Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistami. Sejak itu secara luas
digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi. Pada umumnya antihistamin yang
beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya mempunyai efek lain seperti
antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini
disebut antihistamin (AH1) klasik. Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan
efek samping, mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan
koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan menimbulkan
masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang. Dekade ini muncul
antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1 sedatif yang tidak bersifat sedasi,
yang memberikan harapan cerah.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan).

1.2. Rumusan masalah


Dari latar belakang diatas maka ditarik rumusan masalah yang akan dibahas didalam
makalah ini adalah:
1. Apa pengertian dari histamin dan anti alergi ?
2. Apa saja pembagian antihistamin ?
3. Bagaimana penggunaan umum dari antihistamin ?
4. Bagaimana antagonis terhadap histamine ?
5. Bagaimana farmakokinetik dari antihistamin?
6. Bagaimana mekanisme kerja dan efek samping dari antihistamin ?
7. Apa saja obat-obat dari antihistamin ?
8. Bagaimana indikasi dan kontraindikasi dari antihistamin ?

1
1.3. Manfaat Penulisan
Dengan selesainya penulisan makalah ini penulis mempunyai harapan pada masa yang
akan datang semoga makalah ini mudah – mudahan bermanfaat untuk menambah ilmu
pengetahuan tentang Histamin dan serotonin, menambah wawasan tentang anti alergi.

1.4. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan umum yang hendak dicapai oleh penulis adalah untuk mengetahui
kewaspadaan universal. Sedangkan tujuan khusus yaitu :
1. Mengetahui tentang Histamin.
2. Mengetahui pembagian dari antihistamin.
3. Mengetahui penggunaan umum dari antihistamin.
4. Mengetahui antagonis terhadap antihistamin.
5. Mengetahui farmakokinetik dari antihistamin.
6. Mengetahui mekanisme kerja dan efek samping dari antihistamin.
7. Mengetahui obat-obat dari antihistamin.
8. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi dari antihistamin.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian.
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau
kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang
mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang
bekerja pada reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan
oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman.
Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.

2.2. Macam-macam antihistamin.


1. Antihistamin (AH1) non sedatif.
a. Terfenidin
Merupakan suatu derivat piperidin, struktur kimia. Terfenidin diabsorbsi sangat cepat dan
mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam pemberian. Mempunyai mula kerja yang cepat dan lama
kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan didistribusi luas ke berbagai jaringan tubuh.
Terfenidin diekskresi melalui faeces (60%) dan urine (40%). Waktu paruh 16-23 jam. Efek
maksimum telah terlihat sekitar 3-4 jam dan bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60
mg diberikan 2 X sehari.
b. Astemizol
Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan cincin benzimidazol, struktur
kimia. Astemizol pada pemberian oral kadar puncak dalam darah akandicapai setelah 1 jam
pemberian. Mula kerja lambat, lama kerja panjang. Waktu paruh 18-20 hari. Di metabolisme di
dalam hati menjadi metabolit aktif dan tidak aktif dan di distriibusi luas keberbagai jaringan
tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat lambat, terdapat dalam faeses 54% sampai 73% dalam
waktu 14 hari. Ginjal bukan alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan sekitar 6% obat
ini dalam urine. Terikat dengan protein plasma sekitar 96%.
c. Mequitazin
Merupakan suatu derivat fenotiazin, struktur kimia lihat Gbr.1. Absorbsinya cepat pada

3
pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 6 jam pemberian. Waktu paruh 18
jam, Onset of action cepat, duration of action lama. Dosis 5 mg 2 X sehari atau 10 mg 1 X sehari
(malam hari).
d. Loratadin
Adalah suatu derivat azatadin, struktur kimia Gbr. 1. Penambahan atom C1 meninggikan
potensi dan lama kerja obat loratadin. Absorbsinya cepat. Kadar puncak dicapai setelah 1 jam
pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat dan lama kerja adalah panjang.
Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24 jam. Pada pemberian 40 mg satu kali sehari selama
10 hari ternyata mendapatkan kadar puncak dan waktu yang diperlukan tidak banyak berbeda
setiap harinya hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kumulasi, obat ini di distribusi luas ke
berbagai jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif
secara farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan cepat di
dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui empedu. Pada waktu ada
gangguan fiungsi hati waktu paruh memanjang. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari.

2. Terdapat beberapa jenis antihistamin, yang dikelompokkan berdasarkan sasaran kerjanya


terhadap reseptor histamin.
a. Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya adalah: difenhidramina,
loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping
dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.
b. Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan
sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat
digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk
menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina,
famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.

c. Antagonis Reseptor Histamin H3

4
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif.
Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia.
Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
d. Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan
analgesik. Contohnya adalah tioperamida.Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat
antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah
obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan
histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.

2.3. Penggunaan umum.


Menghilangkan gejala yang behubungan dengan alergi, termasuk rinithis, urtikaria dan
angiodema, dan sebagai terapi adjuvant pada reaksi anafilaksis. Beberapa antihistamin digunakan
untuk mengobati mabuk perjalanan (dimenhidrinat dan meklizin), insomnia (difenhidramin),
reaksi serupa parkinson (difenhidramin), dan kondisi nonalergi lainnya.
Lazimnya dengan “antihistaminika” selalu dimaksud H-1 blockers. Selain bersifat
antihistamin, obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lain, yakni daya antikolinergis,
antiemetis dan daya menekan SSP (sedative), dan dapat menyebabkan konstipasi, mata kering,
dan penglihatan kabur, sedangkan beberapa di antaranya memiliki efek antiserotonin dan local
anestesi (lemah).
Berdasarkan efek ini, antihistaminika digunakan secara sistemis ( oral,injeksi) untuk
mengobati simtomatis bermacam-macam gangguan alergi yang disebabkan oleh pembebasan
histamine.

Di samping rhinitis, pollinosis dan alergi makanan/obat, juga banyak digunakan pada sejumlah
gangguan berikut:
1. Asma yang bersifat alergi, guna menanggulangi gejala bronchokonstriksi. Walaupun
kerjanya baik, namun efek keseluruhannya hanya rendah berhubung tidak berdaya terhadap
mediator lain (leukotrien) yang juga mengakibatkan penciutan bronchi. Ada indikasi bahwa
penggunaan dalam bentuk sediaan inhalasi menghasilkan efek yang lebih baik. Obat-obat

5
ketotifen dan oksatomida berkhasiat mencegah degranulasi dari mastcells dan efektif untuk
mencegah serangan.
2. Sengatan serangga khususnya tawon dan lebah, yang mengandung a.l. histamine dan suatu
enzim yang mengakibatkan pembebasannya dari mastcells. Untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan, obat perlu diberikan segera dan sebaiknya melalui injeksi adrenalin i.m. atau
hidrokortison i.v.
3. Urticaria (kaligata, biduran). Pada umumnya bermanfaat terhadap meningkatnya
permeabilitas kapiler dan gatal-gatal, terutama zat-zat dengan kerja antiserotonin seperti
alimemazin (Nedeltran), azatadin dan oksatomida. Khasiat antigatal mungkin berkaitan pula
dengan efek sedative dan efek anestesi local.
4. Stimulasi nafsu makan. Untuk menstimulasi nafsu makan dan dengan demikian menaikkan
berat badan, yakni siproheptadin ( dan turunannya pizotifen) dan oksatomida. Semua zat ini
berdaya antiserotonin.
5. Sebagai sedativum berdasarkan dayanya menekan SSP, khususnya prometazin dan
difenhidramin serta turunannya. Obat-obat ini juga berkhasiat meredakan rangsangan batuk,
sehingga banyak digunakan dalam sediaan obat batuk popular.
6. Penyakit Parkinson berdasarkan daya antikolinergisnya, khususnya difenhidramin dan
turunan 4-metilnya (orfenadrin) yang juga berkhasiat spasmolitis.
7. Mabuk jalan dan Pusing (vertigo) berdasarkan efek antiemetisnya yang juga berkaitan
dengan khasiat antikolinergis, terutama siklizin,meklizin dan dimenhidrinat, sedangkan sinarizin
terutama digunakan pada vertigo.
8. Shock anafilaksis di samping pemberian adrenalin dan kortikosteroid. selain itu,
antihistaminika banyak digunakan dalam sediaan kombinasi untuk selesma dan flu.

6
2.4. Antagonis terhadap histamine.
AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam
otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain
yang disertai pengelepasan histamine endogen berlebihan.
Otot polos: secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos
(usus,bronkus).
Permeabilitas kapiler: peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin, dapat
dihambat dengan efektif oleh AH1
Reaksi anafilaksis dan alergi: reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter
terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi autakoid lain
juga dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung
beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin: efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak
dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin
lain akibat histamin.
Susunan saraf pusat: AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisah
dan eksitasi. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala
misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat.
Antihistamin yang relative baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sedikit
menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak menyebabkan
kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. AH1 juga efektif untuk mengobati mual
dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.
Anestesi lokal: beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda. AH1
yang baik sebagai anestesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan
efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
Antikolinergik: banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi,
tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran
miksi dan impotensi.

7
Sistem kardiovaskular: dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti
pada system kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi
miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.

2.5. Farmakokinetik.
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-
30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah
pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam. Difenhidramin
yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam
dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa
paruh kira-kira 4 jam.
Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan
kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga
pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi sedangkan
klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24
jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

2.6. Mekanisme kerja.


Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan rasa gatal,
iritasi saluran pernafasan, bersin, dan produksi lendir (alias ingus). Antihistamin ini ada 3 jenis,
yaitu Diphenhydramine, Brompheniramine, dan Chlorpheniramine. Yang paling sering
ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah golongan klorfeniramin (biasanya dalam bentuk
klorfeniramin maleat). Antihistamin menghambat efek histamin pada reseptor H1. Tidak
menghambat pelepasan histamin, produksi antibodi, atau reaksi antigen antibodi. Kebanyakan
antihistamin memiliki sifat antikolinergik dan dapat menyebabkan kostipasi, mata kering, dan
penglihatan kabur. Selain itu, banyak antihistamin yang banyak sedasi. Beberapa fenotiazin
mempunyai sifat antihistamin yang kuat (hidroksizin dan prometazin).
1. Antihistamin H1
Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1. Selain memiliki kefek
antihistamin, hampir semua AH1 memiliki efek spasmolitik dan anastetik lokal

8
2. Antihistamin H2
Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin sehinnga
memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan sebelum pelepasan
histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa histamin, indikasinya sama denfan AH 1.

2.7. Efek samping.


Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering
ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu
banyak tidur.
Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1
jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau
kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor. Efek
samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang bila AH1
diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek
antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan
lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi.
Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat
ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT
dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel.
Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-
pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien hipokalemia).
Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative dengan
terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut

9
2.8. Obat-Obat Antihistamin
a. Antagonis reseptor H1
 Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat
spasmolitik sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson,
dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang khusus digunakan untuk penyakit
ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 – 50 mg, i.v. 10-50 mg
 Dimenhidrinat: difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo
(Phapros).Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan
muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis : oral 4 kali sehari 50 – 100 mg, i.m. 50 mg.
 Metildifenhidramin : Neo-Benodin (Brocades)
Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi
sedikit lebih kuat.
Dosis : oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.
 Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil
(OCH3).Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih
sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 – 100 mg.
 Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya
terletak pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali
digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma)
Antistine-Pirivine, Ciba Geigy
Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 – 100 mg
 Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)
Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnya
Dosis : oral 3 kali sehari 25 mg

10
 Klorfenamin : (klorfeniramin, Methyrit-SKF; CTM, KF; Pehaclor, Phapros)
adalah derivateklor, Substitusi dari satu atom klor pada molekul feniramin
meningkatkan khasiatnya 20 kali lebih kuat, tetapi derajat toksisitasnya praktis
tidak berubah. Efek sampingan dari obat ini hanya sedikit dan tidak memiliki
sifat menidurkan.
Dosis : oral 4 kali sehari 2 – 8 mg, parenteral 5 – 10 mg.
 deksklorfeniramin (Polaramin, Schering)
adalah d- isomer dari klorfeniramin (terdiri dari suatu campuran rasemis) yang
terutama bertanggung jawab untuk kegiatan antihistaminiknya. Toksisitasnya
dari campuran d-isomer ini tidak melebihi daripada campuran rasemiknya.
Dosis : oral 3 kali sehari 2 mg.
 Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)
Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 mg.
 meklozin (meclizin,Suprinal)
Sifat antihistaminiknya kuat dan terutama digunakan untuk menghindarkan dan
mengobati perasaan mual karena mabuk jalan dan pusing-pusing (vertigo). Mulai
bekerjanya lambat, tetapi berlangsung lama (9 – 24 jam). Berhubung dengan
peristiwa thalidomide, zat ini dilarang penggunaannya di Indonesia. Kerja
teratogennya hingga kini belum dibuktikan.
 Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)
Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat
menidurkannya. Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-
pusing, maka sangat efektif pada bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh
keliling); mekanisme kerjanya belum diketahui. Selain itu sinarizin memiliki
khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung terhadap rangsangan-
rangsangan iritasi dan konstriksi. Perdarahan di pembuluh-pembuluh otak dan
perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa
menyebabkan tachycardia dan hipertensi secara reflektoris seperti halnya dengan
vasodilator-vasodilator lainnya.

11
Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 – 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral
3 kali sehari 75 mg
 primatour (ACF)
adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan klorsiklizin HCl 25 mg. Preparat
ini adalah kombinasi dari dua antihistaminika dengan kerja yang panjang dan
Singkat. Obat ini khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat,
yaitu ¼ sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama.
Dosis : dewasa 1 tablet.
 Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)
Adalah suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang
sangat kuat, tetapi toksisitasnya rendah. Penggunaan dan efek sampingannya sama
seperti antihistaminika lain dari golongan fenothiazin.
Dosis : 10 – 40 mg seharinya
 Promethazin : Phenergan (Rhodia)
Persenyawaan fenothiazin ini adalah antihistaminikum yang kuat dan memiliki
kegiatan yang lama (16 jam). Memiliki kegiatan potensiasi untuk zat-zat penghalang
rasa nyeri (analgetika) dan zat-zat pereda (sedativa).
Berhubung sifat menidurkannya yang kuat maka sebaiknya diberikan pada malam
hari. Dosis : oral 3 kali sehari 25 – 50 mg; parenteral 25 mg lazimnya sampai 1 mg
per Kg berat badan.
 promethazin-8-klorotheofilinat (Avomin)
adalah turunan dari promethazin yang memiliki khasiat dan penggunaan yang sama
dengan dimenhidrinat, tetapi tanpa efek menidurkan.
 Thiazinamium : Multergan (Specia)
Disamping khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat
antikolinergik yang kuat, sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale dengan
sekresi yang berlebihan.
 Siproheptadin : Periactin (Specia)
Persenyawaan piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat
antikolinergik lemah dan merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan tanpa
khasiat hormonal.

12
Zat ini merupakan antagonis serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen
(Sandomigran), sehingga dianjurkan sebagai obat interval pada migrain.
Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan mulut kering.
Tidak boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi urine dan pada wanita
hamil.
 Mebhidrolin : Incidal (Bayer)
Mengandung 50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminikum yang praktis tidak
memiliki sifat-sifat menidurkan.
Dosis : rata-rata 100 – 300 mg seharinya

b. Antagonis Reseptor Histamin H2


Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan
sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat
digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk
menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina,
famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.

c. Antagonis Reseptor Histamin H3


Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif.
Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia.
Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.

d. Antagonis Reseptor Histamin H4


Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan
analgesik. Contohnya adalah tioperamida. Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat
antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah
obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.

13
2.9. Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I
yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas,
dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin,
hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin
digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa
digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-
operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness,
pre- dan postoperative atau obstetric sedation.

2.10. Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait
secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma,
stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan
pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan
monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau
terkait secara struktural.

2.11. Kontra Indikasi Dan Interaksi Obat


Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakaian antihistamin H-1 secara topical
golongan ethylene diamine pada penderita yang telah mendapat obat lain yang mempunyai
struktur yang mirip( aminophiline).
Efek sedasi akan meningkat bila antihistsmine H1 diberikan bersama dengan obat
antidepresan obat anti alcohol.
Golongan phenothiazine dapat menghambat efek vasopressor dari epinephrine.
Efek anti kolinergik dari antihistamine akan menjadi lebih berat dan lebih lama di berikan
bersama obat inhibitor monoamine (procarbazine, furazolidone, isocarboxazid).
Golongan piperazine pada binatang percobaan dapat menimbulkan efekteratogenik.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan.
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau
kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang
mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang
bekerja pada reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan
oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman.
Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.

3.2. Saran.
Kita harus lebih mampu belajar dalam kehidupan keperawatan yang luas, agar kita
mendapatkan wawasan yang luas, pada dasarnya kita harus ditengah-tengah masyarakat, oleh
karena itu jangan lupa masalah yang timbul dalam keperawatan kita sebagai bahan untuk
mengasah kita untuk memecahakan suatu masalah, dan kita harus bisa menyelesaikan masalah
itu dengan sesegera mungkin.

15
DAFTAR PUSTAKA

Tan, Hoan Tjai. Obat-obat Penting. 2007.Jakarta: PT. Gramedia


Sukandar, Elin Yulinah, ISO Farmakoterapi. 2008. Jakarta: PT. ISFI
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21.
Jakarta: Salemba Medika.
Anang Endaryanto, Ariyanto Harsono, Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi melalui
induksi aktif toleransi imunologis: Divisi Alergi Imunologi: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK-Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya

16

Anda mungkin juga menyukai