Anda di halaman 1dari 7

Faktor risiko

1. Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeclampsia hampir 2 kali lipat pada wanita hamil
berusia 35 tahun atau lebih. Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35 tahun.
Kematian maternal pada wanita hamil dan bersalin pada usia dibawah 20 tahun dan setelah usia
35 tahun meningkat, karena wanita yang memiliki usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun di anggap lebih rentan terhadap terjadinya preeklamsi. Selain itu ibu hamil yang berusia
≥35 tahun telah terjadi perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur
lagi sehingga lebih berisiko untuk terjadi preeklamsi (Cunningham, 2006; Rochjati, 2003).
2. Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (POGI, 2016).
3. Jarak antar kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa wanita multipara
dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia hampir
sama dengan nulipara. Robillard, dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin
meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak
kehamilan pertama dan kedua) (POGI, 2016)..
4. Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko, walaupun bukan
nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki paparan rendah terhadap sperma
(POGI, 2016).
5. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama. Menurut
Duckitt risiko meningkat 7 kali lipat. Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia
sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dan
dampak perinatal yang buruk (POGI, 2016).
6. Riwayat keluarga preeklampsia
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali lipat. Adanya
riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3.6 kali lipat (POGI, 2016).
7. Kehamilan multipel
Sebuah studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan kehamilan kembar
meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat (POGI, 2016).
8. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio juga dikatakan
sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia adalah maladaptasi
imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma masih belum diketahui. Data
menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan
oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin mengecilnya
kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam
jangka waktu yang lebih lama. Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada
kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan berikutnya
apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek protektif dari
multiparitas menurun apabila berganti pasangan.5,8 Robillard dkk melaporkan adanya
peningkatan risiko preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali pada wanita dengan pasangan yang
pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia (POGI, 2016).
9. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar dengan semakin
besarnya IMT (Indeks Massa Tubuh). Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin,
yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas adalah adanya penimbunan lemak
yang berlebihan di dalam tubuh. Obesitas merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori,
biasanya disertai kelebihan lemak dan protein hewani, kelebihan gula dan garam yang kelak
bisa merupakan faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes
melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker)
dan gangguan kesehatan lain. Hubungan antara berat badan ibu dengan risiko preeklamsia
bersifat progresif, meningkat dari 4,3% untuk wanita dengan indeks massa tubuh kurang dari
19,8 kg/m2 terjadi peningkatan menjadi 13,3 % untuk mereka yang indeksnya ≥35 kg/m2
(Cunningham, 2006)
10. Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat sebanding dengan
keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal (POGI, 2016).
11. Hipertensi kronik
Chappell meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden preeklampsia
suprimosed sebesar 22% dan hampir setengahnya adalah preeklampsia onset dini (< 34 minggu)
dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk. Chappell juga menyimpulkan bahwa
ada 7 faktor risiko yang dapat dinilai secara dini sebagai prediktor terjadinya preeklampsia
suprimosed pada wanita hamil dengan hipertensi kronik yaitu:
• Riwayat preeklampsia sebelumnya
• Penyakit ginjal kronis
• Merokok
• Obesitas
• Diastolik > 80 mmHg
• Sistolik > 130 mmHg
Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum hamil atau sebelum
umur kehamilan 20 minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi berisiko lebih besar
mengalami preeklamsi, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal
lebih tinggi. Diagnosa preeklamsi ditegakkan berdasarkan peningkatan tekanan darah yang
disertai dengan proteinuria atau edema anasarka (Cunningham, 2006).
12. Paritas
Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3 merupakan paritas paling
aman ditinjau dari kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada grande multigravida
Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4 tahun juga dapat berisiko tinggi timbul preeklamsi
(Cunningham, 2006).
13. Sosial ekonomi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang sosial ekonominya lebih maju jarang
terjangkit penyakit preeklamsi. Secara umum, preeklamsi/eklamsi dapat dicegah dengan
asuhan pranatal yang baik. Namun pada kalangan ekonomi yang masih rendah dan pengetahuan
yang kurang seperti di negara berkembang seperti Indonesia insiden preeklamsi/eklamsi masih
sering terjadi (Cunningham, 2006).
14. Hiperplasentosis /kelainan trofoblast
Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya
preeklamsi, karena trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi uteroplasenta yang
selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat mengakibatkan terjadinya vasospasme,
dan vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis tersebut
misalnya: kehamilan multiple, diabetes melitus, bayi besar, 70% terjadi pada kasus
molahidatidosa (Prawirohardjo, 2008; Cunningham, 2006).
15. Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti pada ibu yang mengalami preeklamsi 26%
anak perempuannya akan mengalami preeklamsi pula, sedangkan 8% anak menantunya
mengalami preeklamsi. Karena biasanya kelainan genetik juga dapat mempengaruhi penurunan
perfusi uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat
menyebabkan terjadinya vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya
preeklamsi/eklamsi (Wiknjosastro, 2008; Cunningham, 2008).
Gambar x. Faktor Risiko Preeklamsia
(Sumber: Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, 2016).
Pencegahan
Menurut Prawirohardjo (2008), pencegahan preeklamsi ini dilakukan dalam upaya untuk
mencegah terjadinya preeklamsi pada perempuan hamil yang memiliki resiko terjadinya preeklamsi.
Dan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Pencegahan non medikal
Yaitu pencegahan dengan tidak memberikan obat, cara yang paling sederhana yaitu dengan tirah
baring. Kemudian diet, ditambah suplemen yang mengandung:
a. minyak ikan yang kaya akan asam lemak tidak jenuh misal: omega-3 PUFA,
b. antioksidan: vitamin C, vitamin E, dll.
c. elemen logam berat: zinc, magnesium, kalium.
2. Pencegahan dengan medikal
Pemberian deuretik tidak terbukti mencegah terjadinya hipertensi bahkan memperberat terjadinya
hipovolumia. Pemberian kalsium: 1.500-2.000mg/hari, selain itu dapat pula diberikan zinc 200
mg/hari,magnesium 365 mg/hari. Obat trombotik yang dianggap dapat mencegah preeklampsi
adalah aspirin dosis rendah rata-rata <100mg/hari atau dipridamole dan dapat juga diberikan obat
antioksidan misalnya vitamin C, vitamin E.
(Prawirohardjo, 2008).
Menurut POGI (2016), pencegahan merupakan cara untuk mencegah terjadinya preeklampsia
pada wanita hamil yang mempunyai risiko terjadinya preeklampsia. Pencegahan dapat dilakukan
dengan non medikal dan medikal. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat dikatakan efektif dalam
mencegah risiko preeklampsia. Hal ini disebabkan oleh karena etiologi dan patogenesis penyakit ini
belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit preeklampsia melalui
3 tahapan, Yaitu :
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan cara yang terbaik namun hanya dilakukan bila
penyebab telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk menghindari atau
mengkontrol penyebab-penyebab tersebut. Hingga saat ini penyebab pasti terjadinya
preeklampsia masih belum diketahui sehingga pencegahan primer yang efektif sulit dilakukan
pada tahap ini. Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang dapat digunakan untuk
meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada tes yang memiliki sesitivitas dan
spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian pemeriksaan yang kompleks agar dapat meramalkan
suatu kejadian preeklampsia. Dengan dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan
mengkontrolnya memungkinkan dilakukan pencegahan primer. Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan antara lain ialah mencapai berat badan ideal sebelum konsepsi, pada hipertensi kronis
mengontrol tekanan darah sebelum konsepsi dan pengendalian diabetes melitus sebelum
konsepsi dan selama kehamilan (POGI, 2016).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya mendeteksi adanya kelainan yang belum
memberikan gejala klinik namun sudah terjadi proses patobiologis awal akibat penyakit ini
sehingga dapat mencegah berkembang dan memberatnya penyakit.
a. Istirahat
Berdasarkan penelitian yang didapat dari Cochrane, istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna
menunrunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Dari 3 studi
yang dilakukan, didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian preeklampsia, kematian
perinatal, perawatan intensif pada kelompok yang melakukan tirah baring di rumah
dibandingkan istirahat di rumah sakit pada pasien preeklampsia.
b. Retriksi garam
Pada wanita hamil harus mengandung tinggi protein dan mineralmineral. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya preeklampsia pertama kali dengan
pembatasan pemberian garam. Namun penelitian secara acak menunjukkan manipulasi ini
kurang efektif dalam mencegah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
c. Suplementasi kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian hipertensi dan
preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko tinggi untuk mengalami preeklampsia
dan yang memiliki diet asupan rendah kalsium. Suplementasi kalsium yang adekuat. Tidak
ada efek samping yang tercatat dari suplementasi ini.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya penanggulangan penyakit yang sudah disertai gejala
klinis dengan tujuan mencegah terjadinya komplikasi yang berakibat semakin parahnya
penyakit tersebut.
Asuhan antenatal (ANC) yang baik merupakan bagian yang paling penting dalam
pencegahan tersier. Diperlukan sistem asuhan antenatal yang terorganisir dengan baik, sehingga
alur rujukan semua ibu hamil dengan risiko dapat berjalan dengan jelas dan lancar. Pencegahan
tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga
pencegahan ini merupakan tata laksana penanganan preeklampsia.
Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih
untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesusai dengan standar pelayanan antenatal
yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). Pengawasan sebelum lahir
(antenatal) terbukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan
kesehatan mental dan fisik kehamilan, untuk menghadapi persalinan. Dengan pengawasan
hamil dapat diketahui berbagai komplikasi ibu yang dapat mempengaruhi kehamilan atau
komplikasi hami sehingga segera diatasi (POGI, 2016).
DAPUS
Cunningham, F.G,. 2005. Obstetri William. Edisi 21. Jakarta: EGC.
POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tatalaksana Preeklamsia.
Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : BPSP.
Wiknjosastro, H., 2006. Perubahan Anatomik dan Fisiologik pada Wanita Hamil. Dalam:
Prawirohardjo, S., ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 89-100.

Anda mungkin juga menyukai