Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bronkiolitis


Bronkiolitis merupakan penyakit pernapasan akut pada anak kecil
akibat peradangan jalan napas yang sempit ditandai dengan mengi. Bronkiolitis
adalah peradangan akut jaringan interstitial dan bronkiolus paru.1,5 Bronkiolitis
adalah penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi bronkioli
pada bayi <2 tahun.6 Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah
yang disebabkan virus, yang biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi
epidemik setiap tahun dan ditandai dengan obstruksi saluran pernapasan
dan wheezing.7
Bronkiolitis adalah suatu infeksi sistem respiratorik bawah akut yang
ditandai dengan pilek, batuk, distres pernapasan dan ekspiratorik effort (usaha
napas pada saat ekspirasi). Umumnya bronkiolitis menyerang pada anak di
bawah umur 2 tahun dengan kejadian tersering kira-kira usia 6 bulan.2
Jadi, bronkiolitis adalah penyakit infeksi sistem respiratorik akut
bawah atau bronkiolus, sehingga menyebabkan gejala-gejala obstruksi
bronkiolus yang ditandai dengan batuk, pilek, wheezing, distres pernapasan dan
ekspiratorik effort, umumnya disebabkan oleh virus dan menyerang bayi usia
<2 tahun.

2.2 Etiologi
Penyebab paling sering adalah Respiratory syncytial virus, meskipun
virus lain, seperti parainfluenza, adenovirus, influenza, rhinovirus, mikoplasma
dan jarang M. Penumoniae, dapat menyebabkan penyakit ini.1,6,7

2.3 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak kecil;
sekitar 50% anak-anak menderita penyakit ini selama usia 2 tahun pertama dan
95% anak mempunyai bukti serologis adanya infeksi sebelumnya pada usia 3

2
tahun. Anak biasanya terinfeksi bila terpajan oleh anggota keluarga yang
mempunyai gejala-gejala infeksi saluran pernapasan atas yang khas.1,4
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus
(RSV) yaitu 60-90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus
Parainfluenza tipe 1,2 dan 3, Influenza B, Adenovirus tipe 1,2 dan 5, atau
Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-
satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden, dkk (2014)
mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-
90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.4
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan
insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat
insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda
umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi
yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal
(maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak
dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas,
kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih
besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat.1,4,5
Faktor risiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki,
riwayat atopi dalam keluarga, ASI, tidak mendapat vaksin BCG.4,8 Bronkiolitis
akut lebih banyak mengenai anak laki-laki. Hal ini dihubungkan dengan kaliber
saluran respiratorik yang relatif lebih sempit pada anak laki-laki dibanding
perempuan dengan rasio 1,44:1.8
Atopi merupakan salah satu faktor yang diduga sebagai predisposisi
bronkiolitis akut. Hal ini didasari karena pasien bronkiolitis akut berat sering
mengalami mengi berulang atau berkembang menjadi asma. Carroll dkk,
mendapatkan peningkatan risiko bronkiolitis akut sebesar 1,52 bila ibu
menderita asma. Pada penelitian kami, riwayat atopi pada orangtua secara
bermakna (dengan IK95% yang sangat lebar) berhubungan dengan bronkiolitis
akut.8
Air susu ibu (ASI) mempunyai antibodi terhadap RSV termasuk
IgG, IgA, IFN-γ, serta mempunyai aktivitas netralisasi melawan RSV. Pullan

3
dkk, dalam penelitiannya mendapatkan risiko relatif untuk perawatan infeksi
RSV sebesar 2,2 pada anak yang tidak minum ASI.8,9
Vaksin BCG merupakan salah satu vaksin hidup yang dilemahkan,
diduga dapat merangsang produksi IFN-γ. Linehan dkk, pada penelitian kohort
retrospektif melaporkan bahwa imunisasi BCG mengurangi kejadian mengi.
Adanya rangsangan pembentukan IFN-γ oleh BCG pada awal kehidupan
mengakibatkan keseimbangan Th1/Th2 (Thelper 1 atau Thelper 2) mengarah
ke Th1, walaupun pada usia selanjutnya terjadi rangsangan pembentukan Th2
oleh RSV yang merupakan penyebab terbanyak bronkiolitis akut.8
RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung,
seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih dari 6 feet dari seseorang yang
menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas
selama 6 jam, dan seseorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama
10 hari. Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim
dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan.8

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon
inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi
mukus, timbunan debris seluler atau sel-sel mati yang terkelupas, diikuti
infiltrasi limfosit peribronkial dan edema mukosa.4,5
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-
350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang
merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G
(attachment protein) yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang
menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua
protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua
macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala
pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.4 Masa inkubasi RSV
2-5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari
saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada
epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV

4
mempengaruhi sistem saluran nafas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada
mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa
nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan edema
submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus. Virus
yang merusak epitel bersilia juga menggangu gerakan mukosilier, mukus
tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga
mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga
dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, subtance P) yang
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan
epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion
Moecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokinin yang akan menarik eosinofil dan
sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses
inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta
spasme otot polos saluran napas.1,4
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi
residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead
spece serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyababkan
peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran
napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik,
sampai gagal napas. Kerana resistensi aliran udara saluran napas berbanding
terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding
bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran
udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit.
Resistensi aliran udara saluran napas meningkat pada fase inspirasi maupun
fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara
akan terperangkap dan menimbulkan over inflasi dada. Volume dada pada
akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali diatas normal. Atelektasis dapat terjadi
bila obstruksi total.4
Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila
terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan
anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon
proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi

5
yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi
terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif
immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung
lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.1,4
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel
bronkus dalam 3-4 hari sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama
dapat sampai 15 hari.4
Ada dua macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi
virus saluran napas dan asma: (1) infeksi akut virus saluran napas pada bayi
atau anak kecil seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang
yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami
infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda.3,4
Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular.
Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi
usia muda mempunyai respon imun yang leih buruk. Tujuh puluh sampai
delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari
perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan
dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfkesi RSV dengan mengi, tapi
tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini
akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV. 4

6
Gambar 2.1. Respon inflamasi selular pada infeksi virus saluran napas. Dikutip dari: Gern JE.
Virus induces inflamation in airway. Dalam: Makmuri (dkk), 2005.4

Gambar 2.2. Interaksi neuroinflamasi dan neural remodeling pada saluran napas yang
terinfeksi RSV. Dikutip dari Piedemonte 2002. Dalam: Makmuri (dkk), 2005.4

7
2.5 Manifestasi Klinis
Bayi yang menderita bronkiolitis biasanya mengalami rinore, bersin,
batuk, dan demam ringan, dalam beberapa hari terjadi pernapasan cepat dan
mengi. Anak menjadi sulit makan. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan
tanda-tanda distres pernapasan akut, termasuk pernapasan cuping hidung,
takipnea, sianosis hilang timbul, retraksi, pemanjangan fase ekspirasi, dan
mengi serta crackles dalam dada.1,4
Jumlah leukosit biasanya normal. Roentgenogram dada khas
menunjukkan udara yang terperangkap dan dapat menunjukkan penebalan
peribronkial, atelektasis, dan infiltrat. Hipoksemia tidak terjadi menyeluruh,
tetapi merupakan akibat ventilasi dan perfusi yang tidak sebanding.
Hiperkapnia biasanya tidak terjadi, tetapi dapat terjadi pada bayi yang terkena
infeksi berat dengan obstruksi jalan napas yang bermakna atau pada bayi yang
mengalami kelelahan. Gejala-gejala akut berlangsung selama 5-6 hari,
penyembuhan total terjadi dalam 10-14 hari.1,4

2.6 Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis didasarkan pada temuan-temuan klinik dan
pada pengetahuan epidemiologi penyakit virus yang lazim pada masyarakat.
RSV dapat dikenali pada sekresi nasofaring dengan PCR, biakan, atau antigen
assay. Banyak diagnosis lain harus dipertimbangkan pada anak kecil yang
menunjukkan mengi akut akibat penyakit pernapasan. Asma biasanya
mempunyai pola yang berulang dan respondif terhadap bronkodilator.
Pneumoni biasanya disertai infiltrat yang tampak pada roentgenogram dada
dan jika ada infeksi bakteri disertai dengan peningkatan jumlah leukosit. Pada
gagal jantung, jantung yang membesar biasanya ditemukan pada
roentgenogram dada, dan dihubungkan dengan kelainan struktural jantung atau
mungkin adanya miokarditis virus. Anak dengan aspirasi benda asing
mempunyai riwayat mengaspirasi benda dan dapat menunjukkan mengi yang
terlokalisasi atau udara yang terperangkap. Mengi yang disebabkan oleh
refluks gastroesofagal dapat kronik atau berulang, dan pasien mempunyai

8
riwayat sering muntah. Fibrosis kistik dapat dikaitkan dengan pertumbuhan
terlambat, diare kronik, atau riwayat penyakit ini pada keluarga.1,4
1. Anamnesis
Pada anak usia di bawah 2 tahun, dari anamnesis didapatkan adanya gejala
infeksi saluran napas atas ringan akibat virus, seperti pilek ringan disertai
rinorea, batuk, dan demam. Demam biasanya tidak ada, namun jika ada,
biasanya berkisar antara 38,5oC sampai 39oC atau subfebris. Satu hingga
dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas yang
makin hebat, yaitu bernapas dangkal dan cepat. Kemudian dapat ditemukan
wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah
batuk, rewel, dan sulit makan karena terganggu oleh takipnea yang dialami
oleh pasien.10,11
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dispnea dengan expiratory effort,
takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Usaha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan
menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi. Menangis dan makan dapat
memperberat tanda ini. Dapat ditemukan juga konjungtivitis ringan dan
faringitis. Adanya obstruksi pada saluran napas bawah akibat respon
inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekpirasi memanjang hingga
wheezing.10,11 Wheezing lebih dominan, namun tidak terdengarnya
wheezing bukan berarti tidak ada obstruksi. Wheezing dan crackles dapat
atau tidak dapat muncul, bergantung pada derajat obstruksi saluran napas.
Pada bayi dengan obstruksi saluran napas berat, wheezing berkurang seiring
dengan berkurangnya aliran udara. Biasanya fase kritis dari penyakit ini
terjadi pada 48 sampai 72 jam. Jika obstruksi hebat, suara napas nyaris tidak
terdengar. Selain itu, dapat juga ditemukan rhonki pada auskultasi paru,
yaitu rhonki basah kasar pada akhir atau awal ekspirasi. Sianosis sekitar
hidung dan mulut dapat terjadi, dan apabila gejala memberat, dapat terjadi
apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu.10,11

9
Tanda-tanda distress pernapasan dan impending respiratory failure
pada bayi dan anak yang masih kecil:10,11
a. peningkatan signifikan dari usaha bernapas, termasuk retraksi berat
atau grunting, penurunan gerakan dada.
b. Sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen.
c. HR ≥150 kali per menit.
d. bernapas sangat cepat, yaitu >60 kali per menit pada bayi baru lahir
sampai usia 6 bulan; atau lebih dari 30 kali per menit pada anak usia
6 bulan sampai 2 tahun.
e. Depresi napas berat, yaitu ≤20 kali per menit.
f. Retraksi pada area supraklavikula, sternum, epigastrium, dan
subcostae.
g. Cemas dan agitasi yang ekstrim.
h. Penurunan kesadaran.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin. Rontgen, kultur virus, ELISA, PCR.1 Pada
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis dijumpai gambaran
hiperinflasi, dengan infiltrat yang biasanya tidak luas. Bahkan ada
kecenderungan ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran
radiologis. Berbeda dengan pneumonia bakteri, gambaran klinis yang berat
akan menunjukkan gambaran kelainan radiologis yang berat pula,
sementara pada bronkiolitis gambaran klinis berat tanpa gambaran
radiologis berat. Pada pemeriksaan laboratorium (darah tepi) umumnya
tidak memberikan gambaran yang bermakna, dapat disertai dengan
limfopenia.4,12

2.7 Diagnosis Banding


Bronkiolitis harus dibedakan dengan asma pada anak usia di bawah
2 tahun. Kecurigaan bronkiolitis apabila kejadian sesak merupakan pertama
kali sedangkan pada asma selain tanpa disertai demam kejadian seperti ini
merupakan kejadian yang berulang. Selain asma, pneumonia karena bakteri

10
pun kadang-kadang sulit dibedakan apabila disertai dengan sumbatan
respiratorik karena kaliber saluran yang masih kecil.2,4
Tabel 2.1.Perbedaan antara Bronkiolitis dan Asma:4
Asma Bronkiolitis
Penyebab Hiperaktivitas bronkus Virus
Umur >2 tahun 6 bulan-2 tahun
Sesak berulang Ya Tidak
Onset sesak Akut Insidious
Atopi keluarga Sering Jarang
Alergi lain Sering -
Respon bronkodilator Cepat Lambat
Eosinofil Meningkat Normal

Tabel 2.2.Perbedaan antara Bronkiolitis dan Bronkopneumonia:4,5,6


Bronkiolitis Bronkopneumonia
Definisi Penyakit yang ditandai dengan Peradangan/ inflamasi yang
adanya inflamasi pada mengenai parenkim paru.
bronkiolus.
Etiologi -RSV Streptococus grup B dan
-Parainfluenza bakteri gram negatif seperti: -
-Adenovirus -E.Coli
-Influenza, -Pseudomonas sp
-Rhinovirus -Klebsiella sp
-Mikoplasma dan jarang M. -Streptococus pneumoni
Penumoniae -Haemophillus influenza tipe
B
-Staphylococus aureus.
Patogenesis Infeksi virus pada epitel bersilia Mikroorganisme penyebab
bronkiolus  respon inflamasi terhisap ke paru bagian perifer
akut  edema, sekresi mukus, melalui saluran nafas 
timbunan debris seluler/ sel-sel edema  konsolidasi
mati yang terkelupas, infiltrat (sebukan sel PMN, fibrin,
limfosit peribronkial dan edema eritrosit, cairan edema) 
submukosa  obstruksi pada defosit fibrin semakin banyak
bronkiolus.  proses fagositosis 
jumlah makrofag meningkat
 degenerasi sel  fibrin
menipis  kuman dan debris
menghilang.
Bentuk - Dibagi menjadi 3,yaitu:
klinis - Pneumonia berat
- Pneumonia
- Bukan pneumonia

11
Anamnesis - Usia <2 tahun - Demam yang tinggi
- Batuk dan pilek ringan disertai sesak
- Demam ( subfebris) - Batuk, awalnya
- Sesak nafas hilang berdahak
timbul - Sesak napas terus-
menerus
- Menggigil, malaise
Pemeriksaa - Demam subfebris - Pernapasan cepat dan
n Fisik - NCH (+) dangkal, disertai NCH
- Sesak nafas dengan (+)
tanda-tanda obstruksi - Retraksi dinding dada
saluran napas, intercostal
- Retraksi subcostae (+) - Suara nafas vesikuler
- Rhonki basah kasar (+) meningkat
- Ekspirasi memanjang - Rhonki basah halus
- Wheezing ekspirasi nyaring (RBHN)
Tatalaksana Antibiotik non alergik sebagai - Antibiotik polifarmasi
profilaksis selama 10-15 hari:
- Pada saat sesak nafas dapat  Ampicilin 100
diberikan kloramfenikol IV mg/KgBB/hari dalam
dan dianjurkan pemberian 3-4 dosis
peroral bila sesak berkurang  Klorampenikol:
- Bila dapat diberikan peroral <6 bulan: 15-
langsung diberikan 50mg/KgBB/hari
eritromisin 30-50 >6 bulan: 50-75
mg/KgBB/hari dalam 2-3 mg/KgBB/hari dibagi
dosis dalam 3 dosis
Suportif:  Atau gentamicin 2-5
- Kortikosteroid digunakan mg/KgBB/hari
untuk mengatasi edema diberikan dalam 2
saluran pernapasan dosis
Kortikosteroid dengan dosis - Suportif: IVFD, 02,
15-20 mg/KgBB/hari atau bersihkan jalan nafas.
dexametason dengan dosis
0,5 mg/KgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis selama 2-3
hari
- Pemberian cairan dan
elektrolit dengan dextrose
5% dan NaCl disesuaikan
dengan kebutuhan cairan
berdasarkan umur dan berat
badan
- Oksigen diberikan dengan
kelembaban yang cukup
- Bronkodilator: dilakukan
nebulasi agonis beta2:

12
salbutamol dengan dosis 0,1
mg/KgBB/dosis, ditambah
dengan cairan normal
saline, diberikan sebanyak
4-6 kali/hari.
Non farmakologi
Edukasi: ASI diteruskan, anak
dihindarkan dari asap rokok,
asupan gizi adekuat, tidak
menitipkan anak di tempat
penitipan anak

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penalataksanaan bronkiolitis adalah terapi suportif:
oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang
adekuat. Penatalaksanaan anak yang menderita bronkiolitis bergantung pada
keparahan penyakit. Kebanyakan anak mempunyai gejala yang ringan dan
dapat diobati dengan tindakan suportif di rumah. Sekitar 5% anak dengan
bronkiolitis memerlukan perawatan di rumah sakit. Indikasi untuk rawat inap
adalah usia muda (<6 bulan), distres pernapasan sedang sampai berat (frekuensi
pernapasan tidur 50-60 pernapsan/menit atau lebih tinggi), hipoksemia (PO2
<60 mmHg atau saturasi oksigen <92% pada udara kamar), kejadian apnea,
ketidakmampuan menoleransi makanan oral, dan tidak tersedia perawatan yang
tepat di rumah.1,4
Tindakan suportif yang sesuai untuk merawat anak dengan
bronkiolitis adalah pemberian cairan oral atau parenteral (pada anak yang
dirawat inap) yang cukup untuk mempertahankan hidrasi normal saat
terjadinya peningkatan kehilangan air yang tidak dirasakan (insensibel) yang
disertai dengan takipnea. Demam, jika tinggi atau disertai dengan peningkatan
distres pernapasan, dapat diobati dengan agen antipiretik. Penggunaan
bronkodilator, seperti aerosol beta2-agonis atau rasemik epinefrin, dapat
bermanfaat pada pasien tertentu. Kortikosteroid memberikan sedikit
manfaat.1,4,5

13
Pemberian ribavirin aerosol, agen antivirus spesifik, pada anak
dengan infeksi RSV menunjukan manfaat yang sedikit pada uji klinik. Hal ini
harus dipertimbangkan pada bayi yang terkena infrksi berat dan pada mereka
yang berisiko tinggi berkembang menjadi penyakit berat, penyakit yang
berkepanjangan (misalnya, penyakit paru kronik, penyakit jantung kongenital).
Terapi antibakteri tidak diindikasikan kecuali jika ada bukti yang mengarah
pada adanya infeksi bakteri yang menyertai. Antibodi monoklonal spesifik-
RSV memberi beberapa proteksi dari penyakit berat pada bayi dan anak yang
sedang belajar berjalan dibawah usia 2 tahun.1

Antibiotik non alergik sebagai profilaksis


- Pada saat sesak nafas dapat diberikan kloramfenikol IV dan dianjurkan
pemberian peroral bila sesak berkurang
- Bila dapat diberikan peroral langsung diberikan eritromisin 30-50
mg/KgBB/hari dalam 2-3 dosis
Suportif:
- Kortikosteroid digunakan untuk edema saluran pernapasan
Kortikosteroid dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari atau dexametason 0,5
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-3 hari
- Cairan dan elektrolit dengan dextrose 5% dan NaCl disesuaian dengan
kebutuhan berdasarkan umur dan berat badan
- Oksigenenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse
oximetry. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi
mekanik
- Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/KgBB/dosis,
ditambah cairan normal saline, diberikan 4-6 kali/hari.
Edukasi: ASI diteruskan, anak dihindarkan dari asap rokok, asupan gizi
adekuat, tidak menitipkan anak di tempat penitipan anak (TPA).5,6

14
Dibawah ini Algoritma Tatalaksana Bronkiolitis:4

Gambar 2.3. Algoritma Tatalaksana Bronkiolitis. Dalam: Makmuri (dkk), 2005.4

2.9 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan pemberian immunoglobulin dan
vaksinasi. Pemberian immunoglobulin merupakan imunisasi pasif. Selain itu,
yang paling penting adalah menjaga higienitas umum, menghindari fakor
paparan asap rokok dan polusi udara, terutama menghindari kontak dengan
orang dewasa/anak yang menderita infeksi saluran pernapasan.4,10

2.10 Komplikasi
Suatu studi kohort menunjukkan bahwa 23% bayi yang memiliki
riwayat bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun. Penelitian
lain yang dilakukan di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat
dengan bronkiolitis memiliki kecenderungan menderita asma dan penurunan
fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya hiperreaktivitas yang menetap selama beberapa

15
tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik pada RSV positif
maupun negatif.5,10,13

2.11 Prognosis
Kebanyakan anak dengan bronkiolitis memiliki prognosis baik,
dengan gejala menghilang 7-10 hari. Beberapa penelitian memberikan kesan
bahwa beberapa anak yang yang menderita episode bronkiolitis (terutama jika
mereka perlu dirawat inap) cenderung berkembang ke episode lebih lanjut
seperti mengi, manifes gejala alergi, penurunan tingkat fungsi paru rata-rata,
dan prevalensi peningkatan reaktivitas jalan nafas yang cukup tinggi
dikemudian hari.1
Faktor risiko pemajanan polutan lingkungan seperti asap rokok dapat
mendukung terjadinya sekuele bronkiolitis. Mortalitas yang disebabkan oleh
bronkioisis RSV adalah 1-4%; gambaran lebih tinggi dihubungkan dengan
kelompok risiko tinggi.1,8

2.12 Kriteria Pulang


Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan
pemberian oksigen selama 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen
menetap di atas 93% atau stabil selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu
makan/minum, dan perbaikan tanda klinis yang lain.2

16

Anda mungkin juga menyukai