Air hujan merupakan salah satu sumber air tawar yang diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan air untuk pertanian sehingga dapat mempertahankan
keandalan pangan. Pada wilayah pulau kecil dengan kondisi topografi yang
kurang menguntungkan, air hujan yang jatuh akan cepat melimpas terbuang ke
laut, dan hanya sebagian kecil saja yang sempat meresap ke dalam tanah. Hal ini
menyebabkan situasi ketersediaan air untuk pertanian yang sangat terbatas
sehingga menyebabkan usaha pertanian hanya semusim saja yaitu pada musim
hujan. Pertanian yang semusim inipun masih menemui permasalahan yang serius
karena karakteristik hujan yaitu durasi hujan yang singkat tetapi intensitasnya
tinggi, curah hujan tahunan rendah, dan lama musim hujan berlangsung beberapa
bulan saja, dengan kemarau panjang.
Sebaran hujan berupa jumlah hari kejadian hujan, berpotensi menimbulkan
kejadian waterlogging, ataupun dry spells, yaitu situasi kekeringan singkat dalam
musim hujan, akan mengakibatkan turunnya produksi tanaman atau bahkan mati.
(Susilawati, 1999, Falkenmark et.al, 2001). Sebagai ilustrasi ditampilkan data
curah hujan harian dari November 2003 – April 2005 (Tabel 1) di Stasiun Hujan
Tardamu Seba, Pulau Sabu. Hal ini akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan
bagi masyarakat.
Periode kritis yang berpotensi untuk terjadi waterlogging, yaitu situasi
dimana tanah sangat jenuh air sehingga tidak ada rongga udara sama sekali,
adalah hari-hari hujan dari tanggal 13 – 25 Desember 2003, atau 2 – 12 Pebruari
2004. Hal ini akan mengakibatkan produksi tanaman menurun atau bahkan mati.
Sedangkan periode kritis yang berpotensi untuk terjadi dry spells, yaitu situasi
kekeringan yang mengakibatkan menurunnya produksi tanaman atau bahkan mati,
adalah hari-hari kering dari tanggal 8 – 19 Januari 2004.
Perubahan iklim global sangat berpengaruh pada kondisi iklim dan
hidrologi wilayah pulau-pulau kecil. Hal ini berakibat pada kerawanan pulau-
pulau kecil terhadap bencana alam, seperti bencana kekeringan ataupun bencana
gelombang laut yang mengancam eksistensi pulau tersebut (Falkland, 2002). Dari
data iklim tahun 1980 – 2007 untuk Pulau Sabu, nampak bahwa kecenderungan
durasi hujan semakin pendek dengan intensitas yang semakin tinggi, atau durasi
musim kering menjadi semakin panjang. Sedangkan intensitas hujan pertahun
tidak memperlihatkan perubahan yang cukup berarti.
Prasarana
PAHP
Pemberdayaan Sistem
Sistem
Masyarakat Informasi
O&P
Manajemen
Sistem
Kelembagaan
Perkembangan ekonomi
U
UMMPPA
ANN BBA
ALLIIK
K
Gambar 3. Reklamasi dari Alur Aliran Air Sistem Kalekye (Mutunga et.al, 2001)
Gambar 4. Model Jaringan Kolam Lahan (farm ponds)
pada DAS Adihalli – India. (Kakade et. al, 2003)
Satu hal penting yang belum disentuh dalam sistem prasarana PAHP ini
adalah hubungan antara sistem makro berupa cek-dam berantai yang
dikembangkan di daerah kering Afrika dan sistem mikro berupa jaringan kolam
lahan yang dikembangkan di India. Pada sarana sistem makro berupa cek-dam
berantai, bila air dimungkinkan untuk dapat meresap ke dalam tanah menjadi
imbuhan dalam cadangan air tanah, maka air tanah ini dapat dimanfaatkan melalui
sumur gali yang dibuat di tingkat lahan dalam sistem mikro. Untuk
mengembangkan hubungan ini, perlu dikembangkan suatu alat bantu berupa
model sistem pendukung keputusan yang mampu menjelaskan hubungan antara
sistem makro dan mikro tersebut.
R α β
RO I / Re
kc E R β P
ET0 I / Re
ETcrop
Irr D
Data yang dibutuhkan dalam model 2 adalah: (1) data tanaman/pola tanam
yang memberikan informasi tentang koefisien tanaman dan waktu mulai tanam,
(2) data curah hujan/iklim yang memberikan informasi tentang besarnya curah
hujan R dan evaporasi (E), atau dari data iklim dapat ditemukan informasi
besarnya evapotranspirasi potensial (ETo) mengikuti persamaan 3, (3) data tanah
yang ditemukan dari model spasial memberikan informasi tentang koefisien
infiltrasi β dan besarnya perkolasi. Dari informasi tentang besarnya ETo dan
koefisien tanaman dapat ditemukan besarnya kebutuhan air untuk tanaman
(ETcrop) mengikuti persamaan 4. Dari informasi tentang koefisien β dan curah
hujan ditemukan informasi tentang besarnya infiltrasi atau air yang ada di dalam
tanah dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman (I/Re). Dari informasi ETcrop, Re dan
P akan memberikan informasi lebih lanjut tentang besarnya kebutuhan air irigasi
atau air drainase, yang mengikuti persamaan 5 dan 6.
r A RO D Irr
Ketersediaan air bagi tanaman dipenuhi dari curah hujan efektif atau
besarnya curah hujan yang secara efektif dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Besarnya curah hujan efektif dapat dihitung dengan berbagai metode, yaitu: fixed
percentage, dependable rain, empirical formula dan USDA Soil Conservation
Service Method. Untuk metode persentase yang tetap, besarnya curah hujan
efektif adalah:
Reff = α x R .................................................................. (9)
Dimana:
Reff : curah hujan efektif (mm)
α : persentase curah hujan efektif (%)
R : besarnya curah hujan (mm)
Kebutuhan air untuk irigasi pertanian adalah selisih dari kebutuhan air
untuk tanaman dan ketersediaan air curah hujan efektif yang besarnya adalah:
Ireq : ETcrop – Reff............................................................. (10)
Dimana :
Ireq : kebutuhan air untuk irigasi pertanian
Reff : curah hujan efektif
ETcrop : kebutuhan air untuk tanaman
Dari persamaan 10, bila selisih harga adalah negatif, berarti besaran ini
adalah kebutuhan air untuk drainase pertanian (D). Hal ini berarti bahwa curah
hujan efektif lebih besar dari pada kebutuhan air untuk tanaman. Berarti pula
bahwa kelengasan tanah sangat jenuh air, sehingga perlu dikeringkan agar
tanaman tidak mati.
Penyimpanan air di permukaan berupa penyimpanan dalam kolam jebakan
air. Air ini diresapkan ke dalam tanah sebagai penyimpanan air di dalam tanah.
Volume air yang tersimpan dalam kolam jebakan air dihitung dengan
menggunakan neraca keseimbangan air pada kolam jebakan, yaitu neraca air yang
melimpas dan yang dapat ditampung dalam jebakan air. Air yang melimpas akan
ditampung pada jebakan di sebelah hilir, sedangkan air yang harus ditampung
juga diresapkan ke dalam tanah.
Besarnya air yang melimpas adalah debit air masukan dikurangi kapasitas
tampung dari kolam jebakan, atau:
Vlimpas = 10 (α x R x A) – V0 (m3) ………………………… (11)
Dimana:
α : koefisien limpasan permukaan (runoff)
R : curah hujan (mm)
A : luasan daerah tangkapan hujan (Ha)
V0 : kapasitas tampung kolam jebakan air (m3)
Ds. Daieko
Gambar 8. Batas Kecamatan serta Desa/Kelurahan Pulau Sabu dan Pulau Raijua
(Menurut Peta Rupa Bumi Digital, 2005)
Analisa neraca air pada jebakan memberikan perhitungan air yang potensi
dapat diresapkan ke dalam tanah sebagai imbuhan cadangan air tanah. Simulasi
analisa neraca air dilakukan dalam 3 tahapan. Tahapan pertama adalah simulasi
untuk jebakan 1 dan 2. Volume air yang dapat diresapkan melalui jebakan 1 dan 2
secara optimal adalah sebesar 143.602 m3 pertahun. Untuk resapan minimal, yaitu
setelah jebakan berfungsi pada tahun ke-4 dimana koefisien resapan sudah
menurun sampai 5 %, adalah sebesar 25.127 m3 pertahun. Tahapan kedua adalah
simulasi untuk jebakan 3,4,5,6,7 dan 8, menghasilkan volume air yang resapan
optimal sebesar 520.254 m3 pertahun, dan minimal dimana koefisien resapan
menurun sampai 1 %, sebesar 111.318 m3 pertahun. Tahapan terakhir adalah
simulasi untuk jebakan 9,10 dan 11, menghasilkan volume air resapan optimal
sebesar 413.468 m3 pertahun, dan minimal sebesar 88.741 m3 pertahun (Tabel 2).
300,000
Ton / Tahun
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
-
Hasil Padi Hasil Sorghum Hasil Kacang Hasil Jagung Hasil Kacang
(ton) (ton) Hijau (ton) (ton) Tanah (ton)
Keadaan Eksisting 19,920 23,570 23,570 58,925 23,570
Sebelum Opsi PAHP 19,920 57,545 57,545 143,863 57,545
Sesudah Opsi PAHP 23,807 138,108 138,108 287,725 138,108
Peningkatan Produksi (ton) 3,887 80,563 80,563 143,863 80,563
Peningkatan Produksi (%) 20% 140% 140% 100% 140%
IX. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditemukan:
1. Pengelolaan air hujan untuk pertanian (PAHP) pada Pulau Sabu
dimaksudkan sebagai usaha untuk menahan air hujan yang jatuh selama
mungkin di daratan pulau, yaitu agar limpasan permukaan air hujan
disimpan di dalam embung/reservoir maupun pada lapisan akuifer di
dalam tanah untuk mengatasi situasi dryspell. Untuk mengatasi situasi
waterlogging, maka kadar air dalam tanah yang berlebih dikeringkan dan
disimpan dalam sumur lahan, sehingga dapat dimanfaatkan kembali saat
dibutuhkan. Pada lokasi studi Desa Daieko ditemukan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan air pertanian yang direncanakan, perlu dibangun 2
buah jebakan air di alur sungai Loko Roalie, 6 buah di alur Loko Ujula dan
3 buah di alur Loko Kabila. Sedangkan di lahan pertanian dibangun sumur
gali untuk mengairi tanaman.
2. Prasarana PAHP pada pulau kecil terdiri dari bangunan pada skala makro
dan mikro yang saling terintegrasi. Bangunan makro berupa jebakan air
yang diletakkan pada alur drainase alam, baik secara seri maupun tunggal,
menjadi tanggung jawab pemerintah. Sedangkan bangunan mikro berupa
sumur/kolam terletak pada lahan pertanian, dibuat dengan teknologi
sederhana, menjadi tanggung jawab masyarakat petani sendiri.
Pengelolaan pada sistem makro oleh pemerintah dan pada sistem mikro
oleh masyarakat petani, dan keduanya ada koordinasi.
3. Sistem kelembagaan dikembangkan secara terpadu dengan melibatkan
pihak pemerintah, yaitu dinas PU kecamatan, dan masyarakat, yaitu P3A,
sehingga memudahkan dalam operasional dan pemeliharaan. Sistem
terpadu ini dinamakan model Pro-PAHP yang mempunyai struktur
kelembagaan air terpadu, dimana dalam struktur ini dapat dijalankan
sistem operasional dan pemeliharaan, keuangan secara efektif dan optimal
(Gambar 11 dan 12).
4. Pengembangan sistem pendukung keputusan yaitu SPK – PAHP
dimaksudkan untuk membantu perancangan sistem prasarana PAHP.
Dengan menggunakan model SPK – PAHP ini dapat ditentukan letak
bangunan jebakan air, sumur/kolam lahan sehingga diperoleh kombinasi
sistem prasarana di tingkat makro dan di tingkat mikro secara optimal
untuk meningkatkan ketersediaan air dan produksi pertanian. Model SPK –
PAHP ini dapat membantu perencanaan pertanian dan pengendalian
bencana kekeringan melalui perencanaan sistem prasarana secara tepat dan
terpadu.
5. Dari analisis yang dilakukan dengan model SPK-PAHP ini dapat
disimpulkan bahwa jika opsi PAHP dilakukan di seluruh Pulau Sabu,
maka produksi pertanian akan meningkat sampai 140 % untuk sorghum
dan kacang-kacangan (Gambar 13).
DAFTAR PUSTAKA
BMG Lasiana Kupang, 2008. Data Iklim Station Iklim Tardamu Seba dari Tahun
1980 – 2007. BMG - Kupang, Indonesia.
Falkenmark, Malin Fox, Patrick Persson, Gunn Rockström, Johan, 2001. Water
Harvesting for Upgrading of Rainfed Agriculture, Problem Analysis and
Research Needs, SIWI Report 11 Published 2001 by Stockholm
International Water Institute.
http://www.siwi.org/documents/Resources/Reports/Report11_Water_Harvesting_
for_Upgrading_Rainfed_Agriculture_2001.pdf
Falkland, 2002. From Vision to Action Towards Sustainable Water Management
in The Pasific. Pacific Regional Consultation on Water in Small Island
Countries Sigatoka, Fiji Islands, 29 July – 3 August 2002 – Theme 1,
Water Resources Management.
http://www.adb.org/documents/events/2002/water_small_island/Theme1/overvie
w.pdf
Kakade, B., Ganesh Neelam, Kiran Petare, Chinnanna Doreswamy, 2003. Revival
of A Traditional Water Management System – An Innovative Farm Pond
Network Approach A Case Study from Adihalli-Myllanhalli Villages in
Hassan District, Karnataka, India. BAIF Development Research
Foundation, India. http://www.soil-water.org.au/acrobat/
revival_of_a_traditional_water_ management_system.pdf
Mutunga, K. And Critchley, W., 2001 Farmers’ Initiatives in Land Husbandry:
Promising Technologies for The Drier Areas of East Africa. Nairobi:
Regional Land Management Unit (RELMA), Swedish International
Development Cooperation Agency (Sida), (RELMA Technical Report
Series ;27). http://www.prolinnova.net/Downloadable_files/TR27.pdf atau
http://www.wca-infonet.org/cds_ upload/1062415739024_farmers.pdf
PPSA – NTT, 2008. Laporan Tahunan Tahun 2008. PPSA – NTT, Kupang,
Indonesia.
Susilawati, 1999. “Analisa Produksi Tanaman Pangan di UPT Weberek, Timor
Timur”. Seri Kajian Ilmiah Vol.: 9 No. 1,102-110. Universitas Katolik
Soegijapranata, Semarang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air. Jakarta, Indonesia.
PENGARUH PEMBERIAN AIR SECARA ROTASI
TERHADAP PRODUKSI TANAMAN IRIGASI
Intisari
Pemberian air secara rotasi adalah suatu cara untuk mengatasi kekurangan
daripada ketersediaan air irigasi. Dalam bidang manajemen air, yang perlu diketahui
adalah pengaruh pemberian air secara rotasi ini terhadap tingkat produksi tanaman
irigasi.
Dalam studi ini digunakan suatu fungsi umum yang menghubungkan banyaknya
pemberian air dengan produksi tanaman irigasi. Kemudian dilakukan simulasi dengan
berbagai nilai pemberian air untuk menghasilkan nilai-nilai produksi yang terkait.
Hasil daripada perhitungan simulasi ditampikan dalam bentuk tabel produksi
tanaman irigasi. Tabel semacam ini seterusnya dapat digunakan untuk tujuan optimasi
manajemen pemberian air ke petak-petak irigasi.
I. PENDAHULUAN
Produksi tanaman irigasi sangat tergantung daripada pemberian air irigasi
di lahan yang bersangkutan. Sementara ketersediaan air selalu menjadi salah satu
topik yang berkembang hangat belakangan ini. Hal ini berkaitan dengan realitas
yang ada seperti halnya pemanasan global, berkurangnya hutan tropis, menyem-
pitnya lahan pertanian, meluasnya pemukiman penduduk, dan seterusnya. Untuk
dapat melakukan pengelolaan secara efektif dan efisien, diperlukan pengetahuan
tentang hubungan antara pemberian air irigasi dengan panen yang dihasilkan oleh
tanaman irigasi.
Irigasi yang optimal mengindikasikan penggunakan air irigasi yang lebih
sedikit dibandingkan dengan irigasi konvensionil (English et.al., 2002).
Penggunaan air yang menurun selanjutnya akan mengarahkan pada potensi
efisiensi irigasi yang lebih besar dan penurunan dampak terhadap lingkungan.
Kumar et.al. (2006) telah merumuskan model optimasi yang memaksi-
mumkan besarnya panen relatif daripada semua jenis tanaman di petak-petak
irigasi. Model ini memperhitungan berbagai faktor di antaranya debit inflow dari
waduk dan curah hujan yang jatuh di petak-petak irigasi.
Haque et al. (2004) telah menggunakan model skedul pemberian air irigasi
untuk tanaman padi di Pantai Timur Malaysia. Model ini digunakan untuk meng-
hitung berbagai skenario dari pemberian air irigasi. Hasilnya menunjukkan bahwa
model ini dapat menghemat air irigasi sebanyak 19% untuk musim utama dan
11% untuk di luar musim apabila dibandingkan dengan skedul irigasi tradisional.
Dari berbagai acuan yang ada, pengaruh daripada penghematan air irigasi
ini terhadap produksi tanaman irigasi di waktu panen belum banyak dibicarakan.
Pada studi yang disajikan pada tulisan ini, dicoba untuk mengestimasi pengaruh
daripada pemberian air yang dijatah untuk tanaman irigasi terhadap hasil panen
tanaman irigasi tersebut.
1
Produksi Panen Relatif (Yr)
0.5
0
0 0.5 1
Pem berian Air Relatif (AWr)
Sampai dengan nilai AWr sekitar 50%, maka Yr cenderung naik secara
linier. Setelah untuk hubungan berbentuk kurvilinier, sebagai akibat daripada
percepatan meningkatnya kehilangan akibat evaporasi permukaan yang meluas,
runoff, dan perkolasi yang dalam. Dapat dilihat bahwa untuk AWr di atas 100%
maka Yr kembali menurun yang menunjukkan terjadinya air irigasi yang
berlebihan (over-irrigation) yang mengakibatkan kondisi-kondisi zona akar
anaerobik, penyakit, dan pencucian unsur hara.
III. PEMBERIAN AIR SECARA ROTASI
Apabila terjadi kondisi dimana jumlah air yang tersedia tidak mencukupi
untuk mengairi seluruh lahan irigasi dengan 100% kebutuhan air, maka ada dua
pilihan:
1. Mencukupi 100% kebutuhan air pada sebagian lahan irigasi yang luasnya
sesuai dengan jumlah air yang tersedia.
2. Mengairi seluruh lahan irigasi dengan Pemberian Air Relatif (AWr) yang
seragam sebesar sesuai dengan jumlah air yang tersedia.
Apabila mengacu kepada Fungsi Produksi Tanaman Irigasi sebagaimana
yang ditampilan oleh Gambar 1 yang menyatakan hubungan antara AWr
(Pemberian Air Relatif) dengan Yr (Produksi Panen Relatif), maka pilihan ke-2
akan menghasilkan Produksi Tanaman Irigasi yang lebih besar khususnya untuk
nilai AWr di antara 50% dan 100%. Hal ini disebabkan oleh karena bentuk
hubungan yang kurvilinier untuk AWr pada kisaran nilai-nilai tersebut.
Selanjutnya apabila jumlah air yang tersedia mendekati 100% dari
kebutuhan air irigasi (≥ 80%), maka pemberian air dilakukan secara serempak di
semua petak. Tetapi apabila ketersediaan air di bawah 80% dari kebutuhan air
irigasi, maka dilakukan pemberian air secara giliran atau disebut juga pemberian
air secara rotasi (intermittent irrigation). Alasan daripada pemberian air secara
rotasi ini adalah sebagai berikut:
1. Lebih mudah untuk melakukan penjatahan menurut waktu dengan jumlah air
irigasi yang sudah ditetapkan baik dari segi pelaksanaan maupun pengawasan.
Penjatahan menurut waktu akan lebih mudah untuk diingat oleh petani.
2. Jumlah air yang hilang dalam transportasi lewat saluran menjadi lebih kecil
karena pengiriman air yang lebih terpusat setiap kalinya hanya pada petak-
petak tertentu saja.
3. Para petani di lapangan lebih terbiasa dengan kondisi air penuh (100%
kebutuhan air irigasi) walaupun dalam jangka waktu yang lebih singkat.
Rumus untuk lamanya pemberian air pada setiap giliran adalah sebagai berikut:
Lama pemberian
Luas petak diairi n hari Periode rotasi 24 jam …….(1)
Luas semua petak Banyak giliran per petak
Dengan menggunakan rumus Pers.(1) tersebut maka dapat disusun jadwal
pemberian air irigasi sedemikian hingga setiap petak mendapat nilai AWr yang
seragam.
Tabel 2. Hubungan Pemberian Air dan Kontribusi Hujan dengan Produksi Panen.
Pemberian PRODUKSI PANEN RELATIF
Air Untuk Kontribusi Air Hujan
Relatif 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%
0 0,069801 0,156708 0,246131 0,333937 0,418072 0,497373 0,571155 0,639022
0,1 0,237216 0,316620 0,393297 0,466285 0,534984 0,599026 0,658194 0,712379
0,2 0,401603 0,466285 0,527575 0,585210 0,639022 0,688916 0,734850 0,776825
0,3 0,549628 0,599026 0,645474 0,688916 0,729325 0,766701 0,801061 0,832438
0,4 0,676813 0,712379 0,745714 0,776825 0,805725 0,832438 0,856993 0,879423
0,5 0,781795 0,805725 0,828137 0,849046 0,868471 0,886435 0,902961 0,918075
0,6 0,864704 0,879423 0,893217 0,906096 0,918075 0,929167 0,939387 0,948749
0,7 0,926476 0,934385 0,941807 0,948749 0,955217 0,961218 0,966758 0,971844
0,8 0,968503 0,971844 0,974986 0,977932 0,980682 0,983241 0,985608 0,987787
0,9 0,992425 0,993215 0,993961 0,994662 0,995318 0,995930 0,996498 0,997022
1 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000
VI. PEMBAHASAN
Dari hasil simulasi berbagai nilai-nilai Pemberian Air Relatif (AWr) dan
Kontribusi Air Hujan, yang menghasilkan berbagai tingkat Produksi Panen Relatif
(Yr), maka dapat dikemukakan hal-hal berikut.
1. Bentuk umum hubungan antara pemberian air relatif (AWr) dengan produksi
panen relatif (Yr) mendukung untuk dilakukannya pemberian air secara rotasi.
2. Bentuk kurvilinier dari hubungan antara AWr dan Yr untuk nilai AWr di atas
50% memperkuat alasan untuk dilakukannya pemberian air secara rotasi,
khususnya untuk nilai AWr (ketersediaan air) di atas 50%.
3. Dengan adanya pengaruh air hujan yang memberikan kontribusi terhadap
pemberian air kepada tanaman, maka batas nilai AWr dalam menguatkan
alasan digunakannya pemberian air secara rotasi juga turun di bawah 50%,
yang berarti semakin memperbesar lingkup penerapan sistem pemberian
secara rotasi.
4. Semakin besar kontribusi hujan terhadap pemberian air ke tanaman, maka
semakin besar pula lingkup penerapan sistem pemberian air secara rotasi.
5. Yang dimaksud dengan Produksi Panen 100% adalah hasil panen apabila
pemberian air (termasuk curah hujan) adalah 100% dari kebutuhan air
tanaman menurut spesifikasi perencanaan tanam, yaitu di bawah kondisi
pengelolaan pertanian yang tertentu (pemilihan bibit, pengolahan lahan,
pemberian pupuk, pengaruh hama dan gulma). Hal ini berarti bahwa nilai
mutlak dari Yr (produksi panen) akan bisa berbeda antar lokasi tergantung
daripada kondisi pengelolaan pertanian setempat.
6. Dengan kondisi yang beragam tersebut, maka hubungan antara Pemberian Air
dan Produksi Panen tetap dapat digunakan apabila ingin dilakukan optimasi
pemberian air pada kondisi air yang tersedia kurang (di bawah 100%
kebutuhan).
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah mem-
bantu kami sehingga kami dapat melakukan studi dan membuat makalah ini
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
English, M.J., Solomon, K.H., & Hoffman, G.J., 2002, A Paradigm Shift in
Irrigation Management, Journal of Irrigation and Drainage Engineering,
128(5), 267-277.
Haque, M.A., Najim, M.M.M., & Lee, T.S., 2004, Modeling Irrigation Water
Delivery Schedule for Rice Cultivation in East Coast Malaysia, Tropical
Agricultural Research, Vol.16, 204-213.
Kumar, D.N., Raju, K.S., & Ashok, B., 2006, Optimal Reservoir Operation for
Irrigation of Multiple Crops Using Genetic Algorithms, Journal of
Irrigation and Drainage Engineering, 132(2), 123-129.
EVALUASI POTENSI SAWAH BERDASARKAN
PENGINDERAAN JAUH
(Kasus Provinsi Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Jawa Tengah)
Intisari
1.2. Metodologi
Secara umum, kegiatan ini akan melakukan overlay (tumpang susun)
antara data sebaran daerah irigasi (DI) terbangun (Kepmen PU No. 390 Tahun
2007 tentang “Penetapan Status Daerah Irigasi yang Pengelolaannya Menjadi
Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota”) dan data sebaran sawah yang diperoleh dari
interpretasi citra inderaja. Diagram berikut dapat memberikan ilustrasi
superimpose yang akan dilakukan terhadap kedua data tersebut.
Gambar 1. Skema Upaya Validasi Berbasis Data Spasial
Salah satu contoh analisis yang dapat dilakukan terhadap peta superimpose
sebaran daerah irigasi dan sawah di Provinsi Jawa Tengah (Gambar 4 dan Gambar
5) adalah sebagai berikut. Luas daerah irigasi untuk Provinsi Jawa Tengah
berdasarkan Kepmen PU No. 390/2007 adalah 986.993 Ha. Namun luas daerah
irigasi yang dapat tergambarkan hanya 544.110 Ha. Sedangkan hasil interpretasi
sebaran sawah menunjukkan luas lahan sawah secara umum (tanpa klasifikasi)
1.051.371 Ha.
Gambar 4. Peta Sebaran Daerah Irigasi Terbangun dan Sawah
di Provinsi Jawa Tengah
Tabel 1. Sebaran Lahan Sawah di Provinsi Jawa Barat (dalam satuan Ha)
No Kabupaten/Kota BPS PU (DI) CITRA
1 Bogor 48.321 54.220 63.010
2 Kota Bogor 1.006 854 1.157
3 Kota Depok 973 1.168 4.446
4 Sukabumi 69.239 56.100 79.409
5 Kota Sukabumi 1.859 2.480 1.745
6 Cianjur 65.483 70.174 80.300
7 Bandung 36.464 56.211 72.666
8 Kota Bandung 1.727 3.033 3.595
9 Bandung Barat 19.985 3.033 -
10 Kota Cimahi 293 361 37
11 Garut 50.127 43.682 73.744
12 Tasikmalaya 49.507 35.713 51.953
13 Kota Tasikmalaya 6.269 8.742 11.033
14 Ciamis 51.870 44.062 67.691
15 Kota Banjar 3.310 2.136 4.372
16 Cirebon 54.279 52.130 66.365
17 Kota Cirebon 333 147 708
18 Kuningan 29.078 31.908 50.937
19 Majalengka 51.137 41.702 57.393
20 Sumedang 33.277 53.340 37.297
21 Indramayu 119.752 109.322 137.219
22 Karawang 94.311 107.334 111.760
23 Bekasi 55.074 59.524 79.549
24 Kota Bekasi 667 767 1.792
25 Subang 84.637 100.680 104.850
26 Purwakarta 16.566 33.250 28.234
JUMLAH 945.544 972.073 1.191.262
2.3.2. Provinsi D.I. Yogyakarta
Pada Gambar 8 disajikan Peta Citra Satelit (PCS) wilayah Provinsi D.I.
Yogyakarta berbasis citra satelit Landsat-7 Tahun 2009. Hasil pengolahan data
citra inderaja untuk data luas lahan sawah per wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
D.I. Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 2 dan sebaran spasialnya disajikan pada
Gambar 9.
Gambar 10. Peta Citra Satelit Wilayah Gambar 11. Peta Sebaran Lahan
Provinsi Jawa Tengah Sawah di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Tabel 2. Sebaran Lahan Sawah di Provinsi Jawa Tengah (dalam satuan Ha)
III. PENUTUP
Hasil evaluasi data lahan sawah yang diperoleh dari inderaja di tiga
provinsi (Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah) menunjukkan adanya
perbedaan dengan data tabulasi yang dikeluarkan BPS Tahun 2009. Kelebihan
hasil evaluasi berdasarkan inderaja adalah tidak hanya menghasilkan luas lahan
sawah tetapi juga menunjukkan sebarannya. Peta sebaran sawah akan lebih
bermanfaat jika didukung peta sebaran infrastruktur sumber daya air yang update
dan akurat. Oleh karena itu, penyusunan sebaran sawah berbasis data inderaja
perlu dilakukan sebagai kerangka atau rujukan dalam pemutakhiran data
ketersediaan lahan sawah secara nasional. Kajian ini selanjutnya dapat dijadikan
dasar dalam mengambil langkah koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di tingkat
pusat dan daerah dalam merencanakan kegiatan-kegiatan mendukung program
ketahanan pangan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Tanaman Pangan 2004-2009, Badan Pusat
Statistik, Jakarta, www.bps.go.id, 2009
Kementerian Pekerjaan Umum, Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum
Tahun 2004-2009, Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta.
Kementerian Pertanian, Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2004-
2009, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Lillesand dan Kiefer, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Gadjah Mada
University Press, Yogjakarta, 1990
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.
Intisari
- Efektif - Efisien
Penyempurnaan - Akurat - Responsive
- Equity - Adequate
Kebijakan
Lebih Besar 80
Sama Besar 16
Lebih Kecil 9
Jabar
Lebih Besar 60
Sama Besar 31
Lebih Kecil 4
Jatim
Lebih Besar 80
Sama Besar 16
0 20 40 60 80 100
Prosentase (%)
IV. PENUTUP
Kajian Persepsi Petani terhadap Hasil Kebijakan Rehabilitasi Jaringan
Irigasi ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah untuk mewujudkan
sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang perekonomian dan sekaligus
meningkatkan efektifitas implementasi suatu kebijakan. Mengingat jumlah lokasi
dan sample yang digunakan dalam kajian ini sangat terbatas, hasil yang diperoleh
belum bersifat umum. Masih diperlukan representasi lokasi lain di Indonesia dan
sample yang lebih besar untuk memvalidasi hasil kajian ini. Kajian ini dapat
menjadi model untuk mengevaluasi efektifitas suatu kebijakan publik secara
cepat, sehingga dapat dilakukan penyempurnaan kebijakan bila diperlukan agar
dapat menjadi tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Irigasi, Ditjen SDA: ”Pelaksanaan Rehabilitasi Jaringan Irigasi 2005-
2009,” Kementerian Pekerjaan Umum, 2008
Dunn, William N, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik,” Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2003
Hyman & Herbert, “Survey Design and Analysis, Principles, Cases and
Procedures”, The Free Press, Illinois 1960
ILACO, BV, ”Agriculture Compendium for Rural Development in the Tropic and
Subtropic”, Elsevier, Amsterdam, 1981
Jenkins, William I, “Policy Analysis: A Political and Organizational
Perspective,” Martin Robertson, London, 1978
Nugroho, R. “Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,”
Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003
Patton & Sawicki, ”Basic Methods of Policy Analysis and Planning,” 2nd
Edition, Prentice Hall Inc., New Jersey, 1993
Ripley, Randall B., & Grace A. Franklin, “Policy Implementation and
Bureaucracy,” The Dorsey Press, Chicago1986
World Bank, “A Handbook in Monitoring Evaluation of Agriculture And Rural
Development,” World Bank Publication, 1981
Hadi Moeljanto 1)
Anton Dharma PM2)
1
PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur,Ahmad Yani 152
A Surabaya ,Telp 031-8299585, email :hadimoeljanto@ymail.com
2
PNS, UPT PSAWS Bondoyudo Mayang- Dinas Pekerjaan Umum Pengairan
Provinsi Jawa Timur, Sultan Agung 3 Lumajang,Telp 0334-881106,
email : mailantondp@gmail.com
Abstrak
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak terbitnya UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA)
yang diikuti Peraturan Pemerintah No. 20 tentang Irigasi, kebijakan irigasi sangat
diperlukan mengingat irigasi sebagai pendukung ketahanan pangan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat petani disamping itu permasalahan Sumber
Daya Air (SDA) dari paparan Konsultasi Regional Wilayah Barat pada saat ini
bertambah kompleks dan perlu mendapat perhatian yang serius sebagai akibat
adanya pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk, sehingga
mengakibatkan kebutuhan air terus meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya
baik pemberitaan pada media cetak maupun elektronik seperti adanya isu isu
strategis seperti 1. Tingkat Kerusakan DAS yang makin parah; 2. Kurang
terkendalinya alih fungsi lahan pertanian produktif; 3. Kurang optimalnya layanan
jaringan irigasi sehingga masih diperlukan pengembangan serta peningkatan
fungsi jaringan irigasi dalam rangka mendukung program ketahanan pangan
nasional 4. Kurang optimalnya layanan jaringan rawa sehingga masih diperlukan
pengembangan serta peningkatan fungsi jaringan rawa dalam rangka mendukung
program ketahanan pangan nasional 5. Masih kurangnya penyediaan sarana/
prasarana air baku untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dukungan
terhadap program penambahan 10 juta sambungan rumah (SR); 6. Dampak
perubahan iklim global yang semakin intens; 7. Permasalahan kekeringan dan
banjir semakin meningkat; 8. Kurang memadainya data dan informasi sumber
daya air;
Berdasar isu Strategis tersebut dan UU SDA No. 7 tahun 2004 pasal 26
tentang SDA BAB IV Pendayagunaan Sumber Daya Air Pasal 26 Pendayagunaan
sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan,
penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu
pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah
sungai dengan memanfaatkan SDA secara berkelanjutan dengan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat yang adil. Sesuai gambar
dibawah ini :
1.Penatagunaan SDA Pemanfaatan Zona
4. Pengembangan SDA
5. Pengusahaan SDA
II. METODOLOGI
Kajian dengan melakukan pengamatan lapangan tentang Pengelolaan
Irigasi di DAS Bondoyudo serta melakukan analisa dengan kegiatan
1.Pengumpulan data yang terkait dengan kegiatan, 2. Pengkajian lapangan, dan
pengukuran kinerja Prasarana Irigasi, 3. Wawancara dengan berbagai pihak terkait
untuk permasalahan kebutuhan Irigasi, 4. Usulan langkah untuk meningkatkan
Pengelolaan Irigasi.
b. Kelembagaan Irigasi.
Pada tingkat tersier telah ada lembaga Irigasi berupa HIPPA (Himpunan
Petani Pemakai Air). Namun HIPPA belum memahami atau mengaplikasikan PP
Irigasi No. 20 tahun 2007 pada pasal 56 Ayat (2) yaitu (1) Perkumpulan petani
pemakai air dapat berperan serta dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(2) Perkumpulan petani pemakai air dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder, Pasal
33 Ayat (1) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan kepada masyarakat petani
melalui perkumpulan petani pemakai air dan bagi pertanian rakyat yang berada di
dalam sistem irigasi yang sudah ada diperoleh tanpa izin.
Petani diharapkan dapat mengambil peran Jogoboyo (penjaga air) dalam
pembagian air, namun kenyataan di lapangan pengaturan operasi pintu diserahkan
pada petani yang berada dekat pintu air.
Kelembagaan di tingkat pemerintah daerah, pada DAS Bondoyudo di
Kabupaten Lumajang dalam penanganan Sumber Daya air ditangani Dinas
Pekerjaan Umum yang mencakup PU ABC (Air, Bina Marga dan Cipta Karya)
sampai tingkat Pengamat/UPTD personilnya menangani Air, Bina Marga dan
Cipta Karya. Sedangkan personil yang menangani pengelolaan yang khusus
membidangi Irigasi pada DAS Bondoyudo di Kabupaten Jember dan Lumajang
belum ditunjuk dari berlatar belakang bidang SDA atau Irigasi sehingga dalam
melaksanakan tugasnya masih belum memperhatikan aspek hidrologi,
ketersediaan air dan konservasi.
Usulan Penyelesaian :
Untuk mengatasi problem kelembagaan irigasi yaitu dengan :
1. Melakukan rekrutmen personil untuk meningkatkan kemampuan SDM
bidang Irigasi terutama untuk HIPPA dan Pengamat pengairan yang lebih
memperhatikan aspek hidrologi, ketersediaan air dan konservasi.
2. Menata Sistem kelembagaan irigasi saat ini karena sampai saat ini
kelembagaan irigasi sesuai PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi masalah
Komisi irigasi belum terbentuk sehingga untuk mempercepat pembaharuan
kelembagaan panitia irigasi dengan membentuk komisi irigasi (komir)
kabupaten sebagai lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil
pemerintah kabupaten, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat
daerah irigasi, dan wakil pengguna jaringan irigasi pada kabupaten lebih
memperhatikan kepentingan petani baik dalam pengaturan pola dan tata
tanam maupun pengelolaan jaringan irigasi
3. Membentuk kelembagaan pada tingkat wilayah sungai dengan membentuk
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TK
PSDA WS) Bondoyudo Bedadung untuk meningkatkan mekanisme
koordinasi antar pihak yang berkepentingan dalam satu wilayah sungai.
g. Personil Lapangan.
Di Lapangan pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan jaringan irigasi
terkendala masalah personil terutama untuk DI luas 1.000 ha s/d 3.000 ha (DI
sedang), atau DI kecil lintas kabupaten/kota dan DI luas > 3.000 ha, atau (DI
sedang) Lintas Provinsi masih mengandalkan tenaga dari kabupaten baik
Pengamat, Juru maupun Penjaga Pintu Air. Sedangkan untuk kebutuhan personil
Pekarya pada area DI Pemerintah Pusat telah dipenuhi dengan dana TPOP.
Sementara Pekarya untuk area DI Provinsi dan DI Kabupaten masih kekurangan
akibat belum tercukupinya anggaran OP Irigasi pada APBD masing-masing.
Usulan Penyelesaian :
Diperlukan MOU dengan Dinas PU Pengairan/PSDA Kabupaten tentang
pemakaian personil baik Pengamat, Juru maupun Penjaga Pintu Air sehingga
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena terkendala pengusulan personil
lapangan pada Dinas PU Pengairan Provinsi.
DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air .
Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.
Tata Ruang Air, Robert J Kodoatie dan Roestam Sjarief 2010, CV. ANDI
OFFSET.
Both END, Pengelolaan Daerah Alliran Sungai, sebuah pendekatan Negosiasi
2006, INSIST Press.
Direktorat Irigasi, Pokok Pokok Kebijakan Irigasi 2007,
Konsultan, Studi Penatagunaan dan Perencanaan Sumberdaya Air DAS K.
Bondoyudo.
Konsultan, Studi Role Sharing Pada DAS Bondoyudo - Mayang
UPT PSDA Bondoyudo Bedadung , Kumpulan data hidrologi 2007.