Anda di halaman 1dari 29

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PERIODE MEI 2018-2019

MINI PROJECT

GAMBARAN FAKTOR TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN


STUNTING ANAK USIA BAWAH LIMA TAHUN DI WILAYAH
KERJA UPT PUSKESMAS KETAPANG KABUPATEN
LAMPUNG SELATAN
TAHUN 2018

Disusun oleh:

dr. Rully Febri Anggoro

Pembimbing:

dr. Wirza Rahmi

UPTD PUSKESMAS KETAPANG


KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
PROVINSI LAMPUNG
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Syukur Alhamdulillah penulis persembahkan Khadirat ALLAH SWT yang telah

melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan miniproject ini yang berjudul

“gambaran faktor pendidikan dengan kejadian stunting anak usia bawah lima tahun (balita)

di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten lampung selatan tahun 2018”.

Shalawat serta salam juga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW

yang telah membimbing umat manusia dari masa Jahiliyah ke masa yang penuh dengan ilmu

pengetahuan.

Penulisan penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

tugas miniproject dokter internship. Penulis menyadari dalam penulisan miniproject ini,

banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak yang sudah banyak membantu

dalam menyelesaikan tugas ini.

Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan penulisan

miniproject ini masih mempunyai banyak kekurangan. Somoga dapat bermanfaat bagi kita

semua. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ketapang, September 2018

Penulis

dr. Rully Febri Anggoro


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………..…i

DAFTAR ISI ………………………………………………………….................. ii

DAFTAR TABEL …………………………………………………….................. iv

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………..... v

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………..… 1

1.2 Rumusan Masalah …………….………….….……………….……..…… 2

1.3 Tujuan ………………………………………………………...…………. 3

1.4 Manfaat …………………………………………………….…….……… 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………...………………...…………… 5

2.1 Stunting ………………………………….…………………...………… 5

2.1.1 Pengertian ……………………………..……………………...... 5

2.1.2 Patofisiologi ………………..………………...…………………..... 6

2.1.3 Patogenesis dan etiologi…………………………………………. 7

2.1.4 Dampak Stunting ………………..……………………………… 9

2.1.5 Penilaian status gizi secara antropometri …………..…………… 10

2.1.6 Indeks tinggi badan menurut umur…….………………………… 12

2.2 Pendidikan….………………...…………………………………………. 12

2.2.1 Pengertian …………… ………………………….……………….. 14

2.2.2 Lembaga Pendidikan ……………………………….…………….. 16

2.2.3 Tingkat Pendidikan ………… …………………………………….. 17

2.2.4 Hubungan Pendidikan dengan kejadian stunting ………………..… 18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………. 20

3.1 Rancangan Penelitian ………………………………...………………… 20


3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ……………………...………………… 21

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………...……………………… 21

3.4 Pelaksanaan Pengumpulan Data ……………………..………………… 21

3.4.1 Pengumpulan Data ………………………………...…………… 21

3.4.2 Pengisian Kuisioner ……………………….…………………… ..... 21

3.4.3 Penyusunan kuisioner …………………...……………………… 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……………….……………………… 23

4.1 Pengolahan Data ………………………………………...……………… 23

4.1.1 Metode Pengolahan Data ………………………………………… 23

4.1.2 Pengolahan Data ………………………………...……………… 24

4.2 Hasil Survei Kepuasan Pasien ……………………..……………………26

4.3 Nilai Survei Kepuasan Masyarakat ………….………………………… 27

4.4 Pembahasan …………………………………………………………….. 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………...………………… 29

5.1 Kesimpulan ………………………………..…………………………… 29

5.2 Saran ……………………………………….…………………………… 29

DAFTAR PUSTAKA ………………………..………………………………… 31

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1. …...………… 8

Tabel 2. …….……………… 9

Tabel 3. …...…………………… 9

Tabel 4. …………………………………… 9

Tabel 5. ……..………… 10
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang

kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai

dengan kebutuhan gizi. Stunting adalah suatu kondisi pendek yang diketahui

berdasarkan pengukuranpanjang badan menurut umur (PB/U) atau Tinggi Badan

menurut Umur (TB/U) mengacu pada standar yang telah ditetapkan oleh WHO.

Stunting dibagi menjadi 2 kategori sangat pendek dan pendek.

Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam

setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang

mengalami kekurangan energi kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat

badan lahir rendah (BBLR). Ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting)

dan ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya.(4)

UNICEF pada tahun 2014 mengeluarkan hasil bahwa lebih dari 162 juta

anak dibawah 5 tahun di dunia mengalami stunting (pendek). Anak dengan keadaan

wasting (kurus) sebanyak 51 juta anak, dan 17 juta anak dalam kondisi sangat kurus

yang memerlukan penanganan khusus. Keadaan tersebut, akan mengalami efek

jangka panjang yang berdampak bagi dirinya, keluarga, dan pemerintah, bahkan

berisiko tinggi meninggal.

Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki permasalahan yang

kompleks terutama dalam masalah gizi. Gizi kurang atau malnutrisi adalah kondisi

kekurangan gizi akibat jumlah kandungan mikronutrien dan makronutrien yang tidak

memadai. Malnutrisi yang terjadi pada anak usia dibawah lima tahun (balita)

merupakan masalah pokok kesehatan masyarakat yang harus segera diatasi karena
dapat mengganggu pertumbuhan. Salah satu gangguan pertumbuhan pada masa

tersebut adalah stunting.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia mencatat bahwa

prevalensi stunting sebesar 37,2%, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan tahun

2007 (36,8%). Persentase tersebut dengan pembagian untuk kategori sangat pendek

19,2% dan pendek 18,1%. Artinya, diperkirakan lebih dari sepertiga atau lebih dari

8,9 juta anak usia dibawah 5 tahun di Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak

sesuai ukuran standar internasional untuk tinggi badan berbanding usia. Selain itu,

untuk anak Indonesia yang dalam keadaan kurus, diperkirakan ada sekitar 3,3 juta

anak.

Provinsi Lampung berada di atas rerata nasional yaitu 42,64% untuk balita

sangat pendek dan pendek pada riskesdas 2013. Untuk wilayah Kabupaten

Lampung selatan didapatkan 43,01% untuk balita sangat pendek dan pendek.

Buruknya status gizi balita ini merupakan konsekuensi dari interaksi berbagai

faktor determinan yang berhubungan dengan akses pada pangan, kelayakan tempat
(8)
tinggal dan akses pelayanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa stunting

berhubungan dengan tingkat pendidikan orang tua, berat lahir, umur balita, jenis

kelamin dan lokasi tempat tinggal. (6).

Penelitian dari Ngaisyah mengatakan bahwa adanya hubungan yang

signifikan antara pendidikan ayah dengan kejadian stunting. Penelitian lainnya dari

Sulastri juga menjunkkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat

pendidikan dan status ekonomi rumah tangga dengan kejadian stunting. Tingkat

pendidikan akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak, karena hal ini

tidak terlepas dari keadaan gizi anak. Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih

tinggi akan mempunyai kesempatan yang lebih jelas dalam menyerap informasi jika

dibandinhkan dengan ibu yang kurang atau tidak berpendidikan.(16)


Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai “gambaran faktor

pendidikan dengan kejadian stunting anak usia bawah lima tahun (balita) di

wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten lampung selatan tahun 2018”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas ,maka yang menjadi pusat

perhatian ialah “Bagaimana gambaran bblr dengan kejadian stunting anak usia bawah

lima tahun (balita) di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten lampung

selatan.”

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang diharapkan dalam penulisan mini project ini adalah :

a. Menambah pengetahuan tentang pendidikan dengan kejadian stunting anak usia

dibawah lima tahun (balita) di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten

lampung selatan.

b. Mengetahui distribusi frekuensi faktor pendidikan dengan kejadian

stunting di wilayah kerja UPTD Puskesmas Ketapang

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan mini project ini adalah:

1. Bagi dokter insternsip

Mini project ini diharapkan menjadi tambahan wawasan dan pengetahuan

bagi dokter insternsip dan untuk memenuhi sebagian syarat program dokter

internsip.

2. Bagi klinisi dan puskesmas

Mini project ini diharapkan menjadi bahan edukasi dan evaluasi tentang

hubungan bblr dengan kejadian stunting anak usia dibawah lima tahun (balita)

di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten lampung selatan agar dapat

meningkatkan pelayanan tentang gizi.


3. Bagi pasien

Mini project ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai

masalah yang berhubungan dengan bblr terhadap kejadian stunting anak usia

dibawah lima tahun (balita) di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten

lampung selatan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting

2.1.1 Pengertian

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan

gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak

sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan

baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini

meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah

sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa.

Stunting adalah suatu keadaan sebagai akibat interaksi makanan dan

kesehatan yang diukur secara antropometri dengan menggunakan indikator

panjang badan menurut pada ambang batas <-2 SD jika dibandingkan dengan

standar WHO/ NCHS. Seorang anak dikatakan berstatus gizi pendek (stunting)

apabila pada indeks antropometri berdasarkan indikator TB/U berada pada

ambang batas <-2 SD baku rujukan WHO/NCHS. Anak yang gizi kurang

(stunting) berat mempunyai rata-rata IQ 11 poin lebih rendah bila dibandingkan

dengan rata-rata anak yang tidak mengalamai gangguan gizi (stunting).(20)

2.1.2 Patofisiologis stunting

Masalah gizi merupakan masalah multidimensi, dipengaruhi oleh berbagai

faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah

gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah, atau masyarakat

bahkan keluarga karena anak tidak tampak sakit. Terjadinya kurang gizi tidak

selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti

kurang gizi pada dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi pangan melimpah masih

mungkin terjadi kasus kurang gizi pada anak balita. Kurang gizi pada anak balita

sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi atau hidden hunger.(21)


Stunting merupakan reterdasi pertumbuhan linier dengan deficit dalam

panjang atau tinggi badan sebesar <-2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan

pertumbuhan World Health Organization/National Center for Health Statistics

(WHO/NCHS). Stunting disebabkan oleh kumulasi episode stress yang sudah

berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang

kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh).(22)

Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut

dalam setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang

mengalami kekurangan energy kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat

badan lahir rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang

(stunting) dan berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya.

Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan masa emas tumbuh

kembangnya dari tanpa penanggulangan yang memadai kelompok ini

dikuatirkan lost generation. Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu

diwaspadai dengan seksama, selain dampak terhadap tumbuh kembang anak

kejadian ini biasanya tidak berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat

gizi mikro.(4)

2.1.3 Patogenesitas Penyakit Kurang Gizi

Konsep timbulnya malnutrisi terjadi akibat dari faktor llingkungan dan

faktor manusia (host) yang didukung oleh kekurangan asupan zat-zat gizi.

Akibat kekurangan zat gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk

memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini berlangsung lama, maka simpanan

zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini

orang sudah dapat dikatakan malnutrisi, walaupun baru hanya ditandai dengan

penurunan berat badan dan pertumbuhan yang terhambat.(23)

Sehubungan dengan meningkatnya defisiensi zat gizi dalam darah, berupa

rendahnya tingkat hemoglobin, serum vitamin A dan karoten. Selain itu, dapat
juga terjadi meningkatnya beberapa hasil metabolisme seperti asam laktat dan

piruvat pada kekurangan tiamin. Apabila keadaan itu berlangsung lama, maka

akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti tanda-tanda syaraf yaitu kelemahan,

pusing, kelelahan, nafas pendek, dan lain-lain.(23)

2.1.4 Dampak Stunting Pada Balita

Laporan UNICEF tahun 1998, beberapa fakta terkait stunting dan

pengaruhnya adalah sebagai berikut :(24)

a. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan,

akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang

parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka panjang dalam perkembangan

fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah

dibandingkan anak-anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan

stunting cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari

sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan

konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan

datang.

Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak. Faktor

dasar yang menyebabkan stunting dapat menganggu pertumbuhan dan

perkembangan inteletual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah,

ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang,

dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak

dengan stunting mengonsumsi makanan yang berbeda di bawah ketentuan

rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga banyak, bertempat tinggal di

wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.

c. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat menganggu

pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunting pada usia

lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak

usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita
dewasa yang stunting dan mempngaruhi secara langsung pada kesehatan dan

prduktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak BBLR. Stunting

terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat

dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan.

2.1.5 Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dam metros. Antropos

artinya tubuh dan metros artinya ukuran, jadi antropometri adalah ukuran dari

tubuh. Pengertian dari sudut pandang gizi, antropometri adalah hubungan dengan

berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai

tingkat umur dan tingkat gizi, berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat

badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak dibawah kulit.(4)

Penilaian status gizi merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang

dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif atau

subjektif. Data yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan baku

yang telah tersedia. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak

langsung.

Penilaian status gizi secara antropometri merupakan penilaian status gizi

secara langsung yang paling sering digunakan di masyarakat. Antropometri

dikenal sebagai indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun

masyarakat. Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan

hanya melakukan latihan sederhana, selain itu antropometri memiliki metode

yang tepat, akurat karena memiliki ambang batas dan rujukan yang pasti,

mempunyai prosedur yang sederhana, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel

yang besar.

Jenis ukuran tubuh yang paling sering digunakan dalam survei gizi adalah

berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan yang disesuaikan dengan usia anak.

Pengukuran yang sering dilakukan untuk keperluan perorangan dan keluarga


adalah pengukuran berat badan (BB), dan tinggi badan (TB) atau panjang badan

(PB). Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter yang

merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau

yang dihubungkan dengan umur. Indeks antropometri yang umum dikenal yaitu

berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat

badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur)

karena mudah diubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan

selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator TB/U

menggambarkan status gizi masa lalu. Indikator BB/TB menggambarkan secara

sensitif dan spesifik status gizi saat ini.

2.1.6 Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Tinggi badan akan seiring dengan pertambahan umur

dalam keadaan normal. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan

nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur

(TB/U) memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari

keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan

pola asuh/ pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang

mengakibatkan anak stunting.(21)

Keuntungan indeks TB/U yaitu merupakan indikator yang baik untuk

mengetahui kurang gizi masa lampau, alat mudah dibawa kemana-mana dan

dibuat secara lokal, jarang orang tua keberatan diukur anaknya. Kelemahan

indeks TB/U yaitu tinggi badan tidak cepat naik bahkan tidak mungkin turun,

dapat terjadi kesalahan yang mempengaruhi presisi, akurasi dan dan validitas

pengukuran. Sumber kesalahan bisa berasal dari tenaga yang kurang terlatih,

kesalahan pada alat dan tingkat kesulitan pengukuran.


%1
5
TB/U dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena

merupakan estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik. Seorang yang

tergolong pendek “pendek tak sesuai umurnya (PTSU)” kemungkinan keadaan

gizi masa lalu tidak baik, seharusnya dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh

bersamaan dengan bertambahnya umur. Pengaruh kurang gizi terhadap

pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama.(25)

2.2 Pendidikan

2.2.1 Definisi Pendikan

Pendidikan adalah dalam bahasa romawi terdapat istilah educate yang

artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam). Dalam bahasa Jerman

ada istilah ziehen yang artinya menarik (lawan dari mendorong). Dalam

bahasa jerman, pendidikan juga disalin dengan istilah erziehung, yang juga

berarti menarik keluar atau mengeluarkan . Tingkat pendidikan adalah tahapan

pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,

tujuan yang akan dicapai dan kemauan yang dikembangkan. Tingkat

pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup

sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau

masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam

perilaku dan gaya hidup sehari- hari, khususnya dalam hal

kesehatan(Suhardjo, 2007). Selain itu secara definitif pendidikan diartikan

oleh beberapa tokoh antara lain:

1. Langeveld, pendidikan adalah mempengaruhi anak dalam usaha

membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah

usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang

dewasa dan anak yang belum dewasa.

2. Hoogeveld, pendidikan adalah membantu anak supaya ia cukup cakap


menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.
%1
6
3. Rousseau, pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada

pada masa anak-anak akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu

dewasa.

4. Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah menuntun segala kekuatan

kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan

sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan

yang setinggi-tingginya.

5. SA. Bratanata, pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik

langsung maupun tidak langsung untuk membantu anak dalam

perkembangannya mencapai kedewasaan.

6. GBHN, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan

berlangsung seumur hidup.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, pendidikan dapat diartikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah dalam memperoleh

pekerjaan, sehingga semakin banyak pula penghasilan yang diperoleh.

Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap

seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal.

2.2.2 Lembaga Pendidikan

Menurut Mukhlison Effendi (2008) dalam buku Ilmu

Pendidikan, ada 3 lembaga pendidikan yaitu:

1. Lembaga pendidikan formal

Lembaga pendidikan formal adalah semua bentuk pendidikan yang diadakan di

sekolah atau tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan dalam
kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari Taman Kanak-kanak, sampai
%1
perguruan tinggi. Berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan. 7

2. Lembaga pendidikan non formal

Lembaga pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah adalah semua bentuk

pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana di luar

kegiatan persekolahan. Bidang pendidikan non formal meliputi:

a. Pendidikan masyarakat

b. Keolahragaan

c. Pembinaan generasi muda

3. Pendidikan in formal

Pendidikan informal adalah pendidikan yang berlangsung di luar sekolah yang

tidak terorganisir secara ketat, tak terbatas waktu dan tanpa evaluasi. Pendidikan in

formal ini terutama berlangsung di tengah keluarga, namun mungkin juga terjadi di

lingkungan sekitar keluarga.

2.2.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan

berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan

kemauan yang dikembangkan. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap

perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih

tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap

informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup

sehari- hari, khususnya dalam hal kesehatan(Suhardjo, 2007)

Tingkat pendidikan dapat dibedakan berdasarkan tingkatan- tingkatan tertentu

seperti :

1) Pendidikan dasar awal selama 9 tahun meliputi SD, SMP.

2) Pendidikan lanjut

a) Pendidikan menengah minimal 3 Tahun meliputi, SMA atau sederajat.


b) Pendidikan Tinggi meliputi diploma, sarjana, magister, doktor, dan
%1
8
spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (Kumalasari, 2014).

Faktor-faktor yang mempengaruhi Pendidikan adalah :

1. Ideologi

Semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama khususnya

hak untuk mendapatkan pendidikan dan peningkatan pengetahuan dan

pendidikan.

2. Sosial Ekonomi

Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi memungkinkan seseorang

mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

3. Sosial Budaya

Masih banyak orang tua yang kurang menyadari akan pentingnya

pendidikan formal bagi anak-anaknya.

4. Perkebangan IPTEK

Perkembangan IPTEK menuntut untuk selalu memperbaharui

pengetahuan dan keterampilan agar tidak kalah negara maju.

2.2.4 Hubungan Pendidikan Dengan Kejadian Stunting

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam

tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua

dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan

anak yang baik.

Selain itu, tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan gizi dan kesehatan. Hal ini berkaitan

erat dengan wawasan pengetahuan mengenai sumber gizi dan jenis makanan

yang baik untuk konsumsi keluarga. Kondisi demikan ini menyebabkan orang

tua kurang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, sehingga


menyebabkan anak mengalami stunting. Pendidikan formal dan informal
%1
(32) 9
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan gizi ibu.

Pendidikan formal sangat diperlukan oleh ibu rumah tangga dalam

meningkatkan pengetahuan dalam upaya mengatur dan mengetahui hubungan

antara makanan dan kesehatan atau kebutuhan tubuh termasuk kebutuhan zat

gizi bagi anggota keluarganya. Seorang ibu dengan pendidikan yang tinggi akan

mendapat akan dapat merencanakan menu makanan yang sehat dan bergizi bagi

dirinya dan keluarganya dalam upaya memenuhi zat gizi yang diperlukan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Devi (2010) di 7 Provinsi di

Indonesia, bahwa persentase status gizi kurang lebih tinggi daripada status gizi

baik

diderita balita dari ayah yang tidak bersekolah dan berpendidikan hanya sampai

tamat SD dan Sekolah Menengah Pertama. Tetapi berbeda dengan

pendidikan ibu, persentase gizi kurang lebih tinggi daripada status gizi baik pada

balita dari ibu yang berpendidikan hanya sampai tingkat SD dan ibu yang tidak

bersekolah.

. Hasil penelitian lain yang dilakukan di Sumatera barat oleh Saputra &

Rahmah HN (2013) juga menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang

tua semakin kecil resiko anak balita terkena gizi buruk.

.
20
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan

pendekatan cross sectional yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus pada

suatu waktu dengan tujuan untuk menggambarkan tingkat pendidikan dengan

kejadian stunting usia di wilayah kerja UPTD Puskesmas Ketapang.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak usia

bawah lima tahun (balita) di wilayah kerja UPTD Puskesmas Ketapang tahun

2018.

3.2.2 Sampel

Sampel kasus dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia

bawah lima tahun (balita) stunting yang tercatat di UPTD Puskesmas Ketapang

pada tahun 2018.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Wilayah kerja UPTD Puskesmas Ketapang

khusunya di Desa Bangunrejo dan Desa Kemukus. Waktu penelitian dimulai

pada bulan september 2018 sampai dengan selesai.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

data sekunder dan data primer. Data sekunder diambil dari data balita yang

tercatat mengalami stunting di UPTD Puskesmas Ketapang. Data primer

diambil melalui wawancara dan pengisian kuesioner yang diperoleh langsung

dari responden yaitu ibu yg memiliki balita dengan stunting.


21
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran distribusi karakteristik Pendidikan Orang Tua

35

30
31
29
25
26 TS
23 SD
20
SMP
15 SMA
DIPLOMA
10
SARJANA
9
8
5

0 0 0 0 0 0
0
AYAH IBU

Diagram 4.1 Distribusi karakteristik Pendidikan orang tua

Dari data diagram 4.1 didapatkan bahwa ayah balita yang menderita stunting

yang berpendidikan sampai SD / MI adalah 31 responden, yang berpedidikan SMP /

MTs adalah sebanyak 23 responden, kategori berpendidikan SMA / MA sejumlah 9

responden, kemudian tidak ditemukan ayah yang bersekolah hingga jenjang pendidikan

diploma maupun strata dan tidak ditemukan ayah yang tidak bersekolah.

Dari data diagram 4.1 juga didapatkan bahwa ibu balita yang menderita stunting

yang berpendidikan sampai SD / MI adalah 29 responden, yang berpedidikan SMP /

MTs adalah sebanyak 26 responden, kategori berpendidikan SMA / MA sejumlah 8

responden, kemudian tidak ditemukan ibu yang bersekolah hingga jenjang pendidikan

diploma maupun strata dan tidak ditemukan ibu yang tidak bersekolah.
22
4.2 Gambaran distribusi karakteristik Pendidikan Orang Tua

Tabel 4.1 Pembagian karakter orang tua balita stunting berdasarkan pendidikan
rendah dan tinggi

Variable Katergori Ayah (N) % Ibu (N) %


Pendidikan Rendah Tidak Sekolah
SD / MI 54 86% 55 87%
SMP / MTs
Pendidikan Tinggi SMA / MA
Diploma 9 14% 8 13%
Sarjana

4.2.1 Gambaran Pendidikan Ayah pada balita stunting di UPT Puskesmas


Ketapang

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran tingkat pendidikan

ayah dari balita yang menderita stunting di UPT Puskesmas Ketapang adalah

sebagai berikut :

14%

54

86%

Pendidikan Rendah Pendidikan Tinggi

Diagram 4.2 Distribusi karakteristik tingkat Pendidikan Ayah

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa ayah dari balita yang

mengalami stunting di wilayah kerja UPT Puskesmas Ketapang yang


23
berpendidikan rendah sebesar 86 % ( 54 orang) sedangkan yang berpendidikan

tinggi adalah 14 % (9 orang). Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

dari ayah balita yang menderita stunting berpendidikan rendah.

Penelitian Semba et al. menunjukkan bahwa di Indonesia pendidikan

ayah yang tinggi sangat terkait dengan pola pengasuhan anak, penggunaan

jamban tertutup, imunisasi anak, pemberian kapsul vitamin A, penggunaan

garam beryodium dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Status pendidikan

ayah dan ibu sama pentingnya dalam suatu keluarga.

Jika ibu berpendidikan rendah namun ayah berpendidikan tinggi, ayah

dapat memberikan andil terhadap status gizi keluarganya. Ayah yang

berpendidikan tinggi dapat memberikan masukan kepada istri mereka

mengenai bahan makanan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan

keluarga mereka. Dalam kasus ini dapat disimpulkan jumlah ayah

berpendidikan rendah lebih banyak dari pada jumlah ayah balita yang

berpendidikan tinggi.

Tabel 4.2 Gambaran pendidikan ayah pada balita yang menderita

stunting di UPT Puskesmas Ketapang

Variabel Kategori n %
Status Pendidikan Pendidikan Rendah 54 86%
Pendidikan Tinggi 9 14%

4.2.2 Gambaran Pendidikan Ibu pada balita stunting di UPT Puskesmas


Ketapang
24
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran tingkat pendidikan ibu

dari balita yang menderita stunting di UPT Puskesmas Ketapang adalah

sebagai berikut :

13%

55

87%

Pendidikan Rendah Pendidikan Tinggi

Diagram 4.2 Distribusi karakteristik tingkat Pendidikan Ibu

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa ayah dari balita yang

mengalami stunting di wilayah kerja UPT Puskesmas Ketapang yang

berpendidikan rendah sebesar 87 % ( 55 orang) sedangkan yang berpendidikan

tinggi adalah 13% (8 orang). Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

dari ibu balita yang menderita stunting berpendidikan rendah.

Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat

terhadap kejadian stunting pada anak di indonesia dan Bangladesh (semba et

al, 2008). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi

memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang

memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah. Berdasarkan penelitian


25
Norliani et al, tingkat pendidikan ayah dan ibu memiliki resiko 2,1 dan 3,4 kli

lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah. 12

Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat

pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, proses kehamilan dan pasca

persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan

keluarganya. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya

seseorang memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Pendidikan

diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi

didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003).

Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Mbuya et al. (2010)

menunjukkan Ibu dengan pendidikan rendah (no education and primary

school) memiliki anak yang Ibu yang berpendidikan rendah biasanya sulit

menerima hal- hal baru, sehingga merupakan kendala besar untuk

meningkatkan kesehatan keluarganya. Ibu dengan pendidikan yang rendah

sulit memahami pengetahuan gizi yang penting untuk keluarganya.

Jadi meskipun diberikan prevensi berupa penyuluhan tentang

pendidikan Sedangkan pada ibu dengan pendidikan tinggi, mereka jauh lebih

terbuka terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi yang ada. Hal ini

menyebabkan para ibu berpendidikan tinggi lebih mudah menerima informasi-

informasi baru mengenai gizi dan kesehatan dari berbagai sumber.

Tabel 4.2 Gambaran pendidikan ibu pada balita yang menderita stunting

di UPT Puskesmas Ketapang

Variabel Kategori N %
Status Pendidikan Pendidikan Rendah 55 87%
Pendidikan Tinggi 8 13%
26
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah di uraikan sebelumnya,

maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian ini ayah dari balita yang mengalami stunting lebih

banyak yang berpendidikan rendah yaitu sebanyak 54 orang (86%) dibandingkan

ayah yang berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 9 orang (14%).

2. Berdasarkan hasil penelitian ini ibu dari balita yang mengalami stunting lebih

banyak yang berpendidikan rendah yaitu sebanyak 55 orang (87%) dibandingkan

ayah yang berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 8 orang (13%).

3. Berdasarkan hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa pendidikan terendah ayah

maupun ibu balita stunting adalah pada tingkat SD / MI. Tidak terdapat ayah dan

ibu balita stunting yang tidak bersekolah.

4. Berdasarkan hasil penelitian ini juga didapatkan tingkat pendidikan ayah maupun

ibu balita stunting tertinggi hanya sampai jenjang SMA / MA. Tidak ada yang

melanjutkan pendidikan hingga jenjang diploma maupun sarjana

5.2 Saran

Berdasarkan hasil, pembahasan, dan kesimpulan penelitian tentang gambaran

balita stunting, beberapa saran yang diajukan sebagai bahan pertimbangan adalah :

1. Bagi UPT Puskesmas Ketapang

Bagi pihak puskesmas yang bertugas dalam memberikan pelayanan agar

melakukan pemantauan status gizi balita dan pemantuan ibu hamil lebih
27
rutin dan lebih teliti lagi sehingga balita stunting dapat dicegah sebelumnya.

Kemudian memberikan penyuluhan terutama pada ayah dan ibu yang sedang hamil

maupun memiliki balita di wilayah kerja UPT Puskesmas Ketapang tentang dampak

buruk stunting terhadap perkembangan anak dan memberikan informasi rutin

tentang asupan gizi yang baik pada ibu hamil agar anaknya nanti terhindar dari

stunting.
28
DAFTAR PUSTAKA

1. ACC/SCN & International Food Policy Research Institude (IFPRI). 2016. 8th Report on

the World Nutrition Situation, Nutrition Throughout the Life Cycle.

2. Apriadji, Wield Harry. 2015. Gizi Keluarga. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

3. Almatsier, Sunita. 2014. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

4. Atmarita. 2014. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah disajikan

pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2014

5. Awwal, et al. 2013. Nutrition the Foundation of Health and Development. Massline

Printers 1/15. Humayun Road, Mohammadpur, Dhaka.

6. Hidayah, Nor Rofika. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 (analisis

Riskesdas 2010). Depok: Skripsi, FKM-UI

7. Hong, R. 2007. Effect of Economic Inequality on Chronic Childhood Undernutrition in

Ghana. Public Health Nutrition, P. 371-378.

8. Lupiana, Mindo. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kurang Energi dan

Protein pada Bayi di Provinsi Lampung Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas 2007).

Depok: Tesis FKM-UI.

9. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka

Cipta.

10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan

dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

11. Kusumawati E, Rahardjo S, Sari HP. Model pengendalian faktor risiko stunting pada

anak bawah tiga tahun. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2015; 9 (3)
29
12. Arifeen SE, Black RE, Caulfield LE, Antelman G, Baqui AH, Nahar Q, et al. Infant

growth patterns in the slum Dhaka in reletion to birth weight intrauterine growth

retardation and prematurity. American Journal Clinical Nutrition. 2004; 72 (4): 1010-7.

13. Ernawati F, Muljati S, Dewi MS, Safitri A. Hubungan panjang badan lahir terhadap

perkembangan anak usia 12 bulan. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan. 2014; 37 (2):

109-118

14. Soekirman. Ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia; 2000.

15. Hizni A, Julia M, Gamayanti IL. Status stunted dan hubungannya dengan perkembangan

anak balita di Wilayah Pesisir Pantai Utara Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon.

Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2010;6 (3): 131-7.

16. Arma AJA. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang bayi ibu bekerja

(Nakerwan) di Sentra Industry. Jurnal Nusantara. 2001; 34 (3): 139-45

17. Fatmah, Nurasiah. Kebiasaan makan ibu dan anak usia 3-5 tahun pada kelompok sosio-

ekonomi tinggi dan rendah di Kelurahan Rambutan dan Penggilingan Jakarta Timur.

Jurnal Makara Kesehatan. 2002; 6: 17-24

18. Nasikhah R. Faktor risiko kejadian stunting pada baduta usia 24-36 bulan di Kecamatan

Semarang Timur [manuscript on internet]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2012

[cited 2014 Dec 10]. Available from: https://core.ac.uk/download/files/379/11736670.pdf

19. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan

dasar tahun 2017. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2017.

20. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan

dasar 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.

Anda mungkin juga menyukai

  • Komplikasi DM
    Komplikasi DM
    Dokumen4 halaman
    Komplikasi DM
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Keloid
    Keloid
    Dokumen5 halaman
    Keloid
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Komplikasi Hipertensi
    Komplikasi Hipertensi
    Dokumen14 halaman
    Komplikasi Hipertensi
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Keloid
    Keloid
    Dokumen5 halaman
    Keloid
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Pengertian BBLR
    Pengertian BBLR
    Dokumen2 halaman
    Pengertian BBLR
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • BBLR
    BBLR
    Dokumen2 halaman
    BBLR
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Tinea Pedis
    Tinea Pedis
    Dokumen1 halaman
    Tinea Pedis
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • CV Jorghi
    CV Jorghi
    Dokumen3 halaman
    CV Jorghi
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Tinea Fasialis
    Tinea Fasialis
    Dokumen1 halaman
    Tinea Fasialis
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Blefaritis
    Blefaritis
    Dokumen4 halaman
    Blefaritis
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat