Pada dasarnya alam mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi
dan seimbang, olehnya itu, perlindungan dan pengelolaan sumber daya
alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan
keseimbangan itu. Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik,
yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber
daya alam, dan pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh
pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat
terbatas.
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum juga lahir dan
berkembang dalam situasi kesejarahan. Karena itu, meskipun konsep
negara hukum dianggap sebagi konsep universal, pada daratan
implementasi ternyata memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini
dikarenakan adanya pengaruh-pengaruh kesejarahan tadi, disamping
pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara dan lain-lain. Atas dasar
itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam
berbagai model seperti negara hukum menurut Alquran dan Sunnah atau
nomokrasi Islam, negara hukum menurut Eropa Kontinental yang di
namakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of
law), konsepsocialist legality, dan konsep negara hukum pancasila
(Ridwan HR,2006:1-2). Sebagai negara hukum, maka usaha penegakan
hukum harus berdasar pada prinsip bahwa hukum harus tetap dipegang
teguh, karena tegaknya hukum dalam suatu negara hukum merupakan
jaminan pengakuan akan hak-hak masyarakat.
Tetapi bila dicermati lebih jauh, masih banyak hal-hal yang perlu
dibenahi dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam pasal 26 ayat (2)
bahwa” pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip
pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan
sebelum kegiatan dilaksanakan”. Dalam pasal ini, tidak diikuti
penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk informasi secara lengkap
tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut
tidak dilakukan, begitupula dalam ayat (4) “masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen
amdal” juga tidak di ikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan
kerancuan dalam hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen
tersebut, sehingga justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses
awal pembangunan.
Padahal tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami undang-undang
sangat kurang, seperti yang dikatakan Tasdyanto Rohadi (Ketua Umum
Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia), survei terhadap tingkat
pemahaman UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
sudah berlaku lebih dari 10 tahun menunjukkan 15 % masyarakat sebuah
kota memahami UU tersebut dengan baik. Sebagian besar lagi, yaitu 25
% mengetahui judul tanpa mengetahui substansi pengaturan dengan baik.
Yang menyedihkan adalah, sisanya, 60 % masyarakat kota tersebut tidak
mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan baik, dan hal ini
menunjukkan bahwa cara menyelenggarakan kebijakan kepada masing-
masing segmen tersebut membutuhkan cara dan strategi yang berbeda.
UUPPLH yang sangat bernuansa ilmiah dan akademis hanya akan mampu
dipahami oleh komunitas rasional. Hanya sayangnya komunitas rasional
di perkotaan tidak lebih dari 30 %, bahkan di desa-desa, komunitas
rasional tidak melebihi dari 5 %.
(AgusAdianto,2009:http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.p
hp?ac-id=NjkzMw==).
Pasal 66 dari UUPPLH yang perlu untuk dicermati dan kritis adalah
pasal 66. Selengkapnya pasal ini berbunyi:”Setiap orang yang
memperjuangkan hak atas linkungan hidup yang baik dan sehat tidak
dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang salah dari pasal
ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau pelapor yang menempuh
cara hukum akibat pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup
dan perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari
terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap
memperhatikan kemandirian peradilan (Edy Rachmad, 2010:
http://waspadamedan.com/index.php?
option=com¬_content&view=article&id=hati-hati-dengan-pasal-66-uu-
no32-tahun-2008&catid=63:surat-pembaca&Itemd=234).
Dalam UU No.32 tahun 2009 yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan
hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai
unsur lingkungan hidup. Selanjutnya pada pasal 20 dinyatakan baku
mutu lingkungan meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku
mutu air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu
gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Untuk menerapkan baku mutu lingkungan
terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut,
diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang
besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat (Anonime,
http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/3197-implikasi-uu-no-32-
tahun-2009-terhadap-industri-migas-nasional.html).