Anda di halaman 1dari 19

SEMINAR TUGAS AKHIR ARSITEKTUR

ALUR DESAIN

GEDUNG PERTUNJUKAN DAN MUSEUM WAYANG

DI BANYUWANGI

Disusun oleh:

I Gede Edy Prayoga

1519251060

Program Studi Arsitektur

Fakultas Teknik

Universitas Udayana
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wayang Kulit merupakan salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol
di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni
musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang,
yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, pendidikan,
hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut Supriyo (2008) Wayang merupakan
salah satu teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertunjukkan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan
tahun 907 masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan
wayang. Wayang kulit pernah mengalami kejayaan di masa lampau, bahkan pada masa
penyebaran agama Islam di pulau Jawa, para wali menggunakan cerita pertunjukan wayang
kulit yang telah diselipkan dengan ajaran – ajaran dan kaidah – kaidah Islam sebagai media
penyebaran agama Islam, hal ini dapat terwujud karena cerita – cerita wayang memiliki cerita
yang menggambarkan tentang kehidupan manusia yang mengajarkan kita untuk menjalani
hidup pada jalan yang benar.

Wayang kulit merupakan salah satu kebudayaan yang dikagumi oleh masyarakat Indonesia
dan Internasional. Kesenian wayang telah diangkat sebagai karya agung budaya dunia oleh
UNESCO tanggal 7 Nopember 2003 atau Masterpiece of Oral And Intangible Heritage of
Humanity. (Winoto, 2006) Di daerah jawa cerita yang populer yang tersebar di masyarakat
adalah cerita Ramayana, Mahabharata, dan cerita Arjunasasrabahu. Namun cerita
Arjunasasrabahu kalah populer dibanding kedua cerita lainnya. Ketiga cerita tersebut
merupakan cerita yang berasal dari tanah India. Cerita yang diangkat dalam pewayangan
mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat mendalam. Nilai-nilai tersebut ditanamkan
oleh para leluhur secara mentradisi melalui pertunjukan. Masyarakat diajak untuk merenung
dan berfikir mengenai nilai-nilai dualisme; baik-buruk, utama-angkara, terpuji-tercela, dan
sebagainya, yang pada akhirnya masyarakat tersebut selalu memenangkan yang baik.
Dalam Kesenian wayang kulit terdapat dua peran penting yang selalu dinamis mengikuti
perubahan zaman dan isu ditengah masyarakat yaitu sosok Dalang dan Lakon (tokoh yang
diperankan). Dalang sebagai aktor yang memainkan boneka dengan mengarahkan penonton
pada sebuah kisah yang ingin dituju. Seorang dalang yang hebat, tidak hanya cakap dalam
bercerita dan memainkan wayang, akan tetapi juga mampu mengarahkan alur cerita terhadap
penonton. Sehingga pementasan wayang kulit tidak hanya sebatas hiburan rakyat semata.

Sedangkan lakon adalah tokoh dalam cerita yang diperankan dalam suata pagelaran. Lakon
ini sangat dipengaruhi unsur budaya lokal klasik dan budaya luar. Lakon yang dipengaruhi
budaya lokal didasarkan pada kisah-kisah leluhur dan hasil kreasi dalang pendahulu, seperti
Semar, Gareng, Petrok dan Bagong. Sedangkan lakon yang berasal dari budaya luar seperti
yang dikisahkan dalam kisah Ramayana dan Mahabarata dengan lakon Rama, Rahwana,
hingga Pandawa Lima dan seterusnya.

Seiring perkembangan jaman, keberadaan seni pewayangan di Jawa Timur saat ini sudah
mengalami penurunan minat oleh para masyarakatnya, ditandai dengan berkurangnya minat
para generasi muda untuk turut menikmati seluk beluk dunia pewayangan dan pertunjukan
wayang kulit itu sendiri, padahal seni wayang kulit ini dapat dijadikan hiburan dan sarana
penyampaian berita ataupun realita-realita kehidupan yang terjadi pada saat ini yang tentunya
sarat akan makna. Permasalahan yang timbul saat ini adalah kurangnya minat generasi muda
terhadap seni pewayangan ini. Tentunya kelestarian seni wayang kulit di Jawa Timur tidak
terlepas dari campur tangan para generasi muda untuk mengenal, mempelajari,
mengembangkan dan ikut melestarikan budaya seni wayang kulit di Jawa Timur. Tujuan dari
penyusunan perancangan Gedung Pertunjukan dan Museum Wayang di Banyuwangi ini
adalah untuk menumbuhkan rasa kepedulian para generasi muda untuk ikut mengembangkan
dan melestarikan budaya seni wayang kulit di Jawa Timur dengan pendekatan unsur komedi
di dalamnya, sehingga Tergugahnya rasa kepedulian dan minat para generasi muda untuk
lebih mengenal dan ikut melestarikan budaya seni wayang kulit di Jawa Timur.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diperoleh yaitu:

1. Apakah saja pertimbangan kelayakan perencanaan Gedung Pertunjukan dan Museum


Wayang di Banyuwangi?
2. Fasilitas apa saja yang diperlukan dalam pembuatan Gedung Pertunjukan dan Museum
Wayang Kulit ?
3. Bagaimana konsep perencanaan dan perencanaan arsitektur Gedung Pertunjukan dan
Museum Wayang Kulit?

1.3 Tujuan
Berdasarkan paparan rumusan masalah diatas, maka dapat disimpulkan beberapa tujuan yaitu:
1. mengetahui sasaran dari perencanaan Gedung Pertunjukan dan Museum Wayang di
Banyuwangi
2. Memberikan wadah bagi para pecinta pertunjukan Wayang Kulit untuk menikmati serta
memahami lebih dalam akan fungsi setiap jenis wayang
3. Menyediakan wadah kepada masyarakat umum, terutama bagi generasi muda yang ingin
belajar dan mengetahui lebih dalam terhadap seni pertunjukan wayang kulit

1.4 Metode Penelitian


Teknik pengumpulan data dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Teknik pengumpulan data primer
Data primer adalah data – data yang diperoleh secara langsung, seperti:
a. Observasi, yaitu pencarian data dengan tinjauan langsung ke lokasi yang memiliki
kaitan dengan Gedung Pertunjukan dan Museum Wayang Kulit
b. Wawancara, yaitu pencarian data dengan menanyakan langsung ke pihak – pihak yang
terkait dibidang pengelola museum atapun seniman untuk mendapatkan saran dan
masukan mengenai data – data yang diperlukan
2. Teknik pengumpulan data sekunder
Data sekunder adalah data – data yang dikumpulkan oleh pihak lain, tapi yang kemudian
digunakan oleh peneliti sebagai pertimbangan dalam penelitiannya (Wasito, 1992).
Pengumpulan data secara sekunder dilakukan dengan mencari literature berupa buku –
buku yang berkaitan dengan seni pertunjukan wayang ataupun perancangan gedung
pertunjukan dan museum.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan pada laporan ini dijabarkan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Berisikan tentang uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Bagian kedua berisikan tentang teori-teori bentuk dalam arsitektur, serta teori lain yang
digunakan untuk menunjang penulisan materi ini.
BAB III Tinjauan Objek
Pada bagian ini akan memaparkan tentang lokasi, kondisi dan karakteristik objek
pembahasan.
BAB IV Tema dan Program
Pada bagian ini akan menguraikan mengenai pemilihan tema serta program yang terdiri
dari program fungsional, program performansi, program arsitektural, dan program site.
BAB V Konsep Perancangan
Pada bagian ini akan menguraikan mengenai pemilihan konsep rancangan yang
disesuaikan dengan teori – teori, standar, tema dan program yang telah dihasilkan dalam
bab sebelumnya.
BAB II

PEMAHAMAN MENGENAI GEDUNG PERTUNJUKAN

DAN MUSEUM WAYANG

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang berhubungan dengan gedung pertunjukan dan
museum wayang, tinjauan proyek sejenis dan spesifikasi umum untuk bangunan gedung
pertunjukan dan museum wayang.

2.1 Pemahaman Gedung Pertunjukan


2.1.1 Pengertian Gedung Pertunjukan
Gedung berarti bangunan (rumah) untuk kantor, rapat/tempat mempertunjukan hasil-hasil
kesenian (Poerwadarminta, 1976:303). Pertunjukan adalah tontonan (seperti bioskop, wayang,
wayang orang, dsb), pameran, demonstrasi (Poerwadarminta, 1976:1108). Jadi, gedung
pertunjukan merupakan suatu tempat yang dipergunakan untuk menampilkan sebuah
pagelaran seni, baik itu pagelaran seni musik ataupun seni tari.

2.1.2 Jenis Jenis Gedung Pertunjukkan


Menurut Neufert (2002:136), gedung pertunjukan terbagi kedalam 3 macam, yaitu:

1. Teater
Ciri khas gedung teater adalah dengan adanya bentuk tempat duduk dilantai bawah
(yaitu penonton duduk pada bidang besar berbentuk kurva yang menanjak/naik) dan
melalui sebuah depan panggung yang tampak jelas, depan panggung yang dapat dicontoh
(bidang pertunjukan sebelum pintu gerbang di ruang penonton) (Neufert, 2002:137).

Gambar 2.1 Mother of Art - Gedung Teater di Jakarta


Sumber : google.com/images
2. Opera
Opera berarti bentuk drama panggung yang seluruhnya atau sebagian dinyanyikan
dengan iringan orkes atau musik instrumental (KBBI online). Menurut Neufert (2002:137)
gedung opera mempunyai karakter adanya sebuah pemisahan ruang yang jelas secara
arsitektur antara ruang penonton dan panggung melalui musik orkestra dan banyaknya
tempat duduk (1000 sampai hampir 4000 tempat duduk) dan sistem yang sesuai dengan
tempat duduk tidak terikat (lepas) atau balkon, penting untuk jumlah penonton yang
banyak.

Gambar 2.2 Teatro Colon, Buenos Aires, Argentina


Sumber : media.rooang.com

3. Bioskop (Cinema)
Menurut Aulia 2009, Bioskop (Belanda: bioscoop dari bahasa Yunani βιος, bios
(yang artinya hidup) dan σκοπος (yang artinya "melihat") adalah tempat untuk menonton
pertunjukan film dengan menggunakan layar lebar. Gambar film diproyeksikan ke layar
menggunakan proyektor. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga,
Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2008 bioskop atau teater
memiliki arti :
 Pertunjukan yang diperlihatkan dengan gambar (film), yang disorot sehingga dapat
bergerak (berbicara); film; gedung pertunjukan film cerita.
 Konsep dan definisi bioskop adalah suau perusahaan yang bergerak di dalam bidang
pemutaran film untuk umum atau semua golongan masyarakat dengan pembayaran
dan dilakukakn pada bangunan tertentu.
Gambar 2.3 IMAX Cinema XXI
Sumber : google.com/images

Di dalam perancangan sebuah bioskop ada beberapa jenis sirkulasi yang harus
diperhatikan yaitu sebagai berikut:

a. Sirkulasi Linier

Gambar 2.4 Sirkulai Linier


Sumber : Arsitektur Bentuk Ruang dan Susunannya
Merupakan alur sirkulasi yang lurus, namun dapat melengkung atau terdiri dari
segmen-segmen, memotong jalan lain, bercabang atau membentuk kisaran.
b. Sirkulasi Grid

Gambar 2.5 Sirkulai Grid


Sumber : Arsitektur Bentuk Ruang dan Susunannya
Mempunyai karakteristik yang dapat memungkinkan gerakan bebas dalam banyak
arah yang berbeda-beda. Terdiri atas dua set jalur sejajar yang berpotongan.
c. Sirkulasi Radial

Gambar 2.6 Sirkulai Radial


Sumber : Arsitektur Bentuk Ruang dan Susunannya

Merupakan alur sirkulasi yang memiliki jalur lurus yang berkembang dari sebuah
pusat bersama.
d. Sirkulasi Organik

Gambar 2.7 Sirkulai Organik


Sumber : Arsitektur Bentuk Ruang dan Susunannya

Merupakan sirkulasi yang menyesuaikan terhadap keadaan tapak, sehingga kadang –


kadang bentuk dari bangunan tidak di buat berdasarkan fungsi tetapi berdasarkan
keadaan tapak.
e. Sirkulasi Network

Gambar 2.8 Sirkulai Network


Sumber : Arsitektur Bentuk Ruang dan Susunannya

Suatu bentuk jaringan yang terdiri dari beberapa jalan yang menghubungkan titik
tertentu dalam ruangan.

2.2 Pemahaman Museum Wayang


2.2.1 Pengertian Museum Wayang
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 museum adalah lembaga, tempat
penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil
budaya manusia, alam, dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan
pelestarian kekayaan budaya bangsa. Adapun fungsi dari sebuah museum adalah sebagai
berikut :

a. Pusat informasi umum


b. Pengumpulan warisan budaya dan alam
c. Pengenalan budaya bangsa terhadap negara lain
d. Cermin sejarah manusia, alam dan budaya
e. Objek wisata

Tipe museum menurut Josep Montaner (1990) ditinjau secara bersama-sama dari segi
program, ukuran, bentuk, dan kompleksitasnya adalah sebagai berikut :

 Kompleks kebudayaan
 Galeri seni nasional
 Museum seni kontemporer
 Museum IPTEK dan industry
 Galeri dan pusat seni kontemporer
Menurut Prof. Dr. Wiyoso Yudoseputrodikan (2015), wayang adalah salah satu
kebudayaan asli bangsa Indonesia, penyelidikan tersebut menghubungkan pertunjukan
wayang dengan tradisi cara berfikir alam kepercayaan lama. Dalam perkembangannya setelah
melalui proses akulturasi dengan kebudayaan dari luar, khususnya dari India dan kebudayaan
Islam, wayang menjadi bentuk manifestasi seni budaya yang tinggi mutunya.

2.2.2 Sejarah Museum di Indonesia


Keberadaan museum di Indonesia tidak lepas dari pengaruh masa penjajahan Belanda.
Bermula pada tahun 1752 di kota Harlem, Belanda, berdiri perkumpulan yang bergerak di
bidang ilmu pengetahuan yang bernama “ De Holandsch Maatschapij en weten schappen”.
Pemerintah Belanda di Indonesia merasa perlu mendirikan museum dan stasiun untuk sarana
penelitian di berbagai kota, termasuk di Batavia. Tujuannya agar Belanda bisa lebih luas
dalam mengeksplorasi kekayaan di daerah jajahan. Museum yang didirikan terpisah dari
lembaga di Belanda.

Gambar 2.9 Museum Nasional


Sumber : google.com/images

Pada 24 April 1778 di Batavia berdiri lembaga ilmu pengetahuan “ Bataviasch


Genootschap van Kunsten en weten schappen” di rumah J. C. M Rademaker, tepatnya di
daerah Kalibesar Jakarta. Tujuan didirikannya “Bataviasch Genootschap van Kunsten en
weten schappen” adalah memajukan penelitian di bidang Biologi, ilmu alam, ilmu purbakala,
ilmu sastra, ilmu bangsa- bangsa, ilmu sejarah, kesenian, dan menerbitkan hasil- hasil
penelitian. Gedung ini sekarang lebih dikenal dengan nama Museum Nasional, yang terletak
di Jalan Medan Merdeka Barat no 12.
Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan yang pesat maka pada tahun 1862
pemerintah Belanda membangun gedung- gedung baru untuk menampung lembaga- lembaga
dari spesialisasi ilmu pengetahuan tersebut. Lembaga- lembaga baru itu antara lain :

1. Museum Zoologi (Bukittinggi, 1890)

2. Museum Zoologi (Bogor, 1894)

3. Museum radio Pustaka (Solo, 1890)

4. Museum Pubakala di Trowulan, Mojokerto tahun (1920)

5. Museum Rumah Adat Banjuang, Sumatera Barat (1833)

6. Museum Rumah Simalungun, Batak (1838)

7. Museum Herbarium (Bogor, 1941)

2.2.3 Sejarah Wayang di Indonesia


Catatan tertua yang menyatakan kehadiran pertunjukan yang disebut “wayang” di Jawa
Tengah berasal dari tahun 907 A.D. Sebuah prasasti batu yang dikeluarkan oleh Raja Balitung
menyebut pertunjukan wayang sebagai mawayang. Hal itu tak dapat dibuktikan apakah yang
dimaksud mawayang ini sungguh-sungguh sebuah pertunjukan wayang sebagaimana yang
dikenal sekarang atau bukan. Selain itu ada pendapat yang mengemukakan bahwa pertunjukan
wayang pada awalnya diperuntukkan sebagai sarana menyembah roh-roh leluhur. Wayang
juga dijadikan sebagai alat penyebaran agama Hindu. Ketika agama Islam datang yang disebar
luaskan oleh para Wali yang tergabung dalam kelompok Wali Songo, wayang dimanfaatkan
sebagai media penyebaran agama Islam, khususnya kepada masyarakat Jawa. Mereka yang
menggemari wayang, dipersilahkan menonton dan masuk Islam. Ini membuktikan bahwa
pada masanya, wayang merupakan media populer yang efektif sebagai media hiburan,
pembawa berita atau informasi.
Gambar 2.10 Wayang Kulit
Sumber : google.com/images

Pada periode penyebaran agama Islam di Jawa, para muballigh (wali songo) dalam
menjalankan dakwah Islam telah memakai alat berupa wayang kulit. Salah seorang wali songo
yang piawai memainkan wayang kulit sebagai media penyebaran Islam adalah Sunan
Kalijaga. Mengingat cerita itu sarat dengan unsur Hindu-Budha, maka Sunan Kalijaga
berusaha memasukkan unsur-unsur Islam dalam pewayangan. Ajaran-ajaran dan jiwa
keIslaman itu dimasukkan sedikit demi sedikit. Bahkan lakon atau kisah dalam pewayangan
tetap mengambil cerita Pandawa dan Kurawa yang mengandung ajaran kebaikan dan
keburukan.

2.3 Jenis – Jenis dan Bentuk Wayang Tradisional


Kesenian wayang memiliki berbagai macam jenis, adapun jenis jenis wayang dibedakan
berdasarkan lakon yang dimainkan dalam pertunjukkan. Jenis – jenis wayang berdasarkan
lakon yang diperankan yaitu sebagai berikut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan :
264):

a. Wayang Ramayana merupakan wayang yang didalam ceritanya menggambil tema atau
lakon atau epos Ramayana.
b. Wayang Purwa (Marwa) merupakan wayang yang didalam ceritanya menggambil tema
atau lakon atau epos Mahabarata.
c. Wayang Calonarang merupakan wayang yang menceritakan tentang kisah pemerintahan
Prabu Erlangga, dimana Sang Raja yang kawin dengan Dewi Ratna Mangali yang dalam
topiknya menceritakan kegiatan ilmu hitam oleh Calonarang di Desa Girah yang dilawan
dan dikalahkan oleh tingkah laku baik yang dipelopori oleh Empu Barata.
d. Wayang Cupak/Gerantang merupakan pertunjukkan wayang dengan lakon atau cerita
Cupak Gerantang. Mereka adalah tokoh wayang dalam cerita wayan itu sendiri sepertii
halnya Wayang Jemblung di Jateng, dimana raja (Umarmaya) oleh masyarakat diberi
julukan “Jemblung”. Lama – kelamaan terkenal dengan nama “Wayang Jemblung” bagi
pertunjukkan wayang itu. Dalam wayang Cupak Gerantang mereka adalah dua tokoh
kakak beradik. Lakon ini menceritakan seseorang yang buruk karena pendir (Cupak)
denga tingkah laku yang baik dan cakap yang dipelopori oleh Gerantang.
e. Wayang Gambuh merupakan jenis pertunjukkan wayang yang menggambil tokoh – tokoh
pengambuhan untuk disajikan sistem pakeliran (dibalik layar). Sumber lakon pertunjukan
wayang in berasal dari drama tari Gambuh dengan menggambil cerita Panji Inukertapati
dan Rangkesari.
f. Wayang Arja merupakan seni pertunjukan wayang yang tokohnya diambil dari drama tari
Arja. Beberapa tokoh tersebut seperti mantra, galuh, condong, desak, penasar dan lainnya.
Cara pementasan sama dengan wayang lainnya, namun sistem pembabakannya sama
persis dengan drama tari Pangarjan.
g. Wayang Tantri merupakan satu jenis seni pertunjukan wayang yang ceritanya
menggambarkan tokoh – tokoh dalam cerita Tantri.

2.4 Studi Banding


Studi banding dilakukan dengan maksud agar penulis bisa lebih memahami mengenai
proyek sejenis yan akan dibuat dalam tugas akhir. Dalam studi banding atau studi kasus ini,
dilakukan observasi dibeberapa objek yaitu sebagai berikut:

2.4.1 Setia Darma House of Mask and Puppets


Setia Darma House of Mask and Puppets terletak di jalan Tegal Bingin, Mas, Ubud.
Setia Darma House of Mask and Puppets merupakan sebuah museum yang memiliki
koleksi topeng dang wayang dari Indonesia dan negara – negara lainnya.
Gambar 2.11 Setia Darma House of Mask and Puppets
Sumber : Dokumentasi 2018

Setia Darma House of Mask and Puppets adalah tempat preservasi, pembelajaran
dan pajangan dari topeng dan wayang dari Indonesia dan negara – negara lainnya. Kira –
kira terdapat 1.300 koleksi topeng dari Indonesia, Afrika, Jepang, Mexico, China,
Srilangka dan Korea dan sekitar 5.700 koleksi wayang dari Indonesia, China, Malaysia,
Myanmar, Camboja, India, Laos, Srilangka dan Korea.

Setia Darma House of Mask and Puppets memiliki luas lahan sekitar 1.5 hektare,
terdapat 9 ruang pameran yang sepenuhnya menggunakan rumah tradisional Jawa (Joglo)
dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan terdapat juga halaman terbuka yang
melambangkan halaman tradisional Bali yang difungsikan sebagai tempat pertunjukkan.

A. Tugas Pokok

Sebagai salah satu museum yang memiliki kebudayaan Indonesia dalam pelestarian
topeng dan wayang tradisional, Setia Darma House of Mask and Puppets memiliki
tugas poko sebagai media pembelajan serta pengetahuan kepada masyarakat umum
tentang kebudayaang tradisonal Indonesia khususnya dibidang seni topeng dan
wayang.
B. Fungsi

Sebagai sebuah lembaga yang memiliki kewajiban sebagai media pengetahuan dan
pembelajaran, adapun Setia Darma House of Mask and Puppets memiliki fungsi
sebagai berikut:

1. Melestarikan kebudayaan terutama dalam bidang seni topeng dan wayang


2. Sebagai tempat pameran kebudayaan Bali khusunya wayang
3. Menyediakan fasilitas yang bertujuan menarik minat pengunjung terhadap
kesenian wayang.
C. Sasaran dan Pelaku Aktivitas

Sasaran dan pelaku aktivitas dari Setia Darma House of Mask and Puppets adalah
bagi instansi pendidikan sebagai sarana pembelajaran dan juga masyarakat umum yang
ingin mengetahui tentang kebudayaan khususnya dalam bidang topeng dan wayang.

D. Bentuk Kegiatan

Kegiatan dan aktivitas yang ada di Setia Darma House of Mask and Puppets ini dibagi
menjadi tiga bagian yaitu:

1. Kegiatan Utama, meliputi kegiatan primer dalam pameran baik itu pameran tetap
atau temporer
2. Kegiatan Pendukung, yakni kegiatan yang membantu kegiatan utama seperti
mengadakan pertunjukan
3. Kegiatan Penunjang, seperti menjual sourvenir atau pernak - pernik
E. Pengelolaan

Pengelolaan atau struktur organisasi Setia Darma House of Mask and Puppets adalah
sebagai berikut:

1. Owner Museum Setia Darma House of Mask and Puppets


2. 1 Orang Kepala Administrasi
3. 1 Orang Kepala IT
4. 1 Orang Kepala Kebun
5. 6 Orang Cleaning Service
F. Fasilitas

Gambar 2.12 Lay Out Setia Darma House of Mask and Puppets
Sumber : Setia Darma House of Mask and Puppets

Gambar 2.13 Rua ng Pameran Setia Darma House of Mask and Puppets
Sumber : Dokumentasi 2018

Fasilitas – fasilitas yang terdapat di Setia Darma House of Mask and Puppets selain
fasilitas utama sebagai sumber midiasi untuk masyarakat umum juga terdapat fasilitas
lainnya yaitu sebagai berikut:

1. Wantilan memiliki fungsi sebagai tempat pertunjukan pagelaran seni


2. Guest House memiliki fungsi sebagai tempat mencari informasi bagi pengunjung
museum
3. Café Topeng merupakan tempat untuk beristirahat untuk pengunjung dan tempat
makan atau minum
4. Ampliteater sebagai tempat pertunjukkan
5. Art Shop sabagai tempat penjualan seni topeng dan juga wayang
DAFTAR PUSTAKA

Desiana, S. (2015). Pusat Sinema Bandung (Banding Cinema Centre). Gedung Pertunjukan.
Ifant. (2017, November 09). Gedung Pertunjukan. Retrieved from SCRIBD:
https://www.scribd.com/document/363932030/Gedung-Pertunjukan
Mertosedono, A. (1994). Sejarah Wayang, Asal-Usul, Jenis dan Cirinya. 28-32.
Sandrian. (2014, September 03). Sejarah Perkembangan Wayang dan Jenisnya . Retrieved from
Krezz Topik: http://krezztopik.blogspot.com/2014/09/sejarah-wayang.html
Setyani, T. I. (2008). Ragam Wayang di Nusantara. 6-12.

Anda mungkin juga menyukai