Anda di halaman 1dari 13

A.

KESENGAJAAN
1. Pengertian Kesengajaan

Kata kesengajaan berasal dari kata "sengaja", dalam bahasa Inggrisnya


adalahIntention, dari kata Intend yang artinya berniat melakukan sesuatu, atau dari
kataIntentional, Premeditated, And Willful yang artinya dengan sengaja.
Menurut oxford advanced learner's dictionary " that which one purposes or plans
to do".1

Dalam bahasa Belanda, kesengajaan (dengan sengaja) ini


disebut opzetelijk dari kata opzet (sengaja), dalam bahasa Prancis disebut dolus,
sedangkan dalam bahasa Latin disebut doleus. Melihat pengertian yang
disebutkan dalam Oxford Advanced Learner's Dictionary tersebut, kita ketahui
bahwa kesengajaan adalah keinginan, kehendak atau kemauan seseorang untuk
melakukan sesuatu. Jika dihubungkan dengan tindak pidana maka, maka dalam
melakukan suatu tindak pidana haruslah ada unsur-unsur yang menyebabkan
tindakan tersebut dikatakan kesengajaan melakukan suatu tindak pidana.Adapun
unsur-unsur tersebut, yaitu: harus ada kehendak, keinginan, atau kemauan pada
diri seseorang untuk melakukan tindak pidana,orang yang berbuat sesuatu dengan
sengaja itu sudah mengetahui dan sadar sebelumnya akan akibat-akibat
perbuatannya.[3]

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang beraku pada saat


sekarang ini sama sekali tidak menerangkan tentang makna/arti dari kesengajaan
dalam melakukan tindak pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang
bermaksud merumuskan istilah kesengajaan dan juga kealpaan (culpa).[4]

Jika kita melihat perumusan KUHP di negara-negara lain, kita bisa membagi,
mengenai perumusan maksud kesengajaan dan kealpaan, menjadi dua kelompok,
yaitu :[5]

a. Ada yang hanya merumuskan dan menegaskan bahwa seseorang hanya


dapat dipidana jika ada unsur kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan
maksud/definisi kedua bentuk tersebut. Teknis perumusan ini bisa dilihat

1
misalnya dalam KUHP Norwegia, Greenland, Jepang, Korea dan KUHP
Jerman 1871.
b. Ada pula yang memandang perlu merumuskan pengertian kesengajaan dan
kealpaan, seperti pada KUHP Thailand, Swiss, Polandia, Republik
Demokrasi Jerman dan KUHP Yugoslavia.

KUHP Indonesia, karena yang tentang arti kesengajaan, tidak ada keterangan
sama sekali dalam KUHP. Dalam memorie Van Toelicting Swb, ada pula:
“pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa
melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.

Apakah arti dari dikehendaki dan diketahui, disini ada dua aliran, yaitu :

a. Teori kehendak (wilstheorie) yaitu yang paling tua dan pada masa
timbulnya teori yang lain mendapat pembelaan kuat dari Von Hippel, guru
besar Gottinggen, Jerman. Di negeri Belanda antara lain dianut oleh
Simons.
b. Teori pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira tahun 1910
diajarkan oleh Frank, guru besar Tubingen, Jerman, dan mendapat
sokongan kuat dari Von Listiz. Di Belanda penganutnya antara lain adalah
Von Hamel.

Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada


terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. Sedangkan menurut yang
lain, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur
yang diperlukan menurut rumusan wet.

Selanjutnya tentang kedua teori tersebut pompe menulis bahwa perbedaan


tidak terletak pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan (positif maupun
negatif) itu sendiri yang oleh dua-duanya disebut sebagai kehendak, tetapi
terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lainnya (sejauh harus diliputi
kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.

Kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan


dengan motif (alasan pandorong untuk berbuat) dan tujuannnya perbuatan.
Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan
dikehendaki oleh terdakwa :

a. Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk


berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai.
b. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin
terdakwa.

Kalau kita berpendirian, bahwa kesengajaan adalah pengetahuan,


penginsyafan atau pengertian, maka mengenai kesengajaan terhadap kelakuan
kiranya tidak menimbulkan kesulitan. Dikatakan terdakwa berbuat dengan
kesengajaan (kelakuan disengaja), apabila dia menginsyafi tingkah lakunya atau
dalam mabok tidur, disitu tidak ada kesengajaan. Jadi, mengenai kelakuan hanya
ada dua kemungkinan. Dinsyafi atau tidak diinsyafi.

Untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat :

a. Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang


merupakan delik.
b. Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah apa
boleh buat, dapat disetujui dan berani pukul resikonya.

Dalam kesengajaan ada tiga corak, yaitu :

1) Kesengajaan sebagai maksud.


2) Kesengajaan sebagai kepastian.
3) Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus eventualis).[6]

2. Bentuk Kesengajaan

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke


dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan
sebagai berikut :
a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu
tujuan (dolus directus). Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk
menimbulkan akibat yang dilarang.

Kesengajaan sebagai maksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku


atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah memang menjadi
tujuannya. Tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada yang
menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, si
pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan
diadakan ancaman hukuman pidana. Menurut teori kehendak, sengaja sebagai
maksud karena apa yang dimaksud telah dikehendakinya. Sedangkan menurut
teori bayangan, sengaja sebagai maksud karena bayangan tentang akibat yang
dimaksud itu telah mendorong si pembuat untuk melakukan perbuatan yang
bersangkutan.

b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau


noodzakkelijkheidbewustzijn). Dalam hal ini perbuatan berakibat yang
dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan
mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.

Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah apabila si pelaku dengan


perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari
perbuatn pidana. Tetapi, ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatannya tersebut. Maka dari itu, sebelum sungguh-sungguh terjadi akibat
perbuatannya, si pelaku hanya dapat mengerti atau dapat menduga bagaimana
akibat perbuatannya nanti atau apa-apa yang akan turut mempengaruhi terjadinya
akibat perbuatan itu. Dalam bentuk ini, perbuatan pelaku mempunyai dua akibat,
yaitu yang pertama, akibat yang memang dituju si pelaku yang dapat merupakan
delik tersendiri atau bukan. Yang kedua, akibat yang tidak diinginkan tapi
merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam akibat pertama.
Teori kehendak merumuskan bahwa apabila pelaku juga menghendaki akibat
atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah
dapat digambarkan dan tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa pelaku
melakukan perbuatannya itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat
perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran. Teori
membayangkan merumuskan bahwa apabila bayangan tentang akibat atau hal-hal
yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang sebetulnya tidak langsung
dikehendaki tetapi juga tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa
perbuatan itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja
dilakukan dengan kepastian dan kesadaran.
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Dalam hal ini keadaan tertentu
yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh:
meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.

Kesengajaan dengan kemungkinan berarti apabila dengan dilakukannya


perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari bahwa adaya
kemungkinan akan timbul akibat lain. Dalam hal ini, ada keadaan tertentu yang
semula mungkin terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi. Jadi menurut teori
ini untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat :
1) Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya yang
merupakan delik,
2) Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila benar terjadi, resiko tetap
diterima untuk mencapai apa yang dimaksud.

Teori kesengajaan dengan kemungkinan adalah apabila dalam gagasan si


pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan terjadi akibat yang
bersangkutan tanpa dituju. Maka harus ditinjau seandainya ada bayangan
kepastian, tidak hanya kemungkinan apakah perbuatan tetap akan dilakukan oleh
si pelaku. Kalau hal ini terjadi, dapat dikatakan bahwa akibat yang terang dapat
tidak dikehendaki dan yang mungkin akan terjadi itu tetap dipikul
pertanggungjawabannya oleh si pelaku.

Secara umum, para ahli hukum pidana menyebutkan adanya 3 (tiga) macam
bentuk kesengajaan (opzet), yaitu :
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk),

2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn),

3. Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).

Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti.


Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu si pelaku menyadari bahwa dengan
melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul perbuatan lain.

Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis) disebut juga


“kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”, bahwa seseorang melakukan
perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu.

3. Macam Kesenggajaan
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesenggajaan (dolus) mengenal
berbagai macam kesenggajaan, antara lain:
 Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan
tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai
objek yang lain.
 Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
 Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek,
misalnya menghendaki matinya.
 Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian
objek, misalnya menembak segerombolan orang.
 Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat
memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
 Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada
perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
 Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa
semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau
tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya
dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan
tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak
menganut dolus ini).

B. Kealpaan (culpa)
1. Pengertian Kealpaan

Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalaian itu. Hanya memori


penjelasan (Memorie Van Toelichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa)
terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culoa itu dipandang
lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa
mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga
diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antaara sengaja dan
kebetulan kata Hazewinkel-Suringa dikenal pula di negara-negara Anglo-Saxon
yang disebut per infortuninum the killing occured accidently. Dalam memeori
jawaban pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan
dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya sedangkan siapa
karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berati tidak mempergunakan
kemampuannya yang ia harus mempergunakan.[7]

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), kelalaian biasanya


disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan.

Pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain


mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.”[1]

Van Hamel membagi culpa atas dua jenis :

a. Kurang melihat ke depan yang perlu,


b. Kurang hati-hati yang perlu.

Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan,


dasarnya adalah sama, yaitu:

a. Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,


b. Adanya kemampuan bertanggung jawab,
c. Tidak adanya kesalahan pemaaf.
Tetapi bentuknya lain. dalam kesengajaan sikap batin orang menantang.
Dalam kealpaan kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam
melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang
dilarang.

Lange meyer mengatakan: “kealpaan adalah suatu struktur yang sangat


gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan
lahir, dan menunjuk kepada adanya keadaan bathin yang tertentu, dan dilain
pihak keadaan bathinnya itu sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika dimengertikan
demikian, maka culpa (kealpaan) mencakup semua makna kesalahan dalam arti
luas yang bukan berupa kesengajaan. Beda kesengajaan daripada kealpaan ialah
bahwa dalam kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan
penyetujuan yang disadari daripada bagian-bagian delik yang meliputi oleh
kesengajaan, sedang sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan.

Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan.
Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan.
Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari
kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu
dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga
letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus
eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).

Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang
dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa
culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang
sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki
lagi. Oleh karena itu, undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-
hati, sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang
menyebabkan keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana
diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang
penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut,
sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.
Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan
berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih
mudah dalam memahami tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan dalam
bentuk contoh simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya
dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran.
Tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang
terjatuh ke dalamnya, dsb.

` Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal


kealpaan, pada diri pelaku terdapat :

a. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.


b. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
c. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

2. Lalu, Adakah ukuran kelalaian dalam hukum pidana?


Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), kelalaian
biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, ataukealpaan. Hal
ini dapat dilihat dalam penjelasan R. Soesilo mengenaiPasal 359 KUHP, dalam
bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, yang mengatakan bahwa
“karena salahnya” sama dengan kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang
perhatian.

Pasal 359 KUHP:


“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.”
Dalam hukum pidana, kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan
disebut dengan culpa. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya
yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesiamengatakan bahwa arti
culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum
mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang
tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang
tidak disengaja terjadi.
Sedangkan, Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul Hukum
Pidana mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat)
berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Menurut Jan
Remmelink, ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang
dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga
secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan
orang tersebut – padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya
dilakukan.
Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, Jan Remmelink bahwa
menurut MvA (memori jawaban) dari pemerintah, yang menjadi tolak ukur bagi
pembuat undang-undang bukanlah diligentissimus pater familias (kehati-hatian
tertinggi kepala keluarga), melainkan warga pada umumnya. Syarat untuk
penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan serius yang cukup, ketidakhati-
hatian besar yang cukup; bukan culpa levis(kelalaian ringan), melainkan culpa
lata (kelalaian yang kentara/besar).
Hal serupa juga dikatakan oleh Wirjono Prodjodikoro, yaitu bahwa menurut
para penulis Belanda, yang dimaksudkan dengan culpa dalam pasal-pasal KUHP
adalah kesalahan yang agak berat. Istilah yang mereka pergunakan adalah grove
schuld (kesalahan besar). Meskipun ukuran grove schuld ini belum tegas seperti
kesengajaan, namun dengan istilah grove schuld ini sudah ada sekedar ancar-ancar
bahwa tidak masuk culpa apabila seorang pelaku tidak perlu sangat berhati-hati
untuk bebas dari hukuman.
Lebih lanjut, dikatakan bahwa untuk culpa ini harus diambil sebagai ukuran
bagaimana kebanyakan orang dalam masyarakat bertindak dalam keadaan yang in
concreto terjadi. Jadi, tidaklah dipergunakan sebagai ukuran seorang yang selalu
sangat berhati-hati, dan juga tidak seorang yang selalu serampangan dalam tindak
tanduknya.
Pada akhirnya, Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa dengan demikian
seorang hakim juga tidak boleh mempergunakan sifatnya sendiri sebagai ukuran,
melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat. Akan tetapi, praktis
tentunya ada peranan penting yang bersifat pribadi sang hakim sendiri. Hal ini
tidak dapat dielakkan.
Jadi, pada dasarnya yang dijadikan tolak ukur adalah ukuran kehati-hatian
yang ada di masyarakat, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hakim
juga berperan serta dalam menentukan hal tersebut[2].

3. Bentuk-Bentuk Kealpaan

Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas :

a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)

Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta


akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya
tidak akan terjadi.

b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).


Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari
kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat
menduga sebelumnya.

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa
berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat
berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu
sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada
pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak
artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu
pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan
seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu,
bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.

4. Jenis-Jenis Kelalaian/culpa

Penggaradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua susudt


pandang. Pertama, dari sudut pandang kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku,
maka diperbedakan gradasi kealpaan yang berat (culpa lata) dan kealpaan yang
ringan (culp levis).
Untuk mengetahu apakah ada kealpaan atau tidak, dilihat dari sudut
pandang kecerdasan, untuk gradasi kealpaan yang berat disyaratkan adanya
kekuarangwaspadaan (onvoorzichtigheid), dan untuk kealpaan yang ringan
disyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan:
1) Tindaka pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku atau;
2) Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang terpandai dalam
golongan pelaku.
Sedangkan sudut pandang kedua penggradasian bentuk kealpaan dilihat dari
sudut kesadaran (bewustheid), diperbedakan gradasi kealpaan yang disadari
(bewuste schuld) terhadap kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dikatakan sebagai kealpaan yang disadari jika pelaku dapat membayangkan
atau memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Tetapi ketika ia melakukan
tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun
akibat itu timbul juga.
Dan dikatakan sebagai kealpaan yang tidak disadari bila mana pelaku tidak
dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi seharusnya (menueurut
perhitungan umum/ yang layak) pelaku dapat membayangkannya
(onverchilligheid ten opzichte van rechtsbelangen van anderen). Kealpaan karena
yang disadari lebih berat sanksi pidananya dibdandingkan dengan kealpaan yang
tidak disadari[3].
[2] AS. Hornby, 1995. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford University
Press, Fifth Edition, p. 621
[3] CST. Kansil, 1999. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta, Sinar
Grafika, cet. III, hal. 287. Selanjutnya lihat Mr. J.E. Jonkers dalam Handboek van
het Nederlandsch-Indische Strafrecht, hal. 47 dan seterusnya
[4] Barda Nawawi Arief, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, Raja
Grafindo, cet. III, hal. 89.
[5] Barda Nawawi Arief, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, Raja
Grafindo, cet. III, hal. 90.
[6] Prof Moeljatno, S.H., asas-asas hukum pidana, (jakarta:PT.Rineka cipta, 1993)
hlm.171-177
[7] Prof Moeljatno, S.H., asas-asas hukum pidana, (jakarta:PT.Rineka cipta, 1993)
hlm.169

[2] Anonym, “Adakah Uraian Kelalaian Dalam Hukum Pidana?”, diakses


dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51d592cf9865d/adakah-ukuran-
kelalaian-dalam-hukum-pidana, pada tanggal 11 November 2018 pukul 12:10

[3] Danang S.H., M.H. , “Culpa (Kealpaan)”, diakses


dari http://www.negarahukum.com/hukum/culpa-kealpaan.html, pada tanggal 11
November 2018 pukul 12:22

Anda mungkin juga menyukai