Anda di halaman 1dari 64

PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN AIR HUJAN

UNTUK PERTANIAN BERBASIS KETAHANAN PANGAN,


KESEIMBANGAN SUMBER DAYA AIR, KEARIFAN LOKAL
DAN PARTISPASI MASYARAKAT
(Studi Kasus di Desa Daieko, Pulau Sabu)

Susilawati Cicilia Laurentia1


1)
UNIKA Widya Mandira – Kupang, e-mail: srsusipi@yahoo.com

Air hujan merupakan salah satu sumber air tawar yang diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan air untuk pertanian sehingga dapat mempertahankan
keandalan pangan. Pada wilayah pulau kecil dengan kondisi topografi yang
kurang menguntungkan, air hujan yang jatuh akan cepat melimpas terbuang ke
laut, dan hanya sebagian kecil saja yang sempat meresap ke dalam tanah. Hal ini
menyebabkan situasi ketersediaan air untuk pertanian yang sangat terbatas
sehingga menyebabkan usaha pertanian hanya semusim saja yaitu pada musim
hujan. Pertanian yang semusim inipun masih menemui permasalahan yang serius
karena karakteristik hujan yaitu durasi hujan yang singkat tetapi intensitasnya
tinggi, curah hujan tahunan rendah, dan lama musim hujan berlangsung beberapa
bulan saja, dengan kemarau panjang.
Sebaran hujan berupa jumlah hari kejadian hujan, berpotensi menimbulkan
kejadian waterlogging, ataupun dry spells, yaitu situasi kekeringan singkat dalam
musim hujan, akan mengakibatkan turunnya produksi tanaman atau bahkan mati.
(Susilawati, 1999, Falkenmark et.al, 2001). Sebagai ilustrasi ditampilkan data
curah hujan harian dari November 2003 – April 2005 (Tabel 1) di Stasiun Hujan
Tardamu Seba, Pulau Sabu. Hal ini akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan
bagi masyarakat.
Periode kritis yang berpotensi untuk terjadi waterlogging, yaitu situasi
dimana tanah sangat jenuh air sehingga tidak ada rongga udara sama sekali,
adalah hari-hari hujan dari tanggal 13 – 25 Desember 2003, atau 2 – 12 Pebruari
2004. Hal ini akan mengakibatkan produksi tanaman menurun atau bahkan mati.
Sedangkan periode kritis yang berpotensi untuk terjadi dry spells, yaitu situasi
kekeringan yang mengakibatkan menurunnya produksi tanaman atau bahkan mati,
adalah hari-hari kering dari tanggal 8 – 19 Januari 2004.
Perubahan iklim global sangat berpengaruh pada kondisi iklim dan
hidrologi wilayah pulau-pulau kecil. Hal ini berakibat pada kerawanan pulau-
pulau kecil terhadap bencana alam, seperti bencana kekeringan ataupun bencana
gelombang laut yang mengancam eksistensi pulau tersebut (Falkland, 2002). Dari
data iklim tahun 1980 – 2007 untuk Pulau Sabu, nampak bahwa kecenderungan
durasi hujan semakin pendek dengan intensitas yang semakin tinggi, atau durasi
musim kering menjadi semakin panjang. Sedangkan intensitas hujan pertahun
tidak memperlihatkan perubahan yang cukup berarti.

Tabel 1. Curah Hujan Harian pada Sta Tardamu Seba,


November 2003 – April 2005

Sumber: BMG Stasiun Tardamu Seba (2007) Potensial


Potensial dry
waterlogging
spells
Permasalahan ini menjadi tantangan dikembangkannya sistem pengelolaan
air hujan untuk pertanian (PAHP), sehingga dapat memberikan kepastian
cukupnya kelembaban tanah, tidak terjadi dry spells maupun waterlogging, dan
lebih efektifnya penggunaan air hujan oleh tanaman. Sistem PAHP juga
mengelola air hujan yang jatuh dan melimpas dengan cepat menuju ke alur
drainase alam langsung terbuang ke laut, agar dapat dihambat sehingga sempat
meresap ke dalam tanah, atau ditampung untuk dapat dimanfaatkan pada musim
kemarau.

I. PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN AIR HUJAN


UNTUK PERTANIAN
Pengelolaan sumber daya air terpadu, konservasi tanah dan air serta
pemanenan air hujan merupakan usaha yang tak dapat dipisahkan satu sama lain,
maka kajian dan analisis pustaka dilakukan secara terpadu untuk menemukan
prinsip-prinsip pengelolaan air hujan yang meliputi lima aspek sistem yaitu:
1) prasarana PAHP, 2) operasional dan pemeliharaan, 3) kelembagaan,
4) pemberdayaan masyarakat dan 5) informasi manajemen.
Dalam kajian dan analisis pustaka, ditemukan 5 pokok yang merupakan
lima aspek dalam pengelolaan air hujan untuk pertanian. Keempat aspek yaitu
prasarana PAHP, sistem operasional dan pemeliharaan, sistem kelembagaan, dan
pemberdayaan masyarakat, mempunyai keterkaitan secara spiral seperti
digambarkan dalam Gambar 1, dengan sistem informasi manajemen yang
mendukung keempat aspek tersebut.

Prasarana
PAHP

Pemberdayaan Sistem
Sistem
Masyarakat Informasi
O&P
Manajemen

Sistem
Kelembagaan

Gambar 1. Keterkaitan Secara Spiral dalam Pola PAHP

Kelima pokok tersebut adalah:


1. Prasarana PAHP dikembangkan dari teknologi setempat berupa sistem
setempat yaitu di lahan dan sistem eksternal atau di luar lahan. Sistem
setempat yaitu sistem tangkapan mikro dapat berupa jaringan kolam lahan.
Sistem eksternal yaitu sistem tangkapan makro, dapat berupa sederetan cek-
dam pada alur aliran alam. Pada sistem tangkapan makro air yang dipanen
dapat diresapkan ke dalam tanah dalam bentuk sistem tampungan jangka
panjang.
2. Sistem operasional dan pemeliharaan dalam wilayah mikro menjadi
tanggung jawab pada kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan sistem
tangkapan makro menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah dengan
partisipasi dari masyarakat melibatkan tidak hanya yang berkaitan dengan
sektor air saja tetapi berbagai sektor yang terkait, dilakukan dalam
perancangan maupun penerapan, dengan sistem kelembagaan yang terpadu,
koordinasi dari berbagai kelompok dan pihak terkait.
3. Sistem kelembagaan dengan pola bottom-up menjadi suatu gaya hidup,
dengan jalinan kerjasama yang melibatkan banyak pihak terkait untuk
mengatasi kendala akan hak tanah dan kepemilikan air yang menjadi ciri khas
masyarakat pulau kecil.
4. Pemberdayaan masyarakat dapat berupa pendidikan, pelatihan masyarakat
dan penelitian aplikatif, baik secara horisontal maupun vertikal. Hal ini tidak
hanya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat saja tetapi juga
meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat yang dilakukan melalui
pendidikan teknis maupun non teknis lewat media TV, surat kabar, radio, dan
media massa yang lain.
5. Sistem informasi manajemen meliputi penyediaan data hidrologi yang
memadai, menciptakan komunikasi yang efektif untuk berbagai aspek, jalinan
kerjasama yang melibatkan banyak pihak terkait. Penyebaran informasi dapat
dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui pendekatan keagamaan,
komik masyarakat, poster, video dan media massa yang lain.

II. KERANGKA PIKIR MODEL PAHP


Kerangka pikir model PAHP dikembangkan dari kelima aspek sistem yang
telah ditemukan yaitu: 1) prasarana PAHP, 2) operasional dan pemeliharaan,
3) kelembagaan, 4) pemberdayaan masyarakat dan 5) informasi manajemen
(Gambar 2). Varibel yang terdapat dalam kerangka pikir PAHP adalah:
1. Prasarana pengelolaan air hujan untuk pertanian (PAHP) merupakan
prasarana atau bangunan struktur yang dibangun untuk menunjang
pengelolaan air hujan tersebut.
2. Sistem O & P atau sisterm operasi dan pemeliharaan merupakan sistem yang
dibentuk untuk operasional pengelolaan bangunan struktur dan sistem
pemeliharaannya agar tetap dapat berfungsi secara berkelanjutan.
3. Sistem kelembagaan merupakan sistem organisasi kelembagaan yang
bertanggung jawab dan melaksanakan sistem operasional dan pemeliharaan
tersebut. Sistem kelembagaan ini juga menangani masalah keuangan untuk
keberlanjutan sistem operasional dan pemeliharaan.
4. Pemberdayaan masyarakat merupakan variabel yang cukup penting untuk
mendukung variabel lainnya. Pemberdayaan masyarakat merupakan
peningkatan kapasitas dari sumber daya manusia yang berpengaruh pada
perencanaan prasarana PAHP agar sistem O & P dapat dijalankan dengan
baik, dan juga sistem kelembagaan dapat berfungsi dengan baik.
5. Sistem informasi manajemen merupakan variabel yang dibutuhkan pada
variabel-variabel lainnya agar dapat berjalan dengan baik. Hubungan sistem
ini dengan variabel prasarana PAHP meliputi informasi data yang dibutuhkan
dalam perencanaan prasarana PAHP. Hubungan sistem ini dengan sistem
O & P meliputi informasi data yang diperlukan untuk merancang dan
melaksanakan sistem operasi dan pemeliharaan. Hubungan sistem ini dengan
sistem kelembagaan meliputi informasi dan koordinasi antara pihak-pihak
terkait. Sedangkan hubungan sistem ini dengan pemberdayaan masyarakat
adalah informasi pelatihan, pendidikan, sosialisasi yang dibutuhkan untuk
peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Keterkaitan antara variabel prasarana PAHP, sistem O & P, sistem
kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat membentuk suatu keterkaitan secara
spiral. Prasarana PAHP yang ditetapkan, mempengaruhi sistem O & P yang
dijalankan. Sistem O & P yang dijalankan mempengaruhi sistem kelembagaan
yang dibentuk. Sistem kelembagaan yang dibentuk mempengaruhi pola
pemberdayaan masyarakat. Dari pemberdayaan masyarakat ini akan
mempengaruhi prasarana PAHP, begitu seterusnya prasarana PAHP
mempengaruhi sistem O & P dan seterusnya membentuk keterkaitan secara spiral
yang semakin berkembang.
M
MAASSU
UKKA
ANN PPR
ROOSSEESS K
KEELLU
UAAR
RAAN
N

Ciri khas sistem hidrogeologi:


Kesejahteraan dan
 Air hujan, mempunyai siklus kemandirian masyarakat pada
pendek untuk terbuang ke laut pulau kecil di kawasan kering
 Situasi dryspell & waterlogging
 Air tanah berupa lensa air
 Rentan terhadap penyusupan air laut

Perkembangan ekonomi

Ketahanan pangan dan


Ciri khas sosial – budaya – ekonomi:
perlindungan lingkungan
 Terisolir – komunikasi terbatas
 Sumber daya alam pendukung
rendah
 Sumber daya manusia terbatas Ketersediaan air untuk
 Perkembangan ekonomi terkendala pertanian dan domestik secara
akan ketersediaan air berkelanjutan

U
UMMPPA
ANN BBA
ALLIIK
K

Gambar 2. Kerangka Pikir Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian.


Kerangka pikir pengelolaan air hujan untuk pertanian pada pulau kecil di
kawasan kering memiliki tiga unsur yaitu : masukan, proses, dan keluaran. Unsur
masukan menentukan proses yang terjadi. Akhirnya unsur proses ini
menghasilkan unsur keluaran yang diharapkan. Dari unsur keluaran menjadi
umpan balik bagi unsur masukan yang menentukan proses dan keluaran. Begitu
seterusnya untuk mencapai semakin sesuai, terpadu dan berkelanjutan.

III. PRASARANA MODEL PAHP


Satu hal penting yang belum disentuh dalam sistem prasarana PAHP ini
adalah hubungan antara sistem makro berupa cek-dam berantai yang
dikembangkan di daerah kering Afrika dan sistem mikro berupa jaringan kolam
lahan yang dikembangkan di India. Pada sarana sistem makro berupa cek-dam
berantai, bila air dimungkinkan untuk dapat meresap ke dalam tanah menjadi
imbuhan dalam cadangan air tanah, maka air tanah ini dapat dimanfaatkan melalui
sumur gali yang dibuat di tingkat lahan dalam sistem mikro. Untuk
mengembangkan hubungan ini, perlu dikembangkan suatu alat bantu berupa
model sistem pendukung keputusan yang mampu menjelaskan hubungan antara
sistem makro dan mikro tersebut.
Prasarana PAHP sistem makro berupa cek-dam berantai pada alur aliran
air sistem Kalekye (Mutunga et.al, 2001) (Gambar 3) dan sistem mikro seperti
model jaringan kolam lahan (Kakade et.al, 2003) (Gambar 4).

Sumber: Mutunga et.al, 2001

Gambar 3. Reklamasi dari Alur Aliran Air Sistem Kalekye (Mutunga et.al, 2001)
Gambar 4. Model Jaringan Kolam Lahan (farm ponds)
pada DAS Adihalli – India. (Kakade et. al, 2003)

Satu hal penting yang belum disentuh dalam sistem prasarana PAHP ini
adalah hubungan antara sistem makro berupa cek-dam berantai yang
dikembangkan di daerah kering Afrika dan sistem mikro berupa jaringan kolam
lahan yang dikembangkan di India. Pada sarana sistem makro berupa cek-dam
berantai, bila air dimungkinkan untuk dapat meresap ke dalam tanah menjadi
imbuhan dalam cadangan air tanah, maka air tanah ini dapat dimanfaatkan melalui
sumur gali yang dibuat di tingkat lahan dalam sistem mikro. Untuk
mengembangkan hubungan ini, perlu dikembangkan suatu alat bantu berupa
model sistem pendukung keputusan yang mampu menjelaskan hubungan antara
sistem makro dan mikro tersebut.

IV. PENGEMBANGAN MODEL SPK – PAHP


Dalam pengembangan model SPK-PAHP ini yang menjadi permasalahan
adalah :
1. Bagaimana dan berapa kebutuhan air untuk pertanian?
2. Bagaimana dan berapa ketersediaan air untuk pertanian?
3. Bagaimana neraca air pada prasarana bangunan PAHP maupun pada lahan
pertanian?
Model-model yang dipakai dalam SPK ini meliputi:
1. Model hubungan antara curah hujan – limpasan air permukaan – infiltrasi,
mengikuti Persamaan (1) dan Persamaan (2).
2. Model kebutuhan air tanaman – irigasi – drainase, mengikuti Persamaan (3)
sampai dengan Persamaan (6).
3. Model pengelolaan air hujan untuk pertanian skala kecil, mengikuti
Persamaan (7)
Kerangka model dalam SPK-PAHP ini terdiri dari kerangka model 1,
model 2 dan model 3 yang diselesaikan dalam Excel (Gambar 5, 6 dan 7). Data
yang dibutuhkan dalam model 1 adalah data curah hujan, data topografi/tata guna
lahan untuk mencari besarnya koefisien limpasan permukaan α, dan data tanah
untuk mendapatkan besarnya koefisien infiltrasi β. Dari data hujan dan data
koefisien limpasan permukaan α, dapat ditemukan besarnya air limpasan
permukaan (RO) mengikuti persamaan 1, dan dari data koefisien infiltrasi β dan
data hujan dapat ditemukan besarnya infiltrasi yaitu air yang meresap ke dalam
tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman (I/Re) mengikuti persamaan 2
(Gb. 5).
Topografi /
Curah hujan (iklim) tata guna lahan Data Tanah
(Model Spasial)

R α β

RO I / Re

Gambar 5. Kerangka Model 1: Curah Hujan – Limpasan Permukaan – Infiltrasi


Tanaman / Curah hujan / Data Tanah
Pola tanam Iklim (Model Spasial)

kc E R β P

ET0 I / Re

ETcrop

Irr D

Gambar 6. Kerangka Model 2: Kebutuhan air Tanaman – Irigasi – Drainase

Data yang dibutuhkan dalam model 2 adalah: (1) data tanaman/pola tanam
yang memberikan informasi tentang koefisien tanaman dan waktu mulai tanam,
(2) data curah hujan/iklim yang memberikan informasi tentang besarnya curah
hujan R dan evaporasi (E), atau dari data iklim dapat ditemukan informasi
besarnya evapotranspirasi potensial (ETo) mengikuti persamaan 3, (3) data tanah
yang ditemukan dari model spasial memberikan informasi tentang koefisien
infiltrasi β dan besarnya perkolasi. Dari informasi tentang besarnya ETo dan
koefisien tanaman dapat ditemukan besarnya kebutuhan air untuk tanaman
(ETcrop) mengikuti persamaan 4. Dari informasi tentang koefisien β dan curah
hujan ditemukan informasi tentang besarnya infiltrasi atau air yang ada di dalam
tanah dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman (I/Re). Dari informasi ETcrop, Re dan
P akan memberikan informasi lebih lanjut tentang besarnya kebutuhan air irigasi
atau air drainase, yang mengikuti persamaan 5 dan 6.

Topografi / Model 1 Model 2


tata guna lahan
(Model Spasial)

r A RO D Irr

Volume Air yang Diresapkan: V

Gambar 7. Kerangka Model 3: Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian


Data yang dibutuhkan dalam model 3 adalah data topografi/tata guna lahan
yang ditemukan dalam model spasial yang akan memberikan informasi tentang
luas daerah tangkapan dan koefisien resapan (r), informasi tentang limpasan
permukaan (RO) dari model 1, dan informasi tentang besarnya kebutuhan air
drainase dan air irigasi dari model 2. Dari informasi ini dapat dihitung besarnya
volume genangan dalam bangunan prasarana PAHP atau volume air yang dapat
diresapkan ke dalam tanah sebagai imbuhan cadangan air tanah (V). Besarnya air
ini mengikuti persamaan 7.
Persamaan yang dipakai dalam model 1, 2 dan 3 adalah:
RO    I  A
.............................................................................................. (1)
Infiltrasi    I  A
.............................................................................................. (2)
ET0  Kp  Epanci
............................................................................................... (3)
ETcrop  k cET0
............................................................................................... (4)
Irr  ETcrop  P  R e
............................................................................................... (5)
D  Re  ETcrop
............................................................................................... (6)
V  RO  D  E  P
............................................................................................... (7)
Keterangan:
RO : Run Off ETcrop : Evapotranspirasi tanaman
α : koefisien Run Off kc : koefisien tanaman
β : koefisien Infiltrasi Irr : kebutuhan air irigasi
I : Intensitas hujan P : perkolasi
A : Area daerah tangkapan hujan Re : curah hujan efektif
ET0 : Evapotranspirasi tetapan D : kebutuhan drainase
tanaman
Kp : Koefisien panci V : volume
Epanci : Evaporasi terbuka pada panci E : evaporasi terbuka

Ketersediaan air irigasi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan


air pertanian adalah:
1. Besarnya air yang dapat diresapkan ke dalam tanah. Air yang diresapkan ini
berasal dari air hujan yang dapat ditampung ke dalam jebakan air, sesuai
dengan kapasitas tampungan jebakan dan air hujan yang dapat dipanen
(tergantung dari luasan daerah tangkapan hujan).
2. Besarnya kebutuhan air drainase pertanian yang dapat menjadi tambahan
tampungan pada sumur gali di lahan pertanian.
Kedua komponen di atas menjadi komponen ketersediaan air irigasi bagi
pertanian pada lokasi studi. Dalam program Excel dari SPK – PAHP, secara
matematis dapat dituliskan sebagai:
Ketersediaan air = (β x Vjebakan) + 10 (D x A) ……………………… (8)
Dimana:
β : koefisien resapan (%)
Vjebakan : volume air yang tertampung dalam kolam jebakan air (m3)
D : air kebutuhan drainase pertanian (mm)
A : luas lahan pertanian (Ha)

Ketersediaan air bagi tanaman dipenuhi dari curah hujan efektif atau
besarnya curah hujan yang secara efektif dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Besarnya curah hujan efektif dapat dihitung dengan berbagai metode, yaitu: fixed
percentage, dependable rain, empirical formula dan USDA Soil Conservation
Service Method. Untuk metode persentase yang tetap, besarnya curah hujan
efektif adalah:
Reff = α x R .................................................................. (9)
Dimana:
Reff : curah hujan efektif (mm)
α : persentase curah hujan efektif (%)
R : besarnya curah hujan (mm)

Kebutuhan air untuk irigasi pertanian adalah selisih dari kebutuhan air
untuk tanaman dan ketersediaan air curah hujan efektif yang besarnya adalah:
Ireq : ETcrop – Reff............................................................. (10)
Dimana :
Ireq : kebutuhan air untuk irigasi pertanian
Reff : curah hujan efektif
ETcrop : kebutuhan air untuk tanaman

Dari persamaan 10, bila selisih harga adalah negatif, berarti besaran ini
adalah kebutuhan air untuk drainase pertanian (D). Hal ini berarti bahwa curah
hujan efektif lebih besar dari pada kebutuhan air untuk tanaman. Berarti pula
bahwa kelengasan tanah sangat jenuh air, sehingga perlu dikeringkan agar
tanaman tidak mati.
Penyimpanan air di permukaan berupa penyimpanan dalam kolam jebakan
air. Air ini diresapkan ke dalam tanah sebagai penyimpanan air di dalam tanah.
Volume air yang tersimpan dalam kolam jebakan air dihitung dengan
menggunakan neraca keseimbangan air pada kolam jebakan, yaitu neraca air yang
melimpas dan yang dapat ditampung dalam jebakan air. Air yang melimpas akan
ditampung pada jebakan di sebelah hilir, sedangkan air yang harus ditampung
juga diresapkan ke dalam tanah.
Besarnya air yang melimpas adalah debit air masukan dikurangi kapasitas
tampung dari kolam jebakan, atau:
Vlimpas = 10 (α x R x A) – V0 (m3) ………………………… (11)
Dimana:
α : koefisien limpasan permukaan (runoff)
R : curah hujan (mm)
A : luasan daerah tangkapan hujan (Ha)
V0 : kapasitas tampung kolam jebakan air (m3)

Air yang tertampung ini mempunyai potensi untuk diresapkan ke dalam


tanah, yang besarnya dikalikan dengan koefisien resapan (lihat Persamaan 8).
Demikianlah simulasi perhitungan ini terdapat dalam lembar kerja neraca dalam
jebakan dari model SPK – PAHP.
Optimasi lahan pertanian berdasarkan neraca air pada lahan pertanian,
yang merupakan fungsi dari ketersediaan air, kebutuhan air irigasi pertanian.
Ketersediaan air untuk pertanian berdasarkan persamaan 8, yang merupakan
fungsi dari variabel luasan lahan pertanian (A).
Y = Xt + A * (Reff)t ................................................................ (12)
Kebutuhan air irigasi atau drainase pertanian:
(Ireq atau D) = A * ETcrop - Y Dimana Ireq > 0 dan D < 0 ...........(13)

Fungsi tujuan : meminimalkan neraca air pada lahan: Min (NA)t


Fungsi kendala:
(NA)t = (NA)t-1 – (Ireq)MT1 + (D)MT1 – (Ireq)MT2 + (D)MT2 – (Ireq)MT3 – (D)MT3
(NA)t= (NA)t-1 – {A * ETcrop – [Xt + A * (Reff)t]} ..................... (14)
Optimasi nilai A, dimana (NA)t adalah minimal atau sama dengan nol
Dimana : (NA)t : neraca air pada bulan t (fungsi waktu: bulan 1 – 12)
(NA)t-1 : neraca air pada bulan sebelumnya
A : variabel keputusan yang dioptimalkan untuk
memperoleh nilai (NA)t seminimal mungkin atau
sama dengan nol
Etcrop : evapotranspirasi tanaman
Xt : ketersediaan air tanah (yang diresapkan)
(Reff)t : hujan efektif untuk tanaman pada bulan t

V. APLIKASI MODEL SPK-PAHP


Model pengelolaan air hujan untuk pertanian ini dikembangkan dengan
mengambil lokasi studi di Desa Daieko. Desa Daieko secara administrasi masuk
dalam wilayah Kecamatan Hawu Mehara, Kabupaten Kupang, terletak di ujung
barat Pulau Sabu (Gambar 8). Keadaan geografi desa ini mempunyai luas wilayah
1.271,97 Ha atau 12,72 Km2, dengan batas-batas di sebelah Utara dengan Laut
Sawu, di sebelah Selatan dengan Desa Pedarro, di sebelah Timur dengan Desa
Raedewa dan Desa Djadu, wilayah Kecamatan Sabu Barat, dan di sebelah Barat
dengan Desa Molie serta Desa Tanajawa.
Kondisi topografi desa tersebut berbukit-bukit dengan lereng yang terjal,
kering, tandus dan gersang, dengan kondisi struktur tanah berwarna kekuning-
kuningan, tanah liat keabu-abuan, tanah pasir, lempung setebal kurang lebih 1
meter, di atas karang batu cadas. Desa tersebut berada pada elevasi sekitar 1000
meter di atas permukaan laut , curah hujan rata -rata 55 mm dalam bulan hujan ,
yaitu bulan Desember dan Januari atau 1200 mm pertahun , suhu udara 34̊
Celcius. Penggunaan lahan desa tersebut terdiri dari lahan sawah tadah hujan
(6,64 Ha), tanah kering-ladang dan permukiman (747,12 Ha), perkebunan rakyat
(160,75 Ha), fasilitas umum (259,46 Ha), hutan lindung & semak belukar (98 Ha).
Di desa ini dikembangkan sistem penampungan air hujan yang disebut
jebakan air. Sistem ini merupakan cekdam-cekdam kecil berantai pada alur aliran
alam. Alternatif teknis sistem pemanenan air hujan yang akan dikembangkan dan
diaplikasikan adalah struktur bangunan air yang terdiri dari jaringan sumur/perigi
untuk pemanfaatan air hujan di areal lahan, dan jebakan air berantai untuk
pemanfaatan air hujan yang mengalir sebagai aliran permukaan dalam alur-alur
aliran alam.

Ds. Daieko

Gambar 8. Batas Kecamatan serta Desa/Kelurahan Pulau Sabu dan Pulau Raijua
(Menurut Peta Rupa Bumi Digital, 2005)

VI. RANCANGAN PRASARANA PAHP DAIEKO


Langkah awal yang dilakukan adalah mempelajari peta tata guna lahan
untuk Desa Daieko, terutama memperhatikan tata guna lahan yang diperuntukkan
sebagai lahan, kebun/perkebunan, ladang, dan tanah kosong. Sitem pertanian
dipilih dengan mempertimbangkan konservasi tanah dan air, seperti sistem
tumpang sari dengan alur-alur yang berfungsi sebagai drainase pertanian.
Langkah berikutnya adalah mempelajari letak alur kali atau alur drainase
alam dalam peta topografi digital dan peta DEM (digital elevation model) untuk
menentukan letak cekdam/jebakan air. Letak cekdam/jebakan air berantai yang
direncanakan digambarkan pada peta (Gambar 9). Dari peta digital yang ada,
untuk areal studi Desa Daieko yang direncanakan, ditentukan ada 13 bangunan
jebakan air. Sepanjang alur Loko Roalie ditentukan 2 buah bangunan yang
diperkirakan cukup mampu untuk mengairi lahan pertanian yang ada di
sekitarnya. Pada alur Loko Ujula ditentukan 6 buah, sedangkan pada alur Loko
Kabila ditentukan 5 buah. Letak jebakan air ini dikaji ulang dalam simulasi model
SPK – PAHP Daieko, dengan mempertimbangkan neraca air jebakan dan lahan
pertanian.
Koreksi letak jebakan air dilakukan pada alur kali Loko Roalie yang
semula terletak di antara lahan pertanian, dipindahkan ke sebelah hulu dari lahan
pertanian. Untuk alur kali Loko Ujula juga digeser ke sebelah hulu dari lahan
pertanian. Letak jebakan yang semula direncanakan pada cabang alur,
dipindahkan ke alur utama untuk mendapatkan masukan air yang mencukupi.
Pada alur kali Loko Kabila yang semula berjumlah 5 buah, diubah menjadi 3 buah
karena sudah mencukupi. Rancangan akhir model PAHP – Daieko terdapat pada
Gambar 10.

Gambar 9. Peta Awal Rencana Prasarana PAHP – Daieko


Gambar 10. Rancangan Akhir Prasarana PAHP – Daieko

Analisa neraca air pada jebakan memberikan perhitungan air yang potensi
dapat diresapkan ke dalam tanah sebagai imbuhan cadangan air tanah. Simulasi
analisa neraca air dilakukan dalam 3 tahapan. Tahapan pertama adalah simulasi
untuk jebakan 1 dan 2. Volume air yang dapat diresapkan melalui jebakan 1 dan 2
secara optimal adalah sebesar 143.602 m3 pertahun. Untuk resapan minimal, yaitu
setelah jebakan berfungsi pada tahun ke-4 dimana koefisien resapan sudah
menurun sampai 5 %, adalah sebesar 25.127 m3 pertahun. Tahapan kedua adalah
simulasi untuk jebakan 3,4,5,6,7 dan 8, menghasilkan volume air yang resapan
optimal sebesar 520.254 m3 pertahun, dan minimal dimana koefisien resapan
menurun sampai 1 %, sebesar 111.318 m3 pertahun. Tahapan terakhir adalah
simulasi untuk jebakan 9,10 dan 11, menghasilkan volume air resapan optimal
sebesar 413.468 m3 pertahun, dan minimal sebesar 88.741 m3 pertahun (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil Simulasi Neraca Air pada Jebakan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 dan 11


Dengan mengkaji kedua analisa neraca air di atas, dapat ditentukan letak
jebakan air, sumur/kolam lahan yang diperlukan sehingga memberikan kepastian
akan ketersediaan air bagi tanaman. Secara tabularis, hasil simulasi di atas
disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Simulasi Rencana Akhir Bangunan Prasarana PAHP


Nilai
Volume air yang Volume air yang Lahan Lahan
Bangunan keamanan
Nama alur kali dapat diresapkan dapat diresapkan pertanian pertanian
Prasarana usaha
(drainase alam) optimal minimal optimal rencana
PAHP PAHP
m3 per tahun m3 per tahun Ha Ha -
Jebakan 1
Loko Roalie 143,602 25,127 64.92 51.11 1.27
Jebakan 2
Jebakan 3
Jebakan 4
Jebakan 5
Loko Ujula 520,254 111,318 235.21 215.42 1.09
Jebakan 6
Jebakan 7
Jebakan 8
Jebakan 9
Loko Kabila Jebakan 10 413,468 88,741 186.93 126.35 1.48
Jebakan 11

VII. OPERASIONAL Dan PEMELIHARAAN


Operasi dan pemeliharaan ini terkait dengan infrastruktur yang ada dalam
Dinas Propinsi PU, dimodifikasi dengan infrastruktur di tempat lokasi studi yaitu
sistem adat dan kearifan lokal. Modifikasi sistem ini dikembangkan dengan
mempertimbangkan undang-undang tentang sumber daya air yang berlaku,
struktur organisasi dalam Dinas PU, sistem organisasi di lokasi studi dan kapasitas
sistem informasi manajemen yang ada.
Dalam struktur organisasi SNVT PPSDA – NTT (2008), dimana untuk
pengembangan embung di Pulau Sabu berada di bawah tanggung jawab dari PPK
PKSDA Pengawas Timor. Berpijak pada UU No. 7 Tahun 2004 dan struktur
organisasi dalam Dinas PU yang ada pada tahun 2008, dikembangkan struktur
organisasi model Pro-PAHP untuk Pulau Sabu seperti dalam Gambar 11. Sistem
operasional ini ditumbuhkan dari masyarakat, dalam masyarakat dan untuk
masyarakat.

Gambar 11. Struktur Organisasi Model Pro-PAHP


Model partisipasi masyarakat dilaksanakan dalam kesatuan dengan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membentuk dua tim, yaitu tim sosial
dan tim teknis. Tim sosial mempunyai tugas dan fungsi untuk menyiapkan
masyarakat dari awal hingga pembentukan dan pengawasan pelaksanaan
kelembagaan air dalam batas waktu tertentu. Sedangkan tim teknis mempunyai
tugas dan fungsi dalam kegiatan DED (detail engineering design) dan
pembangunan konstruksi bangunan PAHP. Dinas PU kecamatan mempunyai
tugas dan fungsi dalam kegiatan DED dan pelaksanaan pembangunan, khususnya
dalam pengawasan. Model ini dinamakan sebagai model Pro-PAHP.
Sistem kelembagaan air digambarkan dalam Struktur Organisasi
Kelembagaan Air seperti dalam Gambar 12. Alur sistem kelembagaan air
digambarkan oleh garis komando. Persatuan Petani Pemakai Air (P3A)
berkoordinasi dengan Dinas PU kecamatan dan Tim Teknis serta Tim Sosial.

Gambar 12. Struktur Organisasi Kelembagaan Air

Tim teknis tingkat kecamatan berperan sebagai personil yang mengambil


kebijakan sesuai dengan hasil simulasi dan optimasi model SPK – PAHP, guna
memutuskan kapan mulai tanam dan jadual irigasi pertanian. Sedangkan Tim
sosial berperan dalam sosialisasi dan komunikasi pengelolaan yang telah
ditetapkan. Antara kepala urusan jebakan air dan jaringan sumur di tingkat desa
ada koordinasi sehingga terjalin keterpaduan dalam pengelolaan bangunan PAHP
dalam sistem makro dan mikro. Begitu pula antara petugas jebakan air dan sumur
lahan. Sistem evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan di tingkat
kecamatan, desa, dusun, sampai pada tingkat petani.

VIII. PAHP PADA PULAU SABU


Untuk melakukan tinjauan dari upaya pengelolaan sumber daya air
terpadu, khususnya pengelolaan air hujan, pada pulau kecil kawasan kering
Indonesia, maka ditampilkan suatu gambaran kondisi eksisting pulau kecil (Pulau
Sabu) sebelum opsi PAHP dan setelah opsi PAHP. Gambar 13 menjelaskan
peningkatan hasil produksi pangan dalam kondisi eksisting, sebelum dan sesudah
opsi PAHP.

Grafik Perkiraan Peningkatan Hasil Produksi Pangan


350,000

300,000
Ton / Tahun
250,000

200,000

150,000

100,000

50,000

-
Hasil Padi Hasil Sorghum Hasil Kacang Hasil Jagung Hasil Kacang
(ton) (ton) Hijau (ton) (ton) Tanah (ton)
Keadaan Eksisting 19,920 23,570 23,570 58,925 23,570
Sebelum Opsi PAHP 19,920 57,545 57,545 143,863 57,545
Sesudah Opsi PAHP 23,807 138,108 138,108 287,725 138,108
Peningkatan Produksi (ton) 3,887 80,563 80,563 143,863 80,563
Peningkatan Produksi (%) 20% 140% 140% 100% 140%

Gambar 13. Grafik Perkiraan Peningkatan Hasil Produksi Pangan


Sesudah Opsi PAHP

IX. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditemukan:
1. Pengelolaan air hujan untuk pertanian (PAHP) pada Pulau Sabu
dimaksudkan sebagai usaha untuk menahan air hujan yang jatuh selama
mungkin di daratan pulau, yaitu agar limpasan permukaan air hujan
disimpan di dalam embung/reservoir maupun pada lapisan akuifer di
dalam tanah untuk mengatasi situasi dryspell. Untuk mengatasi situasi
waterlogging, maka kadar air dalam tanah yang berlebih dikeringkan dan
disimpan dalam sumur lahan, sehingga dapat dimanfaatkan kembali saat
dibutuhkan. Pada lokasi studi Desa Daieko ditemukan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan air pertanian yang direncanakan, perlu dibangun 2
buah jebakan air di alur sungai Loko Roalie, 6 buah di alur Loko Ujula dan
3 buah di alur Loko Kabila. Sedangkan di lahan pertanian dibangun sumur
gali untuk mengairi tanaman.
2. Prasarana PAHP pada pulau kecil terdiri dari bangunan pada skala makro
dan mikro yang saling terintegrasi. Bangunan makro berupa jebakan air
yang diletakkan pada alur drainase alam, baik secara seri maupun tunggal,
menjadi tanggung jawab pemerintah. Sedangkan bangunan mikro berupa
sumur/kolam terletak pada lahan pertanian, dibuat dengan teknologi
sederhana, menjadi tanggung jawab masyarakat petani sendiri.
Pengelolaan pada sistem makro oleh pemerintah dan pada sistem mikro
oleh masyarakat petani, dan keduanya ada koordinasi.
3. Sistem kelembagaan dikembangkan secara terpadu dengan melibatkan
pihak pemerintah, yaitu dinas PU kecamatan, dan masyarakat, yaitu P3A,
sehingga memudahkan dalam operasional dan pemeliharaan. Sistem
terpadu ini dinamakan model Pro-PAHP yang mempunyai struktur
kelembagaan air terpadu, dimana dalam struktur ini dapat dijalankan
sistem operasional dan pemeliharaan, keuangan secara efektif dan optimal
(Gambar 11 dan 12).
4. Pengembangan sistem pendukung keputusan yaitu SPK – PAHP
dimaksudkan untuk membantu perancangan sistem prasarana PAHP.
Dengan menggunakan model SPK – PAHP ini dapat ditentukan letak
bangunan jebakan air, sumur/kolam lahan sehingga diperoleh kombinasi
sistem prasarana di tingkat makro dan di tingkat mikro secara optimal
untuk meningkatkan ketersediaan air dan produksi pertanian. Model SPK –
PAHP ini dapat membantu perencanaan pertanian dan pengendalian
bencana kekeringan melalui perencanaan sistem prasarana secara tepat dan
terpadu.
5. Dari analisis yang dilakukan dengan model SPK-PAHP ini dapat
disimpulkan bahwa jika opsi PAHP dilakukan di seluruh Pulau Sabu,
maka produksi pertanian akan meningkat sampai 140 % untuk sorghum
dan kacang-kacangan (Gambar 13).

DAFTAR PUSTAKA
BMG Lasiana Kupang, 2008. Data Iklim Station Iklim Tardamu Seba dari Tahun
1980 – 2007. BMG - Kupang, Indonesia.
Falkenmark, Malin Fox, Patrick Persson, Gunn Rockström, Johan, 2001. Water
Harvesting for Upgrading of Rainfed Agriculture, Problem Analysis and
Research Needs, SIWI Report 11 Published 2001 by Stockholm
International Water Institute.
http://www.siwi.org/documents/Resources/Reports/Report11_Water_Harvesting_
for_Upgrading_Rainfed_Agriculture_2001.pdf
Falkland, 2002. From Vision to Action Towards Sustainable Water Management
in The Pasific. Pacific Regional Consultation on Water in Small Island
Countries Sigatoka, Fiji Islands, 29 July – 3 August 2002 – Theme 1,
Water Resources Management.
http://www.adb.org/documents/events/2002/water_small_island/Theme1/overvie
w.pdf
Kakade, B., Ganesh Neelam, Kiran Petare, Chinnanna Doreswamy, 2003. Revival
of A Traditional Water Management System – An Innovative Farm Pond
Network Approach A Case Study from Adihalli-Myllanhalli Villages in
Hassan District, Karnataka, India. BAIF Development Research
Foundation, India. http://www.soil-water.org.au/acrobat/
revival_of_a_traditional_water_ management_system.pdf
Mutunga, K. And Critchley, W., 2001 Farmers’ Initiatives in Land Husbandry:
Promising Technologies for The Drier Areas of East Africa. Nairobi:
Regional Land Management Unit (RELMA), Swedish International
Development Cooperation Agency (Sida), (RELMA Technical Report
Series ;27). http://www.prolinnova.net/Downloadable_files/TR27.pdf atau
http://www.wca-infonet.org/cds_ upload/1062415739024_farmers.pdf
PPSA – NTT, 2008. Laporan Tahunan Tahun 2008. PPSA – NTT, Kupang,
Indonesia.
Susilawati, 1999. “Analisa Produksi Tanaman Pangan di UPT Weberek, Timor
Timur”. Seri Kajian Ilmiah Vol.: 9 No. 1,102-110. Universitas Katolik
Soegijapranata, Semarang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air. Jakarta, Indonesia.
PENGARUH PEMBERIAN AIR SECARA ROTASI
TERHADAP PRODUKSI TANAMAN IRIGASI

Dr.Ir. Widandi Soetopo, M.Eng.


Ir. Dwi Priyantoro, MS.
Instansi : Fakultas Teknik – Universitas of Brawijaya
Alamat : Jl. M.T. Haryono 167 Malang – 65145
E-mail : wid131835@yahoo.co.id

Intisari

Pemberian air secara rotasi adalah suatu cara untuk mengatasi kekurangan
daripada ketersediaan air irigasi. Dalam bidang manajemen air, yang perlu diketahui
adalah pengaruh pemberian air secara rotasi ini terhadap tingkat produksi tanaman
irigasi.
Dalam studi ini digunakan suatu fungsi umum yang menghubungkan banyaknya
pemberian air dengan produksi tanaman irigasi. Kemudian dilakukan simulasi dengan
berbagai nilai pemberian air untuk menghasilkan nilai-nilai produksi yang terkait.
Hasil daripada perhitungan simulasi ditampikan dalam bentuk tabel produksi
tanaman irigasi. Tabel semacam ini seterusnya dapat digunakan untuk tujuan optimasi
manajemen pemberian air ke petak-petak irigasi.

Kata kunci: irigasi, rotasi, produksi.

I. PENDAHULUAN
Produksi tanaman irigasi sangat tergantung daripada pemberian air irigasi
di lahan yang bersangkutan. Sementara ketersediaan air selalu menjadi salah satu
topik yang berkembang hangat belakangan ini. Hal ini berkaitan dengan realitas
yang ada seperti halnya pemanasan global, berkurangnya hutan tropis, menyem-
pitnya lahan pertanian, meluasnya pemukiman penduduk, dan seterusnya. Untuk
dapat melakukan pengelolaan secara efektif dan efisien, diperlukan pengetahuan
tentang hubungan antara pemberian air irigasi dengan panen yang dihasilkan oleh
tanaman irigasi.
Irigasi yang optimal mengindikasikan penggunakan air irigasi yang lebih
sedikit dibandingkan dengan irigasi konvensionil (English et.al., 2002).
Penggunaan air yang menurun selanjutnya akan mengarahkan pada potensi
efisiensi irigasi yang lebih besar dan penurunan dampak terhadap lingkungan.
Kumar et.al. (2006) telah merumuskan model optimasi yang memaksi-
mumkan besarnya panen relatif daripada semua jenis tanaman di petak-petak
irigasi. Model ini memperhitungan berbagai faktor di antaranya debit inflow dari
waduk dan curah hujan yang jatuh di petak-petak irigasi.
Haque et al. (2004) telah menggunakan model skedul pemberian air irigasi
untuk tanaman padi di Pantai Timur Malaysia. Model ini digunakan untuk meng-
hitung berbagai skenario dari pemberian air irigasi. Hasilnya menunjukkan bahwa
model ini dapat menghemat air irigasi sebanyak 19% untuk musim utama dan
11% untuk di luar musim apabila dibandingkan dengan skedul irigasi tradisional.
Dari berbagai acuan yang ada, pengaruh daripada penghematan air irigasi
ini terhadap produksi tanaman irigasi di waktu panen belum banyak dibicarakan.
Pada studi yang disajikan pada tulisan ini, dicoba untuk mengestimasi pengaruh
daripada pemberian air yang dijatah untuk tanaman irigasi terhadap hasil panen
tanaman irigasi tersebut.

II. FUNGSI PRODUKSI TANAMAN IRIGASI


Jika banyaknya air irigasi yang diberikan (applied water) kepada tanaman
adalah sejumlah kebutuhan air irigasinya secara penuh (100%), maka produksi pa-
nennya (yield) juga 100% menurut spesifikasi tanaman tersebut. Sementara jika
pemberian air irigasi di bawah 100%, maka produksi panennya juga di bawah
100%. Adapun bentuk umum hubungan antara pemberian air relatif (relative
applied water - AWr) dengan produksi panen relatif (relative yield - Yr) dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut (English, 2002).

1
Produksi Panen Relatif (Yr)

0.5

0
0 0.5 1
Pem berian Air Relatif (AWr)

Gambar 1. Hubungan Pemberian Air Relatif (AWr) dengan Produksi Panen


Relatif (Yr)

Sampai dengan nilai AWr sekitar 50%, maka Yr cenderung naik secara
linier. Setelah untuk hubungan berbentuk kurvilinier, sebagai akibat daripada
percepatan meningkatnya kehilangan akibat evaporasi permukaan yang meluas,
runoff, dan perkolasi yang dalam. Dapat dilihat bahwa untuk AWr di atas 100%
maka Yr kembali menurun yang menunjukkan terjadinya air irigasi yang
berlebihan (over-irrigation) yang mengakibatkan kondisi-kondisi zona akar
anaerobik, penyakit, dan pencucian unsur hara.
III. PEMBERIAN AIR SECARA ROTASI
Apabila terjadi kondisi dimana jumlah air yang tersedia tidak mencukupi
untuk mengairi seluruh lahan irigasi dengan 100% kebutuhan air, maka ada dua
pilihan:
1. Mencukupi 100% kebutuhan air pada sebagian lahan irigasi yang luasnya
sesuai dengan jumlah air yang tersedia.
2. Mengairi seluruh lahan irigasi dengan Pemberian Air Relatif (AWr) yang
seragam sebesar sesuai dengan jumlah air yang tersedia.
Apabila mengacu kepada Fungsi Produksi Tanaman Irigasi sebagaimana
yang ditampilan oleh Gambar 1 yang menyatakan hubungan antara AWr
(Pemberian Air Relatif) dengan Yr (Produksi Panen Relatif), maka pilihan ke-2
akan menghasilkan Produksi Tanaman Irigasi yang lebih besar khususnya untuk
nilai AWr di antara 50% dan 100%. Hal ini disebabkan oleh karena bentuk
hubungan yang kurvilinier untuk AWr pada kisaran nilai-nilai tersebut.
Selanjutnya apabila jumlah air yang tersedia mendekati 100% dari
kebutuhan air irigasi (≥ 80%), maka pemberian air dilakukan secara serempak di
semua petak. Tetapi apabila ketersediaan air di bawah 80% dari kebutuhan air
irigasi, maka dilakukan pemberian air secara giliran atau disebut juga pemberian
air secara rotasi (intermittent irrigation). Alasan daripada pemberian air secara
rotasi ini adalah sebagai berikut:
1. Lebih mudah untuk melakukan penjatahan menurut waktu dengan jumlah air
irigasi yang sudah ditetapkan baik dari segi pelaksanaan maupun pengawasan.
Penjatahan menurut waktu akan lebih mudah untuk diingat oleh petani.
2. Jumlah air yang hilang dalam transportasi lewat saluran menjadi lebih kecil
karena pengiriman air yang lebih terpusat setiap kalinya hanya pada petak-
petak tertentu saja.
3. Para petani di lapangan lebih terbiasa dengan kondisi air penuh (100%
kebutuhan air irigasi) walaupun dalam jangka waktu yang lebih singkat.
Rumus untuk lamanya pemberian air pada setiap giliran adalah sebagai berikut:

Lama pemberian 
 Luas petak diairi  n hari Periode rotasi  24 jam …….(1)
 Luas semua petak Banyak giliran per petak
Dengan menggunakan rumus Pers.(1) tersebut maka dapat disusun jadwal
pemberian air irigasi sedemikian hingga setiap petak mendapat nilai AWr yang
seragam.

IV. BESARNYA PRODUKSI PANEN PADA ROTASI


Menurut hubungan antara pemberian air relatif (AWr) dengan produksi
panen relatif (Yr), yang dinyatakan pada Gambar 1, maka kondisi pemberian air
secara rotasi ini akan mengakibatkan produksi panen di bawah 100% dari
produksi panen dengan pemberian air 100%. Dengan menggunakan garis
hubungan antara AWr dan Yr tersebut, maka dilakukan simulasi nilai Yr untuk
berbagai nilai AWr yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hubungan Pemberian Air dengan Produksi Panen.


Pemberian Air Relatif Produksi Panen Relatif
0 0,000000
0,1 0,156708
0,2 0,333937
0,3 0,497373
0,4 0,639022
0,5 0,756331
0,6 0,849046
0,7 0,918075
0,8 0,964962
0,9 0,991589
1 1,000000

V. FAKTOR TAMBAHAN AIR HUJAN


Pada realitasnya di lapangan akan terdapat komponen curah hujan yang
langsung jatuh di petak-petak irigasi. Nilai curah hujan ini akan memberikan
kontribusi pada nilai pemberian air. Bahkan pada periode-periode tertentu dalam
masa tanam, air hujan sudah mencukupi (atau bahkan melebihi) kebutuhan air
irigasi. Dalam hal ini maka pengaruh dari pemberian air (yang berasal dari
bangunan sadap misalnya) akan berbeda. Tabel 2 menunjukkan berbagai tingkat
Produksi Panen akibat Pemberian Air di bawah pengaruh kontribusi air hujan
yang besar bervariasi.

Tabel 2. Hubungan Pemberian Air dan Kontribusi Hujan dengan Produksi Panen.
Pemberian PRODUKSI PANEN RELATIF
Air Untuk Kontribusi Air Hujan
Relatif 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%
0 0,069801 0,156708 0,246131 0,333937 0,418072 0,497373 0,571155 0,639022
0,1 0,237216 0,316620 0,393297 0,466285 0,534984 0,599026 0,658194 0,712379
0,2 0,401603 0,466285 0,527575 0,585210 0,639022 0,688916 0,734850 0,776825
0,3 0,549628 0,599026 0,645474 0,688916 0,729325 0,766701 0,801061 0,832438
0,4 0,676813 0,712379 0,745714 0,776825 0,805725 0,832438 0,856993 0,879423
0,5 0,781795 0,805725 0,828137 0,849046 0,868471 0,886435 0,902961 0,918075
0,6 0,864704 0,879423 0,893217 0,906096 0,918075 0,929167 0,939387 0,948749
0,7 0,926476 0,934385 0,941807 0,948749 0,955217 0,961218 0,966758 0,971844
0,8 0,968503 0,971844 0,974986 0,977932 0,980682 0,983241 0,985608 0,987787
0,9 0,992425 0,993215 0,993961 0,994662 0,995318 0,995930 0,996498 0,997022
1 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000 1,000000
VI. PEMBAHASAN
Dari hasil simulasi berbagai nilai-nilai Pemberian Air Relatif (AWr) dan
Kontribusi Air Hujan, yang menghasilkan berbagai tingkat Produksi Panen Relatif
(Yr), maka dapat dikemukakan hal-hal berikut.
1. Bentuk umum hubungan antara pemberian air relatif (AWr) dengan produksi
panen relatif (Yr) mendukung untuk dilakukannya pemberian air secara rotasi.
2. Bentuk kurvilinier dari hubungan antara AWr dan Yr untuk nilai AWr di atas
50% memperkuat alasan untuk dilakukannya pemberian air secara rotasi,
khususnya untuk nilai AWr (ketersediaan air) di atas 50%.
3. Dengan adanya pengaruh air hujan yang memberikan kontribusi terhadap
pemberian air kepada tanaman, maka batas nilai AWr dalam menguatkan
alasan digunakannya pemberian air secara rotasi juga turun di bawah 50%,
yang berarti semakin memperbesar lingkup penerapan sistem pemberian
secara rotasi.
4. Semakin besar kontribusi hujan terhadap pemberian air ke tanaman, maka
semakin besar pula lingkup penerapan sistem pemberian air secara rotasi.
5. Yang dimaksud dengan Produksi Panen 100% adalah hasil panen apabila
pemberian air (termasuk curah hujan) adalah 100% dari kebutuhan air
tanaman menurut spesifikasi perencanaan tanam, yaitu di bawah kondisi
pengelolaan pertanian yang tertentu (pemilihan bibit, pengolahan lahan,
pemberian pupuk, pengaruh hama dan gulma). Hal ini berarti bahwa nilai
mutlak dari Yr (produksi panen) akan bisa berbeda antar lokasi tergantung
daripada kondisi pengelolaan pertanian setempat.
6. Dengan kondisi yang beragam tersebut, maka hubungan antara Pemberian Air
dan Produksi Panen tetap dapat digunakan apabila ingin dilakukan optimasi
pemberian air pada kondisi air yang tersedia kurang (di bawah 100%
kebutuhan).

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah mem-
bantu kami sehingga kami dapat melakukan studi dan membuat makalah ini
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
English, M.J., Solomon, K.H., & Hoffman, G.J., 2002, A Paradigm Shift in
Irrigation Management, Journal of Irrigation and Drainage Engineering,
128(5), 267-277.
Haque, M.A., Najim, M.M.M., & Lee, T.S., 2004, Modeling Irrigation Water
Delivery Schedule for Rice Cultivation in East Coast Malaysia, Tropical
Agricultural Research, Vol.16, 204-213.
Kumar, D.N., Raju, K.S., & Ashok, B., 2006, Optimal Reservoir Operation for
Irrigation of Multiple Crops Using Genetic Algorithms, Journal of
Irrigation and Drainage Engineering, 132(2), 123-129.
EVALUASI POTENSI SAWAH BERDASARKAN
PENGINDERAAN JAUH
(Kasus Provinsi Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Jawa Tengah)

Purba Robert M Sianipar, sianipar@ekon.go.id


Hafil Widianto, (hafil@ekon.go.id)
Dwinanta Utama, (dwinanta@ekon.go.id)
Muhamad Yani, (myani@ekon.go.id)
Kedeputian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Intisari

Evaluasi ketersediaan lahan sawah perlu dilakukan dalam konteks penyiapan


kebutuhan beras dan ketahanan pangan nasional dalam rangka mengantisipasi
pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,3% per tahun telah
meningkatkan kebutuhan pangan yang dapat berpotensi mengganggu simpul-simpul
ketahanan pangan nasional bila tidak diantisipasi dengan baik. Karenanya, dalam upaya
memenuhi kebutuhan pangan nasional, Pemerintah memerlukan data luas lahan sawah
yang akurat dalam membuat kebijakan yang terkait.
Pada saat ini terdapat perbedaan data luasan sawah antar pemangku
kepentingan di tingkat daerah dan pusat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi
pembuat kebijakan. Perbedaan tersebut biasanya pada data yang hanya didasarkan pada
data-data tabulasi tanpa diperkuat dengan dukungan data spasial. Karena itu, informasi
ketersediaan luas lahan sawah nasional berbasis spasial sangat diperlukan untuk
mengidentifikasi potensi pengembangannya dalam rangka mendukung ketahanan pangan
nasional.
Evaluasi pengembangan sawah berbasis spasial dapat dilakukan melalui
pemanfaatan data penginderaan jauh (inderaja). Hasil interpretasi data tersebut –
setelah dilakukan validasi – akan menghasilkan luas lahan sawah dan sebarannya.
Dalam pemanfaatan lanjutan, data sebaran lahan sawah dari intrepretasi citra inderaja
tersebut dapat di-overlay (tumpang susun) dengan data sebaran daerah irigasi (DI)
terbangun, atau data lainnya sesuai kebutuhan.
Hasil evaluasi data lahan sawah yang diperoleh dari inderaja di tiga provinsi
menunjukkan adanya perbedaan dengan data tabulasi yang dikeluarkan BPS Tahun
2009. Kelebihan hasil evaluasi berdasarkan inderaja adalah tidak hanya menghasilkan
luas lahan sawah tetapi juga menunjukkan sebarannya. Hasil ini dapat dijadikan dasar
dalam mengambil langkah koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di tingkat pusat dan
daerah dalam merencanakan kegiatan mendukung program ketahanan pangan nasional.

Kata Kunci : lahan sawah, penginderaan jauh (inderaja), spasial


I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,3% per tahun telah
meningkatkan kebutuhan pangan dan berpotensi mengganggu simpul-simpul
ketahanan pangan nasional bila tidak diantisipasi dengan baik. Karenanya, dalam
upaya memenuhi kebutuhan pangan nasional, Pemerintah memerlukan data
sebaran lahan sawah yang akurat dan dirujuk oleh semua pemangku kepentingan.
Kondisi ketersediaan data saat ini adalah sebuah tantangan besar dimana
terdapat perbedaan data luasan sawah antar pemangku kepentingan di tingkat
daerah dan pusat. Perbedaan tersebut biasanya pada data yang hanya didasarkan
pada data-data tabulasi tanpa diperkuat dengan dukungan data spasial. Karena itu,
informasi ketersediaan luas lahan sawah nasional berbasis spasial sangat
diperlukan untuk mengidentifikasi potensi pengembangannya dalam rangka
mendukung ketahanan pangan nasional.
Salah satu pendekatan untuk melihat sebaran lahan sawah saat ini adalah
memanfaatkan data penginderaan jauh (inderaja). Pengolahan data inderaja yang
disertai interpretasi akan menghasilkan sebaran lahan sawah yang mendekasi
kondisi di lapangan. Validasi lapangan pada titik-titik sampel tertentu akan
menjadi penting guna menambah tingkat akurasi peta yang dihasilkan. Dalam
pemanfaatan lanjutan, data sebaran lahan sawah dari intrepretasi citra inderaja
tersebut dapat di-overlay (tumpang susun) dengan data sebaran daerah irigasi (DI)
terbangun, atau data lainnya sesuai kebutuhan.
Kegiatan evaluasi potensi sawah berdasarkan data inderaja dilakukan
tahun 2009 di Provinsi Jawa Barat, D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Data untuk
membantu melakukan identifikasi lahan sawah berbasis data satelit inderaja
(inderaja) diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN).

1.2. Metodologi
Secara umum, kegiatan ini akan melakukan overlay (tumpang susun)
antara data sebaran daerah irigasi (DI) terbangun (Kepmen PU No. 390 Tahun
2007 tentang “Penetapan Status Daerah Irigasi yang Pengelolaannya Menjadi
Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota”) dan data sebaran sawah yang diperoleh dari
interpretasi citra inderaja. Diagram berikut dapat memberikan ilustrasi
superimpose yang akan dilakukan terhadap kedua data tersebut.
Gambar 1. Skema Upaya Validasi Berbasis Data Spasial

1.2.1. Pengumpulan Data


Data sebaran DI terbangun diperoleh dari Kementerian Pekerjaan Umum
dan satuan kerja di bawahnya (Balai Besar Wilayah Sungai) serta dinas terkait di
tingkat Provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan data sebaran sawah diperoleh
dari interpertasi citra inderaja.
Data yang digunakan untuk menginterpretasi lahan sawah ada 2 jenis yaitu
data vektor dan data raster. Data vektor berupa data administrasi, landuse, jalan,
sungai, dan sebagainya. Kemudian data raster berupa data Peta Citra Satelit
(PCS), dan Digital Elevation Model (DEM). Data PCS terdiri dari beberapa
tingkatan, mulai dari resolusi menengah (Landsat 7, Landsat 5, SPOT 4) sampai
resolusi tinggi (IKONOS, Quickbird, Alos). Penginterpretasian lahan sawah akan
lebih banyak menggunakan data citra beresolusi menengah karena lebih efisien
dan efektif. Data citra resolusi tinggi hanya digunakan untuk verifikasi bila ada
keraguan dalam interpretasi sawah pada citra resolusi menengah.

1.2.2. Pengolahan Data


Pengolahan data dimulai dengan melakukan koreksi geometri terhadap
data sebaran DI terbangun yang diperoleh dari instansi terkait dan citra inderaja
yang akan diinterpretasi. Koreksi geometri dilakukan untuk memperbaiki kualitas
geometri citra sampai level koreksi ortho sehingga mempunyai koordinat
geometri yang benar.
Dalam tahapan ini, dibuat juga citra komposit (RGB) sehingga citra
tampak natural (air berwarna biru, vegetasi berwarna hijau) dan mosaik antar
scene (path/raw). Proses koreksi geometri maupun pembuatan citra komposit
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak pengolahan data ER-Mapper 7.0
(dapat juga menggunakan software lain).
1.2.3. Interpretasi dan Delineasi (Digitasi Lahan Sawah)
Interpretasi adalah klasifikasi citra secara visual berdasarkan
kenampakannya dengan menggunakan kunci-kunci interpretasi yaitu: bentuk,
lokasi, ukuran, bayangan, rona (tone), warna, pola (pattern), tekstur, dan asosiasi
atau hubungan antar objek yang ada. Delineasi adalah proses menentukan batas
antar kelas liputan lahan yang ada dalam suatu area citra. Proses ini dapat
menggunakan perangkat lunak GIS yaitu Arcview 3.3 maupun ArcGIS 9.3.
Sawah pada citra satelit kombinasi RGB dapat mempunyai kenampakan
yang berbeda-beda tergantung pada kondisi liputan lahan atau fase pertumbuhan
padinya. Pada fase air (belum/menjelang tanam) akan nampak berwarna biru.
Fase vegetatif awal akan nampak berwarna biru kehijauan (karena sudah ada
vegetasi), fase vegetatif akhir/generatif akan nampak hijau muda hingga hijau tua,
dan fase setelah panen/bera akan nampak berwarna merah muda karena lahan
sudah tidak bervegetasi. Untuk menghindari kekeliruan dalam interpretasi maka
digunakan beberapa data (multitemporal) berbeda musim sehingga dapat
memantau perubahan dari satu fase ke fase yang lainnya.

1.2.4. Validasi Lahan Sawah


Survei lapangan dalam rangka validasi hasil interpretasi citra inderaja
dilakukan di beberapa titik yang meragukan sesuai dengan koordinat pada citra
inderaja. Lokasi tersebar secara acak di wilayah Provinsi Jawa Barat, D.I.
Yogyakarta dan Jawa Tengah.

1.2.5. Analisis Statistik Luas Sawah


Luas lahan sawah yang telah terdigitasi di setiap kabupaten akan dihitung
dengan cara menggabungkan informasi administrasi. Luas lahan sawah ini
selanjutnya dibandingkan dengan data tabulasi lahan sawah BPS dan Kementerian
Pertanian, dan untuk kemudian dijadikan bahan koreksi awal.
Ketelitian perhitungan lahan sawah menggunakan data Landsat-7 – salah
satunya – dapat dilakukan dengan membandingkan hasil luasan sawah yang
diperoleh dari identifikasi Quickbird (resolusi spasial tinggi). Hasil identifikasi
Quickbird dianggap mendekati kondisi di lapangan atau dengan kata lain
dianggap benar. Sebagai contoh adalah perhitungan luas sawah di Kecamatan
Butuh Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Perbedaan luas sawah di
kecamatan tersebut jika menggunakan data Landsat-7 adalah 13%. Hal ini
menunjukkan bahwa ketelitian identifikasi lahan sawah menggunakan data
Landsat-7 adalah 87% (bila diatas 80% hasil dapat dipertanggungjawabkan).
Gambar 2. Perbandingan Luas Lahan
Sawah Hasil Interpretasi Citra Landsat dan
Quickbird

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


2.1 Fakta Lapangan
Upaya validasi seperti yang direncanakan di atas bukan pekerjaan mudah.
Kendala terbesar yang dihadapi lebih pada ketersediaan atau kesesuaian data yang
tersedia di lapangan dibandingkan dengan kebutuhan untuk analisa. Secara lebih
detail kendala tersebut adalah sebagai berikut:
1. Banyak data tabulasi pengembangan daerah irigasi belum disertai dengan
penyusunan data spasial, baik untuk Provinsi maupun kabupaten/kota.
Sementara itu, data spasial luasan sawah masih dikembangkan secara
swadaya oleh masing-masing Provinsi dan kabupaten/kota dengan tingkat
kelengkapan data yang berbeda-beda.
2. Gambar daerah irigasi yang ditemukan di lapangan lebih banyak berupa
skema jaringan irigasi yang ditujukan untuk keperluan operasional instansi
tersebut. Hal ini menyulitkan jika skema tersebut akan di-superimpose
dengan data spasial sebaran sawah yang diperoleh dari hasil interpretasi lahan
sawah LAPAN.
3. Kalaupun ada peta spasial daerah irigasi, luasan wilayahnya terlalu kecil
dibandingkan dengan satuan analisis wilayah yang menggunakan kabupaten
atau Provinsi. Konsekuensinya data tersebut belum dapat dibandingkan/
dianalisis dengan data sebaran sawah.
4. Perbedaan sudut pandang dari pemangku kepentingan di tingkat Provinsi dan
kabupaten/kota menyebabkan adanya perbedaan data yang digunakan.
Perbedaan yang umum adalah luasan daerah irigasi yang diakui oleh sektor
sumber daya air sering berbeda dengan luasan sawah irigasi yang digunakan
oleh sektor pertanian. Namun hal ini bisa dipahami, karena kedua data
tersebut lebih banyak dalam bentuk tabulasi dan bukan data spasial.
Disamping itu, kendala teknis yang dihadapi selama pelaksanaan survey
validasi adalah wilayah yang cukup luas dan tersebar secara acak. Keterbatasan
personil dan waktu membuat survey tidak dilakukan untuk melihat semua titik
yang meragukan, tetapi hanya menggunakan sampel yang dianggap mewakili
titik-titik tersebut. Karenanya pemilihan sampel dilakukan dengan memperhatikan
aturan-aturan baku pengolahan citra yang dapat dipertanggungjawabkan.

2.2 Pemanfaatan Daerah Irigasi


Hasil interpretasi citra Landsat-7 tahun 2009 berupa lahan sawah (tanpa
klasifikasi irigasi atau non-irigasi) menunjukkan luasan lahan sawah yang lebih
besar dibandingkan dengan data yang ada (Gambar 3). Penggunaan skala adalah
salah satu penyebabnya. Semakin besar skala (resolusi spasial tinggi) yang
digunakan, maka hasil yang diperoleh akan semakin detail. Setidaknya, kegiatan
ini dapat memberikan data tabulasi luasan sawah dan sekaligus sebarannya. Bila
peta sebaran sawah yang dihasilkan didukung dengan peta sebaran DI terbangun
(seperti yang direncanakan), maka hasil superimpose keduanya akan memberikan
informasi potensi-potensi yang bisa dimanfaatkan guna mendukung ketahanan
pangan nasional.

Gambar 3. Perbandingan Luasan Sawah (Irigasi dan Non-irigasi)


dengan Daerah Irigasi

Salah satu contoh analisis yang dapat dilakukan terhadap peta superimpose
sebaran daerah irigasi dan sawah di Provinsi Jawa Tengah (Gambar 4 dan Gambar
5) adalah sebagai berikut. Luas daerah irigasi untuk Provinsi Jawa Tengah
berdasarkan Kepmen PU No. 390/2007 adalah 986.993 Ha. Namun luas daerah
irigasi yang dapat tergambarkan hanya 544.110 Ha. Sedangkan hasil interpretasi
sebaran sawah menunjukkan luas lahan sawah secara umum (tanpa klasifikasi)
1.051.371 Ha.
Gambar 4. Peta Sebaran Daerah Irigasi Terbangun dan Sawah
di Provinsi Jawa Tengah

Gambar 5. Peta Sebaran Daerah Irigasi Terbangun dan Sawah di Kabupaten


Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah

2.3 Hasil Identifikasi dan Validasi Lahan Sawah


Hasil identifikasi dan validasi lahan sawah untuk Provinsi Jawa Barat, D.I.
Yogyakarta, dan Jawa Tengah, terhadap luasan lahan sawah perhitungan BPS
secara berurutan adalah 126%; 109%; dan 109%. Sementara itu, luas dan sebaran
daerah irigasi (DI) terbangun perlu di-update kembali.
2.3.1. Provinsi Jawa Barat
Pada Gambar 6 disajikan Peta Citra Satelit (PCS) wilayah Provinsi Jawa
Barat berbasis citra satelit Landsat-7 Tahun 2009. Hasil pengolahan data citra
inderaja untuk data luas lahan sawah per wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1 dan sebaran spasialnya disajikan pada
Gambar 7.

Gambar 6. Peta Citra Satelit Wilayah Gambar 7. Peta Sebaran Lahan


Provinsi Jawa Barat Sawah di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Tabel 1. Sebaran Lahan Sawah di Provinsi Jawa Barat (dalam satuan Ha)
No Kabupaten/Kota BPS PU (DI) CITRA
1 Bogor 48.321 54.220 63.010
2 Kota Bogor 1.006 854 1.157
3 Kota Depok 973 1.168 4.446
4 Sukabumi 69.239 56.100 79.409
5 Kota Sukabumi 1.859 2.480 1.745
6 Cianjur 65.483 70.174 80.300
7 Bandung 36.464 56.211 72.666
8 Kota Bandung 1.727 3.033 3.595
9 Bandung Barat 19.985 3.033 -
10 Kota Cimahi 293 361 37
11 Garut 50.127 43.682 73.744
12 Tasikmalaya 49.507 35.713 51.953
13 Kota Tasikmalaya 6.269 8.742 11.033
14 Ciamis 51.870 44.062 67.691
15 Kota Banjar 3.310 2.136 4.372
16 Cirebon 54.279 52.130 66.365
17 Kota Cirebon 333 147 708
18 Kuningan 29.078 31.908 50.937
19 Majalengka 51.137 41.702 57.393
20 Sumedang 33.277 53.340 37.297
21 Indramayu 119.752 109.322 137.219
22 Karawang 94.311 107.334 111.760
23 Bekasi 55.074 59.524 79.549
24 Kota Bekasi 667 767 1.792
25 Subang 84.637 100.680 104.850
26 Purwakarta 16.566 33.250 28.234
JUMLAH 945.544 972.073 1.191.262
2.3.2. Provinsi D.I. Yogyakarta
Pada Gambar 8 disajikan Peta Citra Satelit (PCS) wilayah Provinsi D.I.
Yogyakarta berbasis citra satelit Landsat-7 Tahun 2009. Hasil pengolahan data
citra inderaja untuk data luas lahan sawah per wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
D.I. Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 2 dan sebaran spasialnya disajikan pada
Gambar 9.

Gambar 8. Peta Citra Satelit Gambar 9. Peta Sebaran Lahan Sawah


Wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta di Wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta

Tabel 2. Sebaran Sawah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


(dalam satuan Ha)
No Kabupaten BPS PU (DI) CITRA
1 Kab. Sleman 22.599 30.924 24.928
2 Kab. Gn. Kidul 2.228 10.551 2.127
3 Kab. Kulonprogo 9.108 14.953 10.833
4 Kab. Bantul 13.811 18.618 14.209
5 Kota Yogyakarta 119 858 90
JUMLAH 47.865 75.904 52.187

2.3.3. Provinsi Jawa Tengah


Pada Gambar 10 disajikan Peta Citra Satelit (PCS) wilayah Provinsi Jawa
Tengah berbasis citra satelit Landsat-7 Tahun 2009. Hasil pengolahan data citra
inderaja untuk data luas lahan sawah per wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 3 dan sebaran spasialnya disajikan pada
Gambar 11.

Gambar 10. Peta Citra Satelit Wilayah Gambar 11. Peta Sebaran Lahan
Provinsi Jawa Tengah Sawah di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Tabel 2. Sebaran Lahan Sawah di Provinsi Jawa Tengah (dalam satuan Ha)

No Kabupaten BPS PU (DI) CITRA


1 Sragen 39.859 40.229 39.760
2 Kebumen 39.387 40.939 35.784
3 Banjarnegara 15.335 24.314 16.351
4 Kota Pekalongan 1.261 1.697 1.174
5 Kota Salatiga 780 1.565 742
6 Kota Surakarta 99 60 101
7 Kota Magelang 214 215 242
8 Pekalongan 26.075 26.707 26.227
9 Kota Tegal 968 - 984
10 Wonosobo 17.916 24.355 18.953
11 Sukoharjo 21.089 21.598 21.790
12 Klaten 32.955 38.699 32.987
13 Purworejo 30.689 32.388 31.985
14 Banyumas 32.704 42.844 33.411
15 Purbalingga 21.508 24.626 22.460
16 Kota Semarang 3.895 3.766 4.723
17 Kudus 19.277 21.036 19.952
18 Magelang 35.698 43.305 42.328
19 Karangayar 22.479 25.408 18.559
20 Jepara 25.163 26.511 25.784
21 Wonogiri 31.884 35.965 33.677
22 Boyolali 22.761 17.171 24.854
23 Kendal 26.214 27.575 30.278
24 Pemalang 37.149 32.019 41.758
25 Tegal 38.257 66.036 43.754
26 Semarang 23.859 34.666 25.418
27 Batang 18.553 28.584 23.786
28 Rembang 27.360 16.858 30.569
29 Temanggung 20.060 22.390 24.845
30 Demak 47.454 51.204 61.348
31 Blora 46.027 14.020 56.039
32 Cilacap 61.457 45.053 69.541
33 Brebes 60.515 78.187 65.226
34 Pati 55.553 33.317 58.473
35 Grobogan 63.354 43.687 67.508
JUMLAH 967.808 986.993 1.051.371

III. PENUTUP
Hasil evaluasi data lahan sawah yang diperoleh dari inderaja di tiga
provinsi (Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah) menunjukkan adanya
perbedaan dengan data tabulasi yang dikeluarkan BPS Tahun 2009. Kelebihan
hasil evaluasi berdasarkan inderaja adalah tidak hanya menghasilkan luas lahan
sawah tetapi juga menunjukkan sebarannya. Peta sebaran sawah akan lebih
bermanfaat jika didukung peta sebaran infrastruktur sumber daya air yang update
dan akurat. Oleh karena itu, penyusunan sebaran sawah berbasis data inderaja
perlu dilakukan sebagai kerangka atau rujukan dalam pemutakhiran data
ketersediaan lahan sawah secara nasional. Kajian ini selanjutnya dapat dijadikan
dasar dalam mengambil langkah koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di tingkat
pusat dan daerah dalam merencanakan kegiatan-kegiatan mendukung program
ketahanan pangan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Tanaman Pangan 2004-2009, Badan Pusat
Statistik, Jakarta, www.bps.go.id, 2009
Kementerian Pekerjaan Umum, Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum
Tahun 2004-2009, Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta.
Kementerian Pertanian, Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2004-
2009, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Lillesand dan Kiefer, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Gadjah Mada
University Press, Yogjakarta, 1990
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.

UCAPAN TERIMA KASIH


Studi kajian ini dilaksanakan secara swadaya oleh Keasdepan Urusan
Infrastruktur Sumber daya Air, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Republik Indonesia. Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak
yang telah turut membantu memperlancar penyelesaian survei ini, antara lain
kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Kementerian
Pertanian, BBWS Citarum, BBWS Serayu-Opak dan BBWS Jratun-Seluna.
KAJIAN PERSEPSI PETANI TERHADAP HASIL KEBIJAKAN
REHABILITASI JARINGAN IRIGASI
Studi Kasus Daerah Irigasi Lodoyo & Mrican Kanan - Jawa Timur, Seksi
Telagasari - Jawa Barat serta Kali Songgo-D.I.Yogyakarta

Gatot Eko Sudianto, Purba Robert Sianipar, Hafil Widianto


Hanan Estrida, Puji Pratomo
Kedeputian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
(gatot@ekon.go.id), (sianipar@ekon.go.id), (hafil@ekon.go.id),
(hanan.estrida@gmail.com), (puji@ekon.go.id)

Intisari

Efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat diketahui langsung dari objek


atau sasaran yang akan dituju, selain dari outcome dan benefit yang dihasilkan. Dalam
hal ini, efektifitas rehabilitasi jaringan irigasi dievaluasi berdasarkan persepsi petani
pengguna, untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut telah tepat sasaran.
Rehabilitasi jaringan irigasi adalah salah satu kebijakan pemerintah dalam
rangka mendukung peningkatan produksi padi serta menggerakkan perekonomian di
perdesaan, terutama di pusat-pusat produksi padi. Hal ini sesuai dengan kebijakan untuk
meningkatkan pendayagunaan infrastruktur sumber daya air melalui rehabilitasi
jaringan irigasi. Realisasi Rencana Strategis (Renstra) Bidang Sumber Daya Air 2005 –
2009 mencakup pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi terutama pada daerah
sentra produksi pangan utama. Untuk mendapatkan umpan balik tentang efektifitas dan
manfaat dari pelaksanaan kebijakan ini dilakukan rapid assessment terhadap pencapaian
outcome produksi pangan.
Rapid assesment dapat dilakukan dengan melakukan survei terhadap persepsi
petani untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan mengukur manfaat serta kinerja
sasaran (outcome) dari pelaksanaan pembangunan infrastruktur sumber daya air. Rapid
assesment juga merupakan alat untuk mendapatkan umpan balik (feedback) secara cepat
sehingga dapat diketahui apakah perlu dilakukan penyempurnaan kebijakan untuk
mencapai sasaran yang diinginkan.
Kajian yang dilakukan menunjukan bahwa petani telah merasakan manfaat
kebijakan rehabilitasi dalam mendukung upaya petani untuk meningkatkan produksi hasil
pertanian terutama padi. Namun petani juga merasakan ketidakmerataan pelayanan
yang diterima dalam memanfaatkan hasil rehabilitasi jaringan irigasi pada lokasi-lokasi
sawah yang terletak jauh dari pintu sadap/bagi. Terkait dengan hal ini perlu dilakukan
penyempurnaan kebijakan rehabilitasi jaringan irigasi ke depan.

Kata Kunci : kebijakan, rehabilitasi jaringan irigasi, survei persepsi


I. PENDAHULUAN
Efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat diketahui langsung dari
objek atau sasaran yang akan dituju, selain dari outcome dan benefit yang
dihasilkan. Dalam hal ini, efektifitas rehabilitasi jaringan irigasi dievaluasi
berdasarkan persepsi petani pengguna, untuk mengetahui apakah kebijakan
tersebut telah tepat sasaran. Rehabilitasi jaringan irigasi merupakan salah satu
kebijakan pemerintah dalam rangka peningkatan produksi padi serta
menggerakkan perekonomian di perdesaan, terutama di pusat-pusat produksi padi.
Hal ini sesuai dengan kebijakan untuk meningkatkan pendayagunaan
infrastruktur sumber daya air melalui program rehabilitasi jaringan irigasi.
Realisasi Rencana Strategis (Renstra) Bidang Sumber Daya Air 2005 – 2009
mencakup pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi terutama pada daerah
sentra produksi pangan utama. Untuk mendapatkan umpan balik tentang
efektifitas dan manfaat dari pelaksanaan kebijakan ini perlu dilakukan rapid
assessment terhadap pencapaian outcome produksi pangan. Dengan demikian
dapat segera dilakukan koreksi atau de-bottlenecking bila diperlukan.
Rapid assesment juga merupakan alat untuk mendapatkan umpan balik
(feedback) secara cepat untuk mengetahui apakah perlu dilakukan penyempurnaan
kebijakan guna mencapai sasaran yang diinginkan. Rapid assesment dapat
dilakukan dengan melakukan survei terhadap persepsi petani untuk mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan dan mengukur manfaat serta kinerja sasaran (outcome) dari
pelaksanaan rehabilitasi infrastruktur sumber daya air.

II. METODOLOGI KAJIAN


2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik
Secara umum, kebijakan (policy) adalah suatu kegiatan perencanaan yang
dilakukan secara terstruktur untuk mempengaruhi dan menentukan keputusan,
kegiatan, dan hal lainnya. Kebijakan publik adalah aktivitas pemerintah yang
merupakan persoalan pilihan. Jenkins (1978) mengemukakan bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian keputusan yang diambil yang berkaitan dengan seleksi
tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut di dalam situasi tertentu. Menurut
Ripley dan Franklin (1986), kebijakan publik dapat dikelompokkan ke dalam
suatu tipologi yang sangat membantu pemahaman akan pola formulasi dan
legitimisasi kebijakan serta proses implementasinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, untuk keperluan makalah ini dapat
disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan suatu tindakan terencana yang
diambil oleh instansi pemerintah sebagai penentu kebijakan (decision maker)
dalam lingkup tertentu yang secara sengaja dilakukan untuk menangani
(mencegah dan/atau mengatasi) suatu masalah atau matter of concern tertentu,
sehingga harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. Siklus
pembuatan kebijakan publik dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.
Penyusunan Perumusan Implentasi Pemantauan dan Evaluasi
Agenda Kebijakan Kebijakan Kebijakan

- Efektif - Efisien
Penyempurnaan - Akurat - Responsive
- Equity - Adequate
Kebijakan

Gambar 1. Siklus Kebijakan Publik

2.1.2. Evaluasi Kebijakan Publik


Evaluasi kebijakan di tujukan untuk menilai sejauh mana efektivitas suatu
kebijakan publik dalam mencapai tujuan yang di inginkan. Menurut Nugroho
(2003), tujuan pokok dari evaluasi kebijakan publik dimaksudkan bukan untuk
saling menyalahkan satu sama lain, melainkan untuk melihat seberapa besar
kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik.

Rumusan Kebijakan publik Kinerja Kebijakan publik


Implementasi Kebijakan
publik
Lingkungan Kebijakan publik

Evaluasi Kebijakan Publik

Gambar 2. Keterkaitan komponen dalam evaluasi kebijakan public

Evaluasi kebijakan seringkali hanya dipahami sebagai evaluasi terhadap


implementasi kebijakan saja. Hal ini kurang tepat karena evaluasi kebijakan
publik mempunyai tiga lingkup makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan,
evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi lingkungan kebijakan. Ketiga
komponen tersebut menentukan apakah suatu kebijakan berhasil guna. Karenanya
evaluasi kebijakan sesungguhnya berkenaan dengan evaluasi kinerja suatu
kebijakan publik. Keterkaitan berbagai komponen evaluasi kebijakan di tunjukkan
pada Gambar 2.
Secara praktis terdapat enam langkah dalam evaluasi implementasi
kebijakan (Nugroho, 2003) :
1. Mengindentifikasi tujuan program yang akan di evaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan
tersebut atau karena penyebab yang lain
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Deskripsi dan standarisasi kegiatan
6. Beberapa indikator keberadaan dampak
Secara umum Dunn (2003) menggambarkan kriteria-kriteria evaluasi
kebijakan yang dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria evaluasi kebijakan (Dunn, 2003)
Tipe Kriteria Evaluasi Pertanyaan
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai
Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai
hasil yang diinginkan
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan
memecahkan masalah
Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan dengan merata
kepada kelompok-kelompok yang berbeda
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan,
preferensi, atau nilai kelompok-kelompok tertentu
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar
berguna atau bernilai

2.2. Survei Persepsi Petani


2.2.1. Penentuan Daerah Survei
Mengingat keterbatasan yang ada, survei persepsi petani dilakukan hanya
di tiga Provinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan D.I Yogyakarta. Penentuan
daerah survei tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan:
- Kemudahan untuk Aksesibilitas
- Jumlah daerah irigasi (DI)
- Keterbatasan waktu dan anggaran yang tersedia
- Fokus survei dilaksanakan di Pulau Jawa
- DI yang mengalami kerusakan terbesar (prosentase kerusakan terbesar)
- Merupakan DI yang telah selesai di rehabilitasi pada tahun 2006, 2007 dan
2008, sehingga petani sudah dapat menilai manfaat yang diperoleh.

2.2.2. Jumlah Responden


Jumlah responden adalah jumlah petani yang datang ke tempat pertemuan
dan mengisi survey. Sebenarnya undangan dikirim kepada 100 petani ditiap
Kabupaten, tetapi yang menghadiri pertemuan hanya sebagian saja. Karakteristik
responden (petani) bervariasi berdasarkan umur, tingkat pendidikan, status
kepemilikan sawah, asal sumber air dan jarak sawah dengan pintu sadap.

Tabel 2. Lokasi Survei dan Jumlah Responden di ketiga Provinsi


Provinsi Lokasi DI Kabupaten Jumlah Pelaksanaan
Responden Survei
(Petani)
Jawa DI Lodoyo dan Blitar, 169 13–15 Okt 2009
Timur DI Mrican Kanan Tulungagung, 17–18 Nov 2009
Kediri dan Jombang
Jawa Barat SS Telagasari–DI Karawang 55 11- 12 Nov 2009
Jatiluhur
D.I.Yogya Sekunder Kulon Progo 25 29 – 30 Okt 2009
karta Kalisonggo-Sub
Sistem Kalibawang
III. HASIL KAJIAN
3.1. Manfaat Kebijakan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Terhadap
Peningkatan Produktivitas Hasil Panen
Manfaat rehabilitasi jaringan irigasi terhadap produktivitas hasil panen di
survei dengan memperbandingkan tingkat produktivitas hasil panen antara
sesudah dan sebelum dilakukan rehabilitasi, apakah tingkat produktivitas hasil
panennya sama besar, bertambah (lebih besar) atau berkurang (lebih kecil).
Dari Gambar 3 terlihat bahwa sebagian besar petani di ketiga provinsi
menyatakan bahwa rehabilitasi jaringan irigasi telah menyebabkan peningkatan
produktivitas hasil panen, yaitu di Jawa Timur 80%, di Jawa Barat 60%, dan di
D.I.Yogyakarta 80%. Prosentase petani yang menyatakan bahwa produksi padi
tidak berubah antara sesudah dan sebelum rehabilitasi, di Jawa Timur dan
D.I.Yogyakarta 16%, di Jawa Barat 31%. Hanya sebagian kecil petani yang
menyatakan produksi padinya berkurang (lebih kecil) setelah rehabilitasi, yaitu di
Jawa Timur 4%, Jawa Barat 9%, dan D.I.Yogyakarta 4%.
Dapat disimpulkan, sebagian besar petani menyatakan bahwa hasil
rehabilitasi jaringan irigasi di lokasi survei telah menyebabkan peningkatan
produktivitas hasil panen. Namun masih ada sebagian kecil petani yang
berpendapat bahwa produktivitas hasil panennya relatif sama, atau berkurang.
Diakui bahwa peningkatan produksi hasil panen bukan semata karena
keberhasilan rehabilitasi jaringan irigasi. Masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi, termasuk faktor benih yang digunakan oleh para petani.
Lebih Kecil 4
DIY

Lebih Besar 80

Sama Besar 16

Lebih Kecil 9
Jabar

Lebih Besar 60

Sama Besar 31

Lebih Kecil 4
Jatim

Lebih Besar 80

Sama Besar 16

0 20 40 60 80 100

Prosentase (%)

Gambar 3. Pengaruh Rehabilitasi Gambar 4. Pengaruh Rehabilitasi


Jaringan Irigasi Terhadap Peningkatan Jaringan Irigasi terhadap luas
Produktivitas Hasil Panen tanam/panen

3.2. Manfaat Kebijakan Rehabilitasi Jaringan Irigasi terhadap Luas


Tanam/Panen
Dalam survei ini juga ditanyakan kepada petani tentang manfaat lain yang
diperoleh, yaitu bertambahnya luas tanam/panen setelah dilakukan rehabilitasi
jaringan irigasi. Dari Gambar 4 terlihat bahwa sebagian besar responden di ketiga
lokasi survei menyatakan tidak mengalami perubahan luas tanam/panen sesudah
dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi, yaitu di Jawa Timur 53%, Jawa Barat 82%,
dan D.I.Yogyakarta 76%. Sebagian kecil petani menyatakan memperoleh manfaat
bertambahnya luas tanam/panen, yaitu berturut-turut di Jawa Timur 41%, di Jawa
Barat 15% dan di D.I.Yogyakarta 20%. Sedangkan prosentasi petani yang
menyatakan berkurangnya luas tanam/panen, di Provinsi Jawa Timur 6%, Jawa
Barat 4%, dan D.I.Yogyakarta 4%.
Secara keseluruhan, hasil rehabilitasi jaringan irigasi menunjukkan bahwa
sebagian besar petani tidak mengalami penambahan luas tanam/panen. Namun
ada sebagian kecil petani yang menyatakan mengalami penambahan luas tanam/
panen sesudah dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi.

3.3. Manfaat Kebijakan Rehabilitasi Jaringan Irigasi terhadap Pembagian


Air pada Musim Kemarau
Manfaat lain dari rehabilitasi jaringan irigasi yang dapat diamati dengan
mudah adalah pembagian air ke petak-petak sawah pada musim kemarau.
Gambar 5 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi
61% petani menerima pembagian air ke petak-petak sawah dalam musim kemarau
1 kali dalam seminggu, namun sesudah dilakukan rehabilitasi jumlah ini turun
menjadi 39%. Penurunan sebesar 22% ini menunjukkan akibat rehabilitasi
jaringan irigasi, petak-petak sawah yang semula menerima pembagian air 1 kali
dalam seminggu dapat meningkat pembagian airnya menjadi 2 kali, 3 kali, bahkan
4 kali dalam seminggu.

Gambar 5. Pengaruh Rehabilitasi Gambar 6. Pengaruh Rehabilitasi


Jaringan Irigasi Terhadap Pembagian Jaringan Irigasi Terhadap
Air Musim Kemarau Indeks Pertanaman

Sesudah rehabilitasi jaringan irigasi, petak sawah yang mendapat


pembagian air 2 kali dalam seminggu mengalami peningkatan sebesar 14%, dari
22% menjadi 36%. Sedangkan untuk petak sawah yang mendapat pembagian air 3
kali dalam seminggu meningkat 7%, dari semula 7% menjadi 14%. Demikian
juga untuk petak sawah dengan pembagian air 4 kali dalam seminggu, meningkat
dari 10% menjadi 11%.
Dari hasil survei ini terlihat bahwa pelaksanaan rehabilitasi jaringan irigasi
telah membawa dampak yang besar dalam meningkatkan keandalan pasokan air
terutama pada musim kemarau, yaitu dengan meningkatnya ketersediaan air dan
frekuensi pembagian air dalam seminggu pada musim kemarau.

3.4. Manfaat Kebijakan Rehabilitasi Jaringan Irigasi terhadap Indeks


Pertanaman (IP)
Indikator lain yang diamati sebagai dampak dari pelaksanaan rehabilitasi
jaringan irigasi dalam survei ini adalah Indeks Pertanaman atau masa tanam
petani. Dari Gambar 6 terlihat bahwa setelah dilakukan rehabilitasi jaringan
irigasi petani yang mempunyai IP 1 kali dalam setahun menurun sebanyak 8,5%,
dari 9% menjadi 0,5%. Untuk petani dengan IP 1,5 kali dalam setahun menurun
sebesar 3,5%, dari 4% menjadi 0,5%. IP 2 kali dalam setahun juga mengalami
penurunan 12%, dari semula 47% menjadi 35%. Begitu juga dengan IP 2,5 kali
dalam setahun, menurun dari semula 19% menjadi 11%.
Sebaliknya, sesudah dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi, petani yang
mempunyai IP 3x dalam setahun mengalami peningkatan yang cukup besar dari
semula 21% menjadi 53%. Kenaikan sebesar 32% ini merupakan pengakuan
petani akan manfaat rehabilitasi jaringan irigasi, dari yang semula mempunyai IP
1 kali; 1.5 kali; 2 kali; dan 2.5 kali, meningkat menjadi 3 kali dalam setahun.
Secara keseluruhan, hasil survei menunjukkan bahwa rehabilitasi jaringan
irigasi dan ketersediaan air telah memungkinkan petani menanam lebih dari 2 kali
dalam setahun.

3.5. Manfaat Kebijakan Rehabilitasi Jaringan Irigasi terhadap Durasi


Pembagian Air
Selain indikator pembagian air musim kemarau dan indeks pertanaman,
indikator lain yang diamati dalam survei ini adalah durasi pembagian air dalam
sehari. Dari Gambar 7 terlihat bahwa jumlah petani yang menerima pembagian
air dengan durasi 18-24 jam/hari meningkat dari 34% menjadi 43% sesudah
dilakukan rehabilitasi. Setelah rehabilitasi jaringan irigasi, jumlah petani yang
menerima pembagian air dengan durasi 12-18 jam/hari turun dari 17% menjadi
16%, sedangkan yang menerima pembagian air dengan durasi 6-12 jam/hari turun
dari 31% menjadi 21%. Sebaliknya petani yang menerima pembagian air dengan
durasi < 6 jam/hari naik dari 18% menjadi 20%. Dijelaskan bahwa hal ini terjadi
karena masih ada jaringan tersier yang belum rehabilitasi sehingga menghambat
pembagian air dari saluran sekunder ke petak-petak sawah.
Gambar 7. Pengaruh Rehabilitasi jaringan Irigasi Terhadap Durasi Pembagian
Air dalam Sehari

Hasil rehabilitasi jaringan irigasi menunjukkan telah terjadi peningkatan


durasi pembagian air dalam sehari. Jumlah petak-petak sawah yang menerima
pembagian air selama 18-24 jam dalam sehari meningkat, dan yang menerima
pembagian air < 18 jam sehari menurun.

3.6. Pengaruh Jarak Lokasi Sawah dengan Pintu Sadap terhadap


Produktivitas Hasil Panen
Dalam survei ini juga ingin diketahui pengaruh antara jarak lokasi sawah
dengan pintu sadap terhadap produktivitas hasil panen.
Dari Gambar 8, di ketiga Provinsi lokasi survei terlihat bahwa sesudah
dilaksanakan rehabilitasi jaringan irigasi terjadi peningkatan produktivitas hasil
panen, baik pada petak-petak sawah yang berjarak <100 m, 100-200 m maupun >
200 m dari pintu sadap. Di Jawa Timur, petani yang mengalami peningkatan
produktivitas hasil panen, pada petak-petak sawah yang berjarak <100 m dari
pintu sadap yaitu sebesar 75%, yang berjarak 100-200 m sebesar 88%, dan untuk
yang berjarak >200 m sebesar 79%.

Gambar 8. Pengaruh Jarak Lokasi Gambar 9. Pengaruh Pemilihan


Sawah dari Pintu Sadap terhadap Benih terhadap Peningkatan
Produktivitas Hasil Panen Produktivitas Hasil Panen
Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, namun peningkatan
produktivitas hasil panennya tidak sebesar di Jawa Timur. Petani yang mengalami
peningkatan produktivitas hasil panen, pada petak-petak sawah yang berjarak
<100 m dari bangunan sadap sebanyak 60%, dan yang berjarak 100-200 m dan >
200 m secara berturut-turut sebesar 67% dan 58%.
Di D.I.Yogyakarta, kenaikan terbesar produktivitas hasil panen terjadi
pada petak-petak yang mempunyai jarak > 200 m dari pintu sadap yakni 84%,
sedangkan untuk jarak antara 100-200 m hanya sebesar 67%.

3.7. Faktor Pemilihan Benih terhadap Peningkatan Produktivitas Hasil


Panen
Selain ketersediaan air, pemilihan benih yang digunakan tentunya
berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas hasil panen. Dari Gambar 9,
64% petani di Jawa Timur menyatakan bahwa terjadi peningkatan produktifitas
hasil panen setelah rehabilitasi jaringan irigasi bila menggunakan benih tetap. Bila
menggunakan penggantian benih, 84% petani menyatakan terjadi peningkatan
produktivitas hasil panen.
Di Jawa Barat, untuk penggunaan benih tetap, petani yang menyatakan
peningkatan produktivitas hasil panen sesudah rehabilitasi jaringan irigasi hanya
sebanyak 44%, sedangkan pada penggunaan benih yang diganti sebanyak 72%.
Di D.I.Yogyakarta, untuk penggunaan benih tetap, petani yang
menyatakan peningkatan produktivitas hasil panen sesudah rehabilitasi jaringan
irigasi sebesar 78%, sedangkan pada penggunaan benih yang diganti sebanyak
81% petani.
Gambar 9 menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas hasil panen
sangat dipengaruhi oleh faktor penggunaan benih padi. Setelah rehabilitasi
jaringan irigasi, petani yang menyatakan peningkatan produktivitas hasil panen
bila menggunakan benih padi yang lebih baik, di Jawa Timur 87%, Prop Jawa
Barat 72%, dan Prop DIY 81%. Sedangkan bila menggunakan benih padi yang
sama, petani yang menyatakan mengalami peningkatan produktivitas hasil panen
setelah rehabilitasi jaringan irigasi, di Jawa Timur 64%, di Jawa Barat 44%, dan
di DIY 78%.
Dari hasil survei terlihat bahwa sebagian besar petani menyatakan
mengalami peningkatan produktivitas hasil panen sesudah dilakukan rehabilitasi
jaringan irigasi, baik dengan penggunaan benih tetap maupun dengan penggantian
benih. Penggantian benih dengan yang lebih baik dianggap akan memberikan
peningkatan produktivitas hasil panen yang lebih besar daripada penggunaan
benih tetap.

IV. PENUTUP
Kajian Persepsi Petani terhadap Hasil Kebijakan Rehabilitasi Jaringan
Irigasi ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah untuk mewujudkan
sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang perekonomian dan sekaligus
meningkatkan efektifitas implementasi suatu kebijakan. Mengingat jumlah lokasi
dan sample yang digunakan dalam kajian ini sangat terbatas, hasil yang diperoleh
belum bersifat umum. Masih diperlukan representasi lokasi lain di Indonesia dan
sample yang lebih besar untuk memvalidasi hasil kajian ini. Kajian ini dapat
menjadi model untuk mengevaluasi efektifitas suatu kebijakan publik secara
cepat, sehingga dapat dilakukan penyempurnaan kebijakan bila diperlukan agar
dapat menjadi tepat sasaran.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Irigasi, Ditjen SDA: ”Pelaksanaan Rehabilitasi Jaringan Irigasi 2005-
2009,” Kementerian Pekerjaan Umum, 2008
Dunn, William N, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik,” Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2003
Hyman & Herbert, “Survey Design and Analysis, Principles, Cases and
Procedures”, The Free Press, Illinois 1960
ILACO, BV, ”Agriculture Compendium for Rural Development in the Tropic and
Subtropic”, Elsevier, Amsterdam, 1981
Jenkins, William I, “Policy Analysis: A Political and Organizational
Perspective,” Martin Robertson, London, 1978
Nugroho, R. “Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,”
Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003
Patton & Sawicki, ”Basic Methods of Policy Analysis and Planning,” 2nd
Edition, Prentice Hall Inc., New Jersey, 1993
Ripley, Randall B., & Grace A. Franklin, “Policy Implementation and
Bureaucracy,” The Dorsey Press, Chicago1986
World Bank, “A Handbook in Monitoring Evaluation of Agriculture And Rural
Development,” World Bank Publication, 1981

UCAPAN TERIMA KASIH


Studi kajian ini dilaksanakan secara swadaya oleh Keasdepan Urusan
Infrastruktur Sumber daya Air, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Republik Indonesia. Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak
yang telah turut membantu memperlancar penyelesaian survei ini, antara lain
kepada BBWS Brantas, BBWS Citarum, BBWS Serayu-Opak, serta Ditjen SDA
Kementerian Pekerjaan Umum, yang telah menyediakan data dan memfasilitasi
terlaksananya survei.
KAJIAN PENGELOLAAN IRIGASI
PADA DAS BONDOYUDO

Hadi Moeljanto 1)
Anton Dharma PM2)
1
PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur,Ahmad Yani 152
A Surabaya ,Telp 031-8299585, email :hadimoeljanto@ymail.com
2
PNS, UPT PSAWS Bondoyudo Mayang- Dinas Pekerjaan Umum Pengairan
Provinsi Jawa Timur, Sultan Agung 3 Lumajang,Telp 0334-881106,
email : mailantondp@gmail.com

Abstrak

DAS Bondoyudo yang bermuara di lautan Indonesia ,secara administratif


terletak di Kabupaten Lumajang dan kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur dengan
luasan Daerah Aliran Sungai sebesar 1.300,00 km2. yang terdiri dari Luas wilayah DAS
Bondoyudo di Kabupaten Lumajang sekitar 1.124,63 km2 (86,51 % ) dan sebagian lagi
seluas 175,37 km2 (13,49 %) berada di Kabupaten Jember serta luas areal irigasi sekitar
14.132 Ha dan potensi airnya cukup baik berfungsi penting bagi Provinsi Jawa Timur
karena merupakan penghasil beras. Dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan pembangunan, menimbulkan berbagai permasalahan di DAS
Bondoyudo terjadinya konflik antar pengguna air.
Maksud dari penulisan untuk meningkatkan Pengelolaan Irigasi pada DAS
Bondoyudo dengan memanfaatkan Sumber Daya Air secara berkelanjutan dengan
mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.
Sedang tujuannya untuk mengoptimalisasikan penggunaan potensi sumber daya air
untuk kebutuhan irigasi yang ada pada DAS Bondoyudo di masa mendatang untuk
kemakmuran masyarakat yang akan meningkatkan ketahanan Pangan.
Metodologi dengan melakukan pengamatan lapangan tentang Pengelolaan Irigasi di
DAS Bondoyudo serta melakukan analisa dengan kegiatan 1.Pengumpulan data yang
terkait dengan kegiatan. 2.pengkajian lapangan, dan pengukuran kinerja prasarana
Irigasi 3.wawancara dengan berbagai pihak terkait untuk permasalahan kebutuhan
Irigasi 4.Usulan langkah untuk meningkatkan Pengelolaan Irigasi
Pengelolaan Irigasi terutama di DAS Bondoyudo dapat ditingkatkan dengan
pelaksanaan OP Irigasi sesuai prosedur yang ada, kesamaan visi seluruh stake holder,
peningkatan peran masyarakat petani pengguna air, sistem informasi irigasi,
percepatan pembentukan Komisi Irigasi dan TKPSDA, serta penerapan teknologi
hemat air/SRI.

Kata Kunci : Pengelolaan Irigasi DAS Bondoyudo; Optimalisasi potensi SDA.

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak terbitnya UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA)
yang diikuti Peraturan Pemerintah No. 20 tentang Irigasi, kebijakan irigasi sangat
diperlukan mengingat irigasi sebagai pendukung ketahanan pangan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat petani disamping itu permasalahan Sumber
Daya Air (SDA) dari paparan Konsultasi Regional Wilayah Barat pada saat ini
bertambah kompleks dan perlu mendapat perhatian yang serius sebagai akibat
adanya pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk, sehingga
mengakibatkan kebutuhan air terus meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya
baik pemberitaan pada media cetak maupun elektronik seperti adanya isu isu
strategis seperti 1. Tingkat Kerusakan DAS yang makin parah; 2. Kurang
terkendalinya alih fungsi lahan pertanian produktif; 3. Kurang optimalnya layanan
jaringan irigasi sehingga masih diperlukan pengembangan serta peningkatan
fungsi jaringan irigasi dalam rangka mendukung program ketahanan pangan
nasional 4. Kurang optimalnya layanan jaringan rawa sehingga masih diperlukan
pengembangan serta peningkatan fungsi jaringan rawa dalam rangka mendukung
program ketahanan pangan nasional 5. Masih kurangnya penyediaan sarana/
prasarana air baku untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari  dukungan
terhadap program penambahan 10 juta sambungan rumah (SR); 6. Dampak
perubahan iklim global yang semakin intens; 7. Permasalahan kekeringan dan
banjir semakin meningkat; 8. Kurang memadainya data dan informasi sumber
daya air;
Berdasar isu Strategis tersebut dan UU SDA No. 7 tahun 2004 pasal 26
tentang SDA BAB IV Pendayagunaan Sumber Daya Air Pasal 26 Pendayagunaan
sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan,
penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu
pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah
sungai dengan memanfaatkan SDA secara berkelanjutan dengan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat yang adil. Sesuai gambar
dibawah ini :
1.Penatagunaan SDA Pemanfaatan Zona

Pemanfaatan Sumber air SDA


2.Penyediaan SDA
Penetapan Peruntukaan Air

Pendayagunaan SDA 3.Penggunaan SDA Pada Sumber Air

4. Pengembangan SDA

5. Pengusahaan SDA

Gambar 1. Kegiatan Pendayagunaan SDA (sumber : Tata Ruang Air )

Mengingat semakin terbatasnya ketersediaan air untuk irigasi dari sumber


sumber air permukaan upaya meningkatkan effisiensi irigasi dan teknologi irigasi
yang lebih menghemat air harus ditingkatkan. Penggunaan air tanah untuk irigasi
diutamakan di daerah daerah bercurah hujan rendah dan diarahkan untuk
mendukung budidaya tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Dalam makalah ini membahas Pengelolaan Irigasi pada Daerah Aliran
Irigasi (DAS) Bondoyudo lintas Kabupaten Lumajang dan Jember pada UPT
PSDA WS Bondoyudo Mayang Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur yang
luas Irigasinya besar dan potensi air masih baik yaitu DAS Bondoyudo dengan
areal irigasi sekitar 14.132 Ha yang terdiri pada Kabupaten Lumajang 887 Ha dan
Kabupaten Jember 13.245 Ha, DAS Bondoyudo bermuara di lautan Indonesia,
yang secara administratif terletak di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember,
dengan jumlah luasan Daerah Aliran Sungai sebesar 1.300,00 km2. Luas wilayah
DAS Bondoyudo yang berada di Kabupaten Lumajang adalah 1.124,63 km2
(86,51 %) dan sebagian lagi seluas 175,37 km2 (13,49 % ) berada di Kabupaten
Jember.
Letak DAS Bondoyudo terletak pada koordinat 1120 57‟ 30‟‟ – 1130 28‟
20‟‟ BT dan 70 53‟ 45‟‟ - 80 18‟ 50‟‟ LS sedangkan pemanfaatan sumber daya air
untuk berbagai keperluan disatu pihak terus meningkat dari tahun ketahun,
sebagai dampak pertumbuhan penduduk dan pengembangan aktivitasnya. Padahal
dilain pihak ketersediaan sumber daya air semakin terbatas malahan cenderung
semakin langka, terutama akibat penurunan kualitas lingkungan dan penurunan
kualitas akibat pencemaran.
Hal ini apabila tidak diantisipasi, pada saatnya dapat menimbulkan
ketegangan dan konflik akibat terjadinya benturan kepentingan bila permintaan
(demand) tidak lagi seimbang dengan ketersediaan sumber daya air untuk
pemenuhannya (supply). Oleh karena itu perlu upaya secara proporsional dan
seimbang antara pengembangan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya air
baik dilihat dari aspek teknis maupun dari aspek legal.
Menurut UU SDA No. 7 tahun 2004 tentang pasal pelaksanaan konstruksi,
operasi dan pemeliharaan menjelaskan:
1. Pelaksanaan O & P prasarana sumber daya air yang dibangun oleh badan
usaha, kelompok masyarakat, atau perseorangan menjadi tugas dan Tanggung
Jawab pihak-pihak yang membangun. (pasal 64 ayat 4)
2. Masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan O & P sumber daya air. (pasal
64 ayat 5)
3. Pelaksanaan O & P sistem irigasi Primer dan Sekunder menjadi wewenang
dan Tanggung Jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya. (pasal 64 ayat 6 huruf a)
4. Pengelolaan irigasi Primer dan Sekunder. (penjelasan pasal 41 ayat 2)
a) DI luas < 1.000 ha (DI kecil) dan berada dalam satu kabupaten/kota
menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.
b) DI luas 1.000 ha s/d 3.000 ha (DI sedang), atau DI kecil lintas
kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah
provinsi.
c) DI luas > 3.000 ha, atau (DI besar) Lintas Prov menjadi wewenang dan
tanggung jawab Pemerintah Pusat.
5. Pelaksanaan O & P sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab
masyarakat petani pemakai air. (pasal 64 ayat 6 huruf b).
Pada DAS Bondoyudo ada beberapa daerah irigasi baik dalam wewenang
dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota, Provinsi maupun Pemerintah
Pusat telah dilakukan pengkajian lapangan pada DAS Bondoyudo dengan maksud
untuk mengevaluasi kinerja Pengelolaan Irigasi bila ditinjau baik UU SDA No. 7
tahun 2004, PP Irigasi No. 20 tahun 2006, Kebijakan Irigasi dan mempelajari
permasalahannya.

1.2. Ruang Lingkup.


Lingkup kegiatan menelaah Pengelolaan Irigasi pada DAS Bondoyudo
lintas Kabupaten Lumajang dan Jember dengan membahas pelayanan fungsi
jaringan Irigasi yang telah dibangun, keandalan suplai air, dan konflik antar
pengguna air.

1.3. Maksud dan Tujuan


Maksud dari penulisan adalah untuk meningkatkan Pengelolaan Irigasi
pada DAS Bondoyudo dengan memanfaatkan Sumber Daya Air secara
berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan
masyarakat secara adil.
Sedang tujuan untuk mengoptimalisasikan penggunaan potensi sumber
daya air untuk kebutuhan irigasi yang ada pada DAS Bondoyudo di masa
mendatang untuk kemakmuran masyarakat yang akhirnya akan meningkatkan
ketahanan Pangan.

II. METODOLOGI
Kajian dengan melakukan pengamatan lapangan tentang Pengelolaan
Irigasi di DAS Bondoyudo serta melakukan analisa dengan kegiatan
1.Pengumpulan data yang terkait dengan kegiatan, 2. Pengkajian lapangan, dan
pengukuran kinerja Prasarana Irigasi, 3. Wawancara dengan berbagai pihak terkait
untuk permasalahan kebutuhan Irigasi, 4. Usulan langkah untuk meningkatkan
Pengelolaan Irigasi.

III. HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN


Perencanaan pengembangan sumberdaya air terpadu bertumpu pada
optimasi pemakaian sumber daya air dalam suatu unit wilayah sungai/DAS.
Pemakaian sumberdaya air tersebut tergantung dari besarnya kebutuhan air untuk
berbagai keperluan pada DAS tersebut. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan
pangan dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional yang
terutama dipenuhi dari tingkat produksi pertanian.
Faktor terpenting yang akan menjadi penentu keberhasilan untuk
memenuhi produksi pertanian tersebut salah satunya adanya ketersediaan air.
Sektor pertanian beririgasi selama ini merupakan pengguna air terbesar dalam
kebanyakan satuan wilayah sungai/DAS, sehingga diperlukan perencanaan yang
cermat, tepat guna dan berhasil guna, sehingga upaya pemenuhan kebutuhan
pangan dimasa mendatang akan mudah tercapai.
Upaya pemenuhan kebutuhan irigasi ditinjau berdasarkan sistem tata air
pada suatu wilayah sungai/DAS seperti pada sistem irigasi DAS Bondoyudo
sebagian besar di suplai dari bendung pengambilan yang dialirkan melalui intake
ke saluran sekunder dan tersier. Banyaknya areal sawah teknis menunjukan bahwa
sistem tata air irigasi untuk daerah irigasi pada DAS Bondoyudo yang ada sudah
tertata dengan baik sehingga sangat besar dalam menunjang di dalam usaha
ekstensifitasi lahan. Areal tegalan yang ada, merupakan ciri wilayah dataran tinggi
dan bukan merupakan masalah dalam perluasan jaringan irigasi.
Analisa ketersediaan air untuk kebutuhan irigasi memperhitungkan luas
daerah irigasi yang dilayani oleh sungai Bondoyudo dan anak-anak sungainya
yang termasuk dalam DAS Bondoyudo sebagian terdapat di wilayah administrasi
di luar Kabupaten Lumajang.
Untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di DAS Bondoyudo khususnya
pada Daerah Irigasi dengan luasan baku sawah yang besar, terdapat 7 titik alokasi
air berupa bangunan bendung yang terletak di sungai pada orde 1dan orde 2.

Tabel 1. Titik Kontrol Alokasi Air DAS Bondoyudo


Luas Baku
No Bendung Sungai Sub DAS Kecamatan
(Ha)
K.Curah Menjangan Curah
1 Kd.Sangku 1,575 Sukodono
(Orde 2) Menjangan
2 Umbul K.Bondoyudo (orde 1) - 11,824 Jatiroto
3 Brug Purwo K.Laban/Asem(orde 2) Laban/Asem 1,094 Lumajang
4 Jurang Dawir K.Laban/Asem (orde 2) Laban/Asem 1,088 Lumajang
5 Boreng K.Laban/Asem (orde 2) Laban/Asem 272 Lumajang
6 Tekung K.Bondoyudo (orde 1) - 1,920 Tekung
7 Jatiroto K.Jatiroto (orde 2) Jatiroto 4,337 Jatiroto
Sumber : UPT PSDA WS Bondoyudo-Mayang

Permasalahan yang ada pada DAS Bondoyudo disebabkan terjadinya


pendangkalan palung sungai, degradasi lingkungan DAS terutama perubahan tata
guna lahan akibat dari penggundulan hutan pada daerah tangkapan air yang
mengakibatkan penurunan debit air sungai dimusim kemarau, sehingga
mengganggu pemenuhan kebutuhan irigasi pertanian.
Sebaliknya pada musim kemarau (MK) debit air hanya dapat memenuhi
sebagian kebutuhan daerah irigasi seperti antara bulan Juli s/d Oktober, masalah
utama adalah kekurangan pasokan air untuk lahan pertanian, yaitu saat debit air
sudah menurun hingga 840 liter/detik. Jika debit yang terjadi sudah mencapai 400
liter/detik berarti kondisi air dalam keadaan kritis. Debit air yang melalui saluran
primer Bondoyudo pada saat MK 2 sebesar 5.200 liter/detik, 6.500 - 7.000
liter/detik sedang pada saat MK1dan pada saat Musim Hujan sebesar 7.500 -
8.000 liter/detik, yang didistribusikan melalui 4 saluran sekunder, yaitu saluran:
Semboro, Menampu, Umbulsari, dan Bondoyudo.
7

Dam Jurang Dawir


S
Dam Brug Purwo A
M
1
Dam Boreng U
Dam
D
Kedung 8
Dam Umbul R
A
I
Dam Tekung N
Dam Jatiroto
D
2 3 4 5 6 9 O
10 N
E
Keterangan :
S
1.K.Curah Menjangan 6.K.Gedang mas
I
2.K.Tanjung 7.K.Leban/Asem
A
3.K.Kresek 8.K.Tukum
4.K.Grobokan
SKEMA DAS BONDOYUDO
9.K.Blukon
5.K.Ledok Tempurno 10.K.Jatiroto

Selama ini, bahwa keterlibatan stakeholders dalam mengelola sumberdaya


air pada DAS Bondoyudo masih terbatas seperti masyarakat hanya memanfaatkan
sumber daya air saja, mereka belum memiliki kepedulian untuk mengelola,
menjaga, dan melestarikan sumberdaya air. Jika ada kepedulian, biasanya
dilakukan oleh sebagian kelompok kecil masyarakat yang sudah memahami nilai
penting sumberdaya air .
Dalam Pelaksanaan kajian Pengelolaan Sistem Irigasi ada beberapa
tinjauan dari sisi :
a. Keterbatasan pembiayaan Irigasi.
Untuk luasan irigasi pada DAS Bondoyudo berdasar PP Irigasi No. 20 tahun
2006 berdasar wewenang dan tanggung jawabnya terbagi :
 DI. Wewenang Pusat (Luasan > 3000 Ha).
DI. Jatiroto (4.337 Ha), DI. Bondoyudo (11.784 Ha), DI. Pondok Waluh
(7.606 Ha)
 DI. Wewenang Provinsi (luasan 1000 - 3.000 Ha dan lintas
kabupaten).
DI. Jurang Dawir (1.088 Ha), DI. Curah Menjangan (1.867 Ha), DI. Brug
Purwo (1.094 Ha), DI. Tekung (1.920 Ha), DI. Umbul pring tali (1.262 Ha).
 DI. Wewenang Kabupaten (luasan < 1.000 Ha)
DI. Gabag Domas (871 Ha), DI. Krai (291 Ha), DI. Sempu (637 Ha), DI. Sbr.
Kutuk (412 Ha), DI. Selo kambang (739 Ha), DI. Klakah pakis (565 Ha), DI
Gedang mas (697 Ha), DI. Dilem (449 Ha), DI. Blukon (458 Ha), DI. Lobang
(572Ha), DI. Klerek (815 Ha), DI. Soponyono (548 Ha), DI. Rowo gedang
(657 Ha), DI. Sumber mujur II (577Ha), DI. Duk (591 Ha), DI. Rejali (455
Ha), DI. Karang bayat I (527 Ha).
Dalam melaksanakan Operasi dan pemeliharaan pada areal irigasi DAS
Bondoyudo (kecuali areal > 3000 ha) banyak menemui kendala dalam
pembiayaan irigasi sehingga menimbulkan tidak efisiens, tidak efektif dan tidak
berlanjutnya sistem irigasi yang akhirnya mengakibatkan terjadinya penurunan
fungsi irigasi karena kerusakan-kerusakan jaringan irigasi yang tidak segera
dilakukan pemeliharaan dan tidak berjalannya kegiatan operasi. Dari beberapa
hasil perhitungan Angka Kebutuhan Nyata Operasi dan Pemeliharaan (AKNOP)
2010 untuk wilayah irigasi Provinsi Jawa Timur adalah berkisar sebesar
Rp.240.000 - 275.000/ha.
Pada areal > 3000 ha, sejak tahun anggaran 2008 telah mendapatkan dana
O & P yang dianggarkan melalui dana APBN pada program TPOP (Tugas
Pembantuan Operasi dan Pemeliharaan) Irigasi. Dana yang diluncurkan pada
tahun anggaran 2010 adalah sebesar Rp. 150.000,-/ha, atau mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya yang mendapatkan anggaran Rp.140.000,-/
ha.
Sedangkan untuk areal 1000 - 3000 ha maupun areal < 1000 ha belum
mendapatkan dana O & P yang memadai. Alokasi anggaran sejak tahun 2008
sebagai DI percontohan UPT PSAWS Bondoyudo Mayang Lumajang difokuskan
pada DI Jurang Dawir. Namun anggarannya masih belum memadai yaitu berkisar
pada Rp. 35.000/ha atau masih sangat jauh dari AKNOP.
Usulan Penyelesaian :
Berdasar UU SDA No. 7 tahun 2004 pada Bab VII Pelaksanaan
konstruksi, operasi dan pemeliharaan pasal 64 (3) Pelaksanaan operasi dan
pemeliharaan sumber daya air dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau
pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
Pada PP Irigasi No. 20 tahun 2006 pada Bab XI Bagian kesatu
Pembiayaan Pengembangan Jaringan Irigasi pasal 74 (1) Pembiayaan
pengembangan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab
Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya. (2) Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi tersier menjadi
tanggung jawab perkumpulan petani pemakai air. Pasal 78 (1) Pembiayaan
pengelolaan jaringan irigasi tersier menjadi tanggung jawab perkumpulan petani
pemakai air di wilayah kerjanya.
Perlu koordinasi pembiayaan berdasar wewenang dan tanggung jawab
pengelolaan Daerah Irigasi sesuai surat keputusan Menteri Pekerjaan Umum
No : 390/KPTS/M/2007 tentang Penetapan Status Daerah Irigasi yang
pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung Jawab Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sehingga berdasar hirarkhi pembiayaan
operasi dan pemeliharaan yaitu :
1) Jika kegiatan tingkat daerah belum mampu melaksanakan, maka dapat
menyerahkan ke tingkat di atasnya.
2) Jika tingkat lebih bawah tidak menjalankan, maka tingkat di atasnya wajib
mengambil alih (tanpa penyerahan).
3) Tingkat di atas dapat membantu di bawahnya, atas dasar „prinsip
kemandirian‟.

b. Kelembagaan Irigasi.
Pada tingkat tersier telah ada lembaga Irigasi berupa HIPPA (Himpunan
Petani Pemakai Air). Namun HIPPA belum memahami atau mengaplikasikan PP
Irigasi No. 20 tahun 2007 pada pasal 56 Ayat (2) yaitu (1) Perkumpulan petani
pemakai air dapat berperan serta dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(2) Perkumpulan petani pemakai air dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder, Pasal
33 Ayat (1) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan kepada masyarakat petani
melalui perkumpulan petani pemakai air dan bagi pertanian rakyat yang berada di
dalam sistem irigasi yang sudah ada diperoleh tanpa izin.
Petani diharapkan dapat mengambil peran Jogoboyo (penjaga air) dalam
pembagian air, namun kenyataan di lapangan pengaturan operasi pintu diserahkan
pada petani yang berada dekat pintu air.
Kelembagaan di tingkat pemerintah daerah, pada DAS Bondoyudo di
Kabupaten Lumajang dalam penanganan Sumber Daya air ditangani Dinas
Pekerjaan Umum yang mencakup PU ABC (Air, Bina Marga dan Cipta Karya)
sampai tingkat Pengamat/UPTD personilnya menangani Air, Bina Marga dan
Cipta Karya. Sedangkan personil yang menangani pengelolaan yang khusus
membidangi Irigasi pada DAS Bondoyudo di Kabupaten Jember dan Lumajang
belum ditunjuk dari berlatar belakang bidang SDA atau Irigasi sehingga dalam
melaksanakan tugasnya masih belum memperhatikan aspek hidrologi,
ketersediaan air dan konservasi.
Usulan Penyelesaian :
Untuk mengatasi problem kelembagaan irigasi yaitu dengan :
1. Melakukan rekrutmen personil untuk meningkatkan kemampuan SDM
bidang Irigasi terutama untuk HIPPA dan Pengamat pengairan yang lebih
memperhatikan aspek hidrologi, ketersediaan air dan konservasi.
2. Menata Sistem kelembagaan irigasi saat ini karena sampai saat ini
kelembagaan irigasi sesuai PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi masalah
Komisi irigasi belum terbentuk sehingga untuk mempercepat pembaharuan
kelembagaan panitia irigasi dengan membentuk komisi irigasi (komir)
kabupaten sebagai lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil
pemerintah kabupaten, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat
daerah irigasi, dan wakil pengguna jaringan irigasi pada kabupaten lebih
memperhatikan kepentingan petani baik dalam pengaturan pola dan tata
tanam maupun pengelolaan jaringan irigasi
3. Membentuk kelembagaan pada tingkat wilayah sungai dengan membentuk
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TK
PSDA WS) Bondoyudo Bedadung untuk meningkatkan mekanisme
koordinasi antar pihak yang berkepentingan dalam satu wilayah sungai.

c. Pelaksanaan Rencana Pola Tata Tanam .


Unit kebutuhan air irigasi di masing-masing daerah irigasi tergantung dari
jenis tanah, faktor iklim, jenis tanaman, efisiensi, waktu tanam serta pola tanam.
Pemenuhan kebutuhan air irigasi di DAS Bondoyudo didasarkan pada unit
kebutuhan air irigasi yang ditentukan dengan metode FPR (Faktor Polowijo
Relatif). Metode ini menyatakan perubahan nilai terhadap LPR (Luas Polowijo
Relatif) yang tergantung dari luasan lahan dan faktor tanaman. Pola tanam yang
diterapkan pada masing-masing daerah irigasi di DAS Bondoyudo didasarkan
pada rencana Tata Tanam yang telah disahkan oleh Panitia irigasi Daerah
(diketuai Kepala Daerah).
Pembuatan Rencana Tata Tanam untuk Kabupaten Jember dan Kabupaten
Lumajang telah dilakukan, namun dalam pelaksanaannya RTT tersebut tidak
teraplikasikan di lapangan.
Usulan Penyelesaian :
Untuk menyelesaikan rencana pola tata tanam :
1. Karena belum terbentuk komir selama ini program pembagian air irigasi untuk
areal wewenang Provinsi dan Pusat dibuat oleh UPT PSDA WS Bondoyudo
Mayang yang dikoordinasikan dengan Dinas Kabupaten,
2. Program data tersebut yang diusulkan ke Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa
Timur melalui Bidang Operasi dan Pemeliharaan sesuai kesepakatan,
3. Dibuat perumusan untuk pelaksanaan pola tanamnya yang disampaikan Dinas
PU/PSDA Kabupaten,
4. Untuk Daerah Irigasi pusat 3.000 – 5000 Ha, peran HIPPA belum semuanya
berfungsi dengan baik sehingga pihak UPT PSDA WS Bondoyudo Mayang
mengadakan pembinaan terus menerus/berkelanjutan baik melalui Pelatihan
dengan Dana Tugas Pembantuan Operasi dan Pemeliharaan (TP-OP).

d. Neraca air Irigasi


 Kebutuhan Air Irigasi.
Alokasi air untuk keperluan irigasi didasarkan pada jumlah areal
persawahan yang di bagi ke dalam masing-masing daerah irigasi. Dalam
memperhitungkan kebutuhan air irigasi faktor-faktor yang berpengaruh adalah
jenis tanah, pola tanam serta efisiensi irigasi. Perhitungan kebutuhan air dalam
hubungannya dengan estimasi besarnya debit air yang harus dipenuhi untuk
keperluan air irigasi dihitung berdasarkan kebutuhan air tiap luasan daerah
penanaman dengan didasarkan pada pola dan waktu tanam serta jenis varietas
yang direncanakan.
Pola tata tanam akan memberikan gambaran tentang jenis dan luas dari
tanaman yang akan diusahakan dalam satu tahun. Pola tata tanam yang
direncanakan untuk suatu daerah irigasi merupakan jadual tanam yang disesuaikan
dengan ketersediaan airnya. Berbagai jenis tanaman mempunyai kebutuhan air
yang bervariasi. Hasil perhitungan kebutuhan air irigasi dengan metode
Agroklimat disajikan pada Tabel berikut .

Tabel 2. Hasil Perhitungan Kebutuhan Air lrigasi di DAS Bondoyudo


Kebutuhan Air
Pengamat/ Baku Sawah
No Bendung Irigasi
Kecamatan
(Ha) (lt/dt)

1 Sukodono Kd. Sangku 1,575.00 1,685.08


2 Jatiroto Umbul 11,824.00 12,650.40
3 Lumajang Brug Purwo 1,094.00 1,170.46
4 Senduro Jurang Dawir 1,088.00 1,164.04
5 Lumajang Boreng 272.00 291.01
6 Tekung Tekung 1,920.00 2,054.19
7 Jatiroto Jatiroto - -

 Ketersediaan Air Irigasi.


Selama ini sebagian besar kebutuhan air irigasi dipenuhi dari bendung -
bendung melalui bangunan pengambilan/intake. Namun pada kenyataannya tidak
selamanya ketersediaan dari pintu pengambilan tersebut memenuhi semua
kebutuhan air irigasi.
Untuk itu perlu dilakukan perbandingan antara debit pengambilan dan
debit sungai yang merupakan jumlah total debit pengambilan dan debit limpasan
yang melalui bendung.
Apabila debit di pintu pengambilan tidak mampu memenuhi kebutuhan air
irigasi sedangkan debit yang melimpas cukup besar, maka perlu dilakukan
tinjauan terhadap operasi pintu pengambilan, sehingga debit di pintu pengambilan
dapat memenuhi kebutuhan air irigasi.
Untuk mengetahui potensi air di sungai, dilakukan analisa debit andalan
sungai dengan berbagai peluang yang dapat diuraikan sebagai berikut :
Tabel 3. Debit Andalan Sungai Periode 10 Bulanan
Bendung
No Periode Jurang Brug
Umbul Tekung Kd. Sangku Boreng Jatiroto
Dawir Purwo
1 Jan 41.401,1 48.884,9 9.477,0 23.385,1 11.921,6 8.320,1 15.087,0
2 Feb 42.881,9 44.741,2 12.591,0 24.843,8 13.797,7 11.858,4 24.050,7
3 Mar 34.006,7 40.914,7 12.054,0 25.027,9 12.398,7 9.710,0 24.909,3
4 Apr 34.151,0 39.571,4 10.243,6 24.796,3 14.952,0 7.370,0 21.293,4
5 May 31.548,6 35.240,9 9.795,6 19.491,1 8.258,0 4.974,5 14.641,5
6 Jun 23.082,1 24.148,4 8.205,6 16.804,4 7.902,9 3.701,3 14.178,2
7 Jul 19.993,7 15.760,2 7.865,2 15.645,5 4.070,8 1.833,6 11.689,2
8 Aug 20.078,7 16.145,1 6.492,5 12.750,5 2.942,2 1.973,7 7.038,3
9 Sep 21.531,4 18.990,1 8.916,6 9.600,0 5.721,2 4.801,3 10.684,8
10 Oct 42.137,9 95.913,2 12.727,4 20.675,6 15.661,6 16.915,4 21.775,5
11 Nov 39.906,5 84.956,5 14.541,4 21.419,6 13.435,5 7.407,1 20.840,9
12 Dec 28.780,2 33.653,6 10.115,4 20.649,0 11.251,0 7.834,2 22.262,9
Rerata 31.625,0 41.576,7 10.252,1 19.590,7 10.192,7 7.225,0 17.371,0
Maksimum 42.881,9 95.913,2 14.541,4 25.027,9 15.661,6 16.915,4 24.909,3
Minimum 19.993,7 15.760,2 6.492,5 9.600,0 2.942,2 1.833,6 7.038,3
Usulan Penyelesaian :
Dalam melaksanakan permasalahan Neraca air dengan :
1) menerapkan sistem golongan dalam rangka memanfaatkan konsisi debit saat
musim hujan yang cenderung naik untuk meningkatkan effisiensi .
2) menerapkan teknologi hemat air dengan System of Rice Intensification (SRI).

e. Kegiatan Operasi Jaringan Irigasi.


Pelayanan jaringan irigasi tidak berjalan optimal. Kegiatan operasi
jaringan irigasi berjalan belum sesuai dengan PP. 20 Irigasi 2006, serta peraturan
turunannya. Di lapangan, kegiatan pelayanan jaringan irigasi tidak diperhitungkan
secara teknis hanya menyesuaikan dengan permintaan pengguna. Dengan
demikian para pengguna bagian hilir akan menjadi pengguna prioritas kedua
daripada pengguna bagian hulu. Namun tidak sampai terjadi konflik karena
pengguna hilir telah terbiasa mengantisipasi dengan menanam palawija pada saat
musim kemarau. Sehingga secara teori sebenarnya areal sawah pada musim tanam
II dan III bisa lebih luas lagi. Fakta di lapangan, FPR yang ada sekarang lebih dari
0,5 bahkan ada yang tembus 0,7 (data UPT Boma), sementara dengan
menurunkan FPR pada musim kemarau hingga 0,2 dapat meningkatkan luas
pelayanan irigasi. Dengan demikian, dapat dikatakan kegiatan pelayanan air
irigasi pada musim kemarau tidak efektif.
Untuk Penggunaan air baku ini saat musim hujan tidak ada masalah tetapi
belum diperhitungkan saat musim kemarau karena penggunaan pada DAS
Bondoyudo tidak untuk sektor irigasi saja. Contohnya untuk pengguna air diluar
sektor irigasi yang mengajukan usulan untuk memanfaatkan air, seharusnya harus
memperhatikan, berkoordinasi dan mendapatkan persetujuan dari pengguna air
yang telah lebih dulu memanfaatkan air pada DAS Bondoyudo. Dalam beberapa
kasus, pemanfaatan air non irigasi yang baru telah mendapatkan ijin meskipun
tidak mendapatkan persetujuan dari pengguna air yang ada.
Usulan Penyelesaian :
Untuk melakukan perbaikan dalam pembagian air dengan :
1) Memperhatikan PP Pengelolaan Sumber Daya Air No. 42 tahun 2008 pada
Bagian Keempat Penyediaan Sumber Daya Air Pasal 69 bahwa Penyediaan
sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf b dilakukan
berdasarkan prinsip a. mengutamakan penyediaan air untuk pemenuhan
kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat pada sistem
irigasi yang sudah ada; dan Pasal 101 (1) Penggunaan sumber daya air untuk
tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf b meliputi
penggunaan sumber daya air untuk pemenuhan: a. kebutuhan pokok sehari-
hari dan pertanian rakyat.
2) Pengguna air diluar sektor irigasi bila mengusulkan untuk memanfaatkan air
harus memperhatikan dan koordinasi pengguna air sebelumnya sesuai UU
SDA No. 7 tahun 2004 Bab IV pasal 26 (2) Pendayagunaan sumber daya air
ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan
mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara
adil. Dan Bab IV pasal 29 (3) Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang
sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas
semua kebutuhan.
3) Diperlukan organisasi tingkat lapangan di Daerah Irigasi seperti Komir
kabupaten dan TK PSDA WS Bondoyudo Bedadung sehingga koordinasi
dapat berjalan baik juga sistem ketersediaan air yang mudah dimengerti dan
dipahami petani.

f. Partisipasi masyarakat petani.


Karena DAS Bondoyudo sedimentasinya tinggi dan dalam pelaksanaan
Pemeliharaan jaringan irigasi peran masyarakat Petani sangat kurang belum sesuai
UU SDA No. 7 tahun 2004 pasal 83 Dalam menggunakan hak guna air,
masyarakat pemegang hak guna air berkewajiban memperhatikan kepentingan
umum yang diwujudkan melalui perannya dalam konservasi sumber daya air serta
perlindungan dan pengamanan prasarana sumber daya air dan pasal 84 (1)
Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air
pada DAS Bondoyudo.
Usulan Penyelesaian :
Diperlukan partisipasi masyarakat petani di daerah tangkapan air. Daerah
Irigasi serta dalam pelaksanaan kegiatan pemeliharaan jaringan irigasi baik dalam
bentuk sumbangan pikiran sampai dengan kontribusi tenaga,bahan dan dana.
Adapun prinsip partisipasi ;
1) Partsipasi berdasar musyawarah dan mufakat.
2) Penerapan partisipasi disesuaikan batas wewnang dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat petani dalam pengelolaan irigasi.
3) Penerapan partisipasi disesuaikam dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat petani bersangkutan serta tingkat kebutuhan dan kegiatan
bersangkutan.
4) Tingkat partisipasi dari pemberian pendapat, pemberian bantuan, ikut
melaksanakan sebagian kegiatan
5) Partisipasi dimulai dari O dan P, meningkat ke konstruksi, pembuatan disain
dan perencanaan.
6) Partisipasi petani dalam HIPPA dalam kegiatan pengembangan, pemeliharaan
dan rehabilitasi jaringan utama dengan pola swakelola.

g. Personil Lapangan.
Di Lapangan pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan jaringan irigasi
terkendala masalah personil terutama untuk DI luas 1.000 ha s/d 3.000 ha (DI
sedang), atau DI kecil lintas kabupaten/kota dan DI luas > 3.000 ha, atau (DI
sedang) Lintas Provinsi masih mengandalkan tenaga dari kabupaten baik
Pengamat, Juru maupun Penjaga Pintu Air. Sedangkan untuk kebutuhan personil
Pekarya pada area DI Pemerintah Pusat telah dipenuhi dengan dana TPOP.
Sementara Pekarya untuk area DI Provinsi dan DI Kabupaten masih kekurangan
akibat belum tercukupinya anggaran OP Irigasi pada APBD masing-masing.
Usulan Penyelesaian :
Diperlukan MOU dengan Dinas PU Pengairan/PSDA Kabupaten tentang
pemakaian personil baik Pengamat, Juru maupun Penjaga Pintu Air sehingga
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena terkendala pengusulan personil
lapangan pada Dinas PU Pengairan Provinsi.

h. Kebutuhan data dan Sistem Pelaporan


Penyajian data pendukung kegiatan Operasi dan Pemeliharaan jaringan
irigasi sangat kurang akurat seperti pengisian Blangko sesuai Lampiran Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Operasi dan
Pemeliharaan Jaringan Irigasi serta cara pelaporan tentang ketersediaan dan
kebutuhan air irigasi pada Rencana Pola Tanam belum dipahami.
Usulan Penyelesaian :
Diperlukan pembinaan pada personil lapangan tentang kemampuan teknis
petugas OP yang diselenggarakan Dinas PU Pengairan provinsi maupun dari
Pusat melalui Balai Diklat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1) Dalam pelaksanaan Pengelolaan Irigasi pada DAS Bondoyudo lintas
Kabupaten Lumajang dan Jember perlu diperhatikan Kebijakan Operasi,
Pemeliharaan dan Rehabilitasi pada DAS tersebut sesuai prosedur yang
ada.
2) Perlunya Stakeholder seperti Pemerintah, Dunia Usaha dan Peran
Masyarakat dalam penanganan Pengelolaan Irigasi sehingga diharapkan
hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara berkelanjutan. Namun stake
holder yang nantinya duduk bersama dalam satu meja forum perlu
memiliki kesamaan visi dan pemahaman dalam pengelolaan irigasi.
3) Perlu adanya peran masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan
irigasi dengan penerapan partisipasi serta tingkat partisipasinya
disesuaikan dengan kondisi ekonomi, sosial, budaya masyarakat petani
bersangkutan serta tingkat kebutuhan dari kegiatan yang bersangkutan.
4) Memperbaiki sistem informasi mengenai ketersediaan debit yang mudah di
mengerti dan dipahami masyarakat petani.
5) Mempercepat pembentukan kelembagaan irigasi dalam pengembangan dan
pengelolaan irigasi seperti komisi irigasi (komir) kabupaten dan
membentuk kelembagaan pada tingkat wilayah sungai dengan membentuk
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TK
PSDA WS) Bondoyudo Bedadung .
6) Menerapkan teknologi hemat air dengan System of Rice Intensification
(SRI).

DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air .
Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.
Tata Ruang Air, Robert J Kodoatie dan Roestam Sjarief 2010, CV. ANDI
OFFSET.
Both END, Pengelolaan Daerah Alliran Sungai, sebuah pendekatan Negosiasi
2006, INSIST Press.
Direktorat Irigasi, Pokok Pokok Kebijakan Irigasi 2007,
Konsultan, Studi Penatagunaan dan Perencanaan Sumberdaya Air DAS K.
Bondoyudo.
Konsultan, Studi Role Sharing Pada DAS Bondoyudo - Mayang
UPT PSDA Bondoyudo Bedadung , Kumpulan data hidrologi 2007.

Anda mungkin juga menyukai