Anda di halaman 1dari 24

A.

Anatomi
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus
yang terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat,
sehingga dahulu disebut “rongga buntu atau rongga tersembunyi”. Batas-
batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares posterior).
Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah
belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah
adalah ismus faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi
lateral.

Gambar Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping


Gambar Anatomi Nasofaring Tampak Belakang

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah:


1. Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun.
Pada orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
2 Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi
fibroma nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
3 Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii
(ostium tuba)
4 Fosa Rosenmulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus
tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil
yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan
tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid
menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan
predileksi terjadinya keganasan nasofaring.

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang


bermacam-macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel
kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar
berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato
berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut
akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke
arah palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali. Yang
terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas
nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel
yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya.
Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring
merupakan lokasi keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan
dapat juga terjadi di tempat-tempat lain di nasofaring. Moch. Zaman
mengemukakan bahwa keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:
1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat
adenoid.
2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.
3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding
faring dan palatum molle.

B. Pengertian
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di
daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap
nasofaring.Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap
nasofaring.Keganasan ini termasuk 5 besar bersama kanker mulut rahim,
payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak tumor
yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2003).
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang mempunyai
predisposisi rasial yang sangat mencolok. Insidennya paling tinggi pada ras
Mongoloid terutama pada penduduk di daerah Cina bagian selatan,
Hongkong, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia penyakit ini
ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian laporan
kasus dalam jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini
ditemukan lebih banyak pada laki-laki dari perempuan dalam perbandingan
2,5:1.
Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang
mempunyai struktur berbentuk kuboid.Banyak terdapat struktur anatomis
penting di sekitarnya.Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan
juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah.Struktur
anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker
tersebut.

C. Etiologi

Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab karsinoma nasofaring


adalah Virus Epstein-Barr, karena pada hampir semua pasien dengan
karsinoma nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi, sedang
pada penderita karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak
ditemukan titer antibodi terhadap kapsid virus EB ini. Banyak penelitian
mengenai perilaku virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan merupakan
satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
munculnya tumor ganas ini seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi
bakteri atau parasit.
Tumor ganas ini sering ditemukan pada laki-laki dan sebabnya belum
dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor
genetik, hormonal, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Dari beberapa
penelitian dijumpai perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 4 :
1. Namun ada penelitian yang menemukan perbandingan laki-laki dan
perempuan hanya 2 : 1. Pada penelitian yang dilakukan di Medan (2008),
ditemukan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan 3 : 2. Hormon
testosteron yang dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan
respon imun dan surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap
infeksi VEB dan kanker.
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi kronik oleh bahan
kimia, asap, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu,
dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Pengaruh genetik terhadap
karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell
mediated imunity dari virus EB dan tumor associated antigens pada
karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial
ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan
kebiasaan hidup.

D. Klasifikasi
Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan
gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring
digunakan sistem TNM menurut UICC (1992).

 T (Tumor Primer)
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap,
dll)
T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di
dalam
rongga nasofaring
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau
orofaring
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang
tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak
Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

 N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)


N0 = Tidak ada pembesaran KGB
N1 = Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa
digerakkan
N2 = Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias
digerakkan
N3 = Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang
sudah melekat pada jaringan sekitar

 M (Metastasis jauh)
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh

Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4


stadium, yaitu:
a. Stadium I : T1 N0 M0
b. Stadium II : T2 N0 M0
c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0
d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1

Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring


dibedakan menjadi 3 tipe menurut WHO.1,3,7,10 Pembagian ini berdasarkan
pemeriksaan dengan mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring
adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat
dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.
a. Tipe WHO 1
Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1
mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa
nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan
menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.
b. Tipe WHO 2
Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2
ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan
sebagian sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan
menyerupai karsinoma sel transisional.
c. Tipe WHO 3
Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini
gambaran sel-sel kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di
dalamnya yang dahulu disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma
anaplastik, clear cell carcinoma, dan variasi spindel.
E. Patofisiologi

Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein


barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten
pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat
digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A
dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam
mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen
yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol,
sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah
yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini
terutama pada fossa Rossenmuller.
F. Manifestasi Klinis
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga,
gejala tumor di leher, gejala mata dan gejala saraf.
1. Gejala Hidung/Nasofaring
Harus dicurigaiadanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
 Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita
usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
 Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih
jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus
paranasal.
 Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari
hidung (epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan
pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.
2. Gejala Telinga
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga
terasa penuh seperti terisi air, berdengung atau gemrebeg (tinitus) dan nyeri
(otalgia). Gangguan pendengaran yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran
dan terjadi bila ada perluasan tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar
tuba, sehingga terjadi sumbatan.
3. Gejala Tumor Leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara
limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral
maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma
nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus
mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak
mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga
mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.
4. Gejala Mata
Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan
secara teliti, penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi
dua atau dobel. Jelas yang dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi
karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas foramen laserum yang
mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat memberikan
gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga
menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila
perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat
mengalami kebutaan.
5. Gejala Saraf
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa
gejala subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti
nyeri kepala atau kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan
hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan (disfagia). Tidak jarang
ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan
yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI,
dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan
sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut dengan
sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan
bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT scan kepala dan leher
Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang tersembunyi pun tidak
terlalu sulit ditemukan.
2. Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr
Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis
pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat
berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160.
3. Biopsi
Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring.
Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi
melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka
media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di
hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca
laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca
tersebut atau dengan memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut dan massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi tumor
dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.
4. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan
maka dapat dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral
nasofaring dalam narkosis.

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu


pencegahan dan pengobatan.
Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang
dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan
timbulnya karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah
penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan menghindari bahan-
bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma
nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.
Pengobatan
Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi,
penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan
imunoterapi.
Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal
(Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson),
tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, dan hasilnya menjadi kurang
efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor metastase dengan
membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk membuang kelenjar
limfe permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah retrofaring
dan parafaring.
Radioterapi
Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya.
Radioterapi dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila
sumber sinar jauh dari tumor dan di luar tubuh penderita. Sedangkan
brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor dan dipasang dalam tubuh
penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi diberikan bila ada perluasan
tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta belum ada
metastase ke kelenjar limfe leher.
Obat-obatan Sitostatika
Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal
umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat
dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah methotrexat, metomycine
C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin. Obat ini memberikan
efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan pada permulaan seri
pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan sebelum dan sesudah
penyinaran sebagai sandwich terapy.
Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi,
serta penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi
obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin,
Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), ABUD (Adriamycin,
Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA (Cyclophosphamide,
Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin).
Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik
onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research dan
trial. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain
dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC.
Obat Antivirus
Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat
menghambat pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat
antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan
EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .
I. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi berlebihan


2. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidakmampuan pemasukan nutrisi..
4. Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
5. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d
misintepretasi informasi, ketidak familiernya sumber informasi.
6. Resiko Aspirasi b/d inefektif reflek menelan
7. Defisit self care b/d kelemahan
8. Harga diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan
penyakit.

J. Intervensi

No Diagnosa NIC NOC


1 Bersihan jalan Setelah dilakukan Airway
nafas tidak efektif askep .. jam status Management/Manajemen
b.d sekresi respirasi: terjadi jalan nafas
berlebihan kepatenan jalan Bebaskan jalan nafas.
nafas dengan Posisikan klien untuk
Kriteria : memaksimalkan ventilasi
1. Tidak ada panas Identifikasi apakah klien
2. Cemas tidak ada membutuhkan insertion airway
3. Obstruksi tidak Jika perlu, lakukan terapi fisik
ada (dada)
4. Respirasi dalam Auskultasi suara nafas, catat
batas normal 16- daerah yang terjadi penurunan
20x/mnt atau tidak adanya ventilasi
5. Pengeluaran Berikan bronkhodilator, jika
sputum dari jalan perlu
nafas Atur pemberian O2, jika perlu
6. paru bersih Atur intake cairan agar
seimbang
Atur posisi untuk mengurangi
dyspnea
Monitor status pernafasan dan
oksigenasi

Airway Suctioning/Suction
jalan nafas
 Keluarkan sekret dengan
dorongan batuk/suctioning
 Lakukan suction pada
endotrakhel/nasotrakhel, jika
perlu
2 Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
injuri fisik askep ….. jam klien  Kaji tingkat nyeri secara
menunjukkan tingkat komprehensif termasuk lokasi,
kenyamanan dan karakteristik, durasi, frekuensi,
level nyeri: klien kualitas dan faktor presipitasi.
terkontrol dg KH:  Observasi reaksi
 Klien melaporkan nonverbal dari
nyeri berkurang skala ketidaknyamanan.
nyeri 2-3  Gunakan teknik
 Ekspresi wajah komunikasi terapeutik untuk
tenang, klien mampu mengetahui pengalaman nyeri
istirahat dan tidur klien sebelumnya.
 V/S dbn (TD  Kontrol faktor lingkungan
120/80 mmHg, N: 60- yang mempengaruhi nyeri
100 x/mnt, RR: 16- seperti suhu ruangan,
20x/mnt) pencahayaan, kebisingan.
 Kurangi faktor presipitasi
nyeri.
 Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologis/non
farmakologis)..
 Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri..
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
 Evaluasi tindakan
pengurang nyeri/kontrol nyeri.
 Kolaborasi dengan dokter
bila ada komplain tentang
pemberian analgetik tidak
berhasil.
 Monitor penerimaan klien
tentang manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :
 Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
 Cek riwayat alergi..
 Tentukan analgetik pilihan,
rute pemberian dan dosis
optimal.
 Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
 Berikan analgetik tepat
waktu terutama saat nyeri
muncul.
 Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan gejala efek
samping.
3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari askep …. jam klien  kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh menunjukan status  Kaji adanya alergi
b/d intake nutisi in nutrisi adekuat makanan.
adekuat, faktor dibuktikan dengan BB  Kaji makanan yang disukai
biologis stabil tidak terjadi mal oleh klien.
nutrisi, tingkat energi  Kolaborasi dg ahli gizi
adekuat, masukan untuk penyediaan nutrisi terpilih
nutrisi adekuat sesuai dengan kebutuhan klien.
 Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
 Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung cukup
serat untuk mencegah
konstipasi.
 Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien.

Monitor Nutrisi
 Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
 Monitor respon klien
terhadap situasi yang
mengharuskan klien makan.
 Monitor lingkungan selama
makan.
 Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
 Monitor adanya mual
muntah.
 Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
 Monitor intake nutrisi dan
kalori.
4 Risiko infeksi b/d Setelah dilakukan Konrol infeksi :
imunitas tubuh askep …… jam tidak  Bersihkan lingkungan
primer menurun, terdapat faktor risiko setelah dipakai pasien lain.
prosedur invasive infeksi pada klien  Batasi pengunjung bila
dibuktikan dengan perlu.
status imune klien  Intruksikan kepada
adekuat: bebas dari keluarga untuk mencuci tangan
gejala infeksi, angka saat kontak dan sesudahnya.
lekosit normal (4-  Gunakan sabun anti
11.000), miroba untuk mencuci tangan.
 Lakukan cuci tangan
sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan.

 Gunakan baju dan sarung


tangan sebagai alat pelindung.
 Pertahankan lingkungan
yang aseptik selama
pemasangan alat.
 Lakukan perawatan luka
dan dresing infus setiap hari.
 Tingkatkan intake nutrisi
dan cairan
 berikan antibiotik sesuai
program.
Proteksi terhadap infeksi
 Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal.
 Monitor hitung granulosit
dan WBC.
 Monitor kerentanan
terhadap infeksi..
 Pertahankan teknik aseptik
untuk setiap tindakan.
 Inspeksi kulit dan mebran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase.
 Inspeksi kondisi luka, insisi
bedah.
 Ambil kultur jika perlu
 Dorong istirahat yang
cukup.
 Monitor perubahan tingkat
energi.
 Dorong peningkatan
mobilitas dan latihan.
 Instruksikan klien untuk
minum antibiotik sesuai
program.
 Ajarkan keluarga/klien
tentang tanda dan gejala
infeksi.
 Laporkan kecurigaan
infeksi.
 Laporkan jika kultur positif.
5 Kurang Setelah dilakukan Teaching : Dissease Process
pengetahuan askep ........jam,  Kaji tingkat pengetahuan
tentang penyakit pengetahuan klien klien dan keluarga tentang
dan perawatan nya meningkat. Dg KH: proses penyakit
b/d kurang terpapar  Klien / keluarga  Jelaskan tentang
dg informasi, mampu menjelaskan patofisiologi penyakit, tanda
terbatasnya kognitif kembali penjelasan dan gejala serta penyebab
yang telah dijelaskan yang mungkin
 Klien / keluarga  Sediakan informasi
kooperatif saat tentang kondisi klien
dilakukan tindakan.  Siapkan keluarga atau
orang-orang yang berarti
dengan informasi tentang
perkembangan klien
 Sediakan informasi
tentang diagnosa klien
 Diskusikan perubahan
gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah
komplikasi di masa yang akan
datang dan atau kontrol proses
penyakit
 Diskusikan tentang pilihan
tentang terapi atau pengobatan
 Jelaskan alasan
dilaksanakannya tindakan atau
terapi
 Dorong klien untuk
menggali pilihan-pilihan atau
memperoleh alternatif pilihan
 Gambarkan komplikasi
yang mungkin terjadi
 Anjurkan klien untuk
mencegah efek samping dari
penyakit
 Gali sumber-sumber atau
dukungan yang ada
 Anjurkan klien untuk
melaporkan tanda dan gejala
yang muncul pada petugas
kesehatan
 kolaborasi dg tim yang
lain.
6 Risiko aspirasi b/d Setelah dilakukan Aspiration precaution
inefektifnya reflek askep …. jam tidak  Monitor tingkat kesadaran,
menelan terjadi aspirasi / reflek batuk dan kemampuan
Aspiration menelan
tercontrol  Monitor status paru
Kriteria Hasil :  Pelihara jalan nafas
 Dapat bernafas  Monitor v/s
dengan mudah dan  Lakukan suction jika
frekuensi normal (16- diperlukan
20x/mnt).
 Cek nasogastrik sebelum
 Pasien mampu makan
menelan, mengunyah
 Hindari makan kalau
tanpa terjadi aspirasi,
residu masih banyak
dan mampu
 Potong makanan kecil
melakukan oral
kecil
hygien, serta posisi
 Haluskan obat sebelum
tegak selama M/M
pemberian
 Menghindari
 Naikkan kepala 30-45
factor risiko
derajat pada saat dan setelah
 Jalan nafas
makan
paten, mudah
 Jika pasien menunjukkan
bernafas, tidak
gejala mual muntah, posisikan
merasa tercekik dan
klien miring.
tidak ada suara nafas
 Jika perlu suapi klien
abnormal
perlahan dan berikan waktu
cukup untuk mengunyah /
menelan
7 Defisit self care b/d Setelah dilakukan Bantuan perawatan diri
kelemahan asuhan keperawatan  Monitor kemampuan
…. jam klien mampu pasien terhadap perawatan diri
Perawatan diri  Monitor kebutuhan akan
Self care :Activity personal hygiene, berpakaian,
Daly Living (ADL) toileting dan makan
dengan indicator :  Beri bantuan sampai klien
 Pasien dapat mempunyai kemapuan untuk
melakukan aktivitas merawat diri
sehari-hari (makan,  Bantu klien dalam
berpakaian, memenuhi kebutuhannya.
kebersihan, toileting,  Anjurkan klien untuk
ambulasi) melakukan aktivitas sehari-hari
 Kebersihan diri sesuai kemampuannya
pasien terpenuhi  Pertahankan aktivitas
perawatan diri secara rutin
 Evaluasi kemampuan klien
dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
 Berikan reinforcement atas
usaha yang dilakukan dalam
melakukan perawatan diri
sehari hari.
8 Harga diri rendah Setelah Peningkatan harga diri
dilakukan
b/d perubahan askep …. jam klien  Monitor pernyataan pasien
gaya hidup menerima keadaan tentang harga diri
dirinya Dg KH:  Anjurkan pasien utuk
 Mengatakan mengidentifikasi kekuatan
penerimaan diri &  Anjurkan kontak mata jika
keterbatasan diri berkomunikasi dengan orang
 Menjaga postur lain
yang terbuka  Bantu pasien
 Menjaga kontak mengidentifikasi respon positif
mata dari orang lain.
 Komunikasi  Berikan pengalaman yang
terbuka meningkatkan otonomi pasien.
 Secara  Fasilitasi lingkungan dan
seimbang dapat aktivitas meningkatkan harga
berpartisipasi dan diri.
mendengarkan dalam  Monitor frekuensi pasien
kelompok mengucapkan negatif pada diri
 Menerima kritik sendiri.
yang konstruktif  Yakinkan pasien percaya diri
 Menggambarkan dalam menyampaikan
kebanggaan terhadap pendapatnya
diri  Anjurkan pasien untuk tidak
mengkritik negatif terhadap
dirinya
 Sampaikan percaya diri
terhadap kemampuan pasien
mengatasi situasi
 Bantu pasien menetapkan
tujuan yang realistik dalam
mencapai peningkatan harga
diri.
 Bantu pasien menilai
kembali persepsi negatif
terhadap dirinya.
 Anjurkan pasien untuk
meningkatkan tanggung jawab
terhadap dirinya.
 Gali alasan pasien
mengkritik diri sendiri
 Anjurkan pasien
mengevaluasi perilakunya.
 Berikan reward kepada
pasien terhadap perkembangan
dalam pencapaian tujuan
 Monitor tingkat harga diri
DAFTAR PUSTAKA

Arya, Fandy. 2013. Laporan Pendahuluan Askep Pada Klien


Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2001
Moorhead, Sue, et.al. Nursing Outcomes Classification (NOC).Fourth Edition.
St. Louis Missouri : Mosby Elsevier.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2012-2014 oleh NANDA International. Jakarta : EGC
Bulechek ,Dochterman. Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth
Edition. St. Louis Missouri : Mosby Elsevier.
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester,
dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

Anda mungkin juga menyukai