Anda di halaman 1dari 10

.

1 Teori Struktur Kota


Dalam membahas fasilitas yang meliputi fasilitas pelayanan maka tidak terlepas dari teori
struktur kota, hal ini dikarenakan fasilitas merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan bagi
suatu kota. Berdasarkan perkembangannya di kenal 3 (tiga) teori struktur kota yaitu konsentrik,
sektoral dan pusat banyak.

2.1.1 Teori Struktur Kota Konsentrik


Teori struktur kota konsentrik dikemukakan oleh Burgess, dalam teori tersebut kota dibagi
menjadi beberapa zona. Secara garis besar model konsentrik terbagi menjadi tiga zona, paling
dalam zona pusat kota dan paling luar zona pinggiran, antara zona pusat kota dan zona pinggiran
terdapat zona transisi/peralihan. Secara berurut dari pusat ke pinggiran struktur
konsentrik terdiri dari komponen-komponen :
 Pusat Kota;
 Industri Ringan;
 Permukiman Golongan Rendah;
 Permukiman Golongan Menengah;
 Permukiman Golongan Tinggi;

Salah satu komponen yang ada di zona pusat kota adalah fasilitas pelayanan (khususnya pusat
perbelanjaan dan fasilitas lainnya) yang dalam teori ini dianggap mampu melayani penduduk
dalam skala kota yang mencakup penduduk yang berada di zona pinggiran.

2.1.2 Teori Sektoral


Teori sektoral dikembangkan oleh Hommer Hoyt, teori ini berbeda dengan teori konsentrik,
dalam teori sektoral semua jenis permukiman baik permukiman golongan rendah, menengah
maupun tinggi mempunyai akses yang sama ke pusat kota. Sehingga semua penduduk di setiap
permukiman mendapatkan kesempatan yang sama (aksesibilitas) dalam mengkonsumsi fasilitas
pelayanan yang berada di pusat kota.

2.1.3 Teori Multiple Nuclei (Pusat Banyak)


Semakin berkembangnya kegiatan, khususnya kegiatan dibidang ekonomi, yang didukung
dengan sistem transportasi memudahkan pergerakan individu ke pusat-pusat kegiatan.
Perkembangan tersebut tidak selamanya menguntungkan pada suatu titik tertentu perkembangan
tersebut justru merugikan individu maupun pusat kegiatan itu sendiri karena timbulnya
kemacetan, sehingga individu memilih mengkonsumsi di pusat-pusat pelayanan yang tidak
berada di pusat kota. Guna mengantisipasi hal tersebut banyak dikembangkan pusat-pusat
kegiatan baru di daerah pinggiran.

Sehingga muncul teori multiple nuclei yang dikembangkan oleh Harris Ullman. Perkembangan
teori multiple nuclei mengarah pada desentralisasi kegiatan sehinga terbentuk pusat-pusat
kegiatan baru yang berada di luar kawasan pusat. Menurut teori ini perkembangan suatu kota
cenderung membentuk suatu pusat banyak, dimana kegiatan-kegiatan yang saling
menguntungkan akan beraglomerasi pada satu kawasan, sehingga muncul kawasan perdagangan,
kawasan pemerintahan, kawasan pendidikan, dan lain sebagainya.

Perkembangan teori multiple nuclei mengilhami arahan pengembangan kegiatan ke wilayah


pinggiran dengan membentuk/membangun pusat-pusat kegiatan baru yang menarik penduduk
berpendapatan menengah ke atas dari pusat kota sebagai akibat berkembangnya getho di pusat
kota. Perkembangan wilayah pinggiran lebih dipercepat dengan tumbuhnya “bussiness parks and
office towers’ mulai tahun 1970-an (Robert Cervero, 1989:136) yang mengarah pada pergeseran
struktur ekonomi (Garry Pivo, 1990:457), sehingga terjadi desentralisasi ke wilayah pingggiran
termasuk di dalamnya fasilitas pelayanan, dimana wilayah pinggiran telah berkembang menjadi
pusat-pusat kegiatan baru.

2.2 Fungsi dan Permasalahan Pusat Kota


2.2.1 Fungsi Pusat Kota
Pusat kota tempat terkonsentrasinya kegiatan produktif kota yang paling strategis dan aksesibel
dibandingkan kawasan lainnya. Kawasan pusat kota adalah bagian dari wilayah kota yang
merupakan pusat pelayanan yang paling tinggi (dominan) untuk memenuhi kebutuhan
penduduk. Sebagai konsekuensinya penggunaan lahan di kawasan pusat kota terdiri dari
elemen-elemen kegiatan fungsional yang mempunyai skala, jangkauan, dan hirarki pelayanan
tingkat kota.
(Keeble, 1969:195).

Terdapat ada dua hal yang menyebabkan penurunan keefektifan pelayanan suatu pusat kota
(Richardson H.W, 1972:42), yang disebabkan:
 akibat jarak pencapaian ke pusat kota yang semakin jauh;
 akibat adanya kemacetan lalulintas, waktu perjalanan dan biaya-biaya lainnya ke pusat kota
meningkat sebagai akibat kepadatan lalulintas yang sangat tinggi;

Pusat kota merupakan bagian dari wilayah kota yang mempunyai karakteristik intensitas
penggunaan lahan non pertanian sangat tinggi yang didukung oleh sistem aksesibilitas tinggi
sehingga memudahkan pencapaiannya. Awal perkembangannya pusat kota dimulai dari tempat
yang strategis yang memberikan kemudahan pencapaian dari segala tempat
lainnya. Perkembangan selanjutnya ditandai adanya spesialisasi kegiatan dengan adanya
pengelompokan kegiatan komersial, perdagangan, jasa, administrasi, budaya dan lain
sebagainya.

Pusat kota merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa, serta sosial budaya
(Gibberd, 1970:55). Kegiatan pemerintahan ditandai dengan berdirinya bangunan/perkantoran
pemerintahan (balai kota, kantor instansi terkait, kantor polisi), kegiatan perdagangan dan jasa
ditandai dengan berdirinya pusat-pusat perbelanjaan (departemen store hingga pertokoan),
perhotelan, perbankan, dan pergudangan. Sedangkan sebagai pusat sosial budaya ditandai
dengan berdirinya gedung museum, galeri, gedung serba guna/pertemuan, perpustakaan, gedung
kesenian, dan bioskop.
Dengan nilai lahan yang relatif tinggi maka dalam perkembangaanya pusat kota dibedakan
menjadi kawasan inti (core) dan kawasan rangka atau frame, (Yates dan Garner,1980:335-336).

Kawasan inti mempunyai skala pelayanan antar kota maupun pelayanan dalam kota (intra &
intra city) didominasi oleh gedung-gedung pencakar langit (gedung bertingkat) yang
merefleksikan perkembangan vertikal, dengan kegiatan utama yang dibedakan menjadi 3
kegiatan.

Pertama kegiatan keuangan (financial activities) yang terdiri dari kegiatan perbankan, kegiatan
asuransi, broker/pialang, kedua spesialisasi kegiatan eceran (specialized retailing functions) dan
yang ketiga sebagai tempat kegiatan pelayanan sosial dan profesional (social and professional
services).

Sedangkan kegiatan di kawasan rangka (frame) terdiri dari kegiatan-kegiatan yang kalah
bersaing dengan kegiatan di kawasan pusat, dan mempunyai fungsi mendukung kegiatan di
kawasan pusat, kawasan frame lainnya dan antar kota (intra city). Kegiatan-kegiatan yang
berada di kawasan frame terdiri dari permukiman, pusat-pusat pelayanan (pemerintahan,
kesehatan, pendidikan), perhotelan, industri manufakturing, terminal, pemasaran dan bengkel
mobil, pergudangan.

Dari pandangan Yeates and Gardner dapat disimpulkan bahwa kegiatan fasilitas bank berada di
kawasan inti, sedangkan pendidikan (pendidikan tinggi), perbelanjaan dan pelayanan kesehatan
(rumah sakit) berada di kawasan frame.

2.3 Teori Pusat Pelayanan


2.3.1 Teori Central Place
Berdasarkan teori ini besarnya wilayah pelayanan yang dapat dilayani oleh satu pusat pelayanan
sebanding dengan hirarki skala pelayanan dan jangkauan pelayanannya. Berdasarkan anggapan
teori tersebut manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari pusat pemenuhan kebutuhan
yang paling dekat, mudah dan murah dicapai serta yang sesuai dan dapat memenuhi selera
kebutuhannya (Djoko Sujarto, 1977). Dalam prakteknya terdapat pusat pelayanan dengan hirarki
pelayanan yang sama mempunyai daya layan yang berbeda (Donny Prakoso, 1992:13) dengan
kata lain ada pertimbangan lain selain faktor jarak terdekat, yang mempengaruhi pemilihan
lokasi pusat pelayanan oleh penduduk.

2.3.2 Teori Lainnya


Metode untuk menelaah perilaku pemakai fasilitas pelayanan dapat dikelompokan menjadi 3
macam (Donny Prakoso, 1992:13), yaitu :
 Teori interaksi ruang (spatial interaction theory), bertentangan dengan pandangan teori lokasi
pusat (central place theory), teori menganggap ada kecenderungan penduduk untuk
menggunakan fasilitas/pusat pelayanan ditentukan oleh imbangan antara keuntungan yang
didapat (daya tarik fasilitas) dengan kerugian yang harus ditanggung (jarak pencapaian);
 Teori perilaku konsumen (theoritical consumer behavioural), teori ini untuk memperbaiki teori
interaksi ruang, dalam teori ini menekankan pada keadaan penduduk sebagai konsumen yang
terlalu diabaikan dalam teori interaksi ruang, khususnya preferensi penduduk pada pusat-pusat
fasilitas pelayanan;
 Perilaku empiris konsumen (empirical consumer behavioural), dalam teori ini lebih menekan
pada penjelasan yang rinci dan lengkap pada karakteristik perilaku konsumen, dengan
melibatkan banyak faktor-faktor individual, keunggulan dari teori ini hanya dalam penggunaan
yang bersifat deskriptif;

2.4 Beberapa Teori Pusat Perdagangan


Dalam perkembangannya lokasi perdagangan bagian dari fasilitas sosial, tidak selamanya
mengacu kepada peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Khususnya pengembangan
kegiatan yang berorientasi pada keuntungan, penetapan lokasi bagi pengembangan kawasan
perdagangan saat ini lebih banyak ditentukan oleh keuntungan (profit oriented). Lokasi sangat
memegang peran yang sangat penting untuk mengembangkan fasilitas perdagangan, karena
dalam pengembangan fasilitas perlu memilih lokasi-lokasi yang mempunyai peluang untuk
mendapatkan keuntungan secara maksimal, sehingga memudahkan konsumen untuk
mengunjungi kawasan perdagangan tersebut (Berry, 1970:3).

Pada tahap perkembangan selanjutnya pusat-pusat perbelanjaan lebih mendekati kepada


konsumen, hal ini ditandai dengan semakin banyak dibangun pusat-pusat perbelanjaan di pusat-
pusat permukiman yan tersebar di pinggiran kota. Menurut Lee (Lee, 1984:30-33) salah satu
prinsip pemilihan lokasi bagi pengembangan pusat perbelanjaan berada di luar kota/pinggiran
didasarkan pada kedekatan konsumen asal didukung oleh aksesibilitas yang memadai. Pendapat
ini didukung pula oleh Richard Nelson (Nelson, 1958:44), ada empat faktor yang mempengaruhi
pemilihan suatu lokasi pusat perdagangan salah satunya aksesibilitas ke tempat permukiman
(lainnya reputasi, bentuk fisik dan aksesibilitas ke tempat non komersial).

Disamping itu penentuan lokasi perdagangan sangat dipengaruhi oleh perubahan


keadaan sosial ekonomi penduduk (Bromley dan Thomas, 1993:55), ada empat faktor yang
berpengaruh, yaitu:
1. transportasi, meningkatnya kesejahteraan penduduk sangat memungkinkan untuk memiliki
kendaraan, sehingga dapat melakukan pergerakan dalam jarak yang relatif jauh, dengan adanya
kemacetan di pusat-pusat kota maka timbul kecenderungan adanya perubahan dalam berbelanja
ke daerah pinggiran;
2. perubahan spasial dan populasi, adanya kebijaksanaan pemerintah yang lebih menekankan
perkembangan ke arah pinggiran karena pusat kota telah jenuh, menyebabkan banyak fasilitas
perdagangan dibangun di pinggiran dengan tujuan untuk lebih dekat dengan konsumen;
3. perubahan karakteristik pekerja;
4. perubahan gaya hidup, dimana kegiatan berbelanja dijadikan sarana berekreasi;

Salah satu faktor yang dikemukakan oleh Bromley dan Thomas bahwa kegiatan berbelanja
dijadikan sarana rekreasi, jauh sebelumnya telah dikemukan oleh Victor Gruen (Gruen, 1973:69)
menyatakan kegiatan membeli yang dilakukan masyarakat kadang-kadang telah membaur
dengan kegiatan yang bersifat rekreatif, bahkan ada kecenderungan kegiatan rekreatif yang lebih
mendorong masyarakat untuk berkunjung ke pusat perbelanjaan.

Untuk mampu menjaring banyaknya jumlah konsumen agar datang ke pusat perbelanjaan maka
perlu adanya daya tarik yang dimiliki oleh pusat perbelanjaan tersebut, baik bentuk fisik,
reputasinya maupun aksesibilitasnya (Nelson, 1958:44). Hal ini dikarenakan salah satu penyebab
penduduk/konsumen datang ke pusat perbelanjaan karena tertarik dari kelebihan-kelebihan yang
dimiliki oleh pusat perbelanjaan tersebut. Menurut Beddington (Beddington, 1982:23) perilaku
konsumen yang datang ke pusat perbelanjaan dibedakan menjadi dua:
1. shopping adalah kegiatan ke pusat perbelanjaan yang lebih bersifat rekreasi;
2. membeli adalah kegiatan yang telah direncanakan untuk membeli suatu barang tertentu;
Pendapat tersebut didukung oleh Darlow bahwa pada perkembangan pusat perbelanjaan pada
tahap selanjutnya perlu dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas rekreatif yang sekaligus sebagai
daya tarik (Sumarsono, 1994:24), hal ini menuntut pusat perbelanjaan tidak hanya menyediakan
kebutuhan-kebutuhan umum/pokok tetapi perlu dilengkapi dengan jenis lainnya untuk menarik
konsumen yang hanya bertujuan shopping berubah menjadi pembeli barang yang tidak
direncanakan sebelumnya.

2.4.1 Skala Pelayanan Pusat Perbelanjaan


Berdasarkan jangkauan pelayanan dari pusat-pusat perbelanjaan yang ada, maka dibedakan
menjadi tiga jenis pusat perbelanjaan (Gossling dan Maitland, 1976:20);
1. Neighborhood Center, yaitu pusat perbelanjaan yang terletak di tengah-tengah lingkungan
permukiman penduduk, skala pelayanan yang dapat dilayani antara 5.000-40.000 jiwa dengan
luas lahan 2.700-9.000 m2, jenis barang yang dijual barang-barang kebutuhan sehari-hari;
2. Community Center, skala pelayanan pusat perbelanjaan ini meliputi wilayah berpenduduk antara
40.000 - 150.000 jiwa dengan luas areal 9.000 - 25.000 m2. Jenis barang yang dijual meliputi
sandang, alat kosmetika, barang-barang mewah, barang elektronik, dan lain sebagainya;
3. Regional Center, skala pelayanan yang mampu dilakukan oleh pusat perbelanjaan ini meliputi
wilayah dengan jumlah penduduk antara 150.000 - 400.000 jiwa, luas areal untuk pengembangan
pusat perbelanjaan sekitar 25.000 - 90.000 m2, jenis fasilitas yang yang dibangun meliputi
fasilitas rekreasi seperti bioskop, pusat makanan (restoran) disamping pusat perbelanjaan;

Menurut Yates dan Garner ada empat hirarki pusat perbelanjaan yang dapat melayani kebutuhan
penduduk (Yates dan Garner, 1980:328), yaitu:
1. Convenience Store, yang tersebar di permukiman penduduk, yang berupa toko-toko biasanya
terdiri 1 sampai 4 toko, jenis barang yang dijual bahan makanan dan minuman;
2. Neighborhood Centers pada umumnya menyediakan barang yang hampir sama dengan
Convenience Store ditambah dengan beberapa fasilitas lainnya seperti salon, restoran,
minimarket;
3. Community Centers, pada umumnya menyediakan barang yang hampir sama dengan di
Neighborhood Centers hanya ditambah beberapa fasilitas seperti toko pakaian, furniture, toko
elektronik, serta toko perhiasan;
4. Regional Centers, pada umumnya menyediakan barang seperti di Community Centers ditambah
fasilitas dengan fungsi yang lebih tinggi seperti pusat perbelanjaan sejenis department store;

2.5 Konsep Neighborhood Unit


Konsep neighborhood unit didasarkan pada pemikiran untuk memperbaikan permasalahan
lingkungan perkotaan. Konsep ini dipelopori oleh Ebenezer Howard dengan bukunya Garden
City of Tomorrow (Howard, 1945), yang bertujuan untuk membentuk lingkungan perkotaan
yang ideal, baik dari aspek sosiologis maupun aspek fisik. Konsep neighborhood unit membagi
kota berdasarkan unit-unit lingkungan sehingga tercipta hubungan/ikatan yang erat di dalam unit,
agar tercapai ikatan yang sama eratnya antar unit maka suatu kota seharusnya dikembangkan
dalam skala yang tidak terlalu besar. Menurut Djoko Sujarto Suatu kota harus mampu mewadahi
berbagai fungsinya, agar tidak kehilangan ikatan yang manusiawi diantara penduduknya maka
sebaiknya kota dikembangkan dalam skala yang tidak terlalu besar (Djoko Sujarto, 1995:5).

Konsep Neighborhood tidak hanya fenomena sosiologi kemasyarakat tetapi mencakup pada
masalah fisik lingkungan (Gallion, 1959:278), suatu contoh sederhana seorang ibu menghendaki
anaknya di awal masuk sekolah dasar/taman kanak-kanak tidak harus menyeberang jalan, lokasi
sekolah dapat ditempuh oleh anak sekolah dengan berjalan kaki, ibu rumah tangga dengan
mudah ke tempat pusat perbelanjaan dengan berjalan kaki guna memenuhi kebutuhan pokok
harian, dan kepala rumah tangga dengan mudah mendapatkan transportasi untuk pergi ke tempat
kerja.

Clerence Stein’s (Gallion,1959:279) mengembangkan konsep neighborhood unit dengan


menetapkan jarak jangkau dari tempat tinggal ke tempat mengkonsumsi fasilitas, jarak terkecil
ke sekolah dasar (elementary school) dan pertokoan lokal sejauh ½ mil (0,8 km) dari tempat
tinggal, sedangkan untuk mengkonsumsi fasilitas lainnya seperti sekolah lanjutan (high school),
pusat perbelanjaan distrik sejauh 1 mile (1,6 km).

Clarence Perry (Gallion, 1959:280) mengembangkan konsep Neighboorhood Unit, dengan


memberikan pembatasan yang jelas terhadap pusat perumahan, batasan tersebut berupa jalan
arteri, pusat perumahan tidak melewati jalan arteri tersebut. Hal ini untuk menghindari
terjadinya penyebarangan jalan dalam mengkonsumsi fasilitas lokal, penduduk mengkonsumsi
fasilitas lokal dengan jarak ¼ mil yang dapat dicapai dengan berjalan kaki, sehingga tercipta
interaksi yang kuat antara penghuni dengan fasilitas sosial yang ada di tempat tersebut.
Sedangkan untuk mengkonsumsi fasilitas lainnya dalam skala distrik (pusat perbelanjaan
distrik) dan pusat bisnis berada di luar radius 1 mil.

N.L. Engelhardt, Jr. (Gallion, 1959:281), mengembangkan konsep neighborhood unit lebih
komprehensif, yang berisi fasilitas elementary school, tempat perbelanjaan kecil skala distrik
(small shopping district) dan play ground.

Fasilitas-fasilitas tersebut dikelompokan dekat dengan pusat neighborhood unit yang dapat
dicapai dengan jalan kaki dari rumah sejauh ½ mil. Standar elementari school untuk 600-800
orang, untuk penduduk yang bertempat tinggal di satu unit neighborhood sebanyak 1.700
keluarga. Dua unit neighborhood menampung 3.400 keluarga yang dilengkapi dengan sekolah
lanjutan pertama (yunior high school) serta tempat rekreasi, dapat dicapai dengan jalan kaki,
berjarak 1 mile dari pusat permukiman. Empat unit neighborhood menampung 6.800 keluarga
yang dilengkapi dengan sekolah lanjutan atas (senior high school), pusat perbelanjaan dilengkapi
taman yang relatif luas dan tempat rekreasi.

Secara konseptial N.L. Engelhardt, Jr, menggambarkan dalam sutu diagram yang
pengembangan fasilitas sebagai berikut:
 di tiap pusat neighborhood unit terdapat elemtary school beradius ½ mil, dan tempat bermain
beradius ¼ mil;
 jarak maksimal dari tiap unit neighborhood unit ke sekolah menengah 1 mile;
 jarak maksimum sekolah menengah atas dan college dari tiap neighborhood unit 1,5 mil;
Salah satu karyanya dalam merencanakan lingkungan di Kota London, kawasan yang
direncanakan di bagi menjadi beberapa unit neighborhood yang masing-masing dihubungkan
dengan jalan utama:
 di masing-masing unit terdiri dari beberapa unit permukiman;
 di masing-masing unit dilengkapi fasilitas sekolah (elementary, junior dan senior high school,
serta pusat perbelanjaan lokal;
 di antara unit-unit neighborhood terdapat sub pusat perbelanjaan (subsdiary shopping center);
 di pusat utama terdapat pusat perbelanjaan utama yang dapat melayani kebutuhan semua unit,
sekolah tinggi (secondary school), serta ruang terbuka (open space);
 serta dilengkapi jaringan kereta api beserta stasiunnya;

Jose Sert (Gallion, 1959:282), menggambarkan konsep neighborhood unit dengan menempatkan
elementary school di tiap pusat neighborhood unit beradius ¼ mil dan dapat dicapai dengan
berjalan kaki. Di dalam suatu bagian kota dikembangkan 6 (enam) hingga 8 (delapan) unit
neighborhood unit yang mampu menampung penduduk 56.000-80.000 jiwa. Sekolah menengah
(junior high school) melayani tiap-tiap 3-4 neighborhood unit, dan sekolah lanjutan atas (senior
high school) melayani 6-8 unit neighborhood unit, serta dilengkapi pusat kegiatan yang
melayani seluruh neighborhood unit dan jalur hijau (green belt).

Disamping elementary school di tiap neighborhood unit dilengkapi fasilitas pre school (taman
kanak-kanak atau play group), mesjid, pusat perbelanjaan lokal, perpustakaan, dan pelayanan
darurat (emergency clinic).

Sedangkan di pusat bagian kota yang mempunyai skala pelayanan yang mencakup seluruh
neighborhood unit dilengkapi fasilitas sekolah lanjutan (junior dan senior high school), gedung
auditorium dan gedung pertemuan, gedung konser, theatre, perbelanjaan utama, pusat rekreasi
dan administrasi, dan dilengkapi dengan jalan bebas hambatan (by pass) ke pusat kota yang
mempunyai skala pelayanan regional, berisi fasilitas regional yang mencakup administrasi,
pendidikan tinggi, hotel, pusat perdagangan regional, dan pusat rekreasi, serta jalur hijau (green
belt).
http://misssuchy.blogspot.com/2012/10/teori-kota.html

Anda mungkin juga menyukai