Anda di halaman 1dari 21

https://kostrad.mil.

id/post_artikel/pancasila-sebagai-perekat-kemajemukan-bangsa/
https://arifashkaf.wordpress.com/2014/10/07/pancasila-sebagai-dasar-negara-republik-indonesia/

Pancasila adalah landasan dari segala keputusan bangsa dan menjadi ideologi tetap
bangsa serta mencerminkan kepribadian bangsa. Pancasila merupakan ideologi
bagi negara Indonesia. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar
mengatur pemerintahan negara. Pancasila merupakan kesepakatan bersama
bangsa Indonesia yang mementingkan semua komponen dari Sabang sampai
Merauke.

1. Asal Mula Kata Pancasila. Etimologi kata “Pancasila” berasal dari bahasa
Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) yaitu panca yang berarti “lima”
dan sila yang berarti “dasar”. Jadi secara harfiah, “Pancasila” dapat diartikan sebagai
“lima dasar”.
2. Sejarah Istilah Pancasila. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit dimana sila-sila yang terdapat dalam Pancasila itu sudah
diterapkan dalam kehidupan masyarakat maupun kerajaan meskipun sila-sila
tersebut belum dirumuskan secara konkrit. Menurut kitab Sutasoma karangan Mpu
Tantular, Pancasila berarti “berbatu sendi yang lima” atau “pelaksanaan kesusilaan
yang lima”.
3. Pengertian Pancasila Menurut Para Ahli. Untuk meningkatkan pemahaman kita
bersama tentang arti kata Pancasila, sebaiknya kita membaca beberapa pengertian
Pancasila menurut para tokoh pendiri bangsa berikut:
4. Muhammad Yamin. Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila
yang berarti sendi, atas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik.
Dengan demikian Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan
tentang tingkah laku yang penting dan baik.
5. Notonegoro. Pancasila adalah dasar falsafah negara indonesia, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa Pancasila merupakan dasar falsafah dan ideologi negara
yang diharapkan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar
pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan
negara Indonesia.
6. Ir. Soekarno. Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian
abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila
tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.

Pada bulan April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat. Dalam pidato pembukaannya dr. Radjiman antara lain mengajukan
pertanyaan kepada anggota-anggota Sidang, “Apa dasar Negara Indonesia yang
akan kita bentuk ini?”. Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara
yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu:

1. Lima Dasaroleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29


mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia
menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah,
peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang
di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin
tersebut.
2. Panca Silaoleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato
spontannya yang kemudian dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila“. Sukarno
mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia;
Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi, dasar
perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan. Nama
Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu,
katanya: Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma,
tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya
ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita
mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Sebelum sidang pertama itu berakhir, dibentuk suatu Panitia Kecil untuk:

 Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato yang


diucapkan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
 Menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.

Dari Panitia Kecil itu dipilih 9 orang yang dikenal dengan Panitia Sembilan, untuk
menyelenggarakan tugas itu. Rencana mereka itu disetujui pada tanggal 22
Juni 1945 yang kmeudian diberi nama Piagam Jakarta. Setelah Rumusan Pancasila
diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya
ialah:

 Rumusan Pertama: Piagam Jakarta (Jakarta Charter) – tanggal 22 Juni 1945


 Rumusan Kedua: Pembukaan Undang-undang Dasar – tanggal 18 Agustus 1945
 Rumusan Ketiga: Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat – tanggal 27
Desember 1949
 Rumusan Keempat: Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara – tanggal 15
Agustus 1950
 Rumusan Kelima: Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama
(merujuk Dekret Presiden 5 Juli 1959)

Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Juni 2016 telah menandatangani Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila sekaligus
menetapkannya sebagai hari libur nasional yang berlaku mulai tahun 2017.
Akhir-akhir ini muncul kesadaran baru tentang betapa pentingnya Pancasila
digelorakan lagi, yang sudah beberapa lama seperti dilupakan. Sejak memasuki
masa reformasi, maka apa saja yang berbau orde baru boleh dibuang dan atau
dijauhi. Reformasi seolah-olah mengharuskan semua tatanan kehidupan termasuk
ideologinya agar supaya diubah, menjadi idiologi reformasi. Siapapun kalau masih
berpegang pandangan lama, semisal Pancasila, maka dianggap tidak mengikuti
zaman.
Pancasila pada orde baru dijadikan sebagai tema sentral dalam menggerakkan
seluruh komponen bangsa ini. Maka dirumuskanlah ketika itu Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disingkat dengan P4. Pedoman itu
berupa butir-butir pedoman berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang ada pada
butir-butir P4 tersebut sebenarnya tidak ada sedikitpun yang buruk atau ganjil, oleh
karena itu, menjadi mudah diterima oleh seluruh bangsa Indonesia.
Hanya saja tatkala memasuki era reformasi, oleh karena pencetus P4 tersebut
adalah orang yang tidak disukai, maka buah pikirannya pun dipandang harus
dibuang, sekalipun baik. P4 dianggap tidak ada gunanya. Rumusan P4 dianggap
sebagai alat untuk memperteguh kekuasaan. Oleh karena itu, ketika penguasa yang
bersangkutan jatuh, maka semua pemikiran dan pandangannya dianggap tidak ada
gunanya lagi, kemudian ditinggalkan.
Sementara itu, era reformasi belum berhasil melahirkan idiologi pemersatu
bangsa yang baru. Pada saat itu semangatnya adalah memperbaiki pemerintahan
yang dianggap korup, menyimpang, dan otoriter, dan kemudian harus diganti
dengan semangat demokratis. Pemerintah harus berubah dan bahkan undang-
undang dasar 1945 harus diamandemen. Beberapa hal yang masih didanggap
sebagai identitas bangsa, dan harus dipertahankan adalah bendera merah putih,
lagu kebangsaan Indonesia raya, dan lambang Burung Garuda. Lima prinsip dasar
yang mengandung nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
selanjutnya disebut Pancasila, tidak terdengar lagi, dan apalagi P4.
Namun setelah melewati sekian lama masa reformasi, dengan munculnya idiologi
baru, semisal NII dan juga lainnya, maka memunculkan kesadaran baru, bahwa
ternyata Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dianggap penting untuk
digelorakan kembali. Pilar kebangsaan itu dianggap sebagai alat pemersatu bangsa
yang tidak boleh dianggap sederhana hingga dilupakan. Pancasila dianggap sebagai
alat pemersatu, karena berisi cita-cita dan gambaran tentang nilai-nilai ideal yang
akan diwujudkan oleh bangsa ini.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang mencakup lebih dari 17.500
pulau, baik yang berpenghuni dan memiliki nama, maupun yang tidak berpenghuni
dan belum memiliki nama. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang 81.000 KM,
setelah Kanada. Dari keseluruhan pulau yang dimilikinya, Indonesia memiliki 92
pulau terluar (TERDEPAN) yang tersebar di 19 provinsi. Sebanyak 67 pulau di
antaranya berbatasan langsung dengan negara lain dan 12 pulau di antaranya
rawan diklaim oleh negara lain.
Indonesia, dalam pandangan Nurcholish Madjid (1939-2005), merupakan bangsa
yang sukses. Bagaimana tidak? Indonesia adalah bangsa yang mampu
mempertautkan solidaritas kultural, merangkum tak kurang dari 250 kelompok etnis
dan bahasa, di sekitar 17.500 pulau. Dari sekian banyak etnis dan bahasa,
Indonesia mampu menghadirkan suatu lingua franca yang mampu mengatasi isolasi
pergaulan antarsuku.
Sebelum negeri ini merdeka, para pendiri bangsa merumuskan cara untuk mengikat
suku bangsa dalam sebuah negara kebangsaan. Tepatnya sebelum pidato 1 Juni
1945, mereka berkumpul dan menyepakati persatuan sebagai landasan negara
Indonesia merdeka. Bahkan, Muhammad Yamin secara tersirat menyinggung
“negara kebangsaan” yang mengandaikan kedaulatan yang berfungsi memberi
perlindungan dan pengawasan pada putra negeri serta kesempatan luas
berhubungan dengan negara lain.
Dalam nada lain, Sosrodiningrat menegaskan bahwa persatuan berarti bebas dari
rasa perselisihan antar golongan, pertikaian antar individu dan suku. Saat yang
sama, perhatian, penghargaan, dan penghormatan terhadap corak dan bentuk
kebiasaaan kelompok lain menjadi penting untuk menopang persatuan ini.
Persatuan merupakan kata yang penting di dalam Indonesia yang beragam dalam
hal agama, suku, etnis dan bahasa. Pentingnya persatuan sebagai landasan
berbangsa dan bernegara Indonesia bukan hanya bertumpu pada perangkat keras
seperti kesatuan politik (pemerintahan), kesatuan teritorial, dan iklusivitas warga,
akan tetapi juga memerlukan perangkat lunak berupa eksistensi kebudayaan
nasional. Bahwa persatuan memerlukan apa yang disebut Soekarno sebagai
“identitas nasional”, “kepribadian nasional”, dan “berkepribadian dalam kebudayaan”.
Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang
menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada
perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadadaran semacam itu
sangat jelas terlihat. Bhinneka Tunggal Ika (“berbeda-beda namun satu jua”) adalah
prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan sebagai
perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika ini meneguhkan pentingnya komitmen
negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak
lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari
tujuan nasionalisme Indonesia.
Prinsip Indonesia sebagai negara “bhineka tunggal ika” mencerminkan bahwa
meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan dan
kesatuan. Namun, realitas sosial-politik saat ini, terutama setelah reformasi,
menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan: konflik dan kekerasan berlangsung
hanya karena persoalan-persoalan yang sebetulnya tidak fundamental tapi
kemudian disulut dan menjadi isu besar yang melibatkan etnis dan agama.
Kini, setelah enam puluh enam tahun setelah Pancasila dikemukakan secara publik
saat ini merupakan momentum reflektif bagi bangsa Indonesia untuk meradikalkan
Pancasila agar bisa beroperasi dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila haruslah
dijadikan dasar kehidupan bersama karena di dalamnya mengajarkan nilai-nilai
kehidupan bersama, multikulturalisme, persatuan, demokrasi, keadilan sosial dan
penghormatan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Pancasila haruslah menjadi
perekat bangsa, menjadi landasan persatuan dan kesatuan Indonesia.
Persoalan wilayah perbatasan dinilai menjadi masalah yang sangat krusial dalam
sebuah negara. Hal ini karena ia menyangkut juga batas wilayah negara tersebut.
Untuk negara seperti Indonesia, masalah perbatasan mestinya mendapat perhatian
lebih karena beberapa tahun kemarin kita dikejutkan dengan lepasnya pulau
Sipadan-Ligitan ke pelukan negeri jiran, Malaysia.
Setelah Sipadan-Ligitan yang lepas, kawasan Kepulauan Miangas di Sulawesi juga
terancam lepas karena klaim laut oleh Filipina. Hal ini juga menjadi persoalan bagi
Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Belajar dari
pengalaman Sipadan-Ligitan, aksi nyata untuk pembangunan wilayah perbatasan
lebih dibutuhkan dan lebih jelas pembuktiannya daripada sekadar pengesahan
Peraturan Pemerintah.
Selain karena absennya perhatian pemerintah dalam persoalan perbatasan ini,
masalah kesenjangan struktural dan ketidakmerataan juga menjadi faktor dominan
bagi lepasnya wilayah-wilayah tersebut dari bumi Indonesia. Kasus lepasnya Timor-
Timor dari pangkuan Bumi Pertiwi patut menjadi pelajaran penting agar kasus
serupa tidak terjadi di wilayah lain. Lalu lintas perdagangan barang/orang, misalnya
di Entikong, Kalimantan Barat, juga patut menjadi perhatian pemerintah Indonesia
agar menghilangkan ketergantungan pada pihak Malaysia. Berbagai problem seperti
kemiskinan,kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga, keterbatasan
akses permodalan dan pasar bagi masyarakat, kebijakan fiskal dan moneter yang
kurang kondusif, keterisolasian dan mobilitas penduduk akibat keterbatasan akses
transportasi, lemahnya penegakan hukum, dan problem degradasi sumberdaya
alam, merupakan sederet persoalan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah
untuk segera dicarikan solusinya. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia
tetap terjaga keutuhannya.
Tak ada persatuan tanpa keadilan. Dengan kata lain, persatuan haruslah dibangun
atas dasar keadilan dan kesejahteraan sosial. Mustahil, negara bisa membangun
persatuan jika tidak ditopang keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Karena
itu, sila ketiga dan sila kelima dalam Pancasila memiliki keterkaitan erat. Hal ini
terumus dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 bahwa ketika negara
sudah terbentuk maka kekayaan negara dieksplorasi demi kemaslahatan warga
negara Indonesia. Sehingga tidak adil jika hanya satu daerah yang menikmati hasil
pembangunan.
Namun setelah melewati sekian lama masa reformasi, dengan munculnya idiologi
baru, semisal NII dan juga lainnya, maka memunculkan kesadaran baru, bahwa
ternyata Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dianggap penting untuk
digelorakan kembali. Pilar kebangsaan itu dianggap sebagai alat pemersatu bangsa
yang tidak boleh dianggap sederhana hingga dilupakan. Pancasila dianggap sebagai
alat pemersatu, karena berisi cita-cita dan gambaran tentang nilai-nilai ideal yang
akan diwujudkan oleh bangsa ini.
Bangsa Indonesia yang bersifat majemuk, terdiri atas berbagai agama, suku bangsa,
adat istiadat, bahasa daerah, menempati wilayah dan kepulauan yang sedemikian
luas, maka tidak mungkin berhasil disatukan tanpa alat pengikat. Tali pengikat itu
adalah cita-cita, pandangan hidup yang dianggap ideal yang dipahami, dipercaya
dan bahkian diyakini sebagai sesuatu yang mulia dan luhur.
Memang setiap agama yang ada pasti memiliki ajaran tentang gambaran
kehidupan ideal, yang masing-masing berbeda-beda. Perbedaan itu tidak akan
mungkin dapat dipersamakan. Apalagi, perbedaan itu sudah melewati dan memiliki
sejarah panjang. Akan tetapi, masing-masing pemeluk agama lewat para tokoh atau
pemukanya, sudah berjanji dan berekrar akan membangun negara kesatuan
berdasarkan Pancasila itu.
Memang ada sementara pendapat, bahwa agama akan bisa mempersatukan
bangsa. Dengan alasan bahwa masing-masing agama selalu mengajarkan tentang
persatuan, kebersamaan dan tolong menolong, sebagai dasar hidup bersama. Akan
tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit konflik yang terjadi antara penganut agama
yang berbeda. Tidak sedikit orang merasakan bahwa perbedaan selalu menjadi
halangan untuk bersatu. Maka Pancasila, dengan sila pertama adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa, merangkum dan sekaligus menyatukan pemeluk agama yang
berbeda itu. Mereka yang berbeda-beda dari berbagai aspeknya itu dipersatukan
oleh cita-cita dan kesamaan idiologi bangsa ialah Pancasila.
Itulah sebabnya, maka melupakan Pancasila sama artinya dengan mengingkari
ikrar, kesepakatan, atau janji bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Selain itu, juga dem ikian, manakala muncul kelompok atau sempalan yang akan
mengubah kesepakatan itu, maka sama artinya dengan melakukan pengingkaran
sejarah dan janji yang telah disepakati bersama. Maka, Pancasila adalah sebagai
tali pengikat bangsa yang harus selalu diperkukuh dan digelorakan pada setiap
saat. Bagi bangsa Indonesia melupakan Pancasila, maka sama artinya dengan
melupakan kesepakatan dan bahkan janji bersama itu.
Oleh sebab itu, Pancasila, sejarah dan filsafatnya harus tetap diperkenalkan dan
diajarkan kepada segenap warga bangsa ini, baik lewat pendidikan formal maupun
non formal. Pancasila memang hanya dikenal di Indonesia, dan tidak dikenal di
negara lain. Namun hal itu tidak berarti, bahwa bangsa ini tanpa Pancasila bisa
seperti bangsa lain. Bangsa Indonesia memiliki sejarah, kultur, dan sejarah politik
yang berbeda dengan bangsa lainnya. Keaneka-ragaman bangsa Indonesia
memerlukan alat pemersatu, ialah Pancasila.
Realitasnya, kesenjangan sosial masih terjadi di era reformasi ini, sebagaimana
yang terjadi di wilayah perbatasan. Bangunan demokrasi yang ditegakkan
pascareformasi memang ditantang untuk menjawab harapan masyarakat yang
begitu besar. Para pengambil kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa pilihan
demokrasi yang memakan biaya cukup mahal bukanlah pilihan yang keliru. Jawaban
yang diberikan tidak cukup dengan pemberian ruang kebebasan yang lebih besar,
tetapi juga kehidupan ekonomi yang lebih baik.
Itulah cita-cita hakiki demokrasi Indonesia yang terkandung dalam Pancasila, yakni
cita-cita yang tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang
politik namun juga emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Hal ini seturut
dengan tesis yang mengatakan bahwa dasar pendirian sebuah negara, apapun
ideologinya, adalah bagaimana membawa warganya kepada kesejahteraan dan
kemakmuran bersama. “Kemerdekaan nasional”, tegas Soekarno saat sidang
pertama RIS tahun 1949, “bukanlah tujuan akhir bagi kita semua. Bagi kita
kemerdekaan nasional Indonesia hanyalah syarat untuk mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat dalam arti jasmani dan rohani. Kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat adalah tujuan kita bersama”. Polemik
Perbaikan ekonomi bangsa dan pewujudan kesejahteraan rakyat memang bukan
hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata, tetapi juga memerlukan bantuan
dan partisipasi warga masyarakat, pelaku ekonomi dan bisnis, negarawan, politikus,
akademisi, dan elemen organisasi pemerintah. Selanjutnya, kebijakan politik harus
memberi kerangka insentif berbasis meritokrasi, bagi inteligensia yang mencurahkan
talenta-talenta terbaiknya dalam berbagai bidang profesi. Oleh karena itu, marilah
kita bersama merevitalisasi nilai dan pelaksanaan Pancasila secara kongkret. Kita
telah diingatkan oleh Bung Karno wahai Pemuda! Indonesia akan kembali menjadi
bangsa terhormat, atau bahkan menjadi kuli yang terhina di rumah sendiri (Dan
Sejarah akan menulis di sana, di antara benua Asia dan Benua Australia, di antara
lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang mula-mula
mentjoba untuk hidup kembali sebagai sebuah bangsa, akhirnja kembali mendjadi
satu kuli di antara bangsa-bangsa, kembali mendjadi een natie van koelis, en een
koelie onder de naties – Sukarno, ”Tahun Vivere Pericoloso” (Tahun-tahun
nyrempet bahaya), 17 Agustus 1964).
https://dhd45jateng.wordpress.com/2012/06/25/upaya-mengatasi-konflik-horisontal-dalam-
kemajemukan-bangsa-indonesia/

← REVITALISASI PANCASILA SEBAGAI JATI DIRI BANGSA INDONESIA


UPAYA MENGATASI KONFLIK HORISONTAL
DALAM KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
Posted on 25 Juni 2012by dhd45jateng
Oleh : Drs Kristiawan MSi

Sebagaimana diketahui bangsa Indonesia merupakan bangsa yang


majemuk. Heterogenitas bangsa Indonesia adalah sesuatu yang tak
terhindarkan dari adanya keanekaragaman suku bangsa yang berasal
dari ribuan pulau yang tersebar dalam wilayah 33 provinsi. Sifat
heterogen juga bersumber pada keragaman agama, dimana pemerintah
mengakui adanya 6 agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha
dan Konghucu. Sementara itu pengaruh globalisasi lewat informasi
komunikasi yang semakin canggih, membuat bangsa Indonesia memiliki
berbagai paham, persepsi dan pandangan yang berbeda sekaligus
bertentangan. Dalam satu etnis dan satu agama, bisa terjadi perbedaan
paham yang bisa meruncing menjadi konflik horisontal. Hampir setiap
agama di Indonesia memiliki kelompok yang memiliki paham berbeda
dan dalam satu etnis atau suku bisa terjadi berbagai kelompok dengan
tradisi, perilaku dan cara hidup berbeda.

Kemajemukan tentu saja menimbulkan kerawanan akan konflik.


Karena sebab yang sepele yang terjadi antar dua orang yang kebetulan
berbeda agama dapat memicu konflik antar suku atau antar agama.
Tetapi dalam bangsa majemuk seperti Indonesia, sebenarnya juga
terdapat potensi yang luar biasa. Ketika kebudayaan dari berbagai suku
dikelola dengan baik akan menghasilkan khasanah budaya bangsa yang
luar biasa. Ketika semua umat beragama dapat hidup berdampingan
dengan semangat toleransi yang tinggi, tentu akan menghasilkan
kehidupan yang indah, saling memberdayakan dan saling menghormati
dalam kehidupan yang demokratis.

Maka kata kunci dalam mengelola konflik ( conflict


management ) adalah bagaimana kita hidup berdampingan dalam
keanekaragaman tetapi tet[1]ap memiliki semangat persatuan; dalam
kerangka NKRI. Selama kita memiliki semangat Bhineka Tunggal Ika,
dalam menghadapi konflik akan tetap mengedepankan persatuan dan
kesatuan, musyawarah – mufakat
dalam bentuk komunikasi dialogis serta menjauhkan diri dari fanatisme
sempit dan kekerasan. Konflik itu sendiri akan tetap muncul setiap saat,
tetapi kita perlu memiliki konsensus untuk menyelesaikan dalam
koridor persatuan bangsa. Untuk itu Pancasila yang telah disepakati
sebagai dasar negara dan way of life harus kita jadikan alat pemersatu
bangsa. Mengenai hal ini M. Dawam Rahardjo ( 2010 ) menyatakan
bahwa konsep NKRI hanya dapat dipertahankan kalau kita tetap
berpegang teguh pada semangat Bhineka Tunggal Ika, sehingga
kemajemukan masyarakat Indonesia bukan merupakan ancaman,
melainkan justru merupakan kekuatan dan ssumber dinamika.

Bapak Presiden dalam kaitannya dengan berbagai konflik horisontal


yang terjadi pada akhir-akhir ini, berpesan agar perbedaan diantara kita
diselesaikan secara damai dan konstitusional. Damai artinya tanpa
kekerasan apalagi sampai merampas hak hidup orang lain. Dan
konstitusional artinya kita kembali menyimak ketentuan yang terdapat
dalam UUD 1945. Didalamnya diatur tentang hak dan kewajiban setiap
warganegara. Antara lain hak untuk hidup dan hak untuk tidak
diperlakukan secara diskriminatif serta kewajiban menghormati hak
asasi manusia ( pasal 28 ).

KONFLIK HORISONTAL

Selama era Orde Baru kita merasakan bahwa konflik horisontal berupa
bentrokan antar masa yang disertai dengan kekerasan nyaris tidak
pernah terjadi. Kehidupan antar umat beragama, antar suku, antar etnis
dan antar kelompok dalam masyarakat berlangsung dalam kedamaian.
Tetapi pada era reformasi ini, dimana kehidupan dinyatakan oleh para
pakar politik lebih demokratis, justru diwarnai oleh konflik horisontal
dengan disertai oleh tindakan kekerasan. Pada tahun 2009 tercatat ada
58 kasus dan pada tahun 2010 meningkat dengan 81 kasus. Kemudian
pada awal tahun 2011 muncul kasus kekerasan terhadap kelompok
Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang Provinsi Banten. Tiga orang
tewas dalam kasus kekerasan tersebut. Berikutnya di Temanggung masa
membakar gereja, sekolah, panti asuhan dan merusak kantor polisi.
Beberapa hari kemudian muncul penyerangan terhadap Pondok
Pesantren YAPI di Pasuruan.

Kasus kasus kekerasan diatas tidak hanya antar umat beragama tetapi
juga terjadi interen umat beragama. Masalah kesenjangan sosial
ekonomi, pengangguran, kemiskinan, perilaku antar etnis dan
ketidakmampuan paratur menjadikan masyarakat mudah diprovokasi
melakukan tindak kekerasan. Kasus di Temanggung misalnya, pelaku
kerusuhan ternyata para petani miskin yang tidak tahu apa-apa, tetapi
melibatkan provokator dari luar kota Temanggung. Dalam hal ini
sebenarnya para elit atau tokoh agama, sudah bersepakat untuk mencari
solusi atau jalan keluar yang terbaik dari konflik yang terjadi. Di
Temanggung misalnya, tiga hari setelah kasus amuk masa terjadi, MUI
Jateng bersama beberapa tokoh agama lainnya langsung datang ke
Temanggung untuk berdialog dengan pejabat pemerintah daerah dan
melakukan Deklarasi Damai. Demikian juga pada beberapa kasus yang
lain, tetapi pada akar rumput konflik tersebut tetap saja terjadi.

Pada era Orde baru, konflik yang terjadi lebih bersifat vertikal. Antara
pemerintah dengan rakyat. Misalnya konflik antara TNI dengan para
pendukung Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) di Aceh, kemudian antara
TNI dengan pendukung Organisasi Papua Merdeka ( OPM ) di Papua
dan juga di Timor Leste. Pada waktu itu TNI ( pada waktu itu disebut
ABRI ), memiliki peran sangat menonjol; baik secara teritorial maupun
secara politis karena mereka juga mendapat jatah kursi di lembaga
legislatif dan berbagai posisi di pemerintahan. Peran yang sangat
menonjol dari TNI ini bertolak belakang dengan kebebasan berserikat,
berkumpul atau menyatakan pendapat dari masyarakat dalam kerangka
kehidupan berdemokrasi. Kontrol sosial politik militer yang sangat kuat
memang menghasilkan kehidupan berdemokrasi yang lemah. Tetapi
konflik horisontal dapat dikendalikan dengan baik. Kondisi persatuan
dan kesatuan masyarakat cukup kokoh dan terkendali.

Ketika era reformasi bergulir, kehidupan menjadi lebih demokratis.


Kebebasan berserikat ( antara lain mendirikan partai politik ),
berkumpul dan menyatakan pendapat ( misalnya melalui demonstrasi )
lebih semarak. Tetapi kebebasan tersebut sering bersifat anarkis, tanpa
mempedulikan hukum yang berlaku. Sikap penegak hukum juga sering
tidak tegas, misalnya terhadap kelompok sosial keagamaan yang
melakukan tindakan anarkis dan penuh kekerasan. Hal ini dapat
dimaklumi karena penegak hukum dihadapkan pada situasi dilematis.
Mereka tidak mau dituduh melanggar HAM sementara masyarakat yang
dirugikan menuntut mereka bertindak tegas. Kasus di Makasar
misalnya, polisi setempat dianggap bersikap brutal terhadap mahasiswa.
Dilain pihak kasus Ahmadiyah di Pandeglang, polisi dianggap lemah dan
tidak mampu mengatasi amuk masa.
Menurut Aryanto Sutadi ( 2009 ), konflik mengandung spektrum
pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan,
konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan
bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa
kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial.
Dalam hal ini dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horisontal
dan vertikal, dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh
terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.

Konflik horisontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok


masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik,
ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal maksudnya
adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga masyarakat.

1. Beberapa contoh konflik horisontal yang pernah terjadi di Indonesia


misalnya:
Konflik antar kampung/desa/wilayah karena isu etnis, isu aliran
kepercayaan, isu ekonomi (seperti rebutan lahan ekonomi pertanian,
perikanan, pertambangan) isu solidaritas (suporter olah raga,
kebanggaan group), isu ideologi dan isu sosial lainnya (tawuran antar
anak sekolah, antar kelompok geng).

1. Contoh peristiwa konflik vertikal misalnya: konflik ideologi untuk


memisahkan dari wilayah RI, konflik yang dipicu oleh perlakuan
tidak adil dari pemerintah berkaitan dengan pembagian hasil
pengolahan sumber daya alam, kebijakan ekonomi yang dinilai
merugikan kelompok tertentu, dampak pemekaran wilayah, dampak
kebijakan yang dinilai diskriminatif.
Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta, melainkan selalu
diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat,
yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan
akhirnya memuncak pecah menjadi konflik fisik akibat adanya faktor
pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik,
yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu
konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor
yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.

Dari pengamatan empiris, konflik masal lebih sering terjadi seiring


menggeloranya era reformasi yang dampaknya tidak hanya mengganggu
ketentraman dan kedamaian, melainkan juga cukup menghawatirkan
bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsaIndonesia. Beberapa
contoh konkrit masalah konflik yang cukup serius baik yang bersifat
vertical ataupun horisontal yang terjadi pada akhir-akhir ini antara lain:

1. Konflik yang bernuansa separatisme: konflik di NAD, Maluku, dan


Papua.
2. Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Kalbar, Kalteng, danAmbon.
3. Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, faham radikal.
4. Konflik yang benuansa politis: konflik akibat isu kecurangan Pilkada,
isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat
penyerangan dan pengrusakan.
5. Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di
selat Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi,
antar kelompok pedagang.
6. Konflik Sosial lainnya: konflik antar anak sekolah, mahasiswa,
7. Konflik bernuansa solidaritas liar: tawuran antar wilayah, antar
suporter sepak bola.
8. Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan
Achmadiyah, isu aliran sesat.
9. Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM, BOS, LPG. dsb.
Pemicu Konflik adalah peristiwa, kejadian atau tindakan yang dapat
menyulut sumber potensi konflik menjadi konflik yang nyata. Tanpa
adanya sumber potensi konflik, pada umumnya peristiwa yang terjadi di
suatu lokasi mudah diselesaikan dengan cepat dan tanpa menimbulkan
dampak yang meluas. Sebaliknya di lokasi yang memang sudah ada
endapan potensi konflik, peristiwa kecil dapat dengan cepat meluas dan
melibatkan konflik masal yang sangat sulit untuk diatasi. Dengan
demikian pemicu konflik pada dasarnya dapat berupa peristiwa
gangguan keamanan yang biasa atau bahkan sangat sederhana, namun
akibat dari

adanya kaitan dengan potensi yang mengendap tersebut, maka peristiwa


kecil justru sering dimanfaatkan oleh provokator untuk menyulut konflik
yang besar.

Dari kajian terhadap konflik-konflik besar yang telah terjadi di


Indonesia beberapa peristiwa yang telah menjadi pemicu konflik sangat
bervariasi, contohnya:

1. Pemicu konflik di Poso dan di Maluku yang berkepanjangan sampai


beberapa tahun, diawali oleh perkelahian antara seorang pemuda
dengan seorang pemuda beragama lain walaupun tinggalnya tidak
berjauhan.
2. Konflik masal antar wilayah di NTB, Jateng dan beberapa Wilayah
lainnya diawali oleh peristiwa pemukulan pemuda yang sedang
berkunjung rumah pacanya di wilayah tetangga.
3. Beberapa konflik masal di Papua diawali dengan peristiwa tindakan
keras oknum aparat terhadap warga masyarakatnya.
4. Pemicu konflik isu Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa
wilayah sering berawal dari tindakan petugas lapangan yang kurang
profesional.
5. Konflik bernuansa ekonomi antara kelompok pengemudi taxi sering
diawali dari saling rebutan penumpang.
Konflik masal dapat terjadi selain akibat dari peristiwa pemicu konflik
yang

masalahnya berkaitan dengan endapan potensi konflik seperti


disebutkan di atas, tindakan aparat yang kurang tepat atau kurang
profesional juga sering dianggap sebagai faktor yang mengakibatkan
terjadinya dan meluasnya konflik, contohnya:

1. Jumlah personil pengamanan unjuk rasa yang tidak berimbang


dengan jumlah massa, sering dinilai sebagai pemicu konflik, karena
dianggap memberi peluang bagi warga untuk melakukan tindakan
yang lebih berani karena dianggap tidak ada petugas yang dapat
menindak mereka.
2. Tindakan aparat yang ragu-ragu melakukan pelanggaran yang
dilakukan oleh massa, sehingga menambah keberanian pelanggar
melakukan tindakan yang lebih brutal.
3. Tindakan aparat yang berlebihan atau melakukan kekerasan,
sehingga memicu kemarahan massa.
4. Tindakan aparat yang memihak salah satu kelompok yang sedang
bersengketa.
5. Kelemahan intelijen yang tidak mampu mendeteksi adanya ancaman
yang akan terjadi, sehingga petugas yang dikerahkan tidak memadai.
6. Kelemahan mendeteksi provokator yang sering memanfaatkan
kekeruhan, sehingga provokator dapat berbuat bebas melakukan
agitasi terhadap massa.
Dari sisi eksternal, faktor pemberitaan yang tidak proporsional juga
sering memegang peranan yang mengakibatkan meluasnya atau semakin
maraknya konflik, antara lain sebagai berikut:

1. Pemberitaan yang membesar-besarkan masalah, memperuncing


perbedaan pendapat, membesarkan peristiwa kekerasan,
menayangkan korban, atau penyiaran berulangulang, sehingga
menggugah emosi atau solidaritas masing-masing pihak.
2. Pemberitaan yang menyudutkan aparat yang menangani peristiwa,
menonjolkan tindakan kekerasan yang tidak berimbang dengan
tindakan anarkhi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang
brutal.
3. Pemberitaan yang kurang bertanggungjawab terhadap dampak
negatif berita, karena hanya memburu rating tinggi dengan motto bad
news is good news.
Analisis permasalahan yang dapat menyemarakkan konflik atau masalah
yang dapat menghambat usaha memelihara kedamaian juga dapat
diarahkan kepada keadaan masyarakat yang kurang kondusif bagi upaya
penanggulangan konflik, antara lain sebagai berikut:

1. Melemahnya kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan seiring


dengan dampak maraknya semangat kedaerahan yang barangkali ini
merupakan salah satu kekeliruan dalam menafsirkan prinsip
desentralisasi dan otonomi daerah.
2. Eforia demokrasi yang mengarah kepada tuntutan kebebasan yang
serba boleh, sehingga lebih menonjolkan kepentingan kelompok dari
pada kepentingan umum.
3. Pengalaman sukses (success story) dari para tokoh situasional yang
terlahir dari situasi konflik, paling tidak menarik minat para
oportunis untuk memanfaatkan situasi konflik guna meningkatan
popularitas diri.
4. Peran pihak ketiga yang berkepentingan untuk memelihara konflik
yang berkepanjangan baik yang berasal dari dalam maupun luar
negeri.
UPAYA MENGATASI KONFLIK

Dewasa ini pada era globalisasi, secara teoritis, tidak mungkin ada
suatu bangsa yang homogen dan monolitis. Hanya terdiri dari satu etnis
atau satu agama. Globalisasi dengan salah satu wujudnya berupa free
trade, telah menciptakan ” bordeless world ”. Dunia tanpa batas. Karena
barang, modal, jasa dan manusia akan mengalir dari suatu negara ke
negara lain tanpa hambatan administrasi. Apalagi pada dasarnya
memang tidak ada negara satupun di dunia ini yang mampu hidup tanpa
bantuan negara lain. Jepang adalah negara industri yang kaya raya,
tetapi tidak mampu mengembangkan pertanian dan perkebunan.
Demikian juga dengan negara-negara di Timur Tengah yang kaya karena
minyak pasti memerlukan produk pertanian dan bahan makanan dari
negara lain. Uni Emirat Arab, sebagai negara terkaya nomor 8 di dunia,
dengan penduduk hanya sekitar 1,5 juta orang ternyata memiliki
penduduk asing sebesar 4 juta orang. Mereka datang ke Uni Emirat Arab
sebagai tenaga kerja, pedagang, pengajar di perguruan tinggi, konsultan
bangunan dan lain sebagainya. Tanpa pendatang dari negara lain Uni
Emirat arab tidak mungkin membangun negaranya menjadi negara yang
moderen seperti sekarang ini. Beberapa diantaranya adalah pelabuhan
moderen di Dubai, Hotel Burj Khalifa Dubai sebagai hotel tertinggi di
dunia ( 820 m ) dan kawasan balapan mobil Formula 1 di Abu Dhabi.
Hampir semua bangsa di dunia harus menerima kenyataan bahwa
negaranya tergantung kepada negara lain. Konsekuensinya mereka
terpaksa menerima kehadiran bangsa lain yang berbeda secara etnis,
agama maupun tradisi. Setelah ratusan tahun kemudian bangsa yang
tadinya homogen menjadi heterogen. Amerika yang mayoritas
berpenduduk Eropa dan Kristen harus hidup berdampingan dengan
penduduk berasal dari Afrika dan Asia yang beragama Islam. Sebaliknya
Malaysia yang mayoritas Melayu beragama Islam harus hidup
berdampingan dengan penduduk dari etnis Cina beragama Kristen .
Contoh heterogenitas dalam suatu negara ini masih dapat diperpanjang
lagi.

Dan heterogenitas adalah sumber konflik. Beberapa negara


mengalami perang saudara karena perbedaan etnis atau agama selama
bertahun-tahun dengan korban mencapai jutaan orang. Sebagai contoh
di Sudan, negara terbesar di Afrika, terjadi perang saudara ( civil war )
antara Sudan Utara ( penduduknya keturunan Arab dan mayoritas
Muslim ) dengan Sudan Selatan ( mayoritas berpenduduk asli Afrika
beragama Animisme dan Kristen ) selama lebih dari 15 tahun dan
diperkirakan memakan korban 2 juta jiwa. Melalui referendum, Sudan
selatan resmi menjadi negara baru sejak tanggal 9 Januari 2011.

Dawam Rahadjo ( 2010 ) menyatakan pembangunan yang


dilaksanakan dewasa ini termasuk kegiatan dalam rangka penanaman
modal asing, telah melahirkan masyarakat multikultur. Untuk itu ada
tiga perspektif yang harus disepakati. Pertama, bahwa negara harus
bersikap adil terhadap semua agama yang berbeda dan diasumsikan
mengandung potensi konflik. Kedua, harus ada semangat yang
mengedepankan kerukunan dalam pergaulan antar umat beragama.
Ketiga, perlu dibangun masyarakat yang terbuka yang mendorong
kemajuan bagi umat beragama dan masyarakat itu sendiri.

Menyelesaikan konflik pada dasarnya dapat melalui 2 ( dua ) cara :

1. Mengeliminasi konflik ( conflict elimination )


2. Mengelola konflik ( conflict management )
Pada cara yang pertama, konflik diselesaikan dengan cara mengeliminasi
konflik berupa pemisahan orang-orang yang konflik pada wilayah yang
berbeda. Kasus Sudan diatas termasuk cara ini. Antara mereka yang
konflik sebenarnya tidak ada upaya perdamaian. Perseteruan antara
kedua pihak tetap berlangsung tetapi tidak ada konflik karena mereka
dipisahkan dalam wilayah yang berbeda. Kasus Pakistan yang
memisahkan diri dari India termasuk cara pertama. Demikian juga
kasus pecahnya Yugoslavia menjadi beberapa negara, yaitu Serbia,
Kroasia, Bosnia Herzegovina, Macedonia dan Slovenia. Mereka yang
konflik mendirikan negara sendiri sesuai etnis dan agama yang dianut.

Pada cara yang kedua, mereka yang konflik tetap berada di suatu
wilayah yang sama. Tetapi mereka mulai berdialog, membuat
kesepakatan dan menghormati perbedaan. Mereka menyadari
kemajemukan tidak harus disertai konflik tetapi harus saling toleransi
sehingga terwujud kehidupan yang penuh kedamaian. Inilah yang terjadi
di Swiss, yang memiliki 3 etnis, 3 bahasa dan 3 tradisi tetapi dapat hidup
berdampingan tanpa harus konflik. Cara ini pulalah yang diupayakan di
Indonesia. Keberagaman etnis, suku bangsa dan agama diupayakan
dapat hidup bersama dalam kerukunan dan perdamaian. Kunci dari cara
yang kedua ini adalah masing-masing pihak yang bertikai memiliki
kesadaran akan pentingnya wawasan kebangsaan sebagai bangsa yang
satu dan bertanah air satu. Meskipun beraneka ragam tetapi tetap
bersatu.

Setiap warganegara harus menyadari bahwa konflik horisontal, yg


disertai kekerasan karena perbedaan yg bersumber dari kemajemukan
dapat melemahkan persatuan bangsa dan menghambat pembangunan
nasional.

Konflik terjadi karena memudarnya nilai2 dasar bermasyarakat seperti


religiusitas, musyawarah–mufakat, tenggang rasa, menghargai
perbedaan dll.

Konflik horisontal dapat mengarah kepada disintegrasi nasional,


separatisme dan mengancam keutuhan NKRI

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005,


pengelolaan keragaman budaya di Indonesia dapat dilakukan dengan :

1. Pelaksanaan dialog antar budaya yg terbuka dan demokratis.


2. Pengembangan multikultural dalam rangka meningkatkan toleransi
dalam

masyarakat.

3.Membangun kesadaran hidup multikultural menuju terciptanya


keadaban

Dalam rangka memahami keragaman budaya, setiap manusia Indonesia


harus mampu memahami nilai – nilai kultural yg berbeda dengan nilai –
nilai pribadi. Kemudian sebaiknya dapat mensinergikan keragaman
budaya & melakukan komunikasi lintas budaya serta berusaha untuk
menyesuaikan diri & menghormati sistem budaya lain.

Menurut Thomas Hobbes dan John Locke, manusia tidak akan dapat
bertahan hidup karena pada dasarnya sumber kehidupan itu terbatas.
Jadi perlu dibatasi dengan aturan bersama kalau tidak akan terjadi
pertikaian antar sesama manusia atau “War of All Against All” dan
manusia dapat menjadi srigala bagi manusia lainnya atau “Homo
Homini Lupus”. Manusia sbg mahluk sosial memang memiliki hak asasi
dari alam : Life, liberty and property. Tetapi kebebasan tersebut harus
ada batasnya ketika manusia harus hidup bersama dengan manusia
lainnya. Pembatasan Justru untuk menjamin dan menghidupi
Kebebasan Individual. Dan pada gilirannya akan muncul masyarakat yg
demokratis dimana negara melayani aspirasi dan kepentingan yg
beragam untuk menjamin kebebasan individual.
Sementara itu Rousan Sean menyatakan bahwa sebuah negara
terbentuk karena ada kesepakatan antara pihak – pihak yg berbeda
kepentingannya. Kemudian setiap orang yang ingin kepentingannya
terjamin menyerahkan kemerdekaan yg dimiliki sejak lahir kepada
organisasi yg dibentuk bersama yang disebut negara. Dalam hal ini
negara adalah organisasi yg berkuasa yang disepakati untuk mengatur
kehidupan bersama. Untuk itu setiap negara perlu melakukan apa yang
disebut sebagai ”nation building ” karena selalu ada kelompok
masyarakat yg terikat dalam loyalitas kelompoknya sehingga muncul
konflik kepentingan. Negara harus melakukan intervensi untuk
mengintegrasikan kelompok – kelompok masyarakat yang beragam.
Namun dengan tetap menghormati karakteristik yg dimiliki kelompok
tersebut ( agama, adat istiadat, dsbnya )
Masalah yang dihadapi setiap agama adalah bagaimana menyatukan
identitas dan karakteristik yg berbeda menjadi identitas bersama yaitu
identitas nasional.
Michael Walzer berpendapat bahwa keberagaman dapat diatas ketika
setiap warganegara memiliki toleransi. Dalam hal ini Walzer
berpendapat bahwa toleransi merupakan salah satu ukuran peradaban
sebuah bangsa. Makin tinggi tingkat toleransi sebuah bangsa maka
makin tinggi tingkat keadabannya. Toleransi merupakan nilai yang
harus dibudayakan dalam ruang individu dan ruang publik, karena salah
satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai dalam kerbedaan
kelompok

Walzer juga berpendapat bahwa toleransi harus berimplikasi pada sikap,


antara lain sikap menerima perbedaan, mengubah homogenitas menjadi
heterogenitas, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang
lain dan mengawal secara serius perbedaan budaya dan keragaman
ciptaan Tuhan (multikulturalisme ).

Sedangkan Nurcholish Majid berpendapat sikap penuh pengertian


kepada orang lain diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yakni
masyarakat yang tidak monolitik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan
masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk
umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama
dan sebangun dalam segala segi.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Azyumardi Azra berpendapat bahwa
pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan
sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima
kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari – hari. Pluralisme tidak
bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan
masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap tulus
untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif dan
merupakan rahmat Tuhan.

Berkaitan dengan masih banyaknya kejadian yang merupakan konflik


horisontal , terutama antar umat beragama dan interen umat beragama,
Imam Taufiq, Sekretaris MUI Jawa Tengah mengatakan bahwa
kekerasan atas nama agama tidak dapat dibenarkan dan masalah
perbedaan harus diselesaikan dengan cara-cara damai dan beradab.
Agama semestinya dikembalikan menjadi landasan untuk hidup lebih
damai. Untuk itu peran ulama dan pemimpin umat beragama cukup
strategis dalam mewujudkan kerukunan dan kedamaian di masyarakat.
Hal ini sama dengan himbauan Bapak Presiden Susilo Bambang
Yudoyono yang menghimbau kepada setiap warganegara Indonesia
untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang bersumber dari
perbedaan dapat diselesaikan secara damai dan konstitusional. Artinya
tanpa mencederai orang lain, tanpa merusak fasilitas publik apalgi
sampai merampas hak orang lain untuk hidup.

Kemudian secara konstitusional berarti bahwa kita harus merujuk


kepada ketentuan dalam UUD 1945. Dalam pasal 28 tentang Hak Asasi
Manusia disebutkan antara lain :

l Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup


dan kehidupannya ( pasal 28A )

l Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut


agamanya ( pasal 28E )

l Setiap orang berhak untuk tidak disiksa dan berhak tidak diperlakukan
secara diskriminatif (28 I )

l Penegakkan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara dan


setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia ( 28 J ).

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa :

1. Masyarakat yg heterogen (majemuk) pada dasarnya selalu rawan


konflik
2. Konflik horisontal yang terjadi di Indonesia berasal dari
kemajemukan suku, agama ras dan golongan.
3. Konflik horisontal dapat diatasi ketika setiap warga masyarakat
mengedepankan toleransi, menghargai perbedaan dan mau
menerima kemajemukan sebagai kenyataan dan rahmat Tuhan.
4. Kunci dari upaya menghilangkan konflik adalah mau berdialog dan
tetap memiliki semangat Bhineka Tunggal Ika

[1] . Makalah disampaikan pada acara Sosialisasi Wawasan Kebangsaan


yang diselenggarakan oleh LP4D dan Badan Kesbangpolinm
https://guruppkn.com/cara-merawat-kemajemukan-bangsa-indonesia

7 Cara Merawat Kemajemukan


Bangsa Indonesia
Kemajemukan sebenarnya bisa menjadi satu kekuatan untuk menguatkan bangsa, dan
juga sebaliknya, kemajemukan bisa juga menjadi ancaman yang bisa menjadi
malapetaka yang bisa menggerus integrasi bangsa, jika tidak dirawat sebaik-baiknya.
Indonesia merupakan negara besar, yang dibangun diatas pondasi kemajemukan, yang
menjadi penyebab terciptanya masyarakat majemuk dan multikultural meliputi Ras,
Suku, Bahasa, Budaya, Agama maupun golongan yang sangat beragam. Oleh karena
itu, tak heran jika bangsa Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat rawan
terjadinya konflik horisontal, yaitu konflik yang terjadi antar sesama warga negara
Indonesia itu sendiri.

Kita tahu bahwa segala macam bentuk konflik yang membawa atas dasar kepentingan
Suku, Agama, Ras dan Antar golongan, itulah yang biasanya kita kenal dengan sebutan
SARA. Sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari format hubungan masyarakat
yang tidak harmonis. Merawat kemajemukan memang susah-susah gampang, susah
tetapi tidak sesulit memindah gunung dan mudah tak segampang membalikan telapak
tangan. Nah, artikel ini akan membahas bagaimana caranya merawat kemajemukan
bangsa Indonesia.

Berikut adalah Cara merawat kemajemukan bangsa Indonesia :

1. Menghormati perbedaan

Dalam kehidupan sosial berbangsa perbedaan adalah lumrah, tetapi perbedaan


bukanlah halangan untuk terus bersatu, dan bukan pula alasan pembenar untuk
berpisah. Semua warga negara yang mendiami Indonesia sudah seharusnya menyadari
perbedaan itu, baik berbeda suku, ras, agama, dan golongan. Kita tidak harus
memaksakan untuk menjadi sama, karena kita sama-sama memahami bahwa negara
Indonesia lahir diatas perbedaan. Tidak ada lagi yang merasa sukunya paling hebat,
dan tidak ada lagi ceritanya memaksakan kebenaran atas dalil kebenaranya sendiri.

Coba kita tengok kebelakang seperti peristiwa Ambon, Poso, Madura, dan yang paling
anyar kerusuhan Tolikora. Semua peristiwa itu seharusnya tak perlu terjadi jika kita
sama-sama meghormati perbedaan. Sudah tak terhitung lagi, berapa ratus jiwa yang
harus gugur sia-sia atas nama perbedaan di negara yang katanya ‘Berbeda tetap satu’
ini. Oleh karena itu, sekarang saatnya berangkulan, dan kita sebagai warga negara
sama-sama menjunjung toleransi antar sesama dan menghormati perbedaan.

2. Memelihara Hak dan Kewajiban Umat Beragama


Sudah banyak sekali kekarasan berdalih agama, kekerasan ini sebenarnya berangkat
dari ruang keegoisan yang menganggap golongannya sendiri paling benar. Indonesia
sendiri secara terbuka mengakui 5 agama sebagai agama resmi masyarakatnya, oleh
sebab itu, antar sesama umat beragama sudah sepantasnya saling menghormati
dengan sama-sama memberikan ruang untuk menjalankan hak dan kewajiban sebagai
pemeluk agama yang taat dan mematuhi berbagai macam macam norma.

3. NKRI lebih utama dari apapun

Semua golongan, ras, agama dan suku tentulah memiliki kepentingan, akan tetapi
kepentingan Negara harus selalu diprioritaskan, karena adanya Indonesia bukanlah
warisan dari nenek moyang sebelah pihak semata, bukan warisan dari suku A maupun
suku B, akan tetapi Indonesia lahir dari rahim perjuangan berdarah, yang darinya
(founding father) mereka rela melepas jubah dan bendera golongannya masing-masing
demi tegak dan kokohnya Indonesia. Jadi, sekarang sudah waktunya
mengesampingkan kepentingan golongan, karena kepentingan Negara Kesatuan
Republik Indonesia inilah yang paling utama dari kepentingan apapun.

4. Genggam Erat Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika sebagai motto bangsa kita tempatkan bukan menjadi penghias
lambang negara belaka. Bhinneka tunggal ika harus tetap digenggam seerat-eratnya,
untuk menjaga keharmonisan sosial. Walaupun kita tercipta diatas perbedaan tetapi
tetaplah mempunyai satu tujuan yang sama, satu cita-cita yang sma, dengan
menciptakan satu keharmonisan hidup. Untuk mewujudkan itu, falsafah ini harus benar-
benar dipegang kuat dan dipahami oleh masyarakat, dengan memanifestasikanya
dalam bentuk nyata setiap hari. Perbedaan dari kelompok minoritas tidak harus selalu
dikerdilkan dengan menghakimi sesuka hati, tetapi semuanya harus di rangkul menjadi
satu kekayaan dalam ruang kebhinnekaan.

5. Daya Paksa Pemerintah

Sebagai otoritas tertinggi dari negara, peran turut serta pemerintah untuk merawat
kemajemukan juga sangat dibutuhkan. pemerintah di tuntut untuk menciptakan suatu
kebijakan yang jelas, bersifat mengikat, yang mampu menjadi daya paksa masyarakat.
Sehingga antara kebijakan pemerintah dan kesadaran masyakat menjadi satu pondasi
yang kokoh untuk membentengi terjadinya konflik dan penyebab terjadinya tindakan
penyalahgunaan kewenangan. Pemerintah harus tegas dan jelas, dengan menutup
celah yang bisa digunakan oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan
kekerasan berdalih penyelamatan suku maupun agama.

6. Kesadaran Masyarakat

Manakala terjadi konflik horisontal sebenarnya musuh yang akan di hadapi sejatinya
adalah saudara-saudara kita setanah dan air yang sama, maka kepedulian masyarakat
teramat penting untuk sama-sama memberikan kesadaran, sehingga tercipta satu
tatanan kehidupan sosial yang aman raharja, tanpa harus dibayang-bayangi ketakutan
konflik saudara.
Itu bisa diterapkan seandainya tumbuh kesadaran penuh dari masyarakat tentang
pentingnya menanamkan nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Serta merawat dan
menggenggam kebhinnekaan dalam bingkai Indonesia dan menghindaripenyebab
lunturnya bhinneka tunggal ika.

7. Hilangkan Semangat Sekterian

Semangat sekterian harus dihilangkan karena itu hanya akan memunculkan ambisi
sesaat dan berkutat di kebenaran relatif, justru yang harus digenggam adalah semangat
ke-Indonesia-an dengan merawat kemajemukan menjadi kekayaan bangsa.

Itulah tujuh cara merawat kemajemukan. Diatasa tanah dan air yang kita sepakati
bernama Indonesia inilah harusnya kita patut bersyukur diberikan modal luar biasa
beruapa keberagaman dan perbedaan dengan terbentang beraneka macam suku,
agama, ras, budaya, bahasa, dan etnis yang semuanya bisa menjadi kekayaan luar
biasa, jika disikapi dengan arif dan bijaksana

Anda mungkin juga menyukai