Anda di halaman 1dari 36

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penelitian Sebelumnya


Pada jurnal yang berjudul “ANALISIS PERBANDINGAN GAYA GESER
TINGKAT, GAYA GESER DASAR, PERPINDAHAN TINGKAT DAN
SIMPANGAN ANTAR TINGKAT AKIBAT BEBAN GEMPA
BERDASARKAN PERATURAN GEMPA SNI 1726-2002 DAN SNI 1726-2012”
oleh Remigildus Cornelis tahun 2014, Jurusan Teknik Sipil FST Udana Bali
menjelaskan tentang bagaimana perbedaan gaya geser dan perindahan yang terjadi
ketika dilakukan analisis yang mengacu pada SN 27126-2002 dan 1726-2012.
Dalam 10 tahun terakhir ini, beberapa wilayah di Indonesia mengalami
gempa bumi yang cukup besar, beberapa di antaranya adalah gempa di Aceh
dan Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 (9,3 SR), gempa di
Yogyakarta dan Klaten pada tanggal 27 Mei 2006 (5,9 SR), gempa di
Tasikmalaya dan Cianjur pada tanggal 2 September 2009 (7,3 SR), dan gempa-
gempa lainnya. Menyikapi hal di atas, para ahli di bidang teknik sipil
merancang peraturan gempa Indonesia yang baru SNI 1726-2012
menggantikan SNI 1726-2002 dengan tujuan untuk memperbaharui peraturan
gempa Indonesia. Perubahan peta wilayah gempa Indonesia dari SNI 1726-
2002 ke SNI 1726-2012 menunjukkan adanya perubahan percepatan batuan
dasar yang bervariasi dari SNI 1726-2002 ke SNI 1726-2012 untuk setiap daerah
yang berada pada satu wilayah gempa.
Model gedung pada penelitian adalah gedung 18 lantai dengan ukuran balok
400/700 mm, kolom 500/800 mm, serta tebal pelat 100 mm, 120 mm, dan 150
mm. Permodelan gedung dibantu dengan software ETABS. Model struktur ini di
letakkan pada wilayah gempa berdasarkan SNI 1726-2002 dan pada 6 lokasi
(Bandar Lampung, Biak, Jayapura, Kupang, Manado dan Padang) dengan
karakteristik situs yang berbeda-beda berdasarkan SNI 1726-2012 dan dianalisis
pada 3 kondisi tanah yaitu tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak. Metode
perhitungan gempa menggunakan metode analisis dinamis respons spektrum 3D.

4
5

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari enam lokasi yang ditinjau, pada
kondisi tanah keras, nilai gayageser, perpindahan tingkat dan simpangan antar
tingkat untuk Bandar Lampung, Biak, Jayapura,Manado dan Padang berdasarkan
SNI 1726-2002 lebih kecil dari SNI 1726-2012 sedangkan untuk Kupang
nilai gaya geser, perpindahan tingkat dan simpangan antar tingkat
berdasarkan SNI 1726-2002 lebih besar dari SNI 1726-2012. Pada kondisi
tanah sedang, nilai gaya geser, perpindahan tingkat dan simpangan antar tingkat
untuk Biak, Jayapura, Manado dan Padang berdasarkan SNI 1726-2002 lebih
kecil dari SNI 1726-2012 sedangkan untuk Bandar Lampung dan Kupang nilai
gaya geser, perpindahan tingkat dan simpangan antar tingkat berdasarkan
SNI 1726-2002 lebih besar dari SNI 1726-2012. Kemudian pada kondisi
tanah lunak, nilai gaya geser, perpindahan tingkat dan simpangan antar
tingkat untuk Biak, Jayapura dan Padang berdasarkan SNI 1726-2002 lebih
kecil dari SNI 1726-2012 sedangkan untuk Bandar Lampung, Kupang dan
Manado nilai gaya geser, perpindahan tingkat dan simpangan antar tingkat
berdasarkan SNI 1726-2002 lebih besar dari SNI 1726-2012.
Kemudian pada jurnal yang berjudul “EVALUASI BATASAN TINGGI
MAKSIMUM BANGUNAN TINGKAT TINGGI BERATURAN UNTUK
PENERAPAN METODE STATIK EKIVALEN” oleh Jusuf J.S. Pah tahun 2014
Jurusan Teknik Sipil FST Udana Bali membahas mengenai tinggi maksimum
gedung yang dapat dihitung dengan metode statik ekivalen baik untuk gedung
sistem rangka dan gedung dengan sistem dinding geser.
Butir 4.2.1 SNI 1726-2002 memberikan batasan tinggi maksimum
gedung untuk penerapan metode statik ekivalen adalah 10 tingkat atau 40 m
dan dikategorikan gedung beraturan. Ketentuan ini didasarkan pada teori bahwa
struktur gedung seperti itu akan berdeformasi pada mode 1 ketika berespon
terhadap gempa. Dengan demikian untuk struktur yang melebihi batasan tinggi
tersebut akan berespon terhadap gempa dengan mode deformasi lebih dari
mode 1 sehingga harus dianalisis dengan analisis dinamis. Dalam penelitian ini
akan dimodelkan 2 model struktur yaitu struktur portal tanpa dinding geser dan
struktur portal dengan dinding geser dengan tinggi tiap lantai 4 m. Kedua
model struktur tersebut akan diberikan beban mati, beban hidup, dan beban
6

gempa berdasarkan 4 rekaman gempa. Preliminary design tinggi struktur


adalah 36 m (9 tingkat) dengan namaspesimen 9F36 untuk sistem portal dan
9SW36 untuk sistem dinding geser. Permodelan dibantu oleh software ETABS.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa spesimen dengan sistem
rangka beralih dari bergoyang dalam mode 1 ke mode 2 pada ketinggian 9
lantai (36 m) sedangkan spesimen dengan sistem dinding geser beralih dari
bergoyang dalam mode 1 ke mode 2 pada ketinggian 15 lantai (60 m).
Terbukti bahwa metoda statik ekivalen dapat diterapkan pada struktur
bangunan tingkat tinggi dengan sistem dinding geser yang ketinggiannya
melebhi 10 tingkat (40 m) sampai dengan ketinggian 14 tingkat (54 m).
Untuk jurnal yang berjudul “PERBANDINGAN PERILAKU STRUKTUR
TERHADAP BEBAN GEMPA ANTARA SNI 03-1726-2002 DENGAN RSNI
03-1726-201x” membahas mengenai perbedaan perilaku gedung yang diakibatkan
oleh gempa.
Beberapa tahun terakhir telah banyak gempa besar terjadi di Indonesia.
Sebagai contoh, gempa Aceh pada tahun 2004, gempa Jogja pada tahun 2006,
gempa Padang dan Bengkulu pada tahun 2007. Dari gempa tersebut
menyebabkan banyak terjadi kerusakan pada struktur bangunan. Setelah
dilakukan kajian mendalam tentang hal ini, bahwa gempa besar yang terjadi
ternyata percepatan batuan dasar lebih besar daripada percepatan batuan dasar
yang telah ditetapkan dalam peta gempa SNI 03-1726-2002. Berdasarkan
kajian tersebut menyimpulkan peta gempa SNI 03-1726-2002 dinilai sudah
tidak sesuai lagi diaplikasikan sebagai pedoman perencanaan struktur tahan
gempa.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perilaku struktur gedung
apabila dianalisis berdasarkan SNI 03-1726-2002 dengan RSNI 03-1726-
201x. Perilaku struktur yang akan dipelajari pada penelitian ini adalah
perbandingan periode getar struktur, perbandingan gaya geser dasar, perbandingan
simpangan antar lantai, perbandingan momen lentur yang terjadi pada balok
dan kebutuhan tulangan lentur pada balok. Lokasi penelitian adalah pada salah
satu bangunan gedung yang didirikan di wilayah gempa berat yaitu kota Banda
Aceh.
7

Dalam studi ini akan diteliti model gedung dengan sistem struktur
balok-kolom, enam lantai, fungsi untuk hotel (I = 1). Lokasi bangunan
terletak di Banda Aceh dengan jenis tanah sedang, KDS-D. Struktur gedung
dianalisis menggunakan bantuan software ETABS v.9.7. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa simpangan struktur (total drift) yang dianalisis menggunakan
RSNI 03-1726-201x lebih besar dibandingkan dari hasil analisis
menggunakan SNI 03-1726-2002. Persentase simpangan struktur untuk
masingmasing arah yaitu sebesar 29%. Persentase peningkatan nilai base shear
untuk arah Y adalah 28% dan arah Y adalah 27%.

2.2. Definisi Bangunan


Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukan baik yang ada di atas, di bawah tanah dan/atau di air.
Bangunan biasanya dikonotasikan dengan rumah, gedung ataupun segala sarana,
prasarana atau infrastruktur dalam kebudayaan atau kehidupan manusia dalam
membangun peradabannya seperti halnya jembatan dan konstruksinya serta
rancangannya, jalan, sarana telekomunikasi, dan lain-lain.
Dalam Teknik Sipil sendiri, perencanaan suatu bangunan sudah menjadi
tugas utama. Pemilihan jenis struktur atas (upper structure) mempunyai hubungan
yang cukup erat dengan sistem fungsional gedung. Dalam proses desain struktur
perlu dicari kedekatan antara jenis struktur dengan masalah-masalah seperti
arsitektural, efisiensi, service ability, kemudahan pelaksanaan dan juga biaya
yang diperlukan. Adapun faktor yang menentukan dalam pemilihan jenis struktur
sebagai berikut :

2.2.1. Aspek Arsitektural


Aspek arsitektural dipertimbangkan berdasarkan kebutuhan jiwa manusia
akan sesuatu yang indah. Bentuk-bentuk struktur yang direncanakan sudah
semestinya mengacu pada pemenuhan kebutuhan yang diinginkan tetapi juga
harus diperhatikan bagaimana tata letak dan perencanaannya sehingga fungsi dari
komponen-komponen struktur tetap dapat berfungsi sebagai mana mestinya
namun tidak mengurangi sisi keindahannya sendiri.
8

2.2.2. Aspek Fungsional


Perencanaan struktur yang baik sangat memperhatikan fungsi daripada
bangunan tersebut. Dalam kaitannya dengan penggunaan ruang, aspek fungsional
sangat mempengaruhi besarnya dimensi bangunan yang direncanakan.

2.2.3. Kekuatan dan Kestabilan Struktur


Kekuatan dan kestabilan struktur mempunyai kaitan yang erat dengan
kemampuan struktur untuk menerima beban-beban yang bekerja, baik beban
vertikal maupun beban lateral, dan kestabilan struktur baik arah vertikal maupun
lateral.

2.2.4. Faktor Ekonomi dan Kemudahan Pelaksanaan


Biasanya dari suatu gedung dapat digunakan beberapa sistem struktur yang
bisa digunakan, maka faktor ekonomi dan kemudahan pelaksanaan pengerjaan
merupakan faktor yang mempengaruhi sistem struktur yang dipilih.

2.2.5. Faktor Kemampuan Struktur Mengakomodasi Sistem Layan Gedung


Struktur harus mampu mendukung beban rancang secara aman tanpa
kelebihan tegangan ataupun deformasi yang dalam batas yang dijinkan.
Keselamatan adalah hal penting dalam perencanaan struktur gedung terutama
dalam penanggulangan bahaya gempa, maka dilakukan usaha-usaha sebagai
berikut :
 Perencanaan outlet yang memenuhi persyaratan.
 Penggunaan material yang sesuai dengan perencanaan gempa.
 Fasilitas penanggulangan disetiap lantai.
 Warning system terhadap gempa.
 Pengaturan ventilasi yang memadai dan jalur darurat.

2.2.6. Aspek Lingkungan


Aspek lain yang ikut menentukan dalam perancangan dan pelaksanaan suatu
proyek adalah aspek lingkungan. Dengan adanya suatu proyek yang diharapkan
akan memperbaiki kondisi lingkungan dan kemasyarakatan. Sebagai contoh
9

dalam perencanaan lokasi dan denah haruslah mempertimbangkan kondisi


lingkungan apakah rencana kita nantinya akan menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan sekitar, baik secara fisik maupun kemasyarakatan, atau bahkan
sebaliknya akan dapat menimbulkan dampak yang positif.

2.3. Material Struktur Bangunan


Secara umum jenis-jenis material struktur yang biasa digunakan untuk
bangunan gedung adalah sebagai berikut :

2.3.1. Struktur Baja (Steel Structure)


Struktur baja sangat tepat digunakan untuk bangunan bertingkat tinggi,
karena material baja mempunyai kekuatan serta daktilitas (ductility) yang sangat
tinggi apabila dibandingkan dengan material-material struktur lainnya. Di
beberapa negara, struktur baja tidak banyak dipergunakan sebagai struktur utama
pada bangunan rendah dan menengah, karena dilihat dari segi ekonomis,
penggunaan material baja untuk bangunan ini dianggap tidak ekonomis dan berat
bangunan yang dihasilkan akan lebih besar jika dibandingkan dengan bangunan
jenis beton maupun jenis lainnya. Tampilan gedung baja dapat dilihat pada
gambar 2.1. berikut.

Gambar 2.1. Struktur Baja


(Sumber : http://gkjb-utara.blogspot.com)
10

2.3.2. Struktur Komposit (Composite Structure)


Struktur komposit merupakan struktur gabungan yang terdiri dari dua jenis
material atau lebih. Umumnya strutur komposit yang sering dipergunakan adalah
kombinasi antara baja struktural dengan beton bertulang. Struktur komposit ini
memiliki perilaku yang berada diantara struktur baja dan struktur beton bertulang,
sehingga sifat baja dan beton sendiri akan saling melengkapi. Umumnya
bangunan dengan struktur komposit ini digunakan untuk struktur bangunan
menengah sampai tinggi.

Gambar 2.2. Struktur Komposit


(Sumber : http://sustainable-design.ie)

2.3.3. Struktur Kayu (Wooden Structure)


Struktur kayu merupakan struktur dengan ketahanan cukup baik terhadap
pengaruh gempa karena berat dari kayu sendiri sangat ringan dibandingkan
dengan material seperti beton dan baja. Selain ringan, kayu mempunyai harga
yang ekonomis dibandingkan dengan material lain. Kelemahan daripada struktur
kayu ini adalah keawetan kayu cukup rendah serta tidak tahan terhadap bahaya api
dan temperature karena sifat kayu yang mudah terbakar. Untuk dibuat bangunan,
struktur kayu sendiri biasanya digunakan hanya pada struktur bangunan tingkatan
rendah seperti rumah tinggal, pos penjagaan, dan sebagainya.
11

Gambar 2.3. Struktur Kayu


(Sumber : http://photos.newswire.ca)

2.3.4. Struktur Beton Bertulang Cor Tempat (Cast In Situ Concrete


Structure)
Struktur beton ini ada struktur beton bertulang yang pengecorannya
dilakukan di tempat pelaksanaan pekerjaan langsung. Kekuatan dan ketahanan
beton lebih baik jika dilakukan pengecoran di tempat pelaksanaan karena koneksi
antara elemen struktur lebih baik. Struktur ini banyak digunakan untuk struktur
bangunan tingkat menengah sampai tinggi. Struktur beton seperti ini paling
banyak digunakan dibandingkan dengan struktur lainnya.

Gambar 2.4. Struktur Beton Cast in Situ


(Sumber : http://nexus.globalquakemodel.org)
12

2.3.5. Struktur Beton Pracetak (Precast Concrete Structure)


Merupakan struktur beton yang dibuat dengan elemen-elemen struktural
yang terbuat dari elemen pracetak. Umumnya digunakan pada struktur bangunan
tingkat rendah sampai menengah. Kelemahan struktur ini adalah kurang monolit,
sehingga ketahananya terhadap gempa kurang baik.

Gambar 2.5. Struktur Beton Precast


(Sumber : http://nexus.globalquakemodel.org)

2.3.6. Struktur Beton Prategang (Prestressed Concrete Structure)


Penggunaan sistem prategang pada elemen sturktural akan berakibat kurang
menguntungkan pada kemampuan berdeformasi daripada struktur dan akan
mempengaruhi karakteristik respon terhadap gempa. Struktur ini digunakan pada
bangunan tingkat rendah sampai menengah. Sistem prategang yang digunakan ada
dua cara, yaitu :
 Sistem Post-Tensioning
Pada sistem ini beton dicor ditempat, kemudian setelah mencapai kekuatan
80% f’c diberi gaya prategang. Biasanya untuk lantai dan balok.
13

 Sistem Pre-Tensioning
Pada sistem ini beton telah dicetak dan sebelumya diberi gaya prategang di
pabrik dan kemudian dipasang di lokasi. Sistem ini biasa digunakan untuk
komponen balok, pelat dan tangga.

Gambar 2.6. Struktur Beton Prestressed


(Sumber : http://anatech.com)

2.4. Sistem Struktur


Setiap gedung terdiri dari elemen struktural (seperti balok dan kolom) dan
elemen non-struktural (seperti partisi, plafond, pintu). Elemen – elemen struktural
apabila digabungkan akan menjadi satu sistem struktur. Fungsinya adalah untuk
mendukung berat sendiri dan beban luar, dan untuk menyalurkan gaya-gaya
tersebut ke tanah, tanpa menganggu bentuk geometri, kesatuan, dan daya layan
dari struktur secara signifikan. Sebagian besar dari elemen struktur dapat
dianalisis secara sederhana, misalkan elemen satu dimensi (seperti balok, kolom,
busur, elemen rangka) atau elemen dua dimensi (seperti slab, pelat, dan cangkang).
Namun, untuk beberapa elemen seperti shear wall membutuhkan analisa yang
14

lebih mendalam lagi. Berikut adalah komponen-komponen dari suatu sistem


struktur :

2.4.1. Balok (Beam)


Balok adalah bagian struktural sebuah bangunan yang kaku dan dirancang
untuk menanggung dan mentransfer beban menuju elemen-elemen kolom
penopang. Selain balok ada juga ring balok juga berfungsi sebagai pengikat
kolom-kolom agar apabila terjadi pergerakan kolom-kolom tersebut tetap bersatu
padu mempertahankan bentuk dan posisinya semula. Ring balok dibuat dari bahan
yang sama dengan kolomnya sehingga hubungan ring balok dengan kolomnya
bersifat kaku tidak mudah berubah bentuk. Pola gaya yang tidak seragam dapat
mengakibatkan balok melengkung atau defleksi yang harus ditahan oleh kekuatan
internal material. Berikut adalah beberapa jenis balok :
 Balok sederhana bertumpu pada kolom diujung-ujungnya, dengan satu ujung
bebas berotasi dan tidak memiliki momen tahan. Seperti struktur statis lainnya,
nilai dari semua reaksi,pergeseran dan momen untuk balok sederhana adalah
tidak tergantung bentuk penampang dan materialnya.
 Balok Kantilever adalah balok yang diproyeksikan atau struktur kaku lainnya
didukung hanya pada satu ujung tetap.
 Balok teritisan adalah balok sederhana yang memanjang melewati salah satu
kolom tumpuannya.
 Balok dengan ujung-ujung tetap ( dikaitkan kuat ) menahan translasi dan rotasi.
 Balok kontinu memanjang secara menerus melewati lebih dari dua kolom
tumpuan untuk menghasilkan kekakuan yang lebih besar dan momen yang
lebih kecil dari serangkaian balok tidak menerus dengan panjang dan beban
yang sama.

2.4.2. Kolom (Column)


Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka struktur yang memikul
beban dari balok. Kolom merupakan suatu elemen struktur tekan yang memegang
peranan penting dari suatu bangunan, sehingga keruntuhan pada suatu kolom
merupakan lokasi kritis yang dapat menyebabkan runtuhnya (collapse) lantai yang
15

bersangkutan dan juga runtuh total (total collapse) seluruh struktur. Kolom
biasanya didesain untuk menahan beban aksial tekan, dikombinasikan dengan
momen lentur biaksial. Untuk meminimalisasi dimensi kolom, biasanya
digunakan beton dengan kuat tekan yang tinggi dan luas tulangan yang tinggi.
Kolom sendiri ada 2 jenis yaitu kolom panjang dan kolom pendek. Kolom
panjang adalah kolom yang kegagalannya ditentukan oleh tekuk serta dari segi
bentuk dimensi arah memanjang jauh lebih besar dibandingkan beban lateral.
Kolom pendek adalah kolom dengan nilai perbandingan antara panjang dengan
dimensi penampang melintang yang relatif kecil dan apabila beban yang diberikan
berlebihan, kolom tidak akan mengalami tekuk melainkan runtuh.
Komponen kolom, terutama kolom baja yang merupakan komponen tekan
akan mengalami beberapa perilaku tekuk baik dari arah sumbu x penampang
(lateral buckling), arah sumbu y (local buckling), maupun torsi (torsional
buckling). Sehingga dalam analisa, profil yang didesain harus memiliki nilai
kapasitas penampang yang lebih besar dari gaya yang terkecil penyebab ketiga
tekuk tersebut. Apabila kapasitas penampang tidak memenuhi salah satu tekuk di
atas, maka dapat ditambahkan elemen perkuatan yang dapat menaikkan kapasitas
penampang pada sumbu lemahnya. Sehingga batang tersebut dapat menahan
semua tekuk yang terjadi. Namun perlu diperhatikan bahwa efektifitas dan
efisiensi dari penggunaan elemen perkuatan tersebut harus tetap dijaga. Sehingga
nilai safety, servirceability dan keekonomisan struktur masih dapat dipertahankan.
Propertis penampang yang diperhitungkan dalam desain batang tekan
adalah :
 Batasan kelangsingan elemen penampang.
 Desain lebar efektif.
 Efektifitas elemen pengaku.
 Luas penampang efektif.
 Kapasitas batang tekan terhadap tekuk pada sumbu x.
 Kapasitas batang tekan terhadap tekuk pada sumbu y.
 Kapasitas batang tekan terhadap tekuk torsi.
16

Gambar 2.7. Perilaku Tekuk Penampang Lateral, Local, dan Torsional Buckling
(Sumber: Alex Heri, 2008)

2.4.3. Pelat Lantai (Slab)


Pelat adalah struktur planar kaku yang terbuat dari material monolit
dengan tinggi yang kecil dibandingkan dengan dimensi-dimensi lainnya. Untuk
merencanakan pelat beton bertulang perlu mempertimbangkan faktor pembebanan
dan ukuran serta syarat-syarat dari peraturan yang ada.
Pelat merupakan panel-panel beton bertulang yang mungkin bertulangan
dua atau satu arah saja tergantung sistem strukturnya. Apabila pada struktur pelat
perbandingan bentang panjang terhadap lebar kurang dari 3, maka pelat tersebut
akan mengalami lendutan pada kedua arah sumbu. Beban pelat dipikul pada kedua
arah oleh balok pendukung sekeliling panel pelat, dengan demikian pelat akan
melentur pada kedua arah. Apabila panjang pelat sama dengan lebarnya, perilaku
keempat balok keliling dalam menopang pelat akan sama. Sedangkan bila panjang
tidak sama dengan lebar, balok yang lebih panjang akan memikul beban lebih
besar dari balok yang pendek (penulangan satu arah).
Pelat lantai direncanakan harus memenuhi kriteria kaku, rata, lurus dan
waterpas (mempunyai ketinggian yang sama dan tidak miring). Ketebalan Pelat
lantai ditentukan oleh beban yang harus didukung, besar lendutan yang diijinkan,
lebar bentangan atau jarak antara balok-balok pendukung, bahan konstruksi dari
Pelat lantai.
Pada Pelat lantai hanya diperhitungkan adanya beban tetap saja (penghuni,
perabotan, berat lapis tegel, berat sendiri Pelat) yang bekerja secara tetap dalam
17

waktu lama. Sedang beban tak terduga seperti gempa, angin, getaran, tidak
diperhitungkan.

Gambar 2.7. Hubungan Balok, Kolom, dan Pelat Lantai


(Sumber : http://dwysetyasipil.blogspot.com)

2.4.4. Dinding Struktural / Dinding Geser (Shear Wall)


Dinding Struktural atau Dinding Geser adalah Dinding Geser (shear wall)
adalah suatu struktur balok kantilever tipis yang langsing vertikal, untuk
digunakan menahan gaya lateral. Biasanya dinding geser berbentuk persegi
panjang, Box core suatu tangga, elevator atau shaft lainnya. Dan biasanya
diletakkan di sekeliling lift, tangga atau shaft guna menahan beban lateral tanpa
mengganggu penyusunan ruang dalam bangunan.
Ketika dinding geser cukup kuat, dinding akan mentransfer gaya
horizontal ini ke elemen berikutnya melalui jalur beban di bawah dinding, seperti
dinding geser lainnya, lantai, pondasi dinding, pelat lantai dan footings. Dinding
18

geser juga memberikan kekakuan lateral untuk mencegah lantai bagian atas
mengalami goyangan yang berlebihan.
Ketika dinding geser cukup kaku, dinding akan mencegah lantai dan atap
berpindah dari posisi perletakannya. Untuk bangunan yang cukup kaku biasanya
akan kerusakan bagian nonstrukturalnya lebih bisa dihindari.

Gambar 2.8. Konfigurasi Struktur Suatu Gedung


(Sumber : http://www.concretecoalition.org)

2.4.5. Bresing (Bracing)


Bresing biasanya digunakan pada struktur gedung baja sebagai pengaku
yang fungsinya untuk memperkuat struktur serta menjaga kestabilan dari struktur
tersebut. Pemasangan bresing pada struktur baja biasanya ada 2 jenis yaitu
Bresing Konsentris (Concentrically Bracing) dan Bresing Eksentris (Eccentrically
Bracing). Tujuan penggunaan rangka bresing adalah kemampuan struktur untuk
mempertahankan stabilitas akibat beban lateral dan stabilitas struktur.
19

2.5. Sistem Rangka Penahan Gempa


Sistem rangka penahan gempa secara umum dibagi menjadi beberapa jenis
yang akan dijelaskan sebagai berikut :
 Sistem Dinding Penumpu yaitu sistem struktur yang tidak memiliki rangka
ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem
bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding
geser atau rangka bresing.

(a) Bresing Konsentris

(b) Bresing Eksentris

Gambar 2.9. Konfigurasi Bresing


(Sumber : Bruneau et al, 1985)
20

 Sistem Rangka Gedung yaitu sistem struktur yang pada dasarnya memiliki
rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul
dinding geser atau rangka bresing.
 Sistem Rangka Pemikul Momen yaitu sistem struktur yang pada dasarnya
memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral
dipikul rangka pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur.
 Sistem Ganda yang terdiri dari:
 Rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi.
 Pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan
rangka.
 Pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara
terpisah mampu memikul sekurangkurangnya 25% dari seluruh beban
lateral.
 Kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama-sama
seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi /sistem ganda.
 Sistem Struktur Bangunan Gedung Kolom Kantilever dimana sistem struktur
yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral.
 Sistem Interaksi Dinding Geser dengan Rangka.

2.6. Dasar Pembebanan


Dalam menjalankan fungsinya, setiap struktur akan menerima pengaruh
dari luar yang perlu dipikul. Selain pengaruh dari luar, sistem struktur yang
terbuat dari material bermassa, juga akan memikul beratnya sendiri akibat
pengaruh gravitasi. Selain pengaruh dari luar yang dapat diukur sebagai besaran
gaya atau beban, seperti berat sendiri struktur, beban akibat hunian atau
penggunaan struktur, pengaruh angin atau getaran gempa, tekanan tanah atau
tekanan hidrostatik air, terdapat juga pengaruh luar yang tidak dapat diukur
sebagai gaya. Sebagai contoh adalah pengaruh penurunan pondasi pada struktur
bangunan, atau pengaruh temperatur / suhu pada elemen-elemen struktur.
Dalam melakukan analisis pada suatu struktur, perlu ada gambaran yang
jelas mengenai perilaku dan berapa besar beban yang bekerja pada struktur. Hal
21

penting yang mendasar adalah bagaimana cara membedakan analisa pada beban-
beban yang bersifat statis dan dinamis.
Beban statik adalah beban yang bekerja secara terus menerus pada struktur
dan yang diasosiasikan dengan beban-beban ini juga secara perlahan lahan timbul,
dan juga mempunyai karakter steady state. Beban dinamis adalah beban yang
bekerja secara tiba-tiba pada struktur. Pada umumnya tidak bersifat steady state
dan mempunyai karakteristik besar dan lokasinya berubah-ubah dengan cepat.
Deformasi pada struktur akibat beban ini juga berubah-ubah secara cepat. Beban
dinamis dapat menyebabkan terjadinya osilasi pada struktur hingga deformasi
puncak tidak terjadi bersamaan dengan terjadinya gaya terbesar.

Gambar 2.10. Hubungan Beban (P) - Waktu (t)


(Sumber : eprints.undip.ac.id)

2.6.1. Beban Mati


Untuk keperluan analisis dan desain struktur bangunan, besarnya beban
mati harus ditaksir atau ditentukan terlebih dahulu. Beban mati adalah beban-
beban yang bekerja vertikal ke bawah pada struktur dan mempunyai karakteristik
bangunan, seperti misalnya penutup lantai, alat mekanis, dan partisi. Berat dari
elemen-elemen ini pada umumnya dapat ditentukan dengan mudah dengan derajat
ketelitian cukup tinggi. Untuk menghitung besarnya beban mati suatu elemen
dilakukan dengan meninjau berat satuan material tersebut berdasarkan volume
elemen. Berat satuan (unit weight) material secara empiris telah ditentukan dan
22

telah banyak dicantumkan tabelnya pada sejumlah standar atau peraturan


pembebanan.
Berat satuan atau berat sendiri dari beberapa material konstruksi dan
komponen bangunan gedung dapat ditentukan dari peraturan yang berlaku di
Indonesia yaitu Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung
(PPPURG) 1987. Informasi mengenai berat satuan dari berbagai material
konstruksi yang sering digunakan perhitungan beban mati dapat dilihat pada tabel
2.1. berikut :

Tabel 2.1. Beban Mati pada Bangunan (1)

Bahan Berat
Baja 7850 kg/m3
Batu Alam 2600 kg/m3
Beton Bertulang 2400 kg/m3
Pasangan Bata Merah 1700 kg/m3
Pasir Kering 1600 kg/m3
Pasir Basah 1800 kg/m3
Tanah 1700 - 2000 kg/m3

Tabel 2.2. Beban Mati pada Bangunan (2)

Komponen Gedung Berat


Adukan semen 21 kg/m2
Dinding 1/2 Bata Merah 250 kg/m2
Langit-langit dan penggantung 18 kg/m2
Lantai ubin semen portland 24 kg/m2
Spesi per cm tebal 21 kg/m2
Partisi 130 kg/m2
(Sumber : PPPURG 1987)

2.6.2. Beban Hidup


Fungsi dari elemen struktur khususnya pelat lantai, adalah untuk
mendukung beban-beban hidup yang dapat berupa berat dari orang-orang atau
hunian, perabot, mesin-mesin, peralatan, dan timbunan-timbunan barang. Beban
23

hidup adalah beban yang bisa ada atau tidak ada pada struktur untuk suatu waktu
yang diberikan. Meskipun dapat berpindah-pindah, beban hidup masih dapat
dikatakan bekerja secara perlahan-lahan pada struktur.
Beban yang diakibatkan oleh hunian atau penggunaan (occupancy loads)
adalah beban hidup. Yang termasuk ke dalam beban penggunaanan dalah berat
manusia, perabot, barang yang disimpan, dan sebagainya. Beban yang diakibatkan
oleh salju atau air hujan, juga temasuk ke dalam beban hidup. Semua beban hidup
mempunyai karakteristik dapat berpindah atau, bergerak. Secara umum beban ini
bekerja dengan arah vertikal ke bawah, tetapi kadang-kadang dapat juga berarah
horisontal. Beban hidup yang bekerja pada struktur dapat sangat bervariasi,
sebagai contoh seseorang dapat berdiri di mana saja dalam suatu ruangan, dapat
berpindahpindah, dapat berdiri dalam satu kelompok. Perabot atau barang dapat
berpindahpindah dan diletakkan dimana saja di dalam ruangan. Dari penjelasan
ini, jelas tidak mungkin untuk meninjau secara terpisah semua kondisi
pembebanan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu dipakai suatu pendekatan
secara statistik untuk menetapkan beban hidup ini, sebagai suatu beban statik
terbagi merata yang secara aman akan ekuivalen dengan berat dari pemakaian
terpusat maksimum yang diharapkan untuk suatu pemakaian tertentu.
Beban hidup aktual sebenarnya yang bekerja pada struktur pada umumnya
lebih kecil dari pada beban hidup yang direncanakan membebani struktur. Akan
tetapi, ada kemungkinan beban hidup yang bekerja sama besarnya dengan beban
rencana pada struktur. Jelaslah bahwa struktur bangunan yang sudah direncanakan
untuk penggunaan, tertentu harus diperiksa kembali kekuatannya apabila akan
dipakai untuk penggunaan lain. Sebagai contoh, bangunan gedung yang semula
direncanakan untuk apartemen tidak akan cukup kuat apabila digunakan untuk
gudang atau kantor.

Tabel 2.2. Beban Hidup pada Bangunan

Jenis Beban Berat


Lantai Kantor 250 kg/m2
Tangga kantor 300 kg/m2
24

Lantai parkir bawah 800 kg/m2


Lantai parkir atas 400 kg/m2
Beban manusia 100 kg/m2
(Sumber : PPPURG 1987)

2.6.3. Beban Gempa


Gempa bumi adalah fenomena getaran yang dikaitkan dengan kejutan
pada kerak bumi. Beban kejut ini dapat disebabkan oleh banyak hal, tetapi salah
satu faktor yang utama adalah benturan pergesekan kerak bumi yang
mempengaruhi permukaan bumi. Lokasi gesekan ini terjadi disebut fault zone.
Kejutan yang berkaitan dengan benturan tersebut akan menjalar dalam bentuk
gelombang. Gelombang ini menyebabkan permukaan bumi dan bangunan di
atasnya bergetar. Pada saat bangunan bergetar, timbul gaya-gaya pada struktur
bangunan karena adanya kecenderungan massa bangunan untuk mempertahankan
dirinya dan gerakan. Gaya yang timbul disebut gaya inersia.
Besar gaya tersebut bergantung pada banyak faktor yaitu:
 Massa bangunan
 Pendistribusian massa bangunan
 Kekakuan struktur
 Jenis tanah
 Mekanisme redaman dan struktur
 Perilaku dan besar alami getaran itu sendiri
 Wilayah kegempaan
 Periode getar alami

2.6.4. Beban Angin


Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur bangunan tergantung
dari kecepatan angin, rapat massa udara, letak geografis, bentuk dan ketinggian
bangunan, serta kekakuan struktur. Bangunan yang berada pada lintasan angin,
akan menyebabkan angin berbelok atau dapat berhenti. Sebagai akibatnya, energi
25

kinetik dari angin akan berubah menjadi energi potensial, yang berupa tekanan
atau hisapan pada bangunan.
Untuk tempat-tempat dimana terdapat kecepatan angin yang mungkin
mengakibatkan tekanan tiup yang lebih besar. Tekanan tiup angin (p) dapat
ditentukan berdasarkan rumus (2.1) :

𝑣2
𝑃= (𝑘𝑔/𝑚2 )
16

(2.1)

Dimana v adalah kecepatan angin dalam m/s.

2.7. Perencanaan Beban Gempa


Standar perencanaan gempa di Indonesia yang resmi adalah dari SNI.
Standar kegempaan oleh SNI ini sendiri sudah mengalami banyak sekali revisi
namun yang paling terbaru adalah SNI 1726-2002 dan SNI 1726-2012 dalam
artian dua standar ini paling banyak dipakai dalam perencanaan gempa untuk
beberapa tahun terakhir. Namun dalam prakteknya sendiri kedua standar ini
memiliki kecenderungan yang berbeda satu sama lain sehingga sering
memunculkan perdebatan.
Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung
dan Non Gedung (SNI 1726-2012) mengacu kepada ASCE 7-10 (American
Society of Civil Engineers Standard), dengan perioda ulang gempa 2475 tahun.
Peraturan gempa Indonesia yang sebelumnya (SNI 1726-2002) mengacu kepada
UBC 1997 (Uniform Building Code) berdasarkan dengan perioda ulang gempa
500 tahun dan dengan perioda ulang gempa 200 tahun untuk SNI 1726-1989-F.
Dalam perencanaan struktur yang menahan gempa banyak sekali parameter
yang harus diperhatikan dan dari kedua jenis SNI ini memiliki perbedaan
formulasi yang harus diperhatikan. Berikut adalah beberapa perbedaan parameter
pada perencanaan gempa dari kedua jenis standar tersebut :

2.7.1. Zonasi Gempa


26

Peta zonasi gempa pada SNI-1726-2012 agak sedikit berbeda jika


dibandingkan dengan zonasi gempa pada SNI 1726-2002 karena pembagian
didasarkan pada parameter Ss dan S1. Parameter Ss adalah Percepatan batuan
dasar perioda pendek yaitu 0,2 detik sedangkan Parameter S1 adalah percepatan
batuan dasar pada perioda 1 detik. Dengan adanya parameter Ss dan S1 ini sendiri
tentunya membagi daerah gempa menjadi lebih mikro sehingga untuk hasil
analisa beban gempa yang akan dilakukan menjadi lebih teliti. Selain bisa
menentukan parameter gempa ini secara manual, dapat juga dilakukan penentuan
parameter Ss dan S1 dengan bantuan website resmi dari PU yaitu puskim.pu.go.id.
dimana hasil Ss dan S1 yang didapatkan dengan menginput nama kota yang
diinginkan. Peta gempa secara manual dapat dilihat pada gambar 2.11. dan
gambar 2.12.

Gambar 2.11. Peta Zonasi Gempa Parameter Ss pada SNI-1726-2012


(Sumber: SNI-1726-2012)
27

Gambar 2.12. Peta Zonasi Gempa Parameter S1 pada SNI-1726-2012


(Sumber: SNI-1726-2012)

Perbedaan zonasi gempa inilah yang nantinya akan sangat berpengaruh


terhadap beban gempa yang terjadi pada suatu struktur bangunan. Dengan melihat
kedua jenis peta zonasi gempa tersebut bisa dilihat bahwa pembagian zonasi
gempa untuk SNI-1726-2012 lebih mikro sehingga ketepatan beban gempa yang
akan didapat akan semakin baik namun hasilnya tetap akan dilihat dari analisa
yang akan dilakukan nantinya.

2.7.2. Pengaruh Gempa Arah Vertikal


Dalam suatu analisis gempa, gaya gempa yang bekerja tidak akan selalu
berarah horisontal namun gempa juga dapat menyerang pada arah vertikal. Dalam
SNI 1726-2012 pengaruh gempa vertikal dapat ditentukan dengan rumusan
berupa faktor respons gempa vertikal. Berikut adalah rumusan faktor respons
gempa arah vertikal :
𝐸𝑣 = 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷 ........................................................................................... (Pers.
2.2.)
Dimana : Ev = Pengaruh beban gempa vertikal (kg)
28

SDS = Parameter spektrum respons desain pada periode pendek


(Ss)
D = Pengaruh oleh beban mati (kg)
Nilai SDS nantinya akan didapatkan pada saat penentuan Spektrum respons
desain gempa.
2.7.3. Respons Spektrum
Respons spektrum adalah suatu spektrum yang disajikan dalam bentuk
grafik/plot antara periode getar struktur T, lawan respon-respon maksimum
berdasarkan rasio redaman dan gempa tertentu. Respon-respon maksimum dapat
berupa simpangan maksimum (spectral displacement, SD) kecepatan maksimum
(spectral velocity, SV) atau percepatan maksimum (spectral acceleration, SA)
massa struktur single degree of freedom (SDOF), (Widodo, 2001).
Penentuan respon spektrum sendiri dapat dilakukan dengan berbagai
metode termasuk yang ada pada SNI 1726-2012. Respons spektrum pada SNI
1726-2012 ditentukan oleh 3 parameter utama yaitu sebagai berikut
1) Parameter percepatan batuan dasar pada periode 0,2 detik dan 1 detik.
2) Parameter kelas situs (SA, SB, SC, SD, SE, dan SF).
3) Koefisien dan parameter respons spektra percepatan gempa maksimum
yang dipertimbangkan resiko tertarget (MCER).
Dalam penentuan parameter kelas situs gempa suatu daerah, dapat
ditentukan sesuai keterangan pada tabel berikut ini:
Tabel 2.3. Klasifikasi Situs
Kelas Situs Vs (m/detik) N atau Nch Su (kPa)
SA (batuan
> 1500 N/A N/A
keras)
SB (batuan) 750 - 1500 N/A N/A
SC (tanah keras,
sangat padat
350 - 750 > 50 ≥100
dan batuan
lunak)
SD (tanah
175 - 250 15-50 50-100
sedang)
SE (tanah lunak) < 175 < 15 < 50
29

Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah


dengan karakteristik sebagai berikut :
1. PI > 20 (Indeks Plastisitas)
2. w ≥ 40% (Kadar air)
3. Kuat geser Su ≤ 25 kPa
SF (tanah
Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari
khusus yang
karakteristik berikut:
membutuhkan
1. Rawan dan berpotensi gagal akibat gempa seperti likuifaksi,
investigasi
lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah
geoteknik
2. Lempung sangat organik (H > 3m)
spesifik dan
3. Lempung berplastisitas sangat tinggi (H > 7,5m dengan PI > 75)
analisis respon
4. Lapisan lempung lunak dengan H > 35 m dan Su < 50 kPa
spesifik situs)
(Sumber : SNI 1726-2012)
Dalam penentuan respons spektrum percepatan gempa MCER di
permukaan tanah, diperlukan faktor amplifikasi seismic pada periode 0,2 detik
dan periode 1 detik. Parameter respons spektrum respons percepatan pada perioda
pendek (SMS) dan perioda 1 detik (SM1) yang dirumuskan sebagai berikut
𝑆𝑀𝑆 = 𝐹𝑎 𝑆𝑠 ................................................................................................ (Pers.
2.3.)
𝑆𝑀1 = 𝐹𝑣 𝑆1 ................................................................................................. (Pers.
2.4.)
Dimana : Ss = Parameter respons spektrum perioda pendek (Gambar 2.11.)
S1 = Parameter respons spektrum perioda 1 detik (Gambar 2.12.)
Fa = Faktor ampplifikasi getaran terkait percepatan perioda
pendek (Tabel 2.4.)
Fv = Faktor amplifikasi terkaitan percepatan perioda 1 detik
(Tabel 2.5.)
Untuk penentuan koefisien situs Fa dan Fv dapat menggunakan tabel-tabel
berikut. Sebagai catatan jika nilai Ss maupun S1 merupakan nilai antara maka nilai
Fad an Fv didapatkan menggunakan interpolasi linier.
Tabel 2.4. Koefisien situs Fa

Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER)terpetakan pada


Kelas perioda pendek T = 0,2 detik, Ss
situs
Ss ≤ 0,25 Ss = 0,5 Ss = 0,75 Ss = 1,0 Ss ≥ 1,25
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
30

SB 1 1 1 1 1
SC 1,2 1,2 1,1 1 1
SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1
SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
SF Memerlukan investigasi geoteknik spesifik
(Sumber : SNI 1726-2012)
Tabel 2.5. Koefisien situs Fv

Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER)terpetakan pada


Kelas perioda pendek T = 1 detik, S1
situs
S1 ≤ 0,1 S1 = 0,2 S1 = 0,3 S1 = 0,4 S1 ≥ 0,5

SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8

SB 1 1 1 1 1

SC 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3

SD 2,4 2 1,8 1,6 1,5

SE 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4

SF Memerlukan investigasi geoteknik spesifik


(sumber : SNI 1726-2012)
Setelah mendapatkan nilai SMS dan SM1 maka langkah berikutnya adalah
menentukan percepatan spektral desain masing-masing periode sebagai berikut:
2
𝑆𝐷𝑆 = 3 𝑆𝑀𝑆 .............................................................................................. (Pers.

2.5.)
2
𝑆𝐷1 = 3 𝑆𝑀1 ............................................................................................... (Pers.

2.6.)
Dimana : SDS = Parameter percepatan spektral desain periode pendek
SD1 = Parameter percepatan spektral desain periode 1 detik
Untuk menggambvar respons spektrum suatu daerah maka ada 3 tahapan
utama yaitu sebagai berikut.
 Untuk perioda yang lebih kecil dari T0 maka respons percepatan Sa (T < T0)
adalah :
31

𝑇
𝑆𝑎 = 𝑆𝐷𝑆 (0,4 + 0,6 𝑇 ) ............................................................................ (Pers.
0

2.7.)
𝑆
𝑇0 = 0,2 𝑆𝐷1 ............................................................................................... (Pers.
𝐷𝑆

2.8.)
 Untuk perioda lebih besar atau sama dengan T0 dan lebih kecil dari atau sama
dengan Ts, spektrum respons percepatan desain Sa ( T0 ≤ T ≤ Ts) adalah :
𝑆𝑎 = 𝑆𝐷𝑆 .................................................................................................... (Pers.
2.9.)
 Untuk perioda yang lebih besar dari Ts maka respons percepatan Sa (T > Ts)
adalah :
𝑆𝐷1
𝑆𝑎 = 𝑇
..................................................................................................... (Pers.

2.10.)
𝑆
𝑇𝑠 = 𝑆𝐷1 ..................................................................................................... (Pers.
𝐷𝑆

2.11.)
Dimana : T = periode getar fundamental struktur (detik)

Gambar 2.13. Respons Spektrum Desain pada SNI 1726-2012


(Sumber : SNI 1726-2012)
2.7.4. Kategori Desain Seismik
Setiap struktur harus memiliki kategori desain seismik. Perhitungan
perancangan besarnya gaya gempa rencana untuk desain dan analisis perhitungan
dinyatakan oleh besarnya gaya geser dasar, ketentuan mengenai syarat kekuatan
serta fleksibilitas ketidakberaturan bentuk hubungan limitasi tinggi tidak lagi
32

ditentukan dari peta zonasi gempa. Ketentuan mengenai hal tersebut tergantikan
oleh kriteria desain seismik yang dikaitkan dengan kategori jenis hunian (I).

Tabel 2.6. Kategori Desain Seismik Parameter SDS

Kategori Resiko
Nilai SDS
I atau II atau III IV
SDS < 0,167 A A
0,167 ≤ SDS ≤ 0,33 B C
0,33 ≤ SDS ≤ 0,5 C D
SDS > 0,5 D D
(Sumber : SNI 1726-2012)
Tabel 2.7. Kategori Desain Seismik Parameter SD1
Kategori Resiko
Nilai SD1
I atau II atau III IV
SD1 < 0,067 A A
0,067 ≤ SD1 ≤ 0,133 B C
0,133 ≤ SD1 ≤ 0,2 C D
SD1 > 0,2 D D
(Sumber : SNI 1726-2012)
2.7.5. Koefisien Respons Seismik
Koefisien respons seismik adalah koefisien pengali berat struktur gedung
yang digunakan untuk mendapatkan besarnya gaya geser dasar seismik. Besarnya
koefisien seismik pada SNI 1726-2012 adalah :
𝑆𝐷𝑠
𝐶𝑠 = 𝑅 .................................................................................................... (Pers.
( )
𝐼

2.12.)
Dimana : Cs = Koefisien respons seismik
I = Faktor keutamaan gempa (Tabel 2.6.)
R = Faktor modifikasi respons (Tabel 2.7.)
33

Nilai Cs diharapkan tidak melebihi:


𝑆𝐷1
𝐶𝑠 = 𝑅 ................................................................................................... (Pers.
𝑇( )
𝐼

2.13.)
Nilai Cs diharapkan pula tidak kurang dari:
𝐶𝑠 = 0,044 𝑆𝐷𝑆 𝐼 ≥ 0,01 ......................................................................... (Pers.
2.14.)

Tabel 2.8. Kategori Resiko dan faktor Keutamaan Gempa I


Jenis pemanfaatan Kategori resiko I

Gedung dan non gedung resiko rendah (Fasilitas


I 1
pertanian, gudang, rumah jaga, dan struktur lainnya)

Gedung struktur (Perumahan, toko, pasar, perkantoran,


II 1
apartemen, mall, dll)

Gedung dan non gedung resiko tinggi (Bioskop, gedung


peremuan, stadion, fasilitas kesehatan, penjara, bangunan
orang jompo, dll)
III 1,25
Gedung dan non gedung yang berdampak pada gangguan
masssal (Pembangkit listrik biasa, penanganan air,
penanganan limbah, pusat telekomunikasi, dll)

Gedung dan non gedung sebagai fasilitas penting


(Bangunan monumental, gedung sekolah, Rumah sakit, IV 1,5
pemadam kebakaran, shelter gempa, dll)
(Sumber : SNI 1726-2012)

Tabel 2.9. Faktor R, Ωo, Cd Pada Sistem Penahan Gaya Gempa


Batasan Sistem Struktur dan Batasan Tinggi
Struktur
Sistem pemikul
R Ωo Cd
beban gempa Kategori Desain Seismik

B C D E F
34

SRPMB Beton
3 3 2,5 TB TI TI TI TI
Bertulang

SRPMB Baja 3,5 3 3 TB TB TI TI TI

Dinding Geser
Beton Bertulang 5 2,5 4,5 TB TB TI TI TI
Biasa

Rangka Bresing
3,25 2 3,25 TB TB 10 10 TI
Konsentris Biasa

(Sumber : SNI 1726-2012)

2.7.6. Gaya Geser Seismik


Penentuan besarnya gaya geser dasar gempa yang terjadi pada suatu
gedung menurut SNI 1726-2012 dapat di formulasikan menjadi berikut:
𝑉 = 𝐶𝑠 𝑊𝑡 ................................................................................................. (Pers.
2.15.)
𝐹𝑥 = 𝐶𝑣𝑥 𝑉 ............................................................................................... (Pers.
2.16.)
𝑤𝑥 ℎ𝑥𝑘
𝐶𝑣𝑥 = ∑𝑛 𝑘 ......................................................................................... (Pers.
𝑖=1 𝑤𝑖 ℎ𝑖

2.17.)
Dimana : Cs = Koefisien respons seismik
Fx = Distribusi gaya lateral gempa (kg)
Cvx = Faktor distribusi vertikal
wi dan wx = Berat lantai ke-i atau x (kg)
hi dan hx = Tinggi lantai ke-i atau x (m)
k = Eksponen perioda struktur (k=1 jika T < 0,5 detik dan k=2
jika T > 2,5 detik)
2.7.7. Periode Getar Alami Struktur
Periode getar alami adalah waktu yang diperlukan untuk menempuh satu
putaran lengkap dari suatu getaran akibat struktur mengalami gangguan pada saat
keseimbangan statis untuk kembali ke posisi awalnya. Periode getar alami sendiri
35

ini juga terjadi akibat sifat alami struktur dalam hal hubungan massa struktur
dengan kekauan struktur itu sendiri.
Menurut SNI 1726-2002, dalam perencanaan suatu struktur, periode
gempa harus dibatasi dengan alasan sebagai berikut :
1) Mencegah pengaruh P-Delta yang berlebihan;
2) Mencegah simpangan antar-tingkat yang berlebihan pada taraf pembebanan
gempa yang menyebabkan pelelehan pertama, yaitu untuk menjamin
kenyamanan penghunian dan membatasi kemungkinan terjadinya kerusakan
struktur akibat pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan, maupun
kerusakan non-struktur.
3) Untuk mencegah simpangan antar-tingkat yang berlebihan pada taraf
pembebanan gempa maksimum, yaitu untuk membatasi kemungkinan
terjadinya keruntuhan struktur yang menelan korban jiwa manusia.
4) Untuk mencegah kekuatan (kapasitas) struktur terpasang yang terlalu rendah,
mengingat struktur gedung dengan waktu getar fundamental yang panjang
menyerap beban gempa yang rendah (terlihat dari respons spektrum C-T),
sehingga gaya internal yang terjadi di dalam unsur-unsur struktur
menghasilkan kekuatan terpasang yang rendah.
Pada SNI 1726-2012 penentuan periode getar alami dibagi menjadi 2 jenis
yaitu periode getar alami minimum dan periode getar alami maksimum.
𝑇𝑚𝑖𝑛 = 𝐶𝑡 ℎ𝑛 𝑥 .......................................................................................... (Pers.
2.18.)

𝑇𝑚𝑎𝑥 = 𝐶𝑤 𝑇𝑚𝑖𝑛 ........................................................................................ (Pers.


2.19.)

Dimana : Tmin = Periode getar alami minimum (detik)

Tmax = Periode getar alami maksimum (detik)

Ct = Koefisien parameter periode pendekatan (Tabel 2.8.)

Cw = Koefisien batas atas periode (Tabel 2.9.)

x = Koefisien eksponen batas atas periode (Tabel 2.8.)

Untuk gedung yang tingkatannya tidak melebihi 12 tingkat maka ada alternatif
rumus periode getar alami dengan tinggi tingkat paling sedikit 3m
36

𝑇 = 0,1 𝑁 .................................................................................................. (Pers.


2.20.)
Dimana : N = Jumlah tingkat dari gedung
Tabel 2.10. Nilai Ct dan x

Tipe struktur Ct x

Rangka baja pemikul momen 0,0724 0,8

Rangka beton pemikul momen 0,0466 0,9

Sistem struktur lainnya 0,0488 0,75


(Sumber : SNI 1726-2012)
Tabel 2.11. Koefisien Batas Atas Cw
Parameter percepatan respons
Cw
spektral periode 1 detik SD1
≥ 0,40 1,4
0,3 1,4
0,2 1,5
0,15 1,6
≤ 0,1 1,7
(Sumber : SNI 1726-2012)

2.7.8. Kinerja Struktur Gedung


Pada suatu struktur gedung, penentuan kinerja dari struktur tersebut sangat
penting karena akan berpengaruh pada keamanan dan kenyamanan pada gedung
yang telah dibangun. Dalam perencanaan, kinerja suatu gedung ini sendiri ada 2
jenis yang harus diperhatikan yaitu kinerja batas layan dan kinerja batas ultimit.
Kinerja batas layan struktur gedung ditentukan oleh simpangan antar-
tingkat akibat pengaruh Gempa Rencana, yaitu untuk membatasi terjadinya
pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan, di samping untuk mencegah
kerusakan non-struktur dan ketidaknyamanan penghuni.
Kinerja batas ultimit struktur gedung ditentukan oleh simpangan dan
simpangan antar-tingkat maksimum struktur gedung akibat pengaruh Gempa
Rencana dalam kondisi struktur gedung di ambang keruntuhan, yaitu untuk
37

membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan struktur gedung yang dapat


menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah benturan berbahaya
antar-gedung atau antar bagian struktur gedung yang dipisah dengan sela pemisah.
Penentuan kinerja dari suatu gedung baik kinerja batas layan dan kinerja
batas ultimit dapat ditentukan sebagai berikut :
 Kinerja Batas Layan
𝑃 ∆𝑥 𝐼
𝜃 = 𝑉 𝑥ℎ ........................................................................................... (Pers.
𝑥 𝑠𝑥 𝐶𝑑

2.21.)
0,5
𝜃𝑚𝑎𝑥 = ≤ 0,25 ............................................................................ (Pers.
𝛽 𝐶𝑑

2.22.)
𝜃 < 𝜃𝑚𝑎𝑥 ............................................................................................. (Pers.
2.23.)
Dimana : θ = Koefisien stabilitas
Px = Beban desain vertikal total pada dan diatas tingkat ke x (kg)
Δx = Simpangan antar lantai (mm)
Vx = Gaya geser seismik pada tingkat x dan x-1 (kg)
hsx = Tinggi tingkat di bawah tingkat x (mm)
Cd = Faktor pembesaran defleksi (Tabel 2.7.)
β = rasio kebutuhan geser terhadap kapasitas geser tingkat antara
x dan x-1 (β = 1,0)
 Kinerja Batas Ultimit
𝐶𝑑 𝛿𝑒𝑥
∆𝑥 = ............................................................................................. (Pers.
𝐼

2.24.)
∆𝑥 ≤ ∆𝑎 /𝜌 ............................................................................................. (Pers.
2.25.)
Dimana : δex = Defleksi lokasi yang disyaratkan yang ditentukan dengan
analisis elastik (mm)
Δa = Simpangan lantai izin (mm) (Tabel 2.10.)
ρ = faktor redudansi struktur (untuk kategori desain seismik D,E,
dan F nilai ρ = 1,3 selain itu ρ = 1,0)
Tabel 2.12. Simpangan lantai izin Δa
38

Kategori resiko
Struktur
I atau II III IV

Struktur, selain struktur dinding geser batu


bata, 4 tingkat atau kurang dengan dinding
interior, partisi, langit-langit dan sistem dinding 0,025 hsx 0,02 hsx 0,015 hsx
eksterior yang telah didesain untuk
mengakomodasi simpangan antar lantai tingkat

Struktur dinding geser kantilever batu bata 0,01 hsx 0,01 hsx 0,01 hsx
Struktur dinding geser batu bata lainnya 0,007 hsx 0,007 hsx 0,007 hsx
Semua struktur lainnya 0,02 hsx 0,015 hsx 0,01 hsx
(Sumber : SNI 1726-2012)

2.7.9. Kombinasi Pembebanan


Untuk keperluan desain, analisis dari sistem struktur perlu diperhitungkan
terhadap adanya kombinasi pembebanan (Load combination) dari beberapa kasus
beban yang dapat bekerja secara bersamaan selama umur rencana. Menurut
peraturan pembebanan Indonesia untuk rumah dan gedung 1983, ada dua
kombinasi pembebanan yang perlu ditinjau pada struktur yaitu: Kombinasi
pembebanan tetap dan kombinasi pembebanan sementara. Kombinasi
pembebanan tetap dianggap beban bekerja secara terus-menerus pada struktur
selama umur rencana. Kombinasi pembebanan tetap disebabkan oleh bekerjanya
beban mati dan beban hidup.
Kombinasi pembebanan sementara tidak bekerja secara terus-menerus
pada stuktur, tetapi pengaruhnya tetap diperhitungkan dalam analisa struktur.
Kombinasi pembebanan ini disebabkan oleh bekerjanya beban mati, beban hidup,
dan beban gempa. Nilai-nilai tersebut dikalikan dengan suatu faktor magnifikasi
yang disebut faktor beban, tujuannya agar struktur dan komponennya memenuhi
syarat kekuatan dan layak pakai terhadap berbagai kombinasi beban. Berikut
adalah kombinasi pembebanan yang digunakan :
Ada 6 kombinasi pembebanan yang digunakan yaitu :

𝑈 = 1,4 𝐷𝐿 ................................................................................................ (Pers.


2.26.)
39

𝑈 = 1,2 𝐷𝐿 + 1,6 𝐿𝐿 ................................................................................... (Pers.


2.27.)
𝑈 = 1,2 𝐷𝐿 + 1 𝐿𝐿 ± 0,3 (𝜌 𝑄𝐸 + 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷𝐿) ± 1 (𝜌 𝑄𝐸 + 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷𝐿) ...... (Pers.
2.28.)
𝑈 = 1,2 𝐷𝐿 + 1 𝐿𝐿 ± 1 (𝜌 𝑄𝐸 + 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷𝐿) ± 0,3 (𝜌 𝑄𝐸 + 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷𝐿) ...... (Pers.
2.29.)
𝑈 = 1,2 𝐷𝐿 + 1 𝐿𝐿 ± 0,3 (𝜌 𝑄𝐸 − 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷𝐿) ± 1 (𝜌 𝑄𝐸 − 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷𝐿) ...... (Pers.
2.30.)
𝑈 = 1,2 𝐷𝐿 + 1 𝐿𝐿 ± 1 (𝜌 𝑄𝐸 − 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷𝐿) ± 0,3 (𝜌 𝑄𝐸 − 0,2 𝑆𝐷𝑆 𝐷𝐿) ...... (Pers.
2.31.)
Dimana : DL = Beban mati (kg)
LL = Beban hidup (kg)
QE = Pengaruh seismik horizontal oleh V (kg)

Anda mungkin juga menyukai