Permukiman kumuh dan liar memang tumbuh pesat di kota-kota besar di Indonesia, bahkan
di Kota Metropolitan seperti Jakarta. Tidak terkecuali kota besar di Indonesia, yang juga
merasakan hal serupa, yaitu Kota Medan. Gambar di bawah ini adalah beberapa contoh
pemandangan yang dapat dijumpai di Kota Medan.Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di
daerah pinggiran kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota yang disebut dengan kampung kota.
Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (ilegal) apabila berada di bangunan-
bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan untuk permukiman, seperti di pinggiran
sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah jalan layang, di taman-taman kota dan lahan terbuka
hijau lainnya.Permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman
yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta maupun pemerintah, tanpa hak
yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang sangat
miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar
sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai
Sulitnya menangani masalah permukiman kumuh dan liar ini antara lain disebabkan oleh,
pertama, highrise building (bangunan tinggi) akan ditangani oleh penghuni yang tergusur,
memerlukan biaya besar, karena biaya yang digunakan bukan hanya untuk membangun kamar
tidur saja. Kedua, peremajaan lingkungan kumuh, yang merupakan proyek yang besar (large
project). Harga harus dipertimbangkan dengan matang dan harus dipikirkan masak-masak karena
menyangkut banyak orang yang akan digusur atau dimukimkan kembali. Ketiga, adanya dualisme
antara peremajaan lingkungan dengan penataan lingkungan. Penghuni rumah kumuh biasanya
masih lebih senang tinggal di rumah kumuhnya daripada di Rumah Susun Sewa (Rusunawa).
Keempat, banyak peremajaan lingkungan kumuh yang tidak melalui survei sosial (social survei)
tentang karakteristik penduduk yang akan tergusur. Kelima, banyak peremajaan lingkungan
kumuh yang kurang memperhatikan kelengkapan lingkungan seperti taman, tempat terbuka,
tempat rekreasi, sampah, pemadam kebakaran dan tempat bermain anak. Karena hal tersebut
memerlukan biaya besar. Keenam, tenaga yang bergerak pada program peremajaan lingkungan
kumuh tidak profesional. Ketujuh, penggusuran (squater clearance) sering diartikan jelek, padahal
pemerintah berusaha meremajakan lingkungan dan memukimkan penduduk ke lingkungan yang
lebih baik. Kedelapan, keterbatasan lahan (land shortage). Dalam melaksanakan peremajaan
lingkungan kumuh harus memilih lokasi yang tepat dan disesuaikan dengan tujuannya dan
konsumen yang akan menempati. Kesembilan, belum kuatnya dana pembangunan perumahan (no
housing finance). Kesepuluh, kebersamaan antarwarga masih minim.
Dalam Panduan Ringkas UN-Habitat (2008) disebutkan bahwa hak atas tempat tinggal,
sebagaimana dinyatakan dalam hukum internasional adalah kebutuhan dasar manusia untuk dapat
hidup layak. Tempat tinggal yang layak menentukan taraf hidup sebuah rumah tangga dan
pembangunan sosial dan ekonomi sebuah negara. Permukiman kumuh dan liar ada karena kaum
miskin tidak mampu atau dapat menjangkau pasar lahan dan perumahan formal. Banyak yang
menghadapi hambatan dalam mengakses perumahan dan lahan karena waktu, birokrasi dan
kesulitan yang ada. Oleh karena itu permukiman kumuh sebagai alternatif perumahan merupakan
fakta yang tidak dapat dimungkiri.
Dalam kerangka kategori baru, permukiman kumuh dan liar bisa diberikan status tidak
resmi (informal) dan kepadanya diberikan hak tinggal sementara. Penerbitan SK tinggal sementara
yang dikeluarkan kepala daerah atau otoritas pemilik sah tanah (lembaga Negara, BUMN dan
sebagainya) adalah contoh pemberian keamanan bermukim. Namun pemberian status tidak resmi
dan hak tinggal sementara tidak berdiri sendiri, melainkan harus diiringi oleh pemenuhan hak
pemberdayaan dan upaya perolehan tempat tinggal secara swadaya dan kerjasama dengan berbagai
pihak.
Bagi masyarakat yang direlokasi atau dipindahkan, perlu disiapkan dulu lokasi atau
kawasan yang sesuai dengan kebutuhan dan aksesibilitas yang cukup. Sedangkan penanganan
squatters yang berada di luar kawasan garis sempadan sungai dan rel kereta api antara lain
dilakukan dengan, pertama, direkomendasikan status hak atas tanahnya menjadi legal (pemutihan)
dalam bentuk hak sewa atau hak guna bangunan dengan batas waktu tertentu sepanjang kawasan
tersebut sesuai dengan peruntukan tata ruang. Kedua, melakukan penataan permukiman bantaran
sungai melalui pemahaman konteks sosial dan budaya masyarakat setempat.
Dalam kasus tertentu, penggusuran memang dapat dihindari dan jaminan kepastian hukum
dan perbaikan permukiman setempat merupakan solusi terbaik. Namun untuk kasus lain,
penggusuran merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan. Pemerintah memang perlu
mensosialisasikan masalah legalitas status permukiman yang terletak di bantaran sungai atau
bantaran rel kereta api.Jika penggusuran dinilai sebagai solusi terakhir yang harus dilakukan, maka
upaya ini juga mempunyai prosedur yang harus dijalankan, sehingga dampak yang ditimbulkan
dapat diminimalkan. Solusi penggusuran hampir dipastikan akan disertai dengan upaya relokasi
atau pemukiman kembali.
Upaya permukiman kembali inilah yang menuntut pelibatan masyarakat secara aktif.
Dalam hal ini, Panduan Pemukiman Kembali dari UN-Habitat dapat dipertimbangkan. Beberapa
panduan tersebut antara lain, yaitu pertama, melibatkan penduduk yang tergusur. Masyarakat akan
lebih dapat menerima jika dilibatkan dalam seluruh tahap perencanaan permukiman kembali.
Kedua, masyarakat harus diorganisir. Masyarakat harus dirorganisir dan disiapkan agar
mampu menegosiasikan bentuk pemukiman kembali yang baik, dan juga dapat membangun
permukiman baru secara kolektif agar relokasi yang terjadi tetap memenuhi kebutuhan setiap
warganya.
Ketiga, pemberian informasi mengenai kegiatan pemukiman kembali. Forum publik harus
disiapkan jauh sebelum kegiatan pemukiman kembali, menjelaskan proses pelaksanaan, kondisi
kepemilikan lahan, jumlah biaya yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan dan pelayanan dasarnya.
Keenam, memilih lokasi baru. Lokasi harus memiliki akses ke pelayanan dasar seperti air,
listrik dan drainase, serta juga fasilitas seperti sekolah, klinik, tempat keagamaan dan transportasi
publik. Pilihan lokasi baru harus disepakati oleh yang terkena dampak, sehingga lokasi yang
ditetapkan ini dapat digunakan secara optimal.
Ketujuh, menyiapkan lokasi permukiman baru. Masyarakat boleh pindah ke lokasi
permukiman barunya pada saat lokasi tersebut sudah difasilitasi dengan berbagai pelayanan dasar,
perumahan dan sistem pendukung.