terbagi rata dalam jalur (diambil 100%) adalah:


𝑞
q1 = 2,75 x λi x 100% ..................................................................... ..........(2.4c)

Beban terbagi rata luar jalur (diambil 50%) adalah:


𝑞
q1 = 2,75 x λi x 50% ........................................................................ ........(2.4d)

Besarnya muatan garis dalam jalur (diambil 100%) adalah:


𝑃
P = 2,75 x λi x K x 100% ......................................................................... (2.4e)

Besarnya muatan garis luar jalur (diambil 50%) adalah:


𝑃
P = 2,75 x λi x K x 50% ........................................................................... (2.4f)

Dimana:
K = Koefisien Kejut
L = Panjang bentang jembatan
q = Beban terbagi rata
λi = Jarak gelagar memanjang
P = Beban Garis
3. Beban angin
Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987), tekanan angin diperhitungkan
150 kg/m2 yang bekerja pada ketinggian 2 m dari lantai kendaraan pada
jarak antara gelagar memanjang, maka luas bidang yang mengalami tekanan
angin = 2 m x jarak antara gelagar memanjang. Jarak as roda kendaraan =
1,75 m seperti yang dapat diperlihatkan pada gambar berikut ini:
7

q = 150 kg/m²

P
2m
1m

1,75 m

Gambar 1.2 Gaya angin yang mempengaruhi pada gelagar memanjang

Maka gaya angin yang menekan lantai kendaraan dihitung dengan


persamaan:
1,75 x P = A x q x 1 m ............................................................. (2.4g)
Dimana:
P = Gaya Angin
A = Luas bidang yang mengalami tekanan angin
q = Tekanan angin yang bekerja pada kendaraan
4. Beban rem
Berdasarkan PPPJJR SKBI 1.3.28-1987, gaya rem dianggap bekerja
horizontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,80
meter diatas permukaan lantai kendaraan. Besarnya gaya ini diperhitungkan
5 % dari beban “D” tanpa koefisien kejut.

2.2.4 Analisa Pembebanan Gelagar Melintang


Beban yang bekerja paga gelagar melintang adalah beban mati, beban
hidup, beban angin dan beban rem.
1. Beban mati
8

Pada gelagar melintang penyebaran muatan akibat plat lantai dan aspal serta
air yang tergenang pada saat hujan berbentuk segitiga, sehingga besarnya
penyebaran beban dihitung dengan menggunakan rumus:
qekivalen = q . x .................................................................................... (2.5a)
x = ⅔ x h ......................................................................................... (2.5b)
Dimana:
q = Berat beban mati
x = Besar penyebaran muatan
h = Tinggi penyebaran muatan

Jarak gelagar memanjang

Gambar 1.3. Penyebaran muatan pada gelagar melintang

2. Beban hidup
Beban hidup terdiri dari beban terbagi rata “q” dan garis “P” menurut SNI
03-1725-1989, untuk menghitung pengaruh-pengaruh dinamis. Tegangan
akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan koefisien kejut, untuk
menghitung koefisien kejut digunakan rumus:
20
K = 1 + 50+𝐿 ........................................................................................... (2.6a)

Besarnya beban terbagi rata untuk panjang bentang 30 m < L < 60 m


digunakan rumus:
1,1
q = 2,2 – x (L – 30) .......................................................................... ..(2.6b)
60

Beban terbagi rata dalam jalur (diambil 100%) adalah:


𝑞
q1 = 2,75 x λ x 100% ........................................................................... .....(2.6c)

Beban terbagi rata luar jalur (diambil 50%) adalah:


𝑞
q1 = 2,75 x λ x 50% ......................................................................... ........(2.6d)
9

Berdasarkan PMUJJR No. 12/1970 muatan hidup pada trotoar harus


diperhitungkan sebesar 500 kg/m². Dalam perhitungan terhadap gelagar-
gelagar diperhitungkan sebesar 60% dari muatan trotoar tersebut.
Besarnya muatan garis dalam jalur (diambil 100%) adalah:
𝑃
P = 2,75 x λ x K x 100% ........................................................................... (26e)

Besarnya muatan garis luar jalur (diambil 50%) adalah:


𝑃
P= x λ x K x 50% ............................................................................ (2.6f)
2,75

Dimana:
K = Koefisien Kejut
L = Panjang bentang jembatan
q = Beban terbagi rata
λ = Jarak gelagar melintang
P = Beban Garis

3. Beban angin
Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987), tekanan angin diperhitungkan
150 kg/m2 yang bekerja pada ketinggian 2 m dari lantai kendaraan pada
jarak antara gelagar melintang, maka luas bidang yang mengalami tekanan
angin = 2 m x jarak antara gelagar melintang. Jarak as roda kendaraan =
1,75 m seperti yang dapat diperlihatkan pada gambar berikut ini

q = 150 kg/m²

P
2m

1m

1,75 m

Gambar 1.4 Gaya angin yang mempengaruhi pada gelagar melintang


10

Maka gaya angin yang menekan lantai kendaraan dihitung dengan


persamaan:
1,75 x P = A x q x 1 m ............................................................. (2.6g)
Dimana:
P = Gaya Angin
A = Luas bidang yang mengalami tekanan angin
q = Tekanan angin yang bekerja pada kendaraan
4. Beban rem
Besarnya beban rem yang diperhitungkan adalah 5% dari beban “D” tanpa
koefisien kejut dan gay rem tersebut dianggap bekerja horizontal dalam arah
sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 m diatas permukaan
lantai kendaraan

2.2.5 Analisa Pembebanan Gelagar Utama


Berdasarkan pedoman perencanaan pembebanan jembatan jalan raya
(PPPJJR SKBI-1.3.28-1987), beban-beban yang bekerja pada sebuah konstruksi
jembatan adalah beban primer, beban sekunder dan beban khusus.
a. Beban primer
Berdasarkan PPPJJR SKBI-1.3.28-1987, yang dimaksud dengan beban
primer adalah beban utama dalam perhitungan tegangan pada setiap perencanaan
jembatan. Beban itu meliputi :
1. Beban mati
Beban mati adalah beban yang diakibatkan oleh berat sendiri dari konstruksi
dan segala unsur tambahan yang dianggap satu kesatuan tetap dengannya.
Berdasarkan Struyk dan Van Der Veen (1990), berat sendiri konstruksi dapat
dihitung dengan menggunakan rumus empiris, yaitu :
G = (20 + 3L) kg/m2 .................................................................................................................. (2.7a)
P = G x A ............................................................................................. (2.7b)
Dimana:
G = Berat sendiri gelagar utama,
L = Panjang bentang jembatan
11

P = Berat Keseluruhan Gelagar Utama


A = Luas Rangka Utama
Gaya–gaya batang pada gelagar utama akibat berat sendiri dihitung
dengan menggunakan metode Cremona. Dasar perhitungan ini merupakan segi
banyak tertutup. Seperti yang diperlihatkan pada gambar di bawah ini

D 7 C -S3
+S5
4 RA -S1
3 5 6
-S1 +S6
1 E 2 B RA
A (A) -S2
-S2
RB +S7
RA P RB -S3
-S3 +S7 RB -S3
+S4
-S5 +S6 (C) +S4
-S2
(D)
(B)

Gambar 1.5 a Diagram Cremona gaya batang


Sumber : Mekanika Teknik I, Oleh Heinz Frick (1993)

Untuk perhitungan gaya batang digunakan skala gambar dan untuk


penentuan arah gaya dengan cara perjanjian tanda sebagai berikut :
a. Batang disebut tekan (-), apabila arah gaya menuju titik sambung.
b. Batang disebut tarik (+), apabila arah gaya meninggalkan titik sambung.

2. Beban hidup
Berdasarkan PPPJJR SKBI-1.3.28-1987, beban hidup yaitu semua beban
yang berasal dari kendaraan yang bergerak dan penjalan kaki yang dianggap
bekerja pada jembatan. Beban hidup pada jembatan terdiri dari beban “T” yang
merupakan beban terpusat untuk lantai kendaraan dan beban “D” yang
merupakan beban jalur untuk gelagar. Beban “D” atau beban jalur adalah susunan
beban pada setiap jalur lalu lintas yang terdiri dari beban terbagi rata sebesar “q”
12

ton/meter sepanjang jalur dan beban garis “P” sebesar 12 ton per jalur lalu lintas
tersebut.

Gambar 2.5b Kekuatan Beban “D & T”


Sumber : PPPJJR SKBI – 1987

Besarnya beban terbagi rata “q” dengan bentang 30< L < 60 meter adalah :
1,1
q = 2,2 t/m1 - (L-30) t/m .................................................................. (2.8a)
60
Beban hidup permeter lebar jembatan ditentukan dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
q ( t / m2 )
q= ..................................................................................... (2.8b)
2,75
P (ton)
P= .......................................................................................... (2.8c)
2,75
Dimana:
q = Beban terbagi rata
P = Beban garis
L = Panjang bentang jembatan
Besarnya gaya batang akibat beban hidup dihitung dengan menggunakan
metode garis pengaruh. Metode garis pengaruh adalah suatu cara untuk
menghitung gaya batang dengan beban P = 1 ton bekerja disepanjang jembatan,
proses kerja garis pengaruh diperlihatkan pada gambar 2.5c berikut ini :
13

BatangAtas

BatangBawah

BatangDiagonal

Gambar 2.5c Diagram Garis Pengaruh


Sumber : Mekanika Teknik 2, oleh Heinz Frick

Garis pengaruh batang S1 diperoleh dengan cara meletakkan beban P = 1


ton dititik D dengan memotong batang S1, S2 dan S3 diperoleh :
MD = 0
P x X1
RA x (L – x1) + S1 x H = 0 RA =
L
P
x ( L  x1 )  s1 x H  0
L
sehingga untuk batang atas diperoleh :
P ( L  P)
S1  ( - ) ........................................................................ (2.8d)
LxH
Batang S1 digambarkan dibawah titik D sebagai ordinat garis pengaruh
(Y1). Garis pengaruh S1 diperlihatkan pada gambar 2.1c pada halaman 10. Ordinat
garis pengaruh batang S2 diperoleh dengan cara yang sama, yaitu dengan cara
meletakkan beban P = 1 ton dititik E, sehingga untuk batang bawah diperoleh :
P (L  P)
S2 = (  ) ......................................................................... (2.8e)
L xH
14

Beban P = 1 ton dianggap bekerja pada titik buhul bawah, mengakibatkan


garis pengaruh batang S2 terjadi pemotongan seperti diperlihatkan pada gambar
2.2 garis pengaruh batang S3 diperoleh dengan cara memotong batang–batang S1,
S2, S3, tetapi beban P = 1 ton diletakkan dititik C dan D, maka beban dititik C dan
D diperoleh :
KV = 0
RA – P + S3 Sin  = 0, P =1 ton
RA  1
S3C = (  ) ...............................................................................(2.8f)
Sin 
KV = 0
RA - S3 Sin  = 0
RA
SaD = (  ) ............................................................................... (2.8g)
Sin 
Garis pengaruh batang S3 diperlihatkan pada gambar 2.5c Diagram garis
pengaruh.

3. Beban kejut
Untuk menghitung pengaruh-pengaruh getaran dan pengaruh dinamis
lainnya, beban-beban yang timbul akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan
koefisien kejut yang akan memberikan hasil maksimum, sedangkan beban merata
“q” tidak dikalikan dengan koefisien kejut. Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28–
1987), koefisien kejut diperhitungkan dengan rumus :
20
K=1 ....................................................................................... (2.8h)
50 L
Dimana:
K = Koefisien kejut
L = Panjang bentang Jembatan (m)

b. Beban sekunder
Beban sekunder adalah beban sementara, yang dipengaruhi oleh beban
angin, pengaruh suhu dan gaya rem. Beban ini meliputi:
15

1. Beban angin
Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987), tekanan angin diperhitungkan
150 kg/m2 yang bekerja tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Bagian–bagian
sisi jembatan yang terkena angin untuk jembatan rangka diambil 30 % luas bidang
sisi jembatan dan ditambah 15 % luas sisi lainnya. Perencanaan sebuah jembatan
tekanan angin diperhitungkan bekerja pada tiga tempat, yaitu :
a. Tekanan angin pada lantai kendaraan(Wr).
b. Tekanan angin pada kendaraan (Wm), yang diperhitungkan bekerja
setinggi 2 meter dari lantai kendaraan.
c. Tekanan angin pada konstruksi jembatan (Wbr).
Akibat dari gaya–gaya angin tersebut, maka akan menimbulkan gaya
vertikal yang berpengaruh terhadap bertambah besarnya gaya–gaya batang untuk
perencanaan suatu konstruksi jembatan. Gaya angin yang bekerja pada konstruksi
jembatan, diperlihatkan pada gambar 2.2 dibawah ini:

K K

Gambar 1.6. Gaya angin yang bekerja di bagian jembatan


Sumber : Jembatan, oleh Struyk dan Van Der Veen

Berdasarkan Struyk dan Van Der Veen, besarnya gaya reaksi yang timbul
pada bagian tumpuan rangka jembatan dapat dihitung dengan persamaan statis
momen, yaitu :
Wbr x hbr  Wm x hm  Wr hr
K = .......................................... (2.9a)
b
16

Dimana:
K = Gaya reaksi yang timbul pada bagian tumpuan jembatan
Wbr = Tekanan angin pada rangka jembatan
Wm = Tekanan angin pada kendaraan
Wr = Tekanan angin pada lantai kendaraan
hbr, hm, hr = Jarak masing – masing tekanan angin terhadap tumpuan
b = Lebar Jembatan

Besarnya gaya-gaya batang gelagar utama akibat tekanan angin diperoleh


dengan cara mengalikan faktor perbandingan reaksi tumpuan akibat tekanan angin
dengan reaksi tumpuan akibat berat sendiri.

Reaksi tumpuan akibat beban angin


F= .................................... ..(2.9b)
Reaksi tumpuan akibat beban sendiri

2. Gaya Akibat Pengaruh Suhu


Berdasarkan PPPJJR SKBI-1.3.28-1987, besarnya tegangan untuk konstrusi
baja diperhitungkan apabila terjadi perbedaan suhu 15 0C.
3. Gaya rem
Berdasarkan PPPJJR SKBI 1.3.28-1987,gaya rem dianggap bekerja
horizontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 meter
diatas permukaan lantai kendaraan. Besarnya gaya ini diperhitungkan 5 % dari
beban “D” tanpa koefisien kejut.

c. Beban khusus
Beban khusus adalah beban yang tidak langsung membebani jembatan
tetapi hanya mempengaruhi bagian–bagian tertentu pada konstruksi jembatan.
Beban khusus ini terdiri dari gaya tumbukan, gaya sentrifugal, dan gaya-gaya lain.
Dalam perhitungan ini beban khusus tidak ditinjau, karena perencanaan hanya
dibatasi pada bagian rangka utama jembatan saja.
17

d. Ikatan Angin
Perhitungan ikatan angin terdiri dari ikatan angin atas (Ka) dan ikatan
angin bawah (Kb). Berdasarkan PPJJR beban angin diambil 150 kg/cm2. Gaya-
gaya yang mempengaruhi ikatan angin atas dan ikatan angin bawah diperlihatkan
pada gambar G.2.5 di bawah ini :

Gambar 1.7. Tekanan angin yang bekerja pada jembatan


Sumber : Jembatan, oleh Struyk dan Van Der Veen

Besarnya ikatan angin yang bekerja pada jembatan adalah :


a) Ikatan angin atas
Wbr x hbr  Wm x hm  Wr x hr
Ka = ......................................... (2.10a)
H
b) Ikatan angin bawah
Kb = ( Wbr + Wm + Wr) – Ka ........................................................ (2.10b)
Dimana:
Ka = Gaya reaksi tumpuan ikatan angin atas
Kb = Gaya reaksi tumpuan ikatan angin bawah
Wbr = Tekanan angin pada rangka jembatan
Wm = Tekanan angin pada kenderaan
Wr = Tekanan angin pada lantai kendaraan
Hbr = Jarak tekanan angin rangka terhadap tumpuan rangka jembatan
hm = Jarak tekanan angin pada kendaraan terhadap tumpuan
h = Tinggi rangka jembatan
18

2.2.6 Analisa Pembebanan Elastomeric Bearing


Berat sendiri yang dipikul elastomeric bearing dihitung berdasarkan
pembebanan pada satu elastomeric terhadap gelagar utama. Digunakan persamaan
berikut:
V1 = ½ x Berat gelagar utama ................................................................. (2.11a)
Berat akibat beban hidup dihitung tanpa menggunakan koefisien kejut dengan
persamaan berikut:
V2 = ½ x (½ x qt x L + ½ x Pt) ............................................................... (2.11b)
Kombinasi beban pada elastomeric dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut:
V total = V1 + V2 ................................................................................... (2.11c)
Dimana:
V1 = Berat akibat beban sendiri
V2 = Berat akibat beban hidup
Vtotal = Kombinasi beban
qt = Beban terbagi rata
L = Panjang bentang jembatan
Pt = Beban terpusat

2.3 Rumus-Rumus Untuk Perencanaan


Untuk merencanakan rangka baja sebuah jembatan, diperlukan beberapa
rumus yang mendukung dalam perencanaan. Rumus-rumus yang digunakan
dalam perencanaan akan dijelaskan pada sub bab dibawahi ni.

2.3.1 Sandaran (railing)


Menurut Potma dan De Vries, sandaran akan menimbulkan momen akibat
berat sendiri dan beban hidup. Tegangan yang timbul pada sandaran adalah:
ɸb x M > Mlapangan .............................................................................. ( 2.12 )
Dimana :
ɸb = Koefisien
M = Momen design railing yang direncanakan
Mlapangan = Momen yang bekerja pada sandaran
19

2.3.2 Pelat lantai dan trotoar


Berdasarkan SNI 03-1729-2002, persamaan-persamaan yang digunakan
dalam perencanaan penulangan pelat lantai dan trotoar adalah sebagai berikut:
Mu
K = ∅×b×d2 .......................................................................................... (2.13a)

0,85 x fc′ 2xk


ρ= x (1 − √1 − )..................................................... (2.13b)
fy 0,85 x fc′

0,85 x fc′ 600


ρ b =β × ( )x( ) ............................................................. (2.13c)
fy 600+fy
1,4
ρ min = fy ............................................................................................ (2.13d)

ρ max =0,75 x ρb ................................................................................ (2.13e)

Syarat dari nilai ρ adalah ρ min < ρ < ρ max,


Jika ρ < ρ min <ρ max maka nilai ρ yang digunakan adalah nilai ρ min.
Luas tulangan dihitung dengan persamaan:
As = ρ × b × d...............................................................................(2.13f)
Luas tulangan yang direncanakan dihitung dengan persamaan:
1
Astul = π × D2 ................................................................................(2.13g)
4

Setelah diketahui masing-masing luas, maka dapat dihitung jumlah (n) dan jarak
tulangannya (s) menggunakan persamaan berikut:
As
n = (As ) ........................................................................................... (2.13h)
tul

B
n = n − 1 ................................................................................................ (2.13i)

2.3.3 Gelagar Memanjang dan Melintang


Setiap komponen struktur yang memikul momen lentur harus memenuhi
persyaratan:
ØMn ≥ Mu ........................................................................................ (2.14a)
Dimana:
Ø = faktor reduksi untuk lentur = 0,90
Mn = Kuat nominal momen lentur dari penampang
Mu = Beban momen lentur terfaktor
Kekompakan penampang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
20

- Sayap
𝑏 170
λf = 2 𝑡𝑓 < λp = ......................................................................... (2.14b)
√𝐹𝑦

- Badan
ℎ 1680
λ = 𝑡𝑓 < λp = ........................................................................ (2.14c)
√𝐹𝑦

Pengecekan terhadap pengaruh tekuk lateral dihitung dengan


menggunakan persamaan berikut yang ditentukan oleh SNI 03-1729-2002:
𝐸
Lp = 1,76 x iy x √𝐹𝑦 .............................................................................. (2.14d)

𝑋₁
Lr = iy (𝐹 ) √1 + √1 + 𝑋2 . 𝐹𝐿 ² ............................................................ (2.14e)
𝐿

FL = Fy – fr ............................................................................................ (2.14f)
𝐸
G= ............................................................................................. (2.14g)
2 (1+𝜐)
1
J = Σ 3 x b x t³......................................................................................... (2.14h)

𝜋 𝐸𝐺𝐽𝐴
X1 = 𝑆𝑥 x √ .................................................................................... (2.14i)
2

ℎ𝑒𝑓𝑓 ²
Iw = Iy . .......................................................................................... (2.14j)
4
𝑆𝑥 𝐼𝑤
X2 = 4 {𝐺 .𝐽} ² . .................................................................................... (2.14k)
𝐼𝑦

Dimana:
Lp = Panjang plastis
Fy = Tegangan leleh profil
Fr = Tegangan residu
Sx = Modulus penampang
E = Modulus Elastisitas
G = Modulus Geser
J = Konstanta puntir
Menurut SNI 03-1729-2002, kuat momen lentur nominal untuk kasus Lp <
Lb < Lr dihitung dengan menggunakan rumus:
𝐿𝑟−𝐿
Mn = Cb x [𝑀𝑟 + (𝑀𝑝 − 𝑀𝑟) 𝐿𝑟−𝐿𝑝]................................................... ...(2.14l)

Mr = Sx (Fy – Fr) .................................................................................. (2.14m)


21

Mp = Zx x Fy .......................................................................................... (2.14n)

Dimana:
Mn = Kuat nominal momen lentur dari penampang
Mr = Kuat nominal yang tersedia untuk beban layan
Mp = Momen plastis
Sx = Modulus penampang
Fy = Tegangan leleh profil
Fr = Tegangan residu
Pengecekan terhadap kelangsingan geser diperhitungkan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

λw = .................................................................................................. (2.14o)
𝑡𝑤
5
kn = 5 + 𝑎 ............................................................................................. (2.14p)
( )²
𝑏

𝑘𝑛 𝑥 𝐸
1,10 √ ............................................................................................. (2.14q)
𝐹𝑦

𝑘𝑛 𝑥 𝐸
Untuk λw < 1,10 √ , maka digunakan rumus:
𝐹𝑦

Ø Vn = 0,6 x Fy x Aw..............................................................................(2.14r)
Dimana:
λw = Kelangsingan penampang
kn = Faktor panjang tekuk
E = Modulus Elastisitas
Fy = Tegangan leleh profil
a = Lebar jembatan
b = Tinggi efektif penampang
Kombinasi momen lentur dan geser dihitung dengan menggunakan persamaan:
𝑀𝑢 𝑉𝑢
+ 0,625 x ≤ 1,375 .................................................................... (2.14s)
Ø 𝑀𝑛 Ø 𝑉𝑛

Dimana:
Mu = Beban momen lentur terfaktor
Mn = Kuat nominal momen lentur dari penampang
22

Vu = Beban gaya lintang geser terfaktor


Vn = Kuat nominal gaya lintang geser dari penampang

2.3.4 Gelagar Utama


Gaya yang bekerja pada gelagar utama jembatan rangka baja adalah gaya
tekan dan gaya tarik.
1. Batang tekan
Batang–batang tekan yang mengalami gaya tekan. Panjang batang dan
tumpuan ujung–ujung sangat mempengaruhi (1k). Berdasarkan PPBBI (1984),
jenis-jenis tumpuan pada batang diperlihatkan pada gambar 2.4 dibawah ini.

Gambar 1.8. Jenis-jenis tumpuan pada batang


Sumber : PPBBI-1983-1984
Adapun besarnya jari-jari kelembaman minimum dihitung dengan
menggunakan persamaan :
lk
imin > ........................................................................................ (2.15)
200
Dimana:
imin = Kelangsingan minimum
1k = Panjang batang tekuk
Rumus Euler untuk menghitung angka kelangsingan suatu, dimana angka
kelangsingannya adalah :

1 lk Fy
λ= x x ......................................................................................... (2.16)
 i min E
23

Dimana:
imin = Jari-jari kelembaman profil
λ = Angka kelangsingan
Apabila 0 <  < 1,2 persamaan yang digunakan untuk mencari nilai ω, yaitu:
1,43
ω= ............................................................................. (2.17a)
1,6  0,67c
Apabila 0 <> 1,2persamaanyang digunakanuntuk mencari nilai ω, yaitu:
ω =1,25  c2 ........................................................................................................................... (2.17b)
Batang yang dipilih harus memenuhi kriteria design, yaitu:
Nu
< 1 ......................................................................................................... ( 2.18)
 Nn
Dimana:
Nu = Beban maksimal
øNn = Kuat tekan rencana
2. Batang tarik
Dalam merencanakan batang tarik, faktor yang harus diperhatikan adalah
luas batang profil dan perlemahan akibat sambungan. Tentukan luas minimum
yang diperlukan oleh kondisi leleh dan kondisi fraktur :
Kondisi leleh
Nu
Ag min = .................................................................................................... (2.19)
 Fy
Dimana:
Ag min = Luas minimum yang dibutuhkan
Nu = Beban maksimal
Fy = Teganganleleh (Mpa)
Kondisi fraktur
Nu
Ag min = + Luas lubang baut ............................................................ (2.20)
 Fu .U
Dimana:
Ag min = Luas minimum yang dibutuhkan
24

Nu = Beban maksimal
Fu = Tegangan

3. Pengecekan terhadap penampang terpilih :


Sifat – sifat penampang
Ag profil > Ag minkondisi fraktur ......................................................... (2.21)
4. Pengecekan terhadap blok geser:
Geser leleh-tarik fraktur (Fu . Ant ≥ 0,6 Fu Anv)
Tn = 0,6 Fu . Agr + Fu . Ant ......................................................... (2.22)
Geser fraktur-Tarik leleh (Fu . Ant < 0,6 Fu Anv)
Tn = 0,6 Fu . Anv + Fy . Ant......................................................... (2.23)
Dimana:
Agr = Luas kotor akibat geser
Agt = Luas kotor akibat tarik
Anv = Luas netto akibat geser
Ant = Luas netto akibat tarik
Fu = Kuat tarik
Fy = Kuat leleh

Kuat tarik nominal


 Kondisi leleh
Ø Nn = Ø Fy x Ag ............................................................................... (2.24)
 Kondisi fraktur
Ae = U= 0,90 x (Ag – 4 x 25 x tf) ........................................................ (2.25)
Ø Nn = Ø Fu x Ae .............................................................................. (2.26)
Kelangsingan penampang :
imin profil > imin rencana
25

2.4 Perhitungan Alat Sambung

2.4.1 Sambungan Gelagar Utama


Berdasarkan Darmawan LW (1987) besarnya tekanan baut didasarkan pada
perhitungan tampang satu dan tampang dua. Pada perhitungan gelagar cenderung
menggunakan perhitungan tampang satu yang dijabarkan sebagai berikut:
Kuat geser perbaut setengah ulir dengan bidang geser
Ø Rn (geser tunggal ) = Ø ( 0,5 x Fub ) x m x Ab ................................. (2.27)
Kuat tumpu pelat
Ø Rn = Ø( 2,4 x Fup ) x d1 x tb.............................................................. (2.28)
Kuat nominal satu baut yang dipilih adalah kuat nominal terkecil antara
kuat geser dan kuat tumpu pelat. Jumlah baut yang digunakan terhadap
penyambungan dihitung menggunakan persamaan berikut:
Pmax
N= ........................................................................................... (2.29)
 Rn
Jarak antar baut pada sambungan dihitung dengan persamaan:
s = 3.d  Jarak antara baut dengan baut lainnya
s1 = 2.d  Jarak antara baut dengan sisi tepi pelat

2.4.2 Sambungan gelagar melintang dengan gelagar memanjang


Sambungan gelagar memanjang dengan gelagar melintang diperlihatkan
pada gambar dibawah ini :

W = 5,5 cm

R 2 cm

N1 2d
Baut
e1 N2
3d
e2 Gelagar Memanjang
Plat Siku

Gelagar Melintang

Gambar 1.9. Sambungan gelagar melintang dengan gelagar memanjang


26

2.4.3 Sambungan gelagar utama dengan gelagar melintang


Sambungan gelagar utama dengan gelagar melintang diperlihatkan pada
gambar dibawah ini :

GelagarUtama W R

2d
N1 3d

e1 N2
e2
3d
2d

Gambar 1.10. Sambungan gelagar melintang dengan gelagar utama

2.5 Perhitungan Plat Buhul


Berdasarkan Struyk dan Van Der Veen (1990), bagian plat buhul yang
Paling berbahaya adalah pada penampang AB. Jika “R” gaya batang kiri dan “D”
gaya batang diagonal maka penampang AB menerima gaya tarik (P). Besarnya
gaya tarik tersebut dihitung dengan persamaan:
P = T Cos  + R................................................................................ (2.30)
Momen yang timbul pada penampang plat AB dihitung dengan persamaan :
M = (P x e) ........................................................................................ (2.31)
Akibat dari gaya tarik dan momen, maka timbul tegangan. Dimana
tegangan yang timbul harus lebih kecil dari tegangan izin. Tegangan–tegangan
adalah sebagai berikut :
Tegangan tarik
P M
tr =    tr ............................................................................ (2.32)
F W
27

Tegangan geser
V
τ = < , dimana V = T sin  .................................................... (2.33)
F
Dimana:
P = Gaya tarik pada plat buhul (kg)
R = Gaya batang bawah
M = Momen pada plat buhul
F = Luas tampang plat buhul
e = Titik tangkap momen pada plat buhul
V = Gaya geser pada plat buhul
tr = Tegangan tarik yang timbul
τ = Tegangan geser yang timbul

2.6 Lendutan
Berdasarkan Hukum Hooke, perubahan panjang-panjang dapat dihitung
dengan persamaan :
PxL
L = ....................................................................................... (2.34)
E xF

Lendutan yang terjadi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :


Z = L x  < Z ............................................................................... (2.35)
Dimana:
Z = Lendutan yang terjadi
 = Gaya batang akibat beban P
Z = Lendutan yang diizinkan
L = Perubahan panjang batang
P = Gaya batang
L = Panjang batang
F = Luas penampang profil
28

2.7 Elastomeric Bearing


Menurut AASHTO (libby, 1971), tegangan ijin elastomeric adalah:
a. Beban mati fc’ = 500 psi
b. Beban total fc’ = 800 psi
Panjang perletakan (elastomeric bearing) dihitung dengan persamaan:
𝑉
L = 𝑊 𝑥 𝑓𝑐′ .................................................................................................. (2.36)

Dimana:
L = Panjang elastomeric bearing
V = Beban yang bekerja
W = Lebar elastomeric bearing
Fc’ = Tegangan ijin elastomeric bearing

Tebal perletakan dihitung berdasarkan safe factor (SF) untuk memperoleh


Konpressive Strain yang rendah maka dapat diambil SF = 3, sehingga tebal
perletakan dapat dihitung dengan persamaan :
𝐿𝑥𝑊
SF = 2𝑡 (𝐿+𝑊) ........................................................................................... (2.37)

Dimana:
SF = safe factor = 3
L = Panjang elastomeric bearing
W = Lebar elastomeric bearing
t = Tebal elastomeric bearing
Berdasarkan ukuran elastomeric bearing, AASHTO membatasi dengan
persyaratan sebagai berikut:
Plane Bearing = 5t < 60 cm
Laminated Bearing = 5t < 60 cm

Anda mungkin juga menyukai