Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan generasi penerus yang menentukan masa depan

suatu bangsa di masa yang akan datang. Tujuan tersebut harus didukung

dengan pembangunan di segala aspek kehidupan, diantaranya pendidikan,

ekonomi, sosial dan kesehatan. Pembangunan kesehatan merupakan salah

satu bagian dari pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah

dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu sasaran utama

pembangunan kesehatan adalah anak-anak, terutama pada usia bayi

(Anggraini J, 2015).

Periode bayi merupakan rentang usia anak 0-12 bulan. Mekanisme

penting yang harus didapatkan oleh bayi pada awal kehidupannya adalah

imunitas terhadap berbagai penyakit. Sistem imunitas pada masa bayi sama

dengan orang dewasa, tetapi belum berkembang dengan sempurna pada saat

lahir (Anggraini J, 2015). Hal inilah yang menyebabkan bayi rentan terhadap

infeksi berbagai penyakit. Kesakitan dan kematian bayi ini dapat menjadi

indikator dalam menentukan derajat kesehatan (Rahayuningsih SI, 2012).

Angka Kematian Bayi di Indonseia tahun 2015 sebesar 22,23 per

1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai target MDGS 2015

sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup (Kementrian Kesehatan RI, 2016).

Sedangkan Angka Kematian Bayi di Kota Bengkulu pada tahun 2014 sebesar

1
2

11 per 1000 KH dan pada tahun 2015 turun menjadi 6 per 1000 KH dan pada

tahun 2016 naik menjadi 7 per 1000 KH (Dinkes Prov Bengkulu, 2015).

Setiap tahun lebih dari 1,4 juta anak di dunia meninggal karena

berbagai penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi. Upaya

preventif dikembangkan pemerintah melalui penerapan wajib imunisasi dasar

pada satu tahun pertama kehidupan anak. Imunisasi merupakan suatu upaya

untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap

suatu penyakit. Beberapa penyakit menular yang termasuk ke dalam Penyakit

yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) antara lain TBC, Difteri,

Tetanus, Hepatitis B, Pertusis, Campak, Polio, dll. Keberhasilan seorang bayi

dalam mendapatkan imunisasi dasar tersebut diukur melalui indikator

imunisasi dasar lengkap (Kementrian Kesehatan RI, 2016).

Cakupan imunisasi dasar lengkap di kota bengkulu pada tahun 2016

terendah yaitu puskesmas Sawah Lebar 81,6%, dari jumlah sasaran 415 bayi,

yang mendapatkan imunisasi 343 bayi, artinya ada angka Drop Out imunisasi

sebesar 17,3% atau 72 bayi yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap

(Dinkes Kota Bengkulu, 2016). Berdasarkan wawancara dengan bidan

Puskesmas Sawah Lebar tanggal 9 Juni 2017, penyebab langsung Drop Out

imunisasi antara lain karena orang tua takut terjadinya Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi (KIPI) seperti demam, nyeri dan bengkak. Angka kejadian bengkak

bayi saat imunisasi diperkirakan 2:10 bayi yang diimunisasi.


3

Pemberian imunisasi dengan prosedur injeksi dapat menimbulkan nyeri

pada bayi. Nyeri akibat injeksi merupakan nyeri yang dirasakan pada anak

sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri yang tidak ditangani

dapat berakibat buruk. Akibat jangka pendek yang dapat disebabkan oleh

nyeri imunisasi pada bayi antara lain perdarahan perventrikuler,

hipersensitifitas terhadap nyeri, respon terhadap nyeri memanjang. Adapun

akibat jangka panjang nyeri imunisasi pada bayi yaitu peningkatan keluhan

somatik tanpa sebab yang jelas, perubahan respon untuk nyeri dan respon

fisiologis berlebihan terhadap stres (Anggraini J, 2015).

Menurut teori perkembangan psikoseksual, usia bayi (0-12 bulan)

masuk dalam fase oral, dimana bayi mendapat kepuasan melalui rangsangan

ataupun stimulus yang berpusat pada mulut. Strategi penurunan nyeri dengan

menggunakan tekhnik pemberian ASI merupakan penatalaksanaan nyeri non

farmakologi (Putra I.B, 2014).

Asupan gula maupun larutan manis dapat mengurangi rasa sakit,

seperti rasa manis yang terdapat pada ASI. Hal ini dikarenakan oleh

pelepasan Betha endorphin (horman opiat endrogen, yang diproduksi sendiri

oleh tubuh, sifatnya mirip dengan morfin) dan mekanisme preabsorbsi dari

rasa manis. Betha endorphin dihasilkan oleh fetus pada saat lahir oleh

glandula pituitary hypothalamus, yang berikatan dengan reseptor di otak,

serta mengatur regulasi perasaaan nyeri. Ketika ibu memberikan ASI pada
4

anaknya, maka akan menumbuhkan ikatan psikologis antara ibu dan bayi.

Proses ini disebut “perlekatan” (bounding). Bayi pun menjadi jarang

menangis dan rewel (Anggraini J, 2015).

Salah satu perlekatan (bounding) yang dapat diberikan oleh ibu yaitu

dengan terapi sentuhan yang dilakukan orang tua saat prosedur imunisasi

dapat mengurangi depresi dan ketegangan, mengurangi rasa sakit,

meningkatkan hubungan orangtua dan bayi. Karena pemberian terapi

sentuhan merangsang pengeluaran Beta Endorphin yang mengatur regulasi

perasaan nyeri (Asri SD, 2017).

Penilaian rasa nyeri yang tepat perlu dilakukan oleh tenaga kesehatan

agar mampu menginterpretasikan rasa nyeri yang dialami oleh bayi. Penilaian

skala nyeri pada bayi dapat dilakukan dengan menggunakan skala FLACC

(Face, Legs, Activity, Cry, Consolability). Indikator dalam skala ini meliputi

penilaian: 1) ekspresi muka, 2) gerakan kaki, 3) aktivitas, 4) menangis, 5)

kemampuan dihibur (Anggraini J, 2015).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan, Arief Dharma (2013).

rata-rata tingkat nyeri pada bayi yang diukur dengan skala nyeri FLACC pada

kelompok intervensi pemberian ASI adalah 4.53. Sedangkan pada kelompok

kontrol rata-rata tingkat nyerinya adalah 7.93. Hasil uji statistik menunjukkan

dengan tingkat signifikasi 95% didapatkan nilai p=0.000.

Menurut Rahayuningsih (2012) dalam penelitiannya bahwa bayi yang

disuntik imunisasi Combo memiliki tingkat nyeri paling tinggi. Karena


5

adanya perbedaan ukuran jarum yang digunakan lebih besar dan volume

vaksin yang lebih banyak. Vaksin Combo (DPT-HB) mulai digunakan tahun

2006 dan dilanjutkan dengan Pentavalen tahun 2014, jadi vaksin pentavalen

kedudukannya menggantikan vaksin Combo yang sekarang tidak ada lagi

(Kemenkes RI, 2015)

Berdasarkan studi pendahuluan di Puskesmas Sawah Lebar pada

tanggal 9 Juni 2017, dari 10 bayi yang diberikan imunisasi di Posyandu,

ternyata terdapat 9 atau 90% bayi menunjukkan respon nyeri menagis, dan 1

atau 10 % bayi tidak menunjukkan respon nyeri yang dialaminya terlihat dari

tangisan atau rengekan bayi yang lama serta sulit untuk didiamkan, respon

memberontak dengan menendang atau menginjak kaki dengan menyentak,

wajah meringis. Namun, belum ada penanganan terhadap nyeri tersebut,

penatalaksanaan yang dilakukan hanya untuk mengatasi Kejadian Ikutan

Pasca-Imunisasi (KIPI) akibat reaksi vaksin, seperti demam dan bengkak.

Bedasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk membantu

mencarikan solusi dalam penatalaksanaan penanganan nyeri bayi saat

imunisasi yaitu dengan pemberian ASI dan terapi sentuhan saat imunisasi.

B. Rumusan Masalah
Tingginya angka Drop Out imunisasi di Puskesmas Sawah Lebar

sebesar 17,3%. Penyebab langsung Drop Out imunisasi antara lain karena

orang tua takut terjadinya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) seperti

demam, nyeri dan bengkak. Angka kejadian bengkak bayi saat imunisasi di
6

Puskesmas Sawah Lebar diperkirakan 2:10 bayi yang diimunisasi. Serta

rendahnya penatalaksanaan nyeri saat imunisasi yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan terhadap bayi yang diimunisasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ”Apakah

pemberian ASI efektif dalam menurunkan respon nyeri bayi saat

penyuntikkan imunisasi Pentavalen di Puskesmas Sawah Lebar?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya efektifitas pemberian ASI saat penyuntikkan imunisasi

Pentavalen terhadap respon nyeri pada bayi di Puskesmas Sawah Lebar

tahun 2017.

2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin

dan berat badan bayi di Puskesmas Sawah Lebar Tahun 2017

b. Diketahuinya respon nyeri bayi saat imunisasi Pentavalen pada bayi

yang diberikan ASI di Puskesmas Sawah Lebar tahun 2017.

c. Diketahuinya respon nyeri bayi saat imunisasi Pentavalen pada bayi

yang diberikan terapi sentuhan di Puskesmas Sawah Lebar tahun

2017.

d. Diketahuinya perbedaan respon nyeri pada kelompok intervensi

pemberian ASI dan kelompok kontrol terapi sentuhan di Puskesmas

Sawah Lebar tahun 2017.


7

e. Diketahuinya faktor lain yang mempengaruhi respon nyeri bayi saat

penyuntikkan imunisasi Pentavalen di Puskesmas Sawah Lebar tahun

2017.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Akademik
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah dan

menambah wawasan tentang efektifitas pemberian ASI terhadap

respon nyeri bayi saat penyuntikkan imunisasi Pentavalen dan dapat

disosialisasikan kepada masyarakat dalam kegiatan Tri Dharma

Perguruan Tinggi.

b. Bagi Peneliti Kebidanan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber

data atau informasi bagi pengembangan penelitian kebidanan

berikutnya terutama yang berhubungan manajemen nyeri yang dapat

mengurangi nyeri saat penyuntikkan imunisasi pada bayi.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini merupakan fakta yang dapat dijadikan

masukan pada praktek kebidanan diberbagai tatanan pelayanan

kesehatan di Rumah Sakit, Puskesmas maupun praktek kebidanan

yang dapat dijadikan intervensi kebidanan yang efektif untuk


8

mengurangi respon nyeri pada penyuntikan imunisasi bayi sebagai

salah satu Asuhan Sayang Bayi.

b. Bagi Bidan Pelaksana

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pilihan strategi bagi

bidan dalam menerapkan prinsip menurunkan respon nyeri pada bayi

yang diimunisasi.

c. Bagi Orang Tua

Memberikan wawasan mengenai metode untuk menurunkan

respon nyeri pada bayi saat melakukan imunisasi, dan juga

meningkatkan kepercayaan ibu dalam mengimunisasi anaknya.

E. Keaslian Penelitian
1. Anggraini, J (2015), Pengaruh Pemberian Asi Dan Distraksi Mainan

Bersuara Terhadap Skala Nyeri Bayi Yang Mendapat Imunisasi Di

Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Timbangan Inderalaya, hasil

penelitian ada perbedaan skala nyeri bayi saat penyuntikkan imunisasi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Perbedaan dengan

penelitian ini adalah vaiabel independen, desain penelitian dan tekhnik

sampling,

2. Maulana, David dkk (2014), Perbedaan Efektifitas Pemberian ASI Dan

Larutan Sukrosa Oral Terhadap Respon Nyeri Bayi Saat Dilakukan

Penyuntikan Imunisasi Di Puskesmas Laren Kecamatan Laren Kabupaten

Lamongan, hasil penelitian menunjukkan pemberian ASI (menyusui)


9

lebih efektif dibandingkan pemberian larutan sukrosa oral dalam

menurunkan respon nyeri bayi pasca tindakan injeksi imunisasi.

Perbedaan dengan penelitian ini pada variabel independen, tekhnik

sampling dan analisis multivariat.

3. Rahayuningsih, Sri Intan (2012), Efek Pemberian ASI Terhadap Tingkat

Nyeri Bayi Saat Penyuntikan Imunisasi Di Kota Depok, hasil penelitian

menunjukkan bahwa tingkat nyeri bayi yang diukur dengan skala

FLACC saat penyuntikan imunisasi pada bayi yang diberi ASI lebih

rendah dibandingkan pada bayi yang tidak diberi ASI. Perbedaan dengan

penelitian ini pada tekhnik sampling dan analisis multivariat.

4. Ethycasari (2012). Perbandingan Efektifitas Antara Metode Bounding

(Dekapan) Dan Stimulus Kutaneus Dalam Mengurangi Rasa Nyeri

Suntikan Intramuskuler Pada Bayi, hasil penelitian ini menunjukan

adanya perbedaan perlakuaan dari bounding (dekapan) ataupun dari

stimulasi kutaneus baik dilihat dari segi waktu maupun penurunan skala

nyeri, secara psikologis bounding lebih membuat bayi cenderung lebih

cepat tenang, nyaman dan merasa mendapatkan kasih sayang sehingga

hasil yang didapat bounding terlihat lebih efektif dibanding stimulasi

kutaneus. Perbedaan dengan penelitian ini pada variabel independen,

tekhnik sampling, analisis multivariat.

Anda mungkin juga menyukai