Anda di halaman 1dari 27

Diagnosis dan Tatalaksana Asfiksia Neonatorum

Yulita Hera (102011132)

BP2

Fakultas kedokteran

Universitas Kristen Krida Wacana

Jln. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat 11510

Tlp. 021- 56942061 Fax . 021-5631731

E_mail : yulitahera@yahoo.com

SKENARIO 4
Seorang bayi dilahirkan dari ibu berusia 36 tahun, G2P0A1 kehamilan 36 minggu, melalui
emergency section cesaria karena mengalami abruption plasenta.

PENDAHULUAN

Di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada tahun pertama
kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan pertama. Kurang lebih 99% kematian
ini terjadi di negara berkembang dan sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan
pengenalan dini dan pengobatan yang tepat.1

Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir
dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting
yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin.1

Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia
disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan dari
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia
menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia
setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.1

1
Penyebab utama kematian neonatus berhubungan secara intrinsik dengan kesehatan ibu
dan perawatan yang diterima sebelum, selama dan setelah melahirkan. Asfiksia neonatorum dan
trauma kelahiran pada umumnya disebabkan oleh manajemen persalinan yang buruk dan
kurangnya akses ke pelayanan obstetri. Asupan kalori dan mikronutrien juga menyebabkan
keluaran yang buruk. Telah diketahui bahwa hampir tiga per empat dari semua kematian
neonatus dapat dicegah apabila wanita mendapatkan nutrisi yang cukup dan mendapatkan
perawatan yang sesuai pada saat kehamilan, kelahiran dan periode pasca persalinan.2

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai penyakit
“Resusitasi Neonatus pada Asfiksia Neonatorum”, mulai dari apgar score, diagnosis, resusitasi
dan pasca resusitasi.

PEMBAHASAN

DEFINISI ASFIKSIA NEONATORUM

Beberapa sumber mendefenisikan Asfiksia Neonatum sebagai berikut:

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia
dan asidosis.3

2. WHO

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir.4

3. ACOG dan AAP

Seorang neonates mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut :

 Nilai Apgar menit kelima 0-3.


 Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0).
 Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma).

2
 Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).5

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik bayi pasca resusitasi harus lebih hati-hati. Pemeriksaan awal
diutamakan pada pemeriksaan pernapasan dan jantung dengan monitoring tanda bahaya.
Pemeriksaan lengkap sebaiknya dilakukan dalam 24 jam dan setelah bayi stabil.6

Sebagaimana pada setiap persalinan, isilah partograf secara lengkap yang mencakup
identitas ibu, riwayat kehamilan, jalannya persalinan, kondisi ibu, kondisi janin dan kondisi Bayi
Baru Lahir (BBL). Penting sekali dicatat denyut jantung janin, oleh karena seringkali asfiksia
bermula dari keadaan gawat janin pada persalinan. Apabila didapatkan gawat janin tuliskan apa
yang dilakukan. Saat ketuban pecah perlu dicatat pada partograf dan berikan penjelasan apakah
air ketuban bercampur mekonium?6

Kondisi BBL diisi pula pada partograf. Bila mengalami asfiksia selain dicatat pada
partograf perlu dibuat catatan khusus di buku harian/ buku catatan, cukup ditulis tangan.
Usahakan agar mencatat ketuban secara lengkap dan jelas:6

1. Nama ibu, tempat, tanggal melahirkan dan waktunya


2. Kondisi janin/ bayi:
a. Apakah ada gawat janin sebelumnya?
b. Apakah air ketuban bercampur mekonium?
c. Apakah bayi menangis spontan, bernapas teratur, megap-megap atau tidak
bernapas?
d. Apakah tonus otot baik?
3. Waktu mulai resusitasi
4. Langkah resusitasi yang dilakukan
5. Hasil resusitasi

SKOR APGAR

Setelah bayi lahir, dokter atau bidan yang menangani persalinan akan melakukan tes
APGAR. Tes APGAR ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi bayi, serta menentukan apakah

3
bayi membutuhkan perawatan medis khusus atau tidak. Tes skala APGAR ini pertama kali
diperkenalkan oleh seorang ahli anestesi bernama Dr. Virginia Apgar. Tes skala APGAR ini
tidaklah menyakitkan dan hanya berlangsung cepat. Ada lima hal pokok yang akan dievaluasi
pada bayi, yaitu :
 Appearance (penampilan) – dilihat dari warna kulit
 Pulse (detak jantung)
 Grimace (respons reflek)
 Activity (aktivitas/tonus otot)
 Respiration (pernapasan)7

Pada tes ini, bayi diuji pertama kali untuk menentukan seberapa baik proses kelahirannya,
dan kemudian diuji seberapa baik ia menyesuaikan diri dengan kehidupannya di luar rahim ibu.
Bayi akan diberikan skor tertentu antara nol sampai dengan dua untuk setiap karakteristik, yang
kemudian hasilnya akan dijumlahkan. Umumnya, tes skala APGAR ini dilakukan antara satu dan
lima menit dari proses kelahiran.7

Rincian skala APGAR :


1. APPEARANCE (PENAMPILAN)
0 – bila seluruh tubuh bayi berwarna kebiruan atau pucat
1 – bila warna tubuh bayi normal (merah muda), dengan sedikit warna biru pada kaki dan
tangan
2 – bila warna tubuh bayi normal (merah muda) seluruhnya8

2. PULSE (DETAK JANTUNG)


0 – bila tidak ada detak jantung
1 – bila detak jantung bayi kurang dari 100 kali per menit
2 – bila detak jantung bayi lebih dari 100 kali per menit8

3. GRIMACE (RESPONS REFLEK)


0 – bila tidak ada respon saat dokter membersihkan salurannya
1 – bila bayi merespon dengan menyerigai saat penyedotan (suctioning)

4
2 – bila bayi menyerigai, batuk, bersin, atau memberontak saat penyedotan8

4. ACTIVITY (GERAK OTOT)


0 – bila tidak ada gerakan bayi yang terdeteksi
1 – bila bayi menunjukkan gerakan (lemah)
2 – bila bayi bergerak dengan penuh semangat8

5. RESPIRATION (PERNAPASAN)
0 – bila bayi tidak bernapas
1 – bila bayi menangis lemah seperti merengek dan napas lambat
2 – bila bayi menangis kuat dengan napas rata-rata normal8

Tabel 1. Skor Apgar8


SKOR APGAR
KLINIS 0 1 2
A Apperance/warna kulit Pucat Badan merah, Seluruh tubuh
ekstremitas biru kemerahan
P Pulse/denyut jantung Tidak ada <100 >100
G Grimace/reaksi terhadap Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
rangasangan
A Activity/tonus otot Tidak ada Ekstremitas Gerakan aktif
sedikit fleksi
R Respiration/pernapasan Tidak ada Lemah/tidak Menangis kuat
teratur

Penilaiannya adalah sebagai berikut :


 I : 1 menit setelah bayi lahir menentukan apakah di perlukan tindakan resusitasi.
II : 5 menit setelah bayi lahir untuk menilai hasil resusitasi dan prognosis.
 Bila bayi mendapatkan skor 7-10, menandakan bayi normal dan tidak membutuhkan
perawatan khusus pasca kelahiran.

5
 Bila bayi mendapatkan skor 4-6, menandakan interpretasi yang agak rendah, bayi mungkin
saja membutuhkan pertolongan pernapasan seperti penyedotan lendir atau pemberian
oksigen.
 Bila bayi mendapatkan skor di bawah 4, menandakan bayi membutuhkan perawatan medis
yang serius dan cepat.8

Penilaian pada Asfiksia Neonatorum dapat dibagi dalam tiga klasifikasi:

1. Asfiksia neonatorum ringan (Vigorus baby): Skor APGAR 7-10. Bayi dianggap sehat, dan
tidak memerlukan tindakan istimewa
2. Asfiksia neonatorum sedang (Mild–Moderate asphyxia): Skor APGAR 4-6. Pada
pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100x/menit, tonus otot kurang
baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfisia neonatorum berat: Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung kurang dari 100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat,
reflek iritabilitas tidak ada, pada asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus
menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang
post partum pemeriksaan fisik sama asfiksia berat.2,9

Pada dasarnya, bila bayi mendapatkan skor yang rendah dalam tes satu menit, itu tidak
menandakan bahwa bayi tidak sehat sepenuhnya. Tes APGAR ini masih dapat diulangi untuk
melihat adanya peningkatan pada bayi. Karena banyak bayi yang baru lahir melalui operasi
caesar misalnya, atau bayi lahir prematur, yang mayoritas mereka mendapatkan skor rendah, tapi
kemudian bisa sehat total.

DIAGNOSIS

Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia / hipoksia
janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya
tanda-tanda gawat janin.

Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu :

6
1. Denyut jantung janin

Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila
frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak
teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.7

2. Mekonium dalam air ketuban

Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala
mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium
dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri
persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.7

3. Pemeriksaan pH darah janin

Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada
kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya
asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu
dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia.7

ETIOLOGI

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan
kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini
dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar
asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama
masa kehamilan, persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi.
Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai
anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus dan bayi mendapat perawatan yang
adekuat dan maksimal pada saat lahir.2,3

Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah:

1. Faktor Ibu

7
Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini
dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia. Gangguan
aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan;
gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit
atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karna perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi
dan lain-lain.2
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksi janin
akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta,
perdarahan plasenta, dan lain-lain.2
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam pembuluh darah
umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini
dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara
janin dan jalan lahir dan lain-lain.2
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena; pemakaian obat anastesi/analgetika
yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin,
traoma yang terjadi pada persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan kongenital
pada bayi masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan,hipoplasia
paru dan lain-lain.2

Penyebab Asfiksia Neonatorum

Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi
baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini:

1. Faktor ibu
 Preeklampsia dan eklampsia
 Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

8
 Partus lama
 Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
 Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan).3

2. Faktor Tali Pusat


 Lilitan tali pusat
 Tali pusat pendek
 Simpul tali pusat
 Prolapsus tali pusat3

3. Faktor Bayi
 Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
 Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,
ekstraksi forsep)
 Kelainan bawaan (kongenital)
 Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)3

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi
dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari. Tidakan yang
dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir dengan memberikan ventilasi yang
adekuat dan pemberian oksigen yang cukup. Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan
bahwa:
1. Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, perubahan homeostasis
yang timbul makin berat, resusitasi akan lebih sulit dan kemungkinan timbulnya sekuele
akan meningkat.
2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki,
tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia pasca natal harus dicegah dan
diatasi.
3. Riwayat kehamilan dan partus akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor
penyebab terjadinya depresi pernapasan pada bayi baru lahir.

9
4. Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih
dan ditentukan secara adekuat.9

RESUSITASI

Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah
jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak dan curah jantung yang cukup dan
alat-alat vital lainnya.

Aspek yang sangat penting dari resusitasi terhadap asfiksia neonatorum adalah menilai
bayi, menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan resusitasi.
Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting, yaitu:
pernapasan, denyut jantung, dan warna kulit.8

Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua faktor
utama yang perlu dilakukan adalah:

1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat terjadi tanpa
diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat diantisipasi
dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.9

2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan minumum antara
lain:9

a. Perlengkapan penghisap
 Balon penghisap (bulb syringe)
 Penghisap mekanik dan tabung
 Kateter penghisap
 Pipa lambung

b. Peralatan balon dan sungkup

10
 Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen 90% sampai 100%, dengan
volume balon resusitasi ± 250 ml
 Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang bulan (dianjurkan yang memiliki
bantalan pada pinggirnya)
 Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10 L/m) dan tabung.

c. Peralatan intubasi
 Laringoskop
 Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yang cocok dengan
pipa endotrakeal yang ada

d. Obat-obatan
 Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) – 3 ml atau ampul 10 ml
 Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk penambah volume—100
atau 250 ml.
 Natrium bikarbonat 4,2% (5 mEq/10 ml)—ampul 10 ml.
 Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml atau 1,0 mg/ml
 Dextrose 10%, 250 ml

e. Lain-lain
 Alat pemancar panas (radiant warmer) atau sumber panas lainnya
 Monitor jantung dengan probe serta elektrodanya (bila tersedia di kamar bersalin)
 Oropharyngeal airways
 Selang orogastrik

Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :


 Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus rnerupakan
tim yang hadir pada setiap persalinan.
 Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus
dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien

11
 Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai suatu tim
yang terkoordinasi.
 Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya
ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
 Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan siap pakai.9

Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC
resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka (Airway)
 Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
 Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
 Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan
terbuka.5,8
2. Memulai pernafasan (Breathing)
 Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
 Memakai VTP bila perlu seperti: sungkup dan balon pipa ET dan balon atau mulut ke
mulut (hindari paparan infeksi).5,8
3. Mempertahankan sirkulasi (Circulation)
 Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
 Kompresi dada
 Pengobatan

Langkah awal resusitasi


Langkah awal perlu dilakukan secara cepat (dalam waktu 30 detik). Secara umum, 6
langkah awal di bawah ini cukup untuk merangsang bayi baru lahit untuk bernapas spontan dan
teratur.
1. Jaga bayi tetap hangat
 Letakkan bayi di atas kain yang ada di atas perut ibu atau dekat perineum.
 Selimuti bayi dengan kain tersebut.
 Pindahkan bayi ke atas kain ke tempat resusitasi.
 Tempatkan bayi di bawah pemanas radian.
12
Bayi harus diusahakan dalam kondisi hangat karena jika dalam keadaan hipotermia, maka
akan berkontribusi pada hipoglikemia, asidosis, dan bahkan mortalitas, khususnya pada bayi
dengan berat lahir sangat rendah.9

2. Atur posisi bayi


Letakkan bayi terlentang pada posisi setengah tengadah untuk membuka jalan napas.
Sebuah gulungan handuk diletakkan di bawah bagu untuk membantu mencegah fleksi leher
dan penyumbatan jalan napas. Jadi posisikan kepala setengah ekstensi.

3. Bersihkan jalan napas Isap lendir


 Bersihkan jalan napas dengan mengisap mulut terlebih dahulu kemudian hidung, dengan
menggunakan bulb syringe, alat pengisap lendir atau kateter pengisap. Perhatikan untuk
menjaga bayi dari kehilangan panas setiap saat.
 Pengisapan yang kontinu dibatasi 3-5 detik pada suatu pengisapan. Mulut diisap terlebih
dahulu untuk mencegah aspirasi.
 Pengisapan lebih agresif hanya boleh dilakukan jika terdapat mekonium pada jalan napas
(kondisi ini dapat mengarah ke bradikardia). Bila terdapat mekonium dan bayi tidak
bugar, lakukan pengisapan dari trakea.

4. Keringkan dan rangsang taktil


 Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lain dengan sedikit tekanan.
Rangsangan ini dapat memulai pernapasan bayi atau bernapas lebih baik.
 Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di bawah ini:
 Menepuk atau menyentil telapak kaki.
 Menggosok perut, punggung, dada atau tungkai bayi dengan telapak tangan.
Berbagai bentuk rangsangan taktil yang dulu pernah dilakukan, sebagian besar tidak
dilakukan lagi karena membahayakan kondisi bayi baru lahir. Rangsangan yang kasar, keras
atau terus-menerus, tidak akan banyak menolong dan malahan dapat membahayakan bayi.

5. Reposisi
Dalam hal ini mengatur kembali posisi kepala dan selimuti bayi.

13
 Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan kering yang baru (disiapkan).
 Selimuti bayi dengan kain tersebut, jangan tutupi bagian muka dan dada agar pemantauan
pernapasan bayi dapat diteruskan.

6. Penilaian apakah bayi menangis spontan dan teratur


 Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi kepala dilakukan <30 detik.
 Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa denyut jantung. Jika denyut
jantung >100x/menit dan bayi tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Akan tetapi,
jika masih sianosis, berikan oksigen aliran bebas.
 Bila bayi tidak bernapas atau megap-megap; segera lakukan tindakan ventilasi.

14
Gambar 1. Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum

Menilai bayi
Tiga hal penting dalam resusitasi:10
1. Pernafasan
Lihat gerakan dada naik turun, frekuensi dan dalamnya pernapasan selama 1 menit. Nafas
tersengal-sengal berarti nafas tidak efektif dan perlu tindakan. Jika pernapasan telah efektif

15
yaitu pada bayi normal biasanya 50x/menit dan menangis, maka lakukan penilaian
selanjutnya.

2. Frekuensi denyut jantung


Frekuensi denyut jantung harus > 100/menit. Cara yang termudah dan cepat adalah dengan
menggunakan stetoskop atau meraba denyut tali pusat. Meraba arteri mempunyai keuntungan
karena dapat memantau frekuensi denyut jantung secara terus-menerus, dihitung selama 6
detik (hasilnya dikalikan 10 = frekuensi denyut jantung selama 1 menit).10

3. Hasil penilaian
 Apabila frekuensi > 100 x/menit dan bayi bernafas spontan, dilanjutkan dengan menilai
warna kulit.
 Apabila frekuensi < 100x/menit, walaupun bayi bernafas spontan menjadi indikasi untuk
melakukan VTP (Ventilasi Tekanan Positif).10

4. Warna kulit
Setelah pernafasan dan frekuensi jantung baik, seharusnya kulit menjadi kemerahan. Jika
masih ada sianosis sentral, oksigen tetap diberikan. Bila terdapat sianosis perifer, oksigen
tidak perlu diberikan, disebabkan karena peredaran darah yang masih lamban, antara lain
karena suhu ruang bersalin yang dingin.10

Langkah-Langkah Resusitasi
 Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan selimuti
tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
 Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar.
 Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
 Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih
kemudian lanjutkan ke hidung.
 Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-usap
punggung bayi.

16
 Nilai pernafasan. Jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil
kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika merah / sianosis penfer
lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan
ventilasi tekanan positif.
 Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
 Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag atau
masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi mata, jika tidak
ada ambubag beri bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40 – 60 x / menit.
 Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10. Bila:
100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan. 60 – 100 ada peningkatan denyut
jantung teruskan pemberian PPV. 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung,
lakukan PPV, disertai kompresi jantung. < 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi
jantung. Kompresi jantung
 Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara kompresi jantung
: Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi tubuh bayi.
Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang tubuh bayi.
 Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada. Denyut jantung
80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai denyut jantung > 100 x /
menit dan bayi dapat nafas spontan. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan
pemberian obat epineprin 1 : 10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara IV.
 Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat. Jika denyut
jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis diatas tiap 3 – 5 menit.
 Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon terhadap di
atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg BB secara IV
selama 2 menit.9

Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutan bila semua
tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi jantungnya tetap kurang dari
100x/menit.Ventilasi adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah udara

17
ke dalam paru dengan tekanan positif yang memadai untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa
bernapas spontan dan teratur.
 Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.
 Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan
ventilasi harus sesuai.
 Kecepatan ventilasi, sebaiknya 40 – 60 x / menit.
 Tekanan ventilasi, nafas pertama setelah lahir membutuhkan 30 – 40 cm H2O.Setelah
napas pertama membutuhkan 15 – 20 cm H2O
 Observasi gerak dada bayi, adanya gerakan dada bayi turun naik, merupakan bukti
bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru –paru mengembang dengan
baik.
 Observasi gerak perut bayi, mungkin disebabkan oleh masuknya dalam udara dalam
lambung.
 Penilaian suara napas bilateral, adanya saluran napas di kedua paru – paru
merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar.
 Observasi pengembangan dada bayi, apabila dada kurang berkembang mungkin
disebabkan oleh salah satu penyebab berikut:
 Peletakan sungkup kurang sempurna.
 Arus udara terhambat dan tidak cukup tekanan.
 Apabila dengan tahapan diatas dada masih tetap kurang berkembang, sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi pipa balon.7

Terdapat beberapa jenis alat yang dapat digunakan untuk melakukan ventilasi pada bayi
baru lahir, masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda, seperti :
1. Balon mengembang sendiri (self inflating bag)
Balon mengembang sendiri (self inflating bag) setelah dilepaskan dari remasan akan terisi
spontan dengan gas (oksigen atau udara atau campuran keduanya) ke dalam balon.

18
Gambar 1: Balon mengembang sendiri (Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart
Association. Buku panduan resusitasi neonatus.Edisi ke-5, 2006.)

2. Balon tidak mengembang sendiri (flow inflating bag),


Balon tidak mengembang sendiri (flow inflating bag),disebut juga balon anestesi, terisi hanya
bila gas yang berasal dari gas bertekanan mengalir ke dalam balon.

Gambar 2: Balon tidak mengembang sendiri (Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart
Association. Buku panduan resusitasi neonatus.Edisi ke-5, 2006.)

3. T-piece resuscitator
T-piece resuscitator bekerja hanya bila dialiri gas yang berasal dari sumber bertekanan ke
dalamnya. Gas mengalir langsung, baik ke lingkungan sekitar maupun ke bayi, dengan
cara menutup atau membuka lubang pada pipa T dengan jari atau ibu jari.

19
Gambar 3: T-piece resuscitator (Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association.
Buku panduan resusitasi neonatus.Edisi ke-5, 2006.)

Menilai frekuensi denyut jantung bayi pada saat VTP


 Dinilai setelah melakukan ventilasi 15-20 detik pertama.
 Frekuensi denyut jantung bayi dibagi dalam 3 kategori:
1. >100x/menit
2. 60-100x/menit
3. <60x/menit
 Apabila frekuensi denyut jantung bayi >100x/menit. Bayi mulai bernafas spontan,
dilakukan rangsangan taktil untuk merangsang frekuensi dan dalamnya pernafasan. VTP
dapat dihentikan, oksigen arus bebas harus diberikan. Apabila frekuensi pernafasan
spontan dan adekuat tidak terjadi, VTP dilanjutkan.
 Apabila frekuensi denyut jantung bayi 60-100x/menit VTP dilanjutkan dengan memantau
frekuensi denyut jantung bayi.
 Apabila frekuensi denyut jantung bayi <60x/menit VTP dilanjutkan. Periksa ventilasi
apakah adekuat dan oksigen yang diberikan cukup adekuat.7,9

Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah dilakukan
ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri dari
kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke arah tulang belakang,
meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital

20
tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2
orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif—satu orang menekan dada dan yang lainnya
melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan frekuensi jantung, dan
suara napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara
bergantian.2,7
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena akan
menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar.
Prinsip dasar pada kompresi dada adalah:
a. Posisi bayi
Topangan yang keras pada bagian belakang bayi dengan leher sedikit tengadah.
b. Kompresi
 Lokasi ibu jari atau dua jari : pada bayi baru lahir tekanan diberikan pada 1/3 bawah tulang
dada yang terletak antara processus xiphoideus dan garis khayal yang menghubungkan
kedua puting susu.9

Gambar 6. Lokasi Kompresi

Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006.

 Kedalaman: diberikan tekanan yang cukup untuk menekan tulang dada sedalam kurang
lebih 1/3 diameter anteroposterior dada, kemudian tekanan dilepaskan untuk memberi
kesempatan jantung terisi. Satu kompresi terdiri dari satu tekanan ke bawah dan satu
pelepasan. Lamanya tekanan ke bawah harus lebih singkat daripada lamanya pelepasan
untuk memberi curah jantung yang maksimal. Ibu jari atau ujung-ujung jari (tergantung

21
metode yang digunakan) harus tetap bersentuhan dengan dada selama penekanan dan
pelepasan.7,9
 Frekuensi: kompresi dada dan ventilasi harus terkoordinasi baik, dengan aturan satu
ventilasi diberikan tiap selesai tiga kompresi, dengan frekuensi 30 ventilasi dan 90
kompresi permenit. Satu siklus yang berlangsung selama 2 detik, terdiri dari satu ventilasi
dan tiga kompresi.9
 Penghentian kompresi:
 Setelah 30 detik, untuk menilai kembali frekuensi jantung ventilasi dihentikan selama 6
detik. Penghitungan frekuensi jantung selama ventilasi dihentikan.
 Frekuensi jantung dihitung dalam waktu 6 detik kemudian dikalikan 10. Jika frekuensi
jantung telah diatas 60 x/menit kompresi dada dihentikan, namun ventilasi diteruskan
dengan kecepatan 40-60 x/menit. Jika frekuensi jantung tetap kurang dari 60 x/menit,
maka pemasangan kateter umbilikal untuk memasukkan obat dan pemberian epinefrin
harus dilakukan.

Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada setiap tahapan resusitasi sesuatu dengan keadaan,
antara lain beberapa keadaan berikut saat resusitasi:
a. Jika terdapat mekoneum dan bayi mengalami depresi pernapasan, maka intubasi dilakukan
sebagai langkah pertama sebelum melakukan tindakan resusitasi yang lain, untuk
membersihkan mekoneum dari jalan napas.
b. Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup menghasilkan perbaikan kondisi, pengembangan
dada, atau jika ventilasi tekanan positif berlangsung lebih dari beberapa menit, dapat
dilakukan intubasi untuk membantu memudahkan ventilasi.
c. Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu koordinasi antara kompresi dada dan
ventilasi, serta memaksimalkan efisiensi ventilasi tekanan positif.
d. Jika epinefrin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi jantung maka cara yang umum adalah
memberikan epinefrin langsung ke trakea melalui pipa endotrakeal sambil menunggu akses
intravena.
e. Jika dicurigai ada hernia diafragmatika, mutlak dilakukan pemasangan selang endotrakeal.
Cara pemasangan selang endotrakeal perlu dikuasai diantaranya melalui pelatihan khusus.8

22
Asuhan Pascaresusitasi
Asuhan pascaresusitasi diberikan sesuai dengan keadaan bayi setelah menerima tindakan
resusitasi. Asuhan pascaresusitasi dilakukan pada keadaan:
1. Resusitasi Berhasil: bayi menangis dan bernapas normal sesudah langkah awal atau sesudah
ventilasi. Perlu pemantauan dan dukungan.
2. Resusitasi tidak/kurang berhasil, bayi perlu rujukan yaitu sesudah ventilasi 2 menit belum
bernapas atau bayi sudah bernapas tetapi masih megap-megap atau pada pemantauan ternyata
kondisinya makin memburuk
3. Resusitasi gagal: setelah 20 menit di ventilasi, bayi gagal bernapas.11

Resusitasi berhasil
Resusitasi berhasil bila pernapasan bayi teratur, warna kulitnya kembali normal yang
kemudian diikuti dengan perbaikan tonus otot atau bergerak aktif. Lanjutkan dengan asuhan
berikutnya.8

Terapi medikamentosa
 Epinefrin : Indikasi : Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik
dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada. Asistolik. Dosis : 0,1-0,3 ml/kg BB dalam
larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang
setiap 3-5 menit bila perlu.10
 Volume ekspander : Indikasi : Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami
hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi. Hipovolemia kemungkinan akibat
adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi
kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat. Jenis cairan :
Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat). Transfusi darah golongan O
negatif jika diduga kehilangan darah banyak. Dosis : Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan
selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.10
 Bikarbonat : Indikasi : Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan
resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan bikarbonat pada

23
keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa
gas darah dan kimiawi. Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb
(8,4%). Cara : Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan
secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit. Efek samping : Pada keadaan
hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan
otak.10
 Nalokson: Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan
depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil. Indikasi
: Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam
sebelum persalinan. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai
sebagai pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawl tiba-tiba pada
sebagian bayi. Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml). Cara : Intravena,
endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau s.c.10
 Suportif: Jaga kehangatan. Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka. Koreksi
gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit).10

Alur / Mekanisme Rujukan


1. Setelah dilakukan resusiatasi, jika belum juga berhasil maka bayi segera di rujuk ke rumah
sakit yg memiliki fasilitas lengkap dengan memasang oksigen terlebih dahulu pada bayi
asfiksia.
2. Dampingi keluarga dan bayi tersebut selama proses merujuk.
3. Tetap jaga kehangatan bayi selama dalam perjalanan merujuk
4. Beritahu orang tua dan keluarga bayi mengenai keadaan bayinya.
5. Lakukan informed consent.11

Cara Merujuk
Sistem rujukan Neonatus adalah suatu sistem yang memberikan suatu gambaran tata cara
pengiriman Neonatus resiko tinggi dari tempat yang kurang mampu memberikan penanganan ke
Rumah Sakit yang dianggap mempunyai fasilitas yang lebih mampu dalam hal
penatalaksanaannya secara menyeluruh.

24
Tujuan sistem rujukan neonatus adalah memberikan pelayanan kesehatan pada neonatus
dengan cepat dan tepat, menggunakan fasilitas kesehatan neonatus efesien mungkin dan
mengadakan pembagian tugas pelayanan kesehatan neonatus pada unit-unit kesehatan sesuai
dengan lokasi dan kemampuan unit-unit tersebut serta mengurangi angka kesakitan dan kematian
bayi.7

Unit perawatan bayi baru lahir dapat dibagi menjadi :

1. Unit perawatan bayi baru lahir tingkat III


Merupakan penerima rujukan baru lahir yang lahir dirumah atau pondok bersalin dengan
memberi pelayanan dasar pada bayi yang baru lahir di Puskesmas dengan tempat tidur dan
rumah bersalin. Kasus rujukan yang dapat dilakukan adalah Bayi kurang bulan, sindroma
ganguan pernafasan, kejang, cacat bawaan yang memerlukan tindakan segera, ganguan
pengeluaran mekonium disertai kembung dan muntah, kuning yang timbulnya terlalu awal atau
lebih dari dua minggu dan diare. Pada unit ini perlu penguasaan terhadap pertolongan pertama
kagawatan bayi baru lahir seperti pengenalan tanda-tanda sindroma ganguan nafas, infeksi atau
sepsis, cacat bawaan yang memerlukan dengan segera, masalah ikterus,muntah, pendarahan,
barat badan lahir rendah dan diare.11

2. Unit perawatan bayi baru lahir tingkat II


Pada unit ini telah ditempatkan sekurang-kurangnya empat tenaga dokter ahli dimana
pelayanan yang diberikan berupa pelayanan kehamilan dan persalinan normal maupun resiko
tinggi. Perawatan bayi yang baru lahir pada unit ini meliputi kemampuan pertolongan resusitasi
bayi baru lahir dan resusitasi pada kegawatan selama pemasangan pita endotrakeal, terapi
oksigen pemberian cairan intravena, tetapi sinar dan tranfusi tukar, penatalaksanaan hipoglikemi,
perawatanbayi berat badan lahir rendah dan bayi lahir dengan tindakan. Sarana penunjang berupa
laboratorium dan pemeriksaan radiologis yang telah tersedia pada unit init disamping telah dapat
dilakukan tindakan bedah segaera pada bayi- bayi oleh karena telah adanya dokter bedah.11

3. Unit perawatan bayi baru lahir tingkat I


Pada unit ini semua aspek yang menyangkut dengan masalah perinatologi dan neonatologi dapat
ditangani disini. Unit ini merupakan pusat rujukan sehingga kasus yang ditangani sebagian besar
merupakan kasus resiko tinggi baik dalam kehamilan, persalinan maupun bayi baru lahir.11

25
KOMPLIKASI
 Edema otak
 Pendarahan otak
 Anuria atau oligouria
 Hiperbilirubinemia
 Obstruksi usus
 Kejang sampai Koma4,7

PROGNOSIS
 Asfiksia ringan: tergantung pada kecepatan penatalaksanaan.
 Asfikasi berat: dapat terjadi kematian atau kelainan saraf pada hari-hari pertama. Asfiksia
dengan pH 6,9 dapat menyebabkan kejang sampai koma dan kelainan neurologis
permanen, misalnya sereberal palsi atau retardasi mental.8

KESIMPULAN

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas dengan
spontan dan teratur segera setelah lahir. Untuk menentukan derajat asfiksia dapat menggunakan
APGAR score. Bayi dengan asfiksia pertolongan pertamanya dapat di lakukan dengan tindakan
Resusitasi. Untuk melakukan tindakan resusitasi, penolong harus benar-benar mempunyai
kemampuan untuk melakukannya, sebab tindakan ini hanya di lakukan dalam 30 detik. Dalam
melakukan tindakan resusitasi di mulai dari langkah awal, jika tidak berhasil di lanjutkan dengan
pemberian Ventilasi Tekanan Positif (VTP) dan apabila tidak berhasil juga bisa di lakukan
kompresi dada atau bahkan belum berhasil berikan medikamentosa seperti obat-obatan
(epineprin). Apabila kondisi bayi membaik, lakukan perawatan pasca resusitasi dan asuhan bayi
normal.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Suradi R, Aminullah A, Khosim S, Rohsiswatmo R, Soeroso S, et al. Pencegahan dan


penatalaksanaan asfiksia neonatorum. Health Techonology Assement Indonesia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta; 2008. h.1,6-7,16-28.
2. Staf pengajar ilmu kesehatan anak. Ilmu Kesehatan Anak, jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI. 1985. h 1072-81.
3. IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2004; h. 272-276.
4. World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-Revision.
Geneva: World Health Organization; 1999. Diunduh dari: www.who.int/reproductive-
health/publications/newborn_resus_citation/index.html. 13 Agustus 2017.
5. American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and
Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap LC, Oh W,
editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics. 2002: 196-7.
6. Wahab S, Sugiarto, Pendit B U. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Pemeriksaan Bayi Baru
Lahir. Ed 20, Vol 1. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 2006; 274-5.
7. Hardiono, Dipusponegoro. Asfiksia Neonatorum, Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Edisi 1. Jakarta: 2004.
8. Hassan R, Alatas H, editor. Buku ajar ilmu kesehatan anak jilid 3. edisi ke-11. Jakarta :
Percetakan infomedika; 2007.h.1000-1016,1072-77
9. Kattwinkel J. American Heart Association and American Academy of Pediatrics.
Textbook of Neonatal Resuscitation. Ed 5th, 2006.
10. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management,
procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York : Lange Books/Mc
Graw-Hill, 2004; 12-20.
11. Saifudin AB. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Resusitasi Neonatus. Ed 4.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010; 348-55.

27

Anda mungkin juga menyukai