Anda di halaman 1dari 6

PERAN INVESTOR INSTITUSIONAL, INVESTOR ASING, DAN KREDITUR &

KASUS PT. KALTIM PRIMA COAL

1. Peran Investor Institusional, Investor Asing, Dan Kreditur


Penerapan GCG memang sangat dipengaruhi oleh para pimpinan perusahaan yang
diberikan amanah untuk mengelola perusahaan, yaitu direksi dan dewan komisaris, yang
kemudian meneruskan iktikad tersebut kepada seluruh jajaran perusahaan. Namun, seperti
tertulis dalam Pedoman Umum GCG Indonesia yang telah dirilis oleh Komite Nasional
Kebijakan Governance, untuk memastikan penerapan GCG benar terjadi, butuh peran serta
pemerintah sebagai regulator, dan juga stakeholders lainnya.
Dalam konteks ini, jika kita bicara mengenai pengaruh, dapat dikatakan secara jujur
bahwa stakeholders lain yang dapat memberikan tekanan khusus saat ini masih terbatas pada
investor yang kemudian menjadi pemegang saham; sementara stakeholders lain seperti
karyawan, masyarakat sekitar perusahaan beroperasi masih kurang dapat memberikan tekanan
kepada perusahaan untuk menerapkan GCG.
Perusahaan membutuhkan dana untuk operasi dan ekspansi melalui proses IPO atau
right issue, bagi perusahaan tercatat; dan juga perlu untuk memastikan agar harga saham
perusahaan tidak anjlok dan justru malah meningkat dan hal ini juga sangat terpengaruh oleh
kondisi perdagangan saham perusahaan di bursa, yang terefleksikan dari animo investor untuk
melakukan pembelian saham perusahaan. Oleh karena itu, investor dapat berperan cukup besar,
dalam mendorong perusahaanperusahaan menerapkan GCG.
Investor yang memiliki peranan di sini adalah investor institusional yang memiliki
sumber dana cukup besar karena sumbernya berasal dari kumpulan investor individual atau
institusi yang melakukan pengelolaan dana masyarakat (asset management); seperti antara lain
dana pensiun, sekuritas, perusahaan yang menjual produk unitlink, serta reksa dana. Karena
modal yang dimiliki cukup besar, maka perdagangan saham yang dilakukan oleh institusi
seperti ini dapat memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap harga saham di pasar.

1.1 Peran Investor Institusional


Cara investor institusional untuk berperan serta dalam mendorong penerapan GCG
adalah dengan investasi yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan investasi yang
bertanggung jawab adalah dengan membuat kebijakan hanya akan melakukan penempatan
investasi pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG, dan tentu secara konsisten
menerapkan kebijakan tersebut dalam melakukan investasi. Dengan cara ini, institusi tersebut
bertanggung jawab terhadap masyarakat karena penempatan yang salah menjadi lebih kecil,

1
dan di lain pihak perusahaan yang sahamnya menjadi lirikan investor dan masuk dalam dafta
saham yang desirable atau ingin dimiliki oleh investor, lebih jauh hal ini akan menaikan nilai
saham yang secara tidak langsung juga menaikan nilai perusahaan.
Dengan cara ini, institusi tersebut bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dana-
nya mereka kelola, karena dana tersebut hanya di investasikan pada perusahaan-perusahaan
yang memang dapat dipercaya, sehingga risikohilangnya dana masyarakat karena penempatan
yang salah menjadi lebih kecil. Di lain pihak, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di
bursa juga menjadi lebih memberi perhatian terhadap penerapan GCG karena dengan
menerapkan GCG secara konsisten, saham mereka menjadi lirikan investor dan masuk dalam
daftar saham yang ”desirable” atau ingin dimiliki oleh investor, lebih jauh hal ini akan
menaikkan nilai saham yang secara tidak langsung juga menaikkan nilai perusahaan.
Tentu untuk bisa menerapkan investasi yang bertanggung jawab dibutuhkan usaha
tambahan oleh investor institusional, karena harus ada fungsi di dalam institusi tersebut yang
bertanggung jawab melakukan analisis secara berkesinambungan terhadap penerapan GCG
perusahaan-perusahaan target dengan menggunakan acuan yang benar sebagai dasar
penerapan GCG. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil jika memang sudah menjadi sebuah
iktikad dalam melakukan investasi yang bertanggung jawab, dalam mengelola dana
masyarakat. Jadi ini saatnya bagi investor untuk melakukan investasi yang bertanggung
jawab, bukan saja hal ini merupakan refleksi dari penerapan GCG, namun juga mendorong
penerapan GCG perusahan-perusahaan di Indonesia.

1.2 Peran Investor Asing


Sesuai dengan teori stakeholder, semakin banyak dan kuat posisi stakeholder, semakin
besar kecenderungan perusahaan untuk mengadaptasi diri terhadap keinginan stakeholdernya.
Hal tersebut diwujudkan dengan cara melakukan aktivitas pertanggungjaawaban terhadap
sosial dan lingkungan atas aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut. Perusahaan yang
berbasis asing kemungkinan memiliki stakeholder yang lebih banyak dibanding perusahaan
berbasis nasional sehingga permintaan informasi juga lebih besar dan dituntut untuk
melakukan pengungkapan yang lebih besar juga.
Sehingga :
1) Investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru, memperluas pasar
atau merangsang penelitian dan pengembangan teknologi lokal yang baru.

2
2) Investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor, dan merangsang
ekonomi lokal melalui pasar kedua (sektor keuangan) dan ketiga (sektor
jasa/pelayanan).
3) Investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah pendapatan
lokal/nasional, serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk pembiayaan impor.
4) Pembayaan utang adalah esensial untuk melindungi keberadaan barang-barang
finansial di pasar internasional dan mengelola integritas sistem keuangan. Kedua hal
ini, sangat kusial untuk kelangsungan pembangunan.
5) Sebagian besar negara-negara dunia ketika tergantung pada investasi asing untuk
menyediakan kebutuhan modal bagi pembangunan karena sumberdaya-sumberdaya
lokal tidak tesedia atau tidak mencakupi.
6) Para pengajur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing masuk, maka
hal itu akan menjadi batu alas bagi masuknya investasi lebih banyak lagi, yang
selanjutnya menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan ekonomi keseluruhan.
1.3 Peran Kreditur
Perusahaan yang mempunyai leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk
memenuhi kebutuhan informasi kreditur jangka panjang. Dengan semakin tinggi leverage,
yang mana akan menambahbeban untuk program corporate social responsibility menjadi
terbatas atau semakin tinggi leverage, maka semakin rendah program CSR.

2. Kasus PT. Kaltim Prima Coal


PT Kaltim Prima Coal (KPC) adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pertambangan dan pemasaran batubara untuk pelanggan industri baik pasar ekspor maupun
domestik. Tahun 1982 PT Kaltim Prima Coal (KPC) didirikan di Indonesia dengan masing-
masing BP dan CRA 50% memegang saham. KPC lisensi untuk melakukan eksplorasi dan
pertambangan batubara berdasarkan Kontrak Karya Batubara (Kontrak Karya) dengan HPH
seluas 90.706 ha. Negara Indonesia Perusahaan Batubara (PTBA) untuk menerima hak 13,5%
dari produksi semua. Lokasi dari PT. KALTIM PRIMA COAL terletak di sekitar Sangatta,
ibukota Kabupaten Kutai Timur (Kutim), di provinsi Kalimantan Timur Indonesia.

2.1 Latar Belakang Kasus


Dalam kurun waktu enam tahun (sampai 2009) di keseluruhan kabupaten di Kalimantan
telah terbit 2.047 kuasa pertambangan dan diperkirakan mengokupasi lahan seluas 4,09 juta
hektar. Tentunya angka itu akan semakin besar jika ditambah dengan pertambangan ilegal.

3
Begitu pula dengan perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC) yang bergerak di bidang
pertambangan batubara di beberapa daerah seperti Pinang, Melawan, dan Prima di Kalimantan
Timur. Dengan operasi yang bisa menjual 35.772.323 ton batubara hanya pada tahun 2008
saja, perusahaan ini merasa memiliki tanggung jawab pada stakeholders lainnya.
Permasalahan timbul saat masyarakat dan pemerintah kabupaten merasa belum merasakan
hasil dari program CSR yang dilakukan oleh KPC. Selama sekian puluh tahun beroperasi di
bawah pemerintahan kabupaten terkait, PT Bumi Resources membeli KPC pada tahun 2003.
Untuk mendapatkan kepercayaan pemerintah daerah yang menjadi investor pada saat
itu, PT Bumi Resources memberikan beberapa janji untuk tetap ikut membangun daerah Kutai
Timur. Janji yang dilontarkan pada tahun 2003 tersebut ada beberapa, misalnya pembangunan
rumah sakit, membangun kampus Stiper, dan jalan Soekarno-Hatta dua jalur yang semuanya
sampai sekarang belum terealisasi. BR juga berjanji mengucurkan CSR sekira Rp 50 miliar
per tahun. Namun, menurut pihak masyarakat dan pemerintah daerah setempat
pengelolaannya dinilai tidak transparan dan ditangani sendiri oleh KPC. Forum Multi
Stakeholder Coorporate Social Responsibility (Forum MSH- CSR) mengatakan bahwa dana
yang mereka kelola belum maksimal dan masih di bawah dana yang dijanjikan. Misalnya saja
CSR tahun 2009 untuk Kecamatan Bengalon. Data itu adalah data yang dirilis oleh Forum
Multi Stakeholder (MSH) CSR. Dari dana CSR sekira Rp 1,1 miliar yang sampai ke rakyat
hanya sekira Rp 400 juta. Dana sekira Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal.
Namun, di sisi lain pihak KPC menyanggah hal tersebut dengan berdalih bahwa dana
yang dikucurkan harus melalui prosedur yang sesuai dengan kelengkapan dokumen dan
progress report pada tiap-tiap proyek. Akhirnya, masyarakat menuntut adanya transparansi
dan pertemuan rutin antara pihak KPC dengan Forum MSH-CSR agar permasalahannya bisa
didiskusikan bersama untuk dicari solusinya. Selain itu, masyarakat meminta agar dana CSR
tersebut tidak semuanya dikelola oleh KPC tetapi juga bekerja sama dengan Forum MSH-
CSR dalam pengalokasiaannya. Tuntutan masyarakat ini bahkan disertai dengan ancaman
bahwa operasi KPC mungkin akan terhambat keamanan dan ketertibannya jika tuntutan
tersebut tidak dipenuhi. Pihak pemerintah daerah pun juga setuju dengan tuntutan akan
transparansi dan pendelegasian pengelolaan dana CSR tersebut. Jika tuntutan tersebut tidak
dipenuhi, pihak pemerintah daerah akan meninjau ulang izin pertambangan di daerah tersebut.
2.2 Analisis Masalah
Jika dianalisis satu per satu, pada aspek ekonomi maka KPC sudah memenuhi hal
tersebut dengan memperoleh pendapatan sebesar USD 1.741,93 juta. Hal ini merupakan
pendapatan yang cukup besar dengan pangsa pasar ekspor yang berada di beberapa negara di

4
belahan dunia. Walaupun begitu, aspek legal yang berada pada dimensi di atas economi sudah
dibuat kontraknya. Namun, hal ini pun masih dipertanyakan implementasinya sejak
pembuatan kontrak ataupun pengucapan janji pembangunan pada tahun 2003 sampai pada
2010 ini, walaupun pada laporan terkait pada tahun 2008 sudah disebutkan community
expenditure commitment sebesar USD 5.000.000 dan biaya lingkungan sebesar USD
18.771,896. Pada dimensi ethical sebenarnya KPC sudah mulai memberikan berbagai bantuan
dengan kegiatan yang berfokus pada tujuh pembangunan berkelanjutan, yakni pengembangan
agribisnis, peningkatan kesehatan dan sanitasi, pendidikan dan pelatihan, peningkatan
infrastruktur masyarakat, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah (UKM),
pelestarian alam dan budaya, penguatan kapasitas lembaga masyarakat dan pemerintah, dan
pemberdayaan masyarakat. Namun, pelaksanaan yang kurang terkoordinasi dari tahun ke
tahun membuat pelaksanaannya cukup baik pada tahun-tahun awal sampai ke 2008 akan tetapi
agak terganggu pelaksanaannya pada tahun 2009 dan 2010 sehingga muncul masalah dengan
Forum MSH-CSR. Aspek terakhir yang perlu diperhatikan adalah philanthropic yang
sebenarnya nice to do meskipun bukanlah sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Menjadi
sebuah corporate citizen yang menguntungkan masyarakat sekitar dan memenuhi berbagai
aspek lainnya untuk dapat hidup berdampingan antara produsen ataupun pengusaha dan
masyarakat sekitar serta stakeholders lainnya.
KPC sudah memenuhi beberapa aspek yang disebutkan, misalnya untuk aspek
ecological environment dengan menutup tambang yang sudah tidak dipergunakan dan
melakukan kegiatan dengan pemberdayaan pertanian dan perikanan. Namun, masih timbul
permasalahan dengan public interest group di mana di dalamnya juga termasuk masyarakat
sekitar dan pemerintah daerah. Dalam hal ini, beberapa hal yang menyebabkan transfer
informasi kurang maksimal adalah penerapan dari prinsip good corporate governance seperti
fairness, transparency, accountability, dan responsibility yang pada saat ini telah mendorong
CSR semakin menjadi sesuatu hal yang krusial. Berdasarkan permasalahan tersebut,
komunikasi menjadi sesuatu yang penting antara perusahaan dengan pihak terkait.
2.3 Analisis berdasarkan prinsip Good Corporate Governance yang dilanggar PT.
Kaltim Prima Coal :
1. Transparency, dalam kasus PT. Kaltim Prima Coal dari dana CSR yang sudah
ditentukan oleh perusahaan batu bara ini sekira Rp 1,1 miliar, yang sampai ke rakyat
hanya sekira Rp 400 juta. Dana sekira Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal.
Adapun informasi pembagian dana untuk ke masyrakat, hanya diketahui oleh satu
pihak yaitu PT. Kaltim Prima Coal , yang bebas menentukan besaran dana yang akan

5
diturunkan ke masyarakat tanpa memberitahu detail persentase dana untuk masyarakat
disekitar lingkungan bisnisdan perhitungan-perhitungan lainnya yang mendukung
dana CSR untuk masyarakat.
2. Responsibility, PT. Kaltim Prima Coal sejak tahun 2010 mulai melepas tanggung
jawabnya kepada lingkungan sekitar perusahaan, dimana seharusnya PT. Kaltim Prima
Coal membayar biaya perawatan lingkungan perusahaan kepada kepala daerah
setempat sesuai dengan kontrak yang sudah dijanjikan, namun realisasinya justru dana
yang seharusnya diberikan sepenuhnya kepada masyarakat, hanya 40% saja yang
sampai ke tangan masyarakat, tidak sesuai dengan data yang disebarkan oleh Forum
MSH-CSR
3. Fairness, Kaltim Prima Coal harus memperlakukan secara adil seluruh golongan yang
memiliki andil dalam kesuksesan perusahaan, baik yang internal maupun eksternal,
tanpa mementingkan golongan tertentu. Walaupun masyarakat sekitar tidak berperan
langsung untuk kemajuan Kaltim Prima Coal, namun perusahaan memiliki tanggung
jawab untuk merawat lingkungan sekitar bisnis, karena tanpa persetujuan masyarakat
daerah lokasi perusahaan, perusahaan bisa saja ditutup karena dianggap merugikan
masyarakat dan tidak memelihara lingkungan perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai