Anda di halaman 1dari 14

Ijarah

Ditulis sebagai syarat tugas mata kuliah Akuntansi Syariah

Disusun Oleh :

Rasyid Abdul Majid (120110150028)

Saoqi Kamil Abrar (120110150109)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PADJAJARAN

Bandung, 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
waktu, kesehatan, dan pemikiran yang baik sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Ijarah
ini sesuai dengan waktu yang kami rencanakan. Makalah ini membahas tentang Sistem Ijarah.

Tujuan kami dalam penyusunan makalah ini tidak bermaksud untuk mengubah materi
yang sudah tersusun. Namun, hanya lebih pendekatan pada studi banding atau membandingkan
beberapa materi yang sama dari berbagai referensi. Semoga makalah ini dapat memberi
tambahan pada hal yang terkait dengan kepentingan masyarakat dalam perkembangan
Akuntansi Syariah di Indonesia.

Kami sebagai penyusun pastinya tidak pernah lepas dari kesalahan. Begitu pula dalam
penyusunan makalah ini yang mungkin memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mohon maaf atas segala kekurangannya dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Hj. Tettet Fitrijanti, S.E., M.Si.,Ak. sebagai
Dosen mata kuliah Akuntansi Syariah yang telah memberi arahan kami dalam penyusunan
makalah ini, tidak lupa pula kepada rekan – rekan yang telah ikut berpartisipasi. Sehingga
makalah ini selesai tepat pada waktunya.

Bandung, 10 Oktober 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3

1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................... 3


1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 3
1.3 Kegunaan Penulisan Makalah ............................................................................................. 4
1.4 Metode Penulisan .................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 5

2.1 Pengertian Ijarah .................................................................................................................. 5


2.2 Dasar Hukum Ijarah ............................................................................................................ 6
2.3 Rukun dan Syarat Ijarah ..................................................................................................... 7
2.4 Upah Dalam Pekerjaan Ibadah ........................................................................................... 7
2.5 Menyewakan Barang Sewaan .............................................................................................. 8
2.6 Pembatan dan Berakhirnya Ijarah ..................................................................................... 8
2.7 Pengembalian Barang Sewaan............................................................................................. 9
PENUTUPAN .......................................................................................................................... 11

3.1 Kesimpulan .......................................................................................................................... 11


DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 13

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah.
Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh
sering mmenerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut
janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi
harus dipahami dalam arti yang luas.
Manusia merupakan makhluk social yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang
lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, yang termasuk di dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk
interaksi social guna memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-
ketentuan yang membatasi dan mengatur kegiatan tersebut.
Selain dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu
memandang kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang
harus ada dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-
sumber hokum islam, yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep Islam mengenai muamalah amatlah baik. Karena menguntungkan
semua pihak yang ada di dalamnya. Namun jika moral manusia tidak baik maka pasti
ada pihak yang dirugikan. Akhlakul Karimah secara menyeluruh harus menjadi rambu-
rambu kita dalam ber-muamalah dan harus dipatuhi sepenuhnya.
Dan di sini kami membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salah satu dari
bentuk interaksi sosial manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kegiatan
ekonomi), yaitu Ijarah.
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Ijarah?


2. Bagaimana Dasar Hukum Ijarah?
3. Bagaimana Rukun dan Syarat-syarat Ijarah?
4. Bagaimana Upah dalam Pekerjaan Ibadah?
5. Bagaimana Menyewakan Barang Sewaan?

3
6. Bagaimana Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah?
7. Bagaimana pengembalian Barang Sewaan?

1.3 Kegunaan Penulisan Makalah

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Syariah.


2. Untuk menambah referensi pengetahuan tentang Ijarah.
1.4 Metode Penulisan

Dalam pembuatan makalah ini kami menggunakan metode studi pustaka,


mencari semua informasi dari internet tentang Sistem Keuangan Syariah.

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijarah

Menurut etimologi, ijarah adalah ‫( بيع المنفعة‬menjual manfa’at). Al-ijarah berasal


dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa
Indonesianya ialah ganti dan upah. Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab ijarah
berasal dari kata ‫ اجر‬yang sinonimnya:
1. ‫ اكوى‬yang artinya menyewakan, seperti dalam kalimat ‫( اجرالشئ‬menyewakan
sesuatu)
2. ‫اعطا ه اجرا‬yang artinya ia member upah, seperti dalam kalimat‫( اجرفالناعلى كذا‬ia
memerikan kepada si fulan upah sekian)
3. ‫اثابه‬yang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimat‫(اجرهللا عبده‬Allah
memberikan pahala kepada hamba-Nya)
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah,
antara lain adalah sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah
‫َع ْقد ٌ َعلَى ال ُمنَا ِفعِ ِب َع ْوض‬
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asyafi’iyah
‫اإلبَا َح ِة بِعَ ْوض َم ْعلُ ْوم‬
ِ ‫صودة َم ْعلُو َمة ُمبَا َحة قَابِلَة ِللبَدْ ِل َو‬
ُ ‫َع ْقد ٌ َعلَى َم ْنفَعَة َم ْق‬
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan
mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
‫ت َ ْم ِليْكُ َمنَافِعِ شَيء ُمبَا َحة ُمدَّة ً َم ْعلُ ْو َمةً بِعَ ْوض‬
Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu
tertentu dengan pengganti.”
d. Menurut syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud
dengan
ijaroh ialah:
“Akad atas manfa’at yang diketahui dan disengaja untuk member dan
membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.
5
e. Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan
ijaroh
adalah:
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”
f. Menurut Sayyid Sabiq bahwa Ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
g. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah adalah:
“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu,
yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah
adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa menyewa adalah:
‫بيع المنافع‬
“Menjual manfaat”
Dan upah mengupah adalah
‫بيع القوة‬
“Menjual tenaga atau kekuatan.”
Ada beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu mu’jir,
musta’jir, ma’jur dan ajru atau ijarah.ma’jir ialah pemilik benda yang menerima uang
(sewa) atas suatu manfaat. Musta’jir ialah orang yang memberikan uang atau pihak
yang menyewa. Ma’jur ialah pekerjaan yang diakadkan manfaatnya. Sedangkan ajr atau
ujrah ialah uang (sewa) yang diterima sebagai imbalan atas manfaat yang diberikan.[5]

2.2 Dasar Hukum Ijarah

Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-
ijma’ Dasar hukum ijarah dalam alqur’an adalah
)‫فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطالق‬
Artinya: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah
mereka” (Al-Thalaq: 6).
Dasar hukum ijarah dari al-hadits adalah
‫اعطو ااالجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه‬
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat
Ibnu Majah)

6
Landasan Ijma’nya ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama pun
yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara
mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.

2.3 Rukun dan Syarat Ijarah


Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah
pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1. Dua orang yang berakad
2. Sighat (ijab dan qabul)
3. Sewa atau imbalan
4. Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1. Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
3. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-
ijarah
4. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul
perselisihan dikemudian hari
5. Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya
6. Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
7. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
8. Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
9. Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas

2.4 Upah Dalam Pekerjaan Ibadah


Para ulama berbeda sudut pandang dalam hal upah atau imbalan terhadap
pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah.
Madzhab hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan
kepada Allah seperti menyewa orang lain untuk sholat, puasa, haji atau membaca
alqur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah orang
tua yang menyewa, menjadi muadzin, menjadi imam, dan lain-lain yang sejenis haram

7
hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah
SAW:
‫اقرؤالقران والتاؤكلوابه‬
“bacalah olehmu alqur’an dan janganlah kamu cari makan dengan jalan itu”.
Perbuatan seperti adzan, shalat, haji, puasa, membaca alqur’an dan dzikir adalah
tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah, karenanya tidak boleh mengambil
upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Menurut madzhab Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan
mengajar alqur’an dan sejenisnya, jika tujuannya termasuk untuk mewujudkan
kemaslahatan. Tetapi haram hukumnya mengambil upah jika tujuannya termasuk
kepada taqqrrub kepada Allah.
Madzhab maliki, Syafi’I dan ibnu Hazm, membolehkan mengambil upah
sebagai iambalan mengajar aklqur’an dan kegiatan-kegiatan sejenis, karena hal ini
termasuk jenis imbalan dari perbuatan yang diketahui (terukur) dan dari tenaga yang
diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan bahwa mengambil upah sebagai imbalan
mengajar alqur’an dan kegiatan sejenis, baik secara bulanan atau secara sekaligus
dibolehkan dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya.

2.5 Menyewakan Barang Sewaan


Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan
tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan
penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal. Sementara itu, menurut Hendi Suhendi
bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah
pemilik barang (al-mu’jir) dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian
penyewa atau al-musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau al-
musta’jir itu sendiri.

2.6 Pembatan dan Berakhirnya Ijarah


Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat
mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad
ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat
udzur dari salah satu pihak yang berakad seperti salah satu pihak sudah wafat atau
kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum.

8
Adapun jumhur ulama dalam hal ini mengatakan bahwa akad ijaraj itu seperti
mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat berbeda
pendapat ini dapat diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia. Menurut
ulama Hanafiah, apabila salah seorang meninggal dunia maka akad ijarah batal karena
manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat
itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu kematian salah satu
pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.[8]
Selanjutnya sampai kapankah akad ijarah itu berakhir?. Menurut al-kasani
dalam kitab al-Bada’iu ash-shanaa’iu, menyatakan bahwa akad ijarah berakhir bila ada
hal-hal sebagai berikut:
1. Objek ijarah hilang atau musnah
2. Tenggang waktu yang disepakati dala akad ijarah telah berakhir
3. Wafatnya salah seorang yamh berakad
4. Apabila ada udzur dari salah satu pihak
Sementara itu, menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila
ada hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
2. Rusaknya barang yang disewakan
3. Rusaknya barang yang diupahkan
4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan
5. Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkanijarah
jika ada kejadian-kejafian yang luar biasa.

2.7 Pengembalian Barang Sewaan


Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban
mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah
(barang bergerak) seperti kendaraan, binatang dan sejenisnya, ia wajib
menyerahkannya langsung pada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak
dapat berpindah (barang yang tidak dapat bergerak) seperti rumah, tanah, bangunan,
ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong, seperti
keadaan semula. Madzhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir
penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan

9
untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan. Selanjutnya mereka juga
berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad ijarah dan tidak terjadi kerusakan
yang tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban menanggung bagi penyewa.

10
BAB 3

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Menurut etimologi, ijarah adalah ‫( بيع المنفعة‬menjual manfa’at).[9] Al-ijarah


berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam
bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah, ijarah adalah
menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.
Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-
ijma’. Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah
pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1. Dua orang yang berakad
2. Sighat (ijab dan qabul)
3. Sewa atau imbalan
4. Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai
berikut:
1. Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-
ijarah
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul
perselisihan dikemudian hari
4. Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya
5. Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
7. Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
8. Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas.

11
Para ulama berbeda sudut pandang dalam hal upah atau imbalan terhadap
pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah.
Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan
tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan
penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal.
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat
mengikat kedua belah pihak atau tidak. Menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi
batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
2. Rusaknya barang yang disewakan
3. Rusaknya barang yang diupahkan
4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan
5. Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkanijarah
jika ada kejadian-kejafian yang luar biasa.
Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban
mengembalikan barang sewaan.

12
DAFTAR PUSTAKA

GHAZALY ABDUL RAHMAN dkk. FIQH MUAMALAT Jakarta:KENCANA.2012

Huda,Qomarul.Fiqh muamalah.Yogyakarta:teras.2011

Suhendi, Hendi . FIQH MUAMALAH. Jakarta:PT RAJA GRAFINDO

PERSADA.2002

Syafei, Rachmat. FIQIH Muamalah. Bandung:CV PUSTAKA SETIA. 2001

Wardi Muslich, Ahmad. Fiqh Muamalat.Jakarta:Amzah.2010

13

Anda mungkin juga menyukai