http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info_5_1_0604/isi_5.htm - 121k
Industri primer pengolahan hasil hutan merupakan salah satu penyumbang limbah cair
yang berbahaya bagi lingkungan. Bagi industri-industri besar, seperti industri pulp dan kertas,
teknologi pengolahan limbah cair yang dihasilkannya mungkin sudah memadai, namun tidak
demikian bagi industri kecil atau sedang. Namun demikian, mengingat penting dan besarnya
dampak yang ditimbulkan limbah cair bagi lingkungan, penting bagi sektor industri kehutanan
untuk memahami dasar-dasar teknologi pengolahan limbah cair.
Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian
lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan air limbah domestik maupun industri yang
dibangun harus dapat dioperasikan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi
pengolahan yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan teknologi masyarakat yang
bersangkutan.
Berbagai teknik pengolahan air buangan untuk menyisihkan bahan polutannya telah
dicoba dan dikembangkan selama ini. Teknik-teknik pengolahan air buangan yang telah
dikembangkan tersebut secara umum terbagi menjadi 3 metode pengolahan:
1. pengolahan secara fisika
2. pengolahan secara kimia
3. pengolahan secara biologi
Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat
diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi.
Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi
rendah dapat dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2), kalsium permanganat,
aerasi, ozon hidrogen peroksida.Pada dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan
pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal karena memerlukan
bahan kimia.
Dalam prakteknya saat ini, teknologi pengolahan limbah cair mungkin tidak lagi
sesederhana seperti dalam uraian di atas. Namun pada prinsipnya, semua limbah yang
dihasilkan harus melalui beberapa langkah pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan
atau kembali dimanfaatkan dalam proses produksi, dimana uraian di atas dapat
dijadikan sebagai acuan.
Pencemaran
Pencemaran, menurut SK Menteri Kependudukan Lingkungan Hidup No
02/MENKLH/1988, adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam air/udara, dan/atau berubahnya tatanan (komposisi)
air/udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi
kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Untuk
mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas industri
dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap pencemaran
lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan
adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan pencemar terdapat di
lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuhan
atau benda lainnya.
Pada saat ini, pencemaran terhadap lingkungan berlangsung di mana-mana dengan
laju yang sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan sudah
semakin berat dengan masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia termasuk
logam berat.
Pencemaran lingkungan dapat dikategorikan menjadi:
Pencemaran air
Pencemaran udara
Pencemaran tanah
Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang
kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan
karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri
dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu,
kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi
kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat
bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan
karakteristik limbah.
Karakteristik limbah:
1. Berukuran mikro
2. Dinamis
3. Berdampak luas (penyebarannya)
4. Berdampak jangka panjang (antar generasi)
1. Volume limbah
2. Kandungan bahan pencemar
3. Frekuensi pembuangan limbah
1. Limbah cair
2. Limbah padat
3. Limbah gas dan partikel
4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Untuk mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada
dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian.
2. Perubahan warna, bau dan rasa Air normak dan air bersih tidak akan berwarna,
sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal tersebut
merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air
lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat
berasal darilimba industri atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup
dalam air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau
sehingga mengubah rasa.
3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut Endapan, koloid dan bahan terlarut
berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang
berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendapdidsar sungai, dan yang
larut sebagian akan menjadi koloid dan akan menghalangibahan-bahan organik yang
sulit diukur melalui uji BOD karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun
dapat diukur menjadi uji COD. Adapun komponen pencemaran air pada umumnya
terdiri dari :
Pembuangan air limbah baik yang bersumber dari kegiatan domestik (rumah
tangga) maupun industri ke badan air dapat menyebabkan pencemaran lingkungan
apabila kualitas air limbah tidak memenuhi baku mutu limbah. Sebagai contoh, mari
kita lihat Kota Jakarta. Jakarta merupakan sebuah ibukota yang amat padat sehingga
letak septic tank, cubluk (balong), dan pembuangan sampah berdekatan dengan
sumber air tanah. Terdapat sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa 285 sampel
dari 636 titik sampel sumber air tanah telah tercemar oleh bakteri coli. Secara
kimiawi, 75% dari sumber tersebut tidak memenuhi baku mutu air minum yang
parameternya dinilai dari unsur nitrat, nitrit, besi, dan mangan.
Trickling filter. Sebuah trickling filter bed yang menggunakan plastic media.
Bagaimana dengan air limbah industri? Dalam kegiatan industri, air limbah
akan mengandung zat-zat/kontaminan yang dihasilkan dari sisa bahan baku, sisa
pelarut atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal, pencucian dan pembilasan
peralatan, blowdown beberapa peralatan seperti kettle boiler dan sistem air pendingin,
serta sanitary wastes. Agar dapat memenuhi baku mutu, industri harus menerapkan
prinsip pengendalin limbah secara cermat dan terpadu baik di dalam proses produksi
(in-pipe pollution prevention) dan setelah proses produksi (end-pipe pollution
prevention). Pengendalian dalam proses produksi bertujuan untuk meminimalkan
volume limbah yang ditimbulkan, juga konsentrasi dan toksisitas kontaminannya.
Sedangkan pengendalian setelah proses produksi dimaksudkan untuk menurunkan
kadar bahan peencemar sehingga pada akhirnya air tersebut memenuhi baku mutu
yang sudah ditetapkan.
Dalam pengolahan air limbah itu sendiri, terdapat beberapa parameter kualitas
yang digunakan. Parameter kualitas air limbah dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu parameter organik, karakteristik fisik, dan kontaminan spesifik. Parameter
organik merupakan ukuran jumlah zat organik yang terdapat dalam limbah. Parameter
ini terdiri dari total organic carbon (TOC), chemical oxygen demand (COD),
biochemical oxygen demand (BOD), minyak dan lemak (O&G), dan total petrolum
hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik dalam air limbah dapat dilihat dari parameter
total suspended solids (TSS), pH, temperatur, warna, bau, dan potensial reduksi.
Sedangkan kontaminan spesifik dalam air limbah dapat berupa senyawa organik atau
inorganik.
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan
pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba
patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang
terdapat di alam. Pengolahan air limbah tersebut dapat dibagi menjadi 5 (lima) tahap:
Pemilihan Teknologi
Bottomline, perlu kita semua sadari bahwa limbah tetaplah limbah. Solusi
terbaik dari pengolahan limbah pada dasarnya ialah menghilangkan limbah itu sendiri.
Produksi bersih (cleaner production) yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi,
dan menghilangkan terbentuknya limbah langsung pada sumbernya di seluruh bagian-
bagian proses dapat dicapai dengan penerapan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan
teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan perilaku manajemen.
Treatment versus Prevention? Mana yang menurut teman-teman lebih baik?? Saya
yakin kita semua tahu jawabannya. Reduce, recyle, and reuse.
Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada
pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang
stabil dan mudah menguap
Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan
flokulasi
Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan
dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa
lumpur dari hasil proses tersebut
Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan
digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan
cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn
serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan
dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri
klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran
bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam
berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar
lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap
yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat
dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak
ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan
dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar
teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi
terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat
menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula
berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani
proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya
manusianya
peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan
Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat
memenuhi standar
Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling
populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan
incineration.
1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning.
TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
o menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam
lumpur
o mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
o mendestruksi organisme patogen
o memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih
memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada
proses digestion
o mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam
keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
6. Concentrationthickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah
dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan
pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini
pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya
pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity
thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan
proses flotation pada tahapan awal ini.
Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan
menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses
pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia
berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan
partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan
bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian
secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan
reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning,
anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation,
chemical conditioning, dan elutriation.
1. De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur.
Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan
filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press,
centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
2. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses
yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air
oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3
umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization
juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum
stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah
dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju
migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas
limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses
pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua
proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai
arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan
mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
3. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam
limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
4. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation
tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal
pada tingkat mikroskopik
5. Precipitation
6. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara
elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
7. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
8. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan
hilang sama sekali
7. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam
teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa
limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini
sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena
pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata
ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi
dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana
sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah
berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif
kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating
value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan
berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan
banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator
yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary
kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple
chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis
insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut
dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
Penanganan Limbah B3
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik
harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan
limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas
2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak
antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat
dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung
dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik,
terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem
penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan
penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan
keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan
teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat
pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug)
dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci
mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1)
secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay
liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang
ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan
dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan
pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas
dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi
geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung
penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk
tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan
kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah
secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh
dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat
sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes).
Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3
ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki
kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan
menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan
dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi
wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah
lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan
impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah
tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan
tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa
jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi
penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang
dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi,
bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas
dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3
ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan
oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara
vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan
sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di
atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya
dan beracun.
Teknologi Membran
Teknologi membran telah menjadi topik hangat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Hal itu mungkin dipicu fakta bahwa pemisahan dengan membran memiliki banyak
keunggulan yang tidak dimiliki metode-metode pemisahan lainnya. Keunggulan
tersebut yaitu pemisahan dengan membran tidak membutuhkan zat kimia tambahan
dan juga kebutuhan energinya sangat minimum. Membran dapat bertindak sebagai
filter yang sangat spesifik. Hanya molekul-molekul dengan ukuran tertentu saja yang
bisa melewati membran sedangkan sisanya akan tertahan di permukaan membran.
Selain keunggulan-keunggulan yang telah disebutkan, teknologi membran ini
sederhana, praktis, dan mudah dilakukan.
Definisi
Membrane separation yaitu suatu teknik pemisahan campuran 2 atau lebih komponen
tanpa menggunakan panas. Komponen-komponen akan terpisah berdasarkan ukuran
dan bentuknya, dengan bantuan tekanan dan selaput semi-permeable. Hasil pemisahan
berupa retentate (bagian dari campuran yang tidak melewati membran) dan permeate
(bagian dari campuran yang melewati membran).
Struktur Membran
Reverse Osmosis
Salah satu teknologi membran yang banyak digunakan saat ini yaitu reverse osmosis
(RO). Proses ini merupakan kebalikan dari osmosis. Pada osmosis, pelarut berpindah
dari daerah berkonsentrasi rendah (hipotonik) ke daerah berkonsentrasi tinggi
(hipertonik) sehingga konsentrasi di kedua daerah menjadi berimbang. Proses ini
terjadi secara alami sehingga tidak membutuhkan energi. Contoh osmosis yang terjadi
di alam yaitu penyerapan air oleh akar tanaman. Berbeda dengan osmosis, RO terjadi
dengan arah yang berlawanan yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.
Untuk melawan gradien konsentrasi, dibutuhkan energi eksternal berupa tekanan.
Menurut Ir. Teuku Zulkarnain, MT, kandidat doktor teknik lingkungan Institut
Teknologi Bandung, Keunggulan RO yang paling superior dibandingkan metode-
metode pemisahan lainnya yaitu kemampuan dalam memisahkan zat-zat dengan berat
molekul rendah seperti garam anorganik atau molekul organik kecil seperti glukosa
dan sukrosa. Keunggulan lain dari RO ini yaitu tidak membutuhkan zat kimia, dapat
dioperasikan pada suhu kamar, dan adanya penghalang absolut terhadap aliran
kontaminan, yaitu membran itu sendiri. Selain itu, ukuran penyaringannya yang
mendekati pikometer, juga mampu memisahkan virus dan bakteri.
Teknologi RO cocok digunakan dalam pemurnian air minum dan air buangan. Di
bidang industri, teknologi RO dapat digunakan untuk memurnikan air umpan boiler.
Selain itu, Karena kemampuannya dalam memisahkan garam-garaman, teknologi
reverse osmosis cocok digunakan dalam pengolahan air laut menjadi air tawar
(desalinasi). Pengolahan ini terdiri dari beberapa tahap:
Selain untuk desalinasi, RO juga digunakan dalam dialisis untuk proses cuci
darah penderita penyakit ginjal. Ginjal berfungsi sebagai penyaring darah terhadap
pengotor-pengotor hasil metabolisme tubuh seperti urea, yang kemudian dikeluarkan
melalui urin. Mesin dialisis berfungsi sebagai “ginjal” tersebut. Darah dikeluarkan dari
tubuh menuju mesin dialisis yang di dalamnya terdapat membran. Darah yang telah
melewati membran dikembalikan lagi ke dalam tubuh.
Secara umum, pengelolaan limbah nuklir yang lazim digunakan oleh negara-
negara maju meliputi tiga pendekatan pokok yang bergantung pada besar kecilnya
volume limbah, tinggi rendahnya aktivitas zat radioaktif yang terkandung dalam limbah
serta sifat-sifat fisika dan kimia limbah tersebut. Tiga pendekatan pokok itu meliputi:
Limbah nuklir dipekatkan dan dipadatkan yang pelaksanaannya dilakukan
dalam wadah khusus untuk selanjutnya disimpan dalam jangka waktu yang
cukup lama. Cara ini efektif untuk menangani limbah nuklir cair yang
mengandung zat radioaktif beraktivitas sedang dan atau tinggi
Limbah nuklir disimpan dan dibiarkan meluruh dalam tempat penyimpanan
khusus sampai aktivitasnya sama dengan aktivitas zat radioaktif lingkungan.
Cara ini efektif bila dipakai untuk pengelolaan limbah nuklir cair atau padat
yang beraktivitas rendah dan berwaktu paruh pendek.
Limbah nuklir diencerkan dan didispersikan ke lingkungan. Cara ini efektif
dalam pengelolaan limbah nuklir cair dan gas beraktivitas rendah (Sofyan,
1998)
Pada PLTN sebagian besar limbah yang dihasilkan adalah limbah aktivitas
rendah (70 – 80%). Sedangkan limbah aktivitas tinggi dihasilkan pada proses daur
ulang elemen bakar nuklir bekas, sehingga apabila elemen bakar bekasnya tidak didaur
ulang, limbah aktivitas tinggi ini jumlahnya sangat sedikit. Penangan limbah
radioaktif aktivitas rendah, sedang maupun aktivitas tinggi pada umumnya mengikuti
tiga prinsip, yaitu :
Memperkecil volumenya dengan cara evaporasi, insenerasi,
kompaksi/ditekan.
Mengolah menjadi bentuk stabil (baik fisik maupun kimia) untuk
memudahkan dalam transportasi dan penyimpanan.
Menyimpan limbah yang telah diolah, di tempat yang terisolasi
Selain itu terdapat juga dua pendekatan utama dalam pengelolaan limbah
radioaktif yaitu pendekatan “Dilute and Disperse” dan pendekatan “Concentrate and
Contain”. Pada pendekatan Dilute and Disperse, limbah yang mengandung
radionuklida dengan konsentrasi rendah di buang secara langsung ke lingkungan.
Pembuangan atau pelepasan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui atmosfer
(material gas dan partikulat kasar) dan air pada lingkungan perairan maupun lingkungan
air tawar (cairan, substansi terlarut dan suspended solid). Biasanya dalam fase cair dan
gas yang disebut juga sebagai effluen. Keuntungan pendekatan Dilute and Disperse
adalah dimungkinkan untuk melakukan verifikasi dan kontrol. Pada pendekatan
Concentrate and Contain, limbah dalam fase padat di isolasi dari lingkungan manusia
untuk meminimalkan paparan yang mungkin terjadi. Untuk kasus radionuklida umur
pendek (hanya beberapa tahun), dimungkinkan untuk mengisolasi limbah di tempat
penyimpanan yang aman sampai waktu peluruhan radioaktif berkurang ke level kurang
berbahaya. Hal tersebut berlaku juga untuk limbah radionuklida dalam bentuk cair dan
gas. Limbah yang mengandung radionuklida dengan waktu paruh yang lama dalam
jumlah besar, harus di isolasi ke tempat penyimpanan (repository). Berbagai alternatif
harus di identifikasi dan diperhitungkan termasuk ketersediaan modal, operasional,
biaya perawatan, penerapan pengelolaan limbah, dan efek yang diberikan baik secara
individual maupun kolektif terhadap masyarakat dan pekerja (Cooper,2003)
Limbah radioaktif dihasilkan dalam fase gas, cair dan padatan melalui proses
industri termasuk listrik yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga nuklir. International
Atomic Energy Agency (IAEA) mengeluarkan 9 prinsip pengelolaan limbah radioaktif,
yaitu:
1. Limbah radioaktif harus dikelola dengan tingkat keamanan yang dapat melindungi
kesehatan manusia dan lingkungan
2. Limbah radioaktif harus dikelola dalam hal memberikan level yang dapat diterima guna
perlindungan lingkungan
3. Limbah radioaktif harus dikelola untuk menjamin bahwa efek yang mungkin terjadi
pada kesehatan manusia diluar batas standar nasional, turut diperhitungkan
4. Limbah radioaktif harus dikelola dalam memberikan prediksi bahwa dampak terhadap
kesehatan generasi masa depan tidak lebih besar dari yang sekarang di terima
5. Limbah radioaktif hars dikelola dengan cara tertentu yang tidak memberikan pengaruh
atau akibat fatal pada generasi berikutnya
6. Limbah radioaktif harus dikelola dengan tujuan yang sesuai frame work nasinal
termasuk pembagian tanggung jawab dan provisi untuk fungsi kelembagaan
independen.
7. Limbah radioaktif yang dihasilkan harus minimum practicable.
8. Keterkaitan antara seluruh tahapan dalam menghasilkan limbah radioaktif serta
pengelolaannya harus dapat diukur atau diperhitungkan.
9. Keamanan fasilitas yang digunakan dalam pengelolaan limbah radioaktif harus
dipastikan selama masa lifetime (Cooper, 2003)
Akan tetapi pelaksanaan 9 prinsip pengelolaan limbah radioaktif tersebut tidak lepas
dari aturan perundangan yang berlaku di Indonesia sehingga butuh adaptasi sebelum
adanya aplikasi.
Ion exchange merupakan proses reaksi kimia bersifat reversibel dimana suatu ion
(atom atau molekul) yang telah hilang atau memperoleh suatu elektron dan dengan
demikian memperoleh suatu muatan elektrik dalam larutan yang digantikan dengan ion
yang bermuatan sama dari partikel butir padat immobile. Partikel padat ion exchange
ini bisa dalam bentuk anorganik zeolit (alami) dan juga sintetik dalam bentuk resin
organik. Resin organik buatan merupakan jenis yang banyak digunakan saat ini, sebab
memiliki karakteristik yang dapat dikhususkan pada aplikasi spesifik.