Anatomi
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus
yang terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat,
sehingga dahulu disebut “rongga buntu atau rongga tersembunyi”. Batas-
batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares posterior).
Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah
belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah
adalah ismus faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi
lateral.
B. Pengertian
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di
daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap
nasofaring.Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap
nasofaring.Keganasan ini termasuk 5 besar bersama kanker mulut rahim,
payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak tumor
yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2003).
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang mempunyai
predisposisi rasial yang sangat mencolok. Insidennya paling tinggi pada ras
Mongoloid terutama pada penduduk di daerah Cina bagian selatan,
Hongkong, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia penyakit ini
ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian laporan
kasus dalam jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini
ditemukan lebih banyak pada laki-laki dari perempuan dalam perbandingan
2,5:1.
Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang
mempunyai struktur berbentuk kuboid.Banyak terdapat struktur anatomis
penting di sekitarnya.Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan
juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah.Struktur
anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker
tersebut.
C. Etiologi
D. Klasifikasi
Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan
gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring
digunakan sistem TNM menurut UICC (1992).
T (Tumor Primer)
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap,
dll)
T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di
dalam
rongga nasofaring
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau
orofaring
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang
tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak
Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
M (Metastasis jauh)
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh
G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT scan kepala dan leher
Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang tersembunyi pun tidak
terlalu sulit ditemukan.
2. Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr
Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis
pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat
berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160.
3. Biopsi
Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring.
Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi
melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka
media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di
hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca
laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca
tersebut atau dengan memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut dan massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi tumor
dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.
4. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan
maka dapat dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral
nasofaring dalam narkosis.
H. Penatalaksanaan
J. Intervensi
Airway Suctioning/Suction
jalan nafas
Keluarkan sekret dengan
dorongan batuk/suctioning
Lakukan suction pada
endotrakhel/nasotrakhel, jika
perlu
2 Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
injuri fisik askep ….. jam klien Kaji tingkat nyeri secara
menunjukkan tingkat komprehensif termasuk lokasi,
kenyamanan dan karakteristik, durasi, frekuensi,
level nyeri: klien kualitas dan faktor presipitasi.
terkontrol dg KH: Observasi reaksi
Klien melaporkan nonverbal dari
nyeri berkurang skala ketidaknyamanan.
nyeri 2-3 Gunakan teknik
Ekspresi wajah komunikasi terapeutik untuk
tenang, klien mampu mengetahui pengalaman nyeri
istirahat dan tidur klien sebelumnya.
V/S dbn (TD Kontrol faktor lingkungan
120/80 mmHg, N: 60- yang mempengaruhi nyeri
100 x/mnt, RR: 16- seperti suhu ruangan,
20x/mnt) pencahayaan, kebisingan.
Kurangi faktor presipitasi
nyeri.
Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologis/non
farmakologis)..
Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri..
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
Evaluasi tindakan
pengurang nyeri/kontrol nyeri.
Kolaborasi dengan dokter
bila ada komplain tentang
pemberian analgetik tidak
berhasil.
Monitor penerimaan klien
tentang manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :
Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
Cek riwayat alergi..
Tentukan analgetik pilihan,
rute pemberian dan dosis
optimal.
Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
Berikan analgetik tepat
waktu terutama saat nyeri
muncul.
Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan gejala efek
samping.
3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari askep …. jam klien kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh menunjukan status Kaji adanya alergi
b/d intake nutisi in nutrisi adekuat makanan.
adekuat, faktor dibuktikan dengan BB Kaji makanan yang disukai
biologis stabil tidak terjadi mal oleh klien.
nutrisi, tingkat energi Kolaborasi dg ahli gizi
adekuat, masukan untuk penyediaan nutrisi terpilih
nutrisi adekuat sesuai dengan kebutuhan klien.
Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung cukup
serat untuk mencegah
konstipasi.
Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
Monitor respon klien
terhadap situasi yang
mengharuskan klien makan.
Monitor lingkungan selama
makan.
Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
Monitor adanya mual
muntah.
Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
Monitor intake nutrisi dan
kalori.
4 Risiko infeksi b/d Setelah dilakukan Konrol infeksi :
imunitas tubuh askep …… jam tidak Bersihkan lingkungan
primer menurun, terdapat faktor risiko setelah dipakai pasien lain.
prosedur invasive infeksi pada klien Batasi pengunjung bila
dibuktikan dengan perlu.
status imune klien Intruksikan kepada
adekuat: bebas dari keluarga untuk mencuci tangan
gejala infeksi, angka saat kontak dan sesudahnya.
lekosit normal (4- Gunakan sabun anti
11.000), miroba untuk mencuci tangan.
Lakukan cuci tangan
sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan.