Referat
Referat
Disusun Oleh:
Akrestivany Tandilimbong
11.2017.053
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT BAYUKARTA
PERIODE 26 FEBRUARI 2018 – 05 MEI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT BAYUKARTA
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : An “A.R” Jenis kelamin : Perempuan
Tempat / tanggal lahir : Karawang, 16 September 2017 Umur : 6 bulan
Suku bangsa : Sunda Agama : Islam
Pendidikan : Belum sekolah Alamat : Griya Pesona Asri
Blok 11, Cibalongsari, Klari
Karawang
Hubungan dengan orang tua : anak kandung
ORANG TUA
Ayah
Nama lengkap : Tn. ”F.M.R” Pekerjaan : PNS
Agama : Islam Alamat : Griya Pesona Asri Blok 11,
Tanggal lahir (umur) : 37 tahun Cibalongsari, Klari Karawang
Pendidikan : S1 Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku Bangsa : Sunda
Ibu
Nama lengkap : Ny. ”Y.M” Pekerjaan : IRT
Agama : Islam Alamat : Griya Pesona Asri Blok 11,
Tanggal lahir (umur) : 30 tahun Cibalongsari, Klari
Pendidikan : D3 Karawang
Suku Bangsa : Sunda
ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesis (Ibu) Tanggal : 16 Maret 2018 Jam: 10.30 WIB
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Imunisasi:
BCG 1 kali Polio 3 kali
Hepatitis B 3 kali DPT 2 kali
Imunisasi dilakukan di posyandu
Riwayat Nutrisi:
Usia 0 – 6 bulan : ASI + Susu Formula (sejak usia 2 bulan)
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala : Bentuk normal, rambut hitam, distribusi merata, tidak ada deformitas
normosefali (LK 42 cm), UUB datar (3cm x 4cm)
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, iris warna
coklat, tidak ada nistagmus, tidak ada strabismus, tidak ada deviasi
konjugat, doll’s eyes normal.
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada secret ato serumen
membrane timpani sulit dinilai
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi tidak ada, sekret ada warna putih encer
hiperemis konka ada
Mulut dan Tenggorokan: Bibir merah muda kering, tidak pucat atau sianosis, lidah bersih
tonsil tidak hiperemis T1-T1, faring hiperemis, mukosa licin.
Leher : Tidak ada pembesaran pada KGB
Thorax I : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada pelebaran
pembuluh darah, massa atau benjolan tidak ada.
P : Taktil fremitul simetris kanan dan kiri tidak ada bagian yang tertinggal,
retraksi sela iga tidak ada, massa tidak ada.
P : Sonor
A : Bronkovesikuler +/+ Rhonki +/+ Wheezing -/-
Abdomen I : Bentuk abdomen datar, tidak terlihat pelebaran pembuluh darah, tidak
terlihat adanya massa, distensi abdomen tidak ada
A : Bising usus terdengar, normal
P : supel, organomegali tidak ada, turgor kulit kembali cepat < 2 detik
P : timpani
Pemeriksaan Neurologis
Brudzinsky I :(-)
Brudzinsky II :(-)
Babinski + +
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerisaan laboratorium di ambil pada tanggal 16 Maret 2018 pukul 10.40
Hematologi :
1. Darah Rutin
- Hemoglobin 11,2 g/dL
- Hematokrit 33,7 %
2. Indek Darah
- MCH 75,4 %
- MVH 25,1 pg
- MCHC 33,2 %
Leukosit 11.710 / uL
Trombosit 651.000 / dL
2. Hematokrit : 33,7 %
3. Leukosit : 11.710 / uL
4. Trombosit : 651.000 / dL
DIAGNOSIS KERJA:
Meningitis
Dasar diagnosis
Kejang (+)
Demam (+)
Tersingkir : meningeal sign (-), tidak ada penurunan kesadaran.
PENATALAKSANAAN:
Medika mentosa:
IVFD hydromel 30 tpm mikro
Diazepam iv 0,3 mg - 0,5 mg/kgBB/dosis IV
Diazepam intrarektal 5 mg
IVFD Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis (4 x 72 gram)
Non Medikamentosa:
Pengelolaan cara hidup secara baik dan benar
Memantau jalan napas pasien
Pemeriksaan tanda-tanda vital tiap jam
Edukasi:
Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
Memberitahukan cara penanganan kejang pada anak
Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping obat
PROGNOSIS :
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Follow Up
Tanggal Jam Pemeriksaan
17/03/2018 06.00 S : Tidak kejang, demam naik turun, batuk berdahak disertai pilek
O : KU : TSS Kes : CM
HR : 138x/menit
RR : 32 x/menit
T : 37,20C
18/03/2018 06.00 S : Tidak ada kejang, demam naik turun, batuk berdahak disertai pilek
O : KU : TSS Kes : CM
HR : 131x/menit
RR : 31 x/menit
T : 37,40C
19/03/2018 06.00 S : Tidak ada kejang, ada demam, batuk sudah mulai jarang muncul,
nafsu untuk minum baik.
O : KU : TSS Kes : CM
HR : 127x/menit
RR : 30 x/menit
T : 37,20C
20/03/2018 06.00 S : Tidak ada kejang, sudah tidak demam, batuk sudah mulai jarang
muncul, nafsu untuk minum baik.
O : KU : TSS Kes : CM
HR : 114x/menit
RR : 27 x/menit
T : 37,30C
21/03/2018 06.00 S : Tidak ada kejang, subuh hari demam diukur suhunhya 37,80C, batuk
sudah mulai jarang muncul, nafsu untuk minum baik.
O : KU : TSS Kes : CM
HR : 117x/menit
RR : 30 x/menit
T : 37,20C
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal > 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut consensus statment
on febrile seizures kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi dan anak biasanya terjadi
antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu.1 Definisi kejang demam menurut International League
Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan
demam yang bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang
sebelumnya pada masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya misalnya
karena keseimbangan elektrolit akut.2 Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului dengan demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang pernah kejang tanpa demam
kemudian mengalami kejang demam kembali dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak
termasuk dalam definisi kejang demam. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk
diagnosis kejang demam ialah 38oC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang berlangsung
sering tidak diketahui. Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit, fokal atau multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam) sedangkan kejang
demam sederhana ialah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan
fokal, kejang tidak 6 berulang dalam waktu 24 jam. Kejadian kejang demam sederhana yaitu
80% di antara seluruh kejang demam. Jika kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari
30 menit baik satu kali atau multipel tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka
diklasifikasikan sebagai status epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian ini berkisar 5 %
dari keseluruhan kejang yang disertai demam.6 Faktor yang penting pada kejang demam ialah
demam, umur, genetik, prenatal dan perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak
selalu timbul pada suhu yang paling tinggi, terkadang kejang terjadi pada demam yang tidak
begitu tinggi. Bila hal ini terjadi maka anak tersebut memiliki resiko tinggi untuk berulangnya
kejang. Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana. Banyak pasien kejang
demam yang orangtua atau saudara kandunnya menderita penyakit yang sama. Faktor prenatal
dan perinatal dapat berperan dalam kejang demam.1,2
Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4
tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita
kejang d e m a m . K e j a n g d e m a m l e b i h s e r i n g d i d a p a t k a n p a d a l a k i - l a k i
daripada perempuan. Hal tersebut d isebabkan karena pada wanita
d i d a p a t k a n m a t u r a s i s e r e b r a l y a n g l e b i h c e p a t dibandingkan laki-laki.3
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.
Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam . Pada
tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0%). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132
o r a n g d a n t i d a k didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya
peningkatan insiden kejadian sebesar 37%. Jumlah penderita kejang demam diperkirakan
mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. 3
Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah
penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti.
Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-
laki.3
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada 11 neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai
potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.
Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial
membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel
tidak mendapatkan rangsangan. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu :4
Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada
keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi
terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia.
Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel
meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat.4
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan
terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama,
sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan
sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme
di otak. Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut :4
Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur.
Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan
permiabilitas membran sel.
Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan
merusak neuron.
Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen
dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-ion keluar masuk sel.
Klasifikasi Kejang Demam
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua :4
Perbedaan kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak disertai demam. Epilepsi
terjadi karena adanya gangguan keseimbangan kimiawi sel-sel otak yang mencetuskan muatan
listrik berlebihan di otak secara tiba-tiba. Penderita epilepsi adalah seseorang yang mempunyai
bawaan ambang rangsang rendah terhadap cetusan tersebut.Cetusan bisa di beberapa bagian otak
dan gejalanya beraneka ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat ia mengalami stres,
jiwanya tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena terkena sinar lampu yang tajam.3,5
Faktor resiko
Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam, usia,
riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia
kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).4
1. Faktor demam.
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8oC aksila atau di atas 38,30C
rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering pada anak
disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak. Demam
merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang. Kenaikan temperatur tubuh
berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu
tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap
kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat
sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen. Demam tinggi
akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan hipoksia, otak
akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi normal pompa Na+. Permeabilitas
membran sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan
memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak neuron GABA-ergik
sehingga fungsi inhibisi terganggu. Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada
kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu
tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu tubuh
di atas 40oC.4,6
2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu :
Neurulasi
Perkembangan prosensefali
Proliferasi neuron
Migrasi neural
Organisasi
Mielinisasi
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi
neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-
tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap
organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan
apabila mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi. Pada
keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk asam glutamat
sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor
kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi.
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi
sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi dan
berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Anak pada masa
developmental window merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu saat
anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila anak mengalami stimulasi
berupa demam, maka akan mudah terjadi bangkitan kejang. Sebanyak 4% anak akan
mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai
dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai dengan 24
bulan.4,6
3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan sekitar 60-
80%. Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya
beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua
orangtuanya tidak mempunyai 10 riwayat kejang demam maka risiko terjadi kejang
demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah
yaitu 27% berbanding 7%.4
5. Faktor Paskanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Selain infeksi,
ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian kejang demam pada anak sebesar
20,6%.4
Manifestasi klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, otitis
media akut, bronchitis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama
sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik,
klonik atau fokal. Umumnya kejang berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar
kembali setelah beberapa detik atau menit tanpa adanya kelainan neurologik.4
Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain: anak mengalami
demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang
tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik - 5menit (hampir selalu
terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai dengan kontraksi
yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah,
badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontaksi otot. Anak
akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.4
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsungselama
10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya
berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),gangguan pernafasan,
apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan. Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam
gejala seperti :4
3.Sulit bernapas
4.Busa di mulut
Diagnosis
Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain dapat disingkirkan
yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala, ketidakseimbangan elektrolit, dan penyebab
kejang akut lainnya. Dari beberapa diagnosis banding tersebut, meningitis merupakan penyebab
kejang yang lebih mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada kejang yang disertai
demam yaitu 2-5%. Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi
pada sistem respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola. Lebih dari 50%
kejadian kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun berhubungan dengan infeksi virus herpes
(Human Herpes Virus 6 dan 7).7
Penatalaksanaan
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien datang,
kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5
mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.2
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Bila
setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan
dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena.2
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A). Meskipun demikian, dokter neurologi anak
di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan
adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam.2
a. Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam
dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak
3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan
selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut
cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.2
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.2
Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kematian
akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya
terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal atau kejang umum. Kejang
demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang yaitu
riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang pertama < 12 bulan, temperatur yang
rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya kejang yang cepat setelah demam. Bila semua faktor
tersebut terpenuhi maka resiko berulangnya kejang demam 80 % sedangkan bila tidak terdapat
faktor tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada tahun
pertama.9,10
KESIMPULAN
Kejang demam adalah kejang yang terjadi saat demam (suhu rektal diatas 380c) tanpa
adanya infeksi SSP atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak diatas umur 1 bulan, dan
tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
Untuk prognosis kejang demam, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian jika
ditanggulangi dengan tepat dan cepat. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal pada pasien yang sebelumnya normal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pudjiadi A.H, Hegar B, Handryastuti S, Idris N.S. Pedoman Pelayanan Medis: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2009.h.151
2. Ismael Sofian, Pusponegoro H.D, Widodo D.P. Rekomendasi penatalaksanaan kejang
demam. Unit kerja koordinasi neurologi; Ikatan dokter anak Indonesia: 2016.h.10-25.
3. Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. EGC:
Jakarta; 2000.h.2059-67.
4. Fuadi, F., (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis), Universitas
Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
5. Febrile Seizures Fact Sheets: National Institutes of Neurology and Stroke. Diunduh pada tanggal 3 April
2018. Diundahdari:www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.htm
6. Bahtera, T.. Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa Tengah; 2006.
7. Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures, British
Columbia Medical Assosiation
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak
Indonesia Jilid 1.
9. Srinivasan, J., Wallace, K.A., Scheffer, I.E., (2005), Febrile Seizures, Australian Family
Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025. 8.
10. Scheffer, I.E., Sadleir, L.G., (2007), Febrile Seizures, BMJ;334;307-311