Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
A. Definisi............................................................................................................................4
B. Sosial Media...................................................................................................................5
a. Dampak Positif...........................................................................................................5
b. Dampak Negatif.........................................................................................................6
c. Social Networking Time Use Scale (SONTUS)....................................................... 7
C. Epidemiologi.................................................................................................................. 8
D. Prediktor........................................................................................................................ 9
E. Patopsikiatri.................................................................................................................10
F. Diagnosis...................................................................................................................... 12
G. Tatalaksana.................................................................................................................. 15
I. Prognosis...................................................................................................................... 16
BAB III PENUTUP................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 18

1
BAB I

PENDAHULUAN

Masyarakat informasi diidentikan dengan jumlah media yang dikonsumsi. Dibuktikan


dengan beredarnya arus informasi yang begitu pesat disekitar mereka. Selain itu, kini
informasi tidak hanya dibuat oleh institusi media tertentu, tetapi semua kalangan masyarakat
pun mempunyai kesempatan yang sama untuk memproduksi dan mempublikasikan sebuah
informasi. Mengingat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terus
berinovasi, sehingga memudahkan pengguna untuk melakukannya.
Berkat teknologi baru seperti internet segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi.
Mulai dari kebutuhan untuk bersosialisasi, mengakses informasi sampai kepada pemenuhan
kebutuhan hiburan. Kini, kehadirannya lebih dimanfaatkan sebagai media sosial oleh
masyarakat. Karena dengan media sosial kehidupan dunia nyata dapat ditransformasi ke
dalam “dunia maya‟. Masyarakat bisa dengan bebas berbagi informasi dan berkomunikasi
dengan orang banyak tanpa perlu memikirkan hambatan dalam hal biaya, jarak dan waktu.
Namun dari kemudahan yang ditawarkan media tersebut, terdapat sisi lain yang dapat
merugikan penggunanya dan orang-orang disekitarnya.

Impulsivitas terkait dengan berbagai hal seperti ketidaksabaran, kecerobohan,


mengambil risiko, mencari kesenangan, kurangnya pemikiran yang mendalam, kurangnya
sadar terhadap persitiwa yang tidak diinginkan, tidak dapat menggunakan informasi terkini
dalam menganalisis hasil perilaku, mengabaikan big rewards untuk hasrat sementara, dan
tidak dapat menampilkan keterampilan motorik yang kuat. Dalam studi, impulsivitas
dianggap sebagai faktor risiko untuk obesitas, kecanduan seks, kecanduan alkohol dan obat,
kecanduan internet, permainan permainan patologis, dan perilaku berisiko.(1)

Impulsivitas juga merupakan faktor risiko penting dalam penggunaan media sosial yang
berlebihan. Individu yang memiliki perilaku impulsif diamati gagal menghabiskan waktu mereka
secara efektif, gagal merencanakan dan bertindak sebelum berpikir. Ketika individu yang
menggunakan media sosial berlebihan diamati, jelas bahwa mereka membawa ciri-ciri impulsif
seperti gagal menghabiskan waktu secara efektif, gagal merencanakan, dan kecanduan untuk
media sosial. Impulsivitas dapat dianggap sebagai faktor penting dalam penggunaan media sosial
yang berlebihan. Penggunaan media sosial yang berlebihan merupakan faktor efektif dalam
kecanduan internet, kecanduan dan kecanduan game online. Dengan kata lain, penggunaan
media sosial yang berlebihan dapat menjadi faktor penting dalam munculnya kecanduan
teknologi. (1)
Alat media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp menawarkan
jutaan pengguna untuk berkomunikasi, berhubungan, mengakses informasi, penelitian, dan
obrolan. Impulsivitas menjadi jelas melalui gejala seperti kurangnya pengendalian diri,
bertindak tanpa perencanaan, mencari kegembiraan, gagal memikirkan hasil perilaku, dan
kecerobohan, merupakan faktor risiko penting untuk masalah yang dikategorikan sebagai
defisiensi kontrol impulsif. Individu yang mengalami kesulitan dalam pengendalian diri dan
perencanaan, diasumsikan memiliki kecenderungan terhadap penggunaan media sosial yang
berlebihan. (1)

Tidak mengherankan, kehadiran media sosial menjadi fenomenal. Facebook, Twitter,


YouTube, Instagram hingga Path adalah beberapa ragam media sosial yang diminati oleh
banyak khalayak. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis ingin membahas impulsitivitas
media sosial dari perspektif psikiatri dengan harapan dapat memberi kontribusi terhadap
upaya pengendalian perilaku penggunaan media sosial agar semakin tepatguna, baik oleh diri
sendiri, komunitas, institusi, maupun pihak-pihak lain yang membutuhkan.

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi
a. Media Sosial
Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “Media”
diartikan sebagai alat komunikasi. Sedangkan kata “sosial” diartikan sebagai
kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan
kontribusi kepada masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada
kenyataannya, media dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam
makna bahwa keduanya merupakan produk dari proses sosial. Dari pengertian
masing-masing kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa media sosial adalah
alat komunikasi yang digunakan oleh pengguna dalam proses sosial. Namun,
menurut Nasrullah (2015), untuk menyusun definisi media sosial, kita perlu
melihat perkembangan hubungan individu dengan perangkat media. Karakteristik
kerja komputer dalam Web 1.0 berdasarkan pengenalan individu terhadap
individu lain (human cognition) yang berada dalam sebuah sistem jaringan,
sedangkan Web 2.0 berdasarkan sebagaimana individu berkomunikasi (human
communication) dalam jaringan antarindividu. Terakhir, dalam Web 3.0
karakteristik teknologi dan relasi yang terjadi terlihat dari bagaimana manusia
(users) bekerja sama (human cooperation). (2)
b. Impulsivitas
Merupakan konsep yang mencakup berbagai tindakan yang 'kurang dipahami,
diekspresikan sebelum waktunya, terlalu berisiko atau tidak sesuai dengan
situasi dan sering mengakibatkan hasil yang tidak diinginkan'.(3)
c. Impulsivitas dalam bersosial media
Berdasarkan pengertian impulsivitas dan social media diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa impulsivitas dalam bersosial media adalah berbagai
tindakan yang 'kurang dipahami, diekspresikan sebelum waktunya, terlalu
berisiko atau tidak sesuai dengan situasi dan sering mengakibatkan hasil yang
tidak diinginkan' dalam menggunakan alat komunikasi dalam proses sosial.

4
B. Sosial Media
a. Dampak Positif
Salah satu jurnal mengenai penggunaan media sosial menyatakan bahwa
hampir 80 persen pengguna media sosial merasa media sosial meningkatkan
kualitas kehidupan mereka. Jurnal lain menyebutkan pengguna juga merasa
nyaman dan merasa terbantu dengan menggunakan media sosial. Media sosial
membantu menghubungkan komunikasi dengan teman lama, teman baru,
ataupun orang asing yang belum dikenal. Selain itu, media sosial juga
memfasilitasi penggunanya untuk menyebarluaskan informasi dan berbagi ide
antar sesama penggunanya. Beberapa konten media sosial juga memberikan
informasi mengenai perkembangan terkini secara nasional maupun
internasional. Informasi-informasi ini memberikan kebebasan pada
penggunanya untuk dapat mengikuti aktivitas dalam berkomunikasi di media
sosial ataupun dalam kehidupan kesehariannya.
Penelitian pada dewasa muda di U.S menyatakan bahwa pada dewasa muda,
media sosial digunakan untuk berteman dengan orang-orang baru,
meningkatkan harga diri, dan mencari dukungan sosial secara online. Dewasa
muda juga menggunakan media sosial untuk mengekspresikan identitas yang
ia inginkan saat menjadi dewasa dan menjalin hubungan dengan seseorang.
Secara spesifik, media sosial menghubungkan individu dengan individu/grup lain
dan menjaga reputasi melalui lima kunci perilaku. Pertama, pengguna dapat
menyebarkan informasi baik dalam bentuk teks, gambar, links, video, dan bentuk
lainnya. Pengguna juga dapat menyebarkan konten yang bersifat personal seperti
foto liburan atau konten referensi artikel mengenai tempat liburan yang paling
diminati. Kedua, pengguna dapat menerima respon atau feedback atas konten
yang telah disebarluaskan. Contohnya seperti diterimanya komentar, like, dan
favorit. Komentar yang baik berperan dalam meningkatkan kepercayaan diri
orang tersebut. Ketiga, pengguna dapat mengobservasi informasi yang telah
disebarluaskan oleh pengguna lain. Keempat, pengguna dapat memberi respon
atau feedback terhadap konten yang di unggah orang lain. Kelima, pengguna
dapat melakukan perbandingan sosial dengan membandingkan konten yang
diunggahnya dengan konten orang lain menggunakan jumlah like. Perbandingan
sosial ini tidak hanya terbatas pada jumlah like yang diterima saja, deskripsi profil
pengguna juga dapat digunakan

5
sebagai perbandingan mengenai luasnya jaringan sosial, status hubungan, dan
usia yang dimilikinya.
Individu yang sedang sakit cenderung menggunakan media sosial untuk
berkomunikasi dengan individu lain yang memiliki persamaan status kesehatan
dengan dirinya. Hal ini berkaitan dengan keinginan untuk menyuarakan masalah
personal dan mencari dukungan serta saran dari orang yang memiliki masalah
seperti dirinya. Maka dari itu, media sosial dapat digunakan untuk skrining
masalah kesehatan, contohnya Facebook dan Twitter yang digunakan untuk
skrining masalah kesehatan mental dan untuk modalitas terapi.

b. Dampak Negatif
Dampak negatif dari menggunakan media sosial yaitu penggunanya merasa
terisolasi dari hal-hal penting yang terjadi pada dunia luar. Beberapa pengguna
juga percaya bahwa media sosial menyebabkan hidup mereka memburuk dua
kali lipat dibandingkan tahun sebelum menggunkan media sosial. Dampak
negatif lain terkait penggunaan media sosial yaitu munculnya kecanduan,
persoalan etika dan hukum karena unggaha konten yang melanggar moral,
serta terganggunya privasi.
Semakin banyak akun media sosial yang digunakan, memaksa orang tersebut
melakukan multitasking. Hal ini berkaitan dengan pembagian fokus yang tidak
hanya ke satu akun, namun juga ke akun lainnya sehingga orang tersebut
beresiko memiliki kognitif yang rendah disertai gangguan kesehatan mental.
Tiap jenis media sosial juga memiliki keunikan tersendiri sehingga apabila
digunakan bersamaan akan memicu terjadinya difus dan miskomunikasi yang
kemudian menyebabkan orang tersebut mengalami paparan mood negatif.
Penggunaan media sosial saat tengah malam menyebabkan gangguan mood
berupa depresi hingga bunuh diri. Media elektronik yang digunakan untuk
mengakses media sosial juga dapat menyebabkan menurunnya kualitas dan
waktu tidur. Cahaya pada media elektronik menekan melatonin dan merubah
ritme tidur serta suhu tubuh. Hal ini memicu timbulnya gejala fisik pada
muskuloskeletal serta rasa pusing. Individu yang mengakses konten kasar,
akan beresiko besar mengalami hiperarousal dan mudah tersinggung.
Semakin sering seorang individu mengakses media sosial, semakin sering pula
terpapar perbandingan sosial. Hal ini memicu paparan psikis negatif. Lamanya

6
penggunaan media sosial diketahui memberikan skor gangguan kesehatan
mental yang lebih besar. Waktu paparan kurang dari 2 jam diketahui tidak
memiliki hubungan dengan kejadian psikis negatif.
Beberapa individu yang mengalami depresi diketahui lebih banyak
menggunakan internet. Adanya penurunan energi pada depresi menyebabkan
defisit aktivitas motorik yang memicu orang tersebut menggunakan media
sosial lebih lama, lebih sering, dan hal ini menyebabkan gangguan mood
depresi lebih dalam lagi.
Penggunaan media sosial oleh beberapa orang depresi biasanya tidak
melakukan kegiatan online dengan orang yang tidak dikenal. Penelitian yang
dilakukan di United States menemukan bahwa orang depresi melakukan
cyberbullying, berteman dengan orang asing, dan upload perilaku beresiko
saat sedang online. Mudahnya mengakses informasi personal melalui media
sosial juga memberikan resiko besar terhadap kejadian perilaku agresif,
pelecehan di dunia maya, dan cyberstalking. Seseorang yang mengekspresikan
dirinya depresi pada media sosial biasanya memiliki gejala klinis depresi yang
lebih parah. Hal ini digunakan sebagai skrining oleh pihak yang terkait untuk
mengamati adanya usaha bunuh diri.

c. Social Networking Time Use Scale (SONTUS)


Social Networking Time Use Scale (SONTUS) merupakan salah satu
instrumen baku emas untuk menilai intensitas penggunaan media sosial.
SONTUS diciptakan oleh Yunusa Olufadi dan dipublikasikan pada tahun
2015. SONTUS telah teruji valid dan reliabel dengan nilai validitas di atas
0,74 dan nilai reliabilitas 1,93. SONTUS terdiri dari 29 item pernyataan.
Masing-masing item pertanyaan SONTUS dijawab oleh responden dengan
skala 0-11. Penilaian SONTUS dilakukan oleh peneliti dengan menilai lima
komponen pada lembar penilaian dan kemudian di jumlah untuk didapatkan
skor total. Jumlah skor SONTUS dari kelima komponen memberikan petunjuk
mengenai tingkatan intensitas penggunaan media sosial pada responden. Lima
komponen yang dimaksud, antara lain :
1) Komponen 1 : Penggunaan saat relaksasi dan waktu luang
2) Komponen 2 : Periode/waktu penggunaan terkait kegiatan akademis
3) Komponen 3 : Penggunaan terkait tempat umum

7
4) Komponen 4 : Penggunaan saat stress
5) Komponen 5 : Motivasi penggunaan

Cara penilaian masing-masing komponen terlampir pada dokumen.


Interpretasi skor 5-9 untuk intensitas penggunaan rendah, skor 10-14 untuk
intensitas penggunaan rata-rata, skor 15-19 untuk intensitas penggunaan
tinggi, dan skor >19 untuk intensitas penggunaan sangat tinggi. Skor total
terendah adalah 5, sedangkan yang tertinggi adalah 23.

C. Epidemiologi
Berdasarkan data dari Hootsuite (Jan 2018), didapatkan:

1. Pengguna internet di dunia mencapai 4.021 milyar jiwa dari total populasi
7.593 milyar jiwa.
2. Pengguna aktif media sosial di dunia 3.196 milyar jiwa.
3. Pengguna internet di Indonesia mencapai 132.7 juta jiwa atau 50% dari total
populasi Indonesia.
4. Pengguna aktif media social di Indonesia sebanyak 130 juta jiwa atau 49%
dari total pupulasi Indonesia.
5. Rerata penggunaan social media di Indonesia per harinya adalah 3 jam 23 menit.
6. Media social yang paling banyak digunakan: Youtube, Facebook, WhatsApp,
Instagram, Line, BBM, Twitter.(4)

Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada tahun
2017, didapatkan:

a. 143,26 juta jiwa atau 54,68% dari total populasi penduduk Indonesia
merupakan pengguna internet.
b. Wilayah Jawa merupakan pengguna internet terbanyak (58,08%) disusul
Wilayah Sumatera (19,09%).

c. Adapun pengguna internet berdasarkan jenis kelamin, terdiri dari perempuan


sebanyak 48,57 persen, dan lelaki sebanyak 51,43 persen.
d. Berdasarkan usia, angka terbesar pengguna internet ditunjukan oleh
masyarakat berumur 19 - 34, yakni sebesar 49,52 persen.(5)

8
D. Prediktor
Berikut ini prediktor seseorang dalam menggunakan sosial media:

1. Extravert
didefinisikan sebagai memiliki kebutuhan sosial yang tinggi dan bertujuan
memperluas jaringan sosial mereka. ekstrovert dapat bergantung pada
social media karena untuk memenuhi kebutuhan interaksi sosial.(6,7)
2. Psychoticism
adalah pola kepribadian yang dicirikan oleh agresivitas dan permusuhan
interpersonal (intrapersonal hostility). Media social digunakan
psychoticism sebagai kebebasan berbicara.
Sosial media memungkinkan pengguna merasa lebih bebas. Ini dapat
mengakibatkan, misalnya, pengungkapan diri yang lebih tinggi (benign
disimhibition) atau perilaku negatif, seperti peningkatan agresi atau
sumpah serakah (toxic disinhibition). Pada psychoticism menjadi lebih
mungkinuntuk terlibat dalam toxic disinhibition yang menghasilkan
perilaku terang-terangan atau beropini tanpa batasan. Namun, penelitian
perilaku khusus akan diperlukan untuk memperjelas hipotesis ini.
Psikotisme mendapatkan koneksi baru dari sosial media. Psikotisme
merasa lebih mudah menemukan orang lain yang memiliki minat yang
sama secara online, dan bakan mencari orang-orang yang bertentangan
minat dengan mereka.(6)
3. Neuroticism
High-neuroticism dilaporkan lebih cenderung menggunakan social media
untuk pelarian dari kehidupan nyata mereka. Golongan ini menemukan
social media kurang merangsang kecemasan daripada interaksi 'sehari-hari'
dan oleh karena itu termotivasi untuk menggunakannya sebagai outlet
sosial.(6)
4. Sociotropy
Individu sociotropic peduli dengan bagaimana orang lain melihat perilaku
mereka dan dengan demikian akan ingin mengikuti tren saat ini, seperti
sosial media, untuk meningkatkan status sosial mereka. Selain itu juga
karena takut ‘kehilangan’ informasi atau komunikasi yang terjadi hanya di
sosial media. (6)

9
5. Umur
Remaja lebih nyaman menggunakan teknologi daripada pengguna yang
lebih tua, dan dengan demikian lebih cenderung menunda pekerjaan
karena sosial media. (6)
6. Jenis kelamin
Penelitian menyatakan bahwa perempuan menggunakan sosial media
untuk mempertahakan hubungan kekeluargaan dan pertemanan sedangkan
laki-laki menggunakan sosial media untuk media mencari jodoh. (6)
7. Mencari teman/koneksi baru
Alasan ini membuat pengguna harus aktif di sosial media dan
menghabiskan waktu di situs. (6)

E. Patopsikiatri

Korteks prefrontal (PFC), termasuk girus orbitofrontal dan korteks anterior


singulata, penting untuk fungsi eksekutif. PFC didefinisikan sebagai wilayah proyeksi
dari medial dorsal thalamus yang mencakup korteks prefrontal dorsal lateral (dlPFC),
anterior cingulated cortex (ACC), dan orbital frontal cortex (OFC). Ketika berfungsi
dengan baik, lobus frontal memberikan kapasitas individu untuk menggunakan
pengalaman dan pengetahuan masa lalu untuk memahami perilaku saat ini dan untuk
memandu pemilihan tanggapan masa depan dari repertoar perilaku mereka. Lobus
frontal biasanya dibagi menjadi lima: motorik, okulomotor, dorsolateral, orbitofrontal,
dan anterior cingulate. Sirkuit prefrontal dorsolateral mendasari fungsi eksekutif, yang
meliputi kontrol perhatian, serta perilaku berkelanjutan untuk memecahkan masalah
yang kompleks. dlPFC sangat penting untuk menarik perhatian pada faktor-faktor

10
penting dan secara aktif untuk memilih tujuan. Sirkuit prefrontal/cingulate medial
sangat penting untuk pemantauan umpan balik dan motivasi, dengan lesi yang
menghasilkan apati mendalam. dlPFC dan OFC dikaitkan dengan regulasi perilaku
karena kapasitas yang unik untuk mempertahankan dan mengintegrasikan informasi
sensorik, afektif, dan asosiatif. Fungsi-fungsi ini memungkinkan representasi hasil
yang diharapkan, informasi yang dapat digunakan untuk memandu perilaku. (3)

Kerusakan pada OFC mengakibatkan hilangnya panduan perilaku, yang


menghasilkan defisit besar dalam pengaturan diri. Konsekuensi lain dari lesi OFC
termasuk perilaku impulsif atau perserverative. Kasus-kasus demensia frontotemporal
dengan patologi OFC juga ditandai oleh perilaku perfusif kompulsif, termasuk
hyperphagia, perjudian, dan penyalahgunaan zat. Dengan demikian, pola perilaku
yang terlihat dengan kerusakan OFC pada manusia, serta primata dan hewan pengerat,
sangat mengingatkan pada perilaku adiktif. (3)

Lobus frontal mengawasi tugas-tugas kognitif, seperti memori, perhatian, dan


pemilihan respon. Kontrol utuh dari pemilihan respon secara fundamental mendukung
pengambilan keputusan yang adaptif. Dengan demikian, gangguan pengambilan
keputusan gangguan dapat dianggap sebagai bukti kerusakan eksekutif. Satu dasar
anatomi teoritis untuk gangguan tersebut adalah dominasi relatif dari sinyal dengan
sistem impulsif yang dikontrol oleh amigdala, relatif terhadap sistem refleks
prefrontal cortex (PFC). Kemampuan amigdala untuk mendorong pemilihan respons
yang impulsif dan tidak reflektif (atau pengambilan keputusan) diduga berasal dari
peran kunci amigdala dalam menanggapi yang respon yang terkondisi, di mana
appetitive or aversive stimuli (or contexts) muncul untuk memicu rangsangan
otomatis tersebut. Produk pengkondisian seperti di amygdala (AMG) dianggap
mendasari keinginan yang dipicu oleh orang, tempat, dan hal-hal yang terkait dengan
penggunaan narkoba, yang dapat memicu kekambuhan terhadap perilaku mencari
obat. Studi pada hewan telah menemukan bahwa siklus ketergantungan alkohol dan
withdrawal meningkatkan kecemasan dan pengaruh negatif, yang terlihat melalui
aktivasi AMG. Data neuroimaging manusia yang menunjukkan hiperaktivitas AMG
sebagai respons terhadap rangsangan yang menginduksi keinginan. Dengan demikian,
kelemahan dalam fungsi eksekutif akan mempengaruhi keseimbangan dari respon
terkontrol dlPFC-OFC-ACC, terutama jika AMG menciptakan urgensi yang
mendorong prilaku impulsif. (3)

11
Daerah frontal otak membedakan konsekuensi dari tindakan masa depan
dengan keseimbangan putusan (decisional balance) yang membutuhkan perhatian dan
aktivasi sirkuit otak ganda. Prefrontal cortex (dlPFC), anterior cingulate cortex (ACC)
dan OFC memproyeksikan ke ventral striatum (VS) area kaya dopamin penting untuk
ekspresi perilaku .dlPFC, ACC dan OFC berkontribusi pada fungsi eksekutif dan
penghambatan impuls. Daerah limbik termasuk AMG dan entorhinal cortex (THT)
juga memproyeksikan ke VS, yang memproyeksikan ke globus pallidus (GP) dan
thalamus (Thal), yang kemudian memproyeksikan ke beberapa daerah otak untuk
ekspresi perilaku.. Ekspresi perilaku impulsif dihasilkan dari defisit dalam menekan
respons, evaluasi konsekuensi yang buruk dan ketidakmampuan untuk segera
membatalkan small reward demi greater reward yang tertunda. Keinginan obat-
obatan adalah repertoar perilaku yang dipelajari, mungkin dipelajari sejak awal
kehidupan dan diperkuat melalui pengulangan. Keinginan yang mungkin merupakan
dorongan bawah sadar limbik. Dengan demikian, kecanduan mungkin disebabkan,
sebagian, peningkatan impulsif dari hilangnya penghambatan kortikal frontal impuls
dan peningkatan dorongan limbik.(3)

F. Diagnosis
a. Individu tanpa diagnosis psikiatri formal
b. Impulse Control Disorders
dicirikan oleh tindakan berulang yang tidak memiliki motivasi rasional yang
jelas dan umumnya merugikan kepentingan pasien sendiri dan orang lain.
Pasien melaporkan bahwa perilaku dikaitkan dengan impuls ke tindakan yang
tidak dapat dikontrol. Penyebab kondisi ini tidak dipahami.(8)
UPPS-P Impulsive Behavior Scale merupakan Skala yang digunakan dengan
menampilkan impulsivitas dalam berbagai hal, termasuk dalam konteks
penyalahgunaan narkoba dan alkohol, perjudian, perilaku mengambil risiko,
masalah dengan motivasi dan perhatian berkelanjutan dan ADHD.

12
c. Internet Addiction
Merupakan bagian dari obsessive-compulsive disorder. Diagnostiknya
menggunakan Internet Addiction Test (IAT) dan DSM V. (9)

Internet Addiction Test (IAT):

13
14
DSM V:

G. Tatalaksana
1. Psycho-education
a. OCD : menjelaskan tentang perilaku obsesif dan konpulsif
b. ICD : menjelakan mengenai perilaku impulse

a. OCD : wawancara motivasi, penilaian perilaku terperinci, membuat daftar


obsesi, kompulsi dan pemicu.
b. ICD : wawancara motivasi, pemantauan perilaku impulsif.

15
3. Behavioral Interventions
a. ICD : rencana untuk membatasi paparan terhadap pemicu dalam jangka
waktu pendek dan terbatas
4. Exposure
a. OCD : exposure and response prevention (ERP)
b. ICD : exposure therapy
5. Cognitive Therapy
6. Medikasi

H. Komplikasi
Penggunaan media sosial berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk
(penggunaan sosial media pada malam hari), low self-esteem, kesepian, dan
tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi.(10–12)

I. Prognosis
Beberapa orang dengan OCD dan ICD dapat sembuh total setelah perawatan dan
yang lainnya tidak, tetapi pengobatan dapat membantu memberikan significant
relief.

16
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Impulsivitas dalam bersosial media adalah berbagai tindakan yang 'kurang
dipahami, diekspresikan sebelum waktunya, terlalu berisiko atau tidak sesuai
dengan situasi dan sering mengakibatkan hasil yang tidak diinginkan' dalam
menggunakan alat komunikasi dalam proses sosial.
2. Dampak positif sosial media:
a. Media sosial membantu menghubungkan komunikasi dengan teman lama,
teman baru, ataupun orang asing yang belum dikenal.
b. Media sosial juga memfasilitasi penggunanya untuk menyebarluaskan
informasi dan berbagi ide antar sesama penggunanya.
c. Memberikan informasi mengenai perkembangan terkini secara nasional
maupun internasional.
3. Dampak negative media sosial:
a. Kecanduan
b. Persoalan etika dan hukum karena unggaha konten yang melanggar moral,
serta terganggunya privasi.
c. Gangguan tidur, cemas dan depresi
4. Prediktor pengguna sosial media: extravert, psychoticism, Neuroticism, Sociotropy,
umur, jenis kelamin, keiinginan untuk mendambah teman baru.
5. Korteks prefrontal (PFC), dorsal thalamus yang mencakup korteks prefrontal
dorsal lateral (dlPFC), anterior cingulated cortex (ACC), dan amigdala berperan
dalam prilaku impulsif.
6. Diagnosis penggunaan sosial media yang berlebihan: impulsitvitas tanpa diagnosis
psikiatri normal, Impulsivity Control Disorders, Internet Addiction karena OCD.
7. Tatalaksana: Psycho-education, Treatmen Planning, Behavioral Interventions,
Exposure, Cognitive Therapy, Medikasi
8. Komplikasi penggunaan sosial media yang berlebihan berhubungan dengan
kualitas tidur yang buruk (penggunaan sosial media pada malam hari), low self-
esteem, kesepian, dan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi.
9. Beberapa orang dengan OCD dan ICD dapat sembuh total setelah perawatan dan
yang lainnya tidak, tetapi pengobatan dapat membantu memberikan significant
relief.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Savci M. Relationship between Impulsivity, Social Media Usage and Loneliness. Educ
Process Int J. 2016;
2. Mulawarman M, Nurfitri AD. Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya
Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan. Bul Psikol [Internet]. 2017;25(1):36.
Available from: https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/22759
3. Crews FT, Boettiger CA. Impulsivity, frontal lobes and risk for addiction. Pharmacol
Biochem Behav [Internet]. NIH Public Access; 2009 Sep [cited 2018 Sep
2];93(3):237– 47. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19410598
4. Digital in 2018: World’s internet users pass the 4 billion mark - We Are Social [Internet].
[cited 2018 Sep 2]. Available from: https://wearesocial.com/blog/2018/01/global-
digital-report-2018
5. Keminfo. PERILAKU PENGGUNA INTERNET INDONESIA [Internet]. [cited 2018
Sep 2]. Available from: https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Laporan Survei
APJII_2017_v1.3.pdf
6. Orchard LJ, Fullwood C, Galbraith N, Morris N. Individual Differences as Predictors
of Social Networking *. 2014 [cited 2018 Sep 2]; Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/jcc4.12068
7. Wilson K, Fornasier S, White KM. Psychological Predictors of Young Adults’ Use of
Social Networking Sites. Cyberpsychology, Behav Soc Netw [Internet]. 2010 Apr [cited
2018 Sep 2];13(2):173–7. Available from:
http://www.liebertpub.com/doi/10.1089/cyber.2009.0094
8. Americans N, Article S, Haghir H, Mokhber N, Azarpazhooh MR, Haghighi MB, et al.
The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders. IACAPAP E-textb
child Adolesc Ment Heal. 2013;55(1993):135–9.
9. Upadhayay N, Guragain S. Internet use and its addiction level in medical students. Adv
Med Educ Pract [Internet]. Dove Press; 2017 Sep 25 [cited 2018 Sep 2];Volume
8:641– 7. Available from: https://www.dovepress.com/internet-use-and-its-addiction-
level-in-medical-students-peer-reviewed-article-AMEP
10. Woods HC, Scott H. #Sleepyteens: Social media use in adolescence is associated with
poor sleep quality, anxiety, depression and low self-esteem. J Adolesc [Internet]. 2016
Aug [cited 2018 Sep 2];51:41–9. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0140197116300343
11. Barry CT, Sidoti CL, Briggs SM, Reiter SR, Lindsey RA. Adolescent social media use
and mental health from adolescent and parent perspectives. J Adolesc [Internet]. 2017
Dec [cited 2018 Sep 2];61:1–11. Available from:
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0140197117301318
12. Andreassen CS, Pallesen S, Griffiths MD. The relationship between addictive use of
social media, narcissism, and self-esteem: Findings from a large national survey.
Addict Behav [Internet]. 2017 Jan [cited 2018 Sep 2];64:287–93. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0306460316301095

18
19

Anda mungkin juga menyukai