Anda di halaman 1dari 32

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Profesi guru

Prajabatan, LulusanS1 kependidikan dan S1/D4 nonkependidikan dapat memperoleh


sertifikat pendidik professional. Berikut bunyi Pasal 1 ayat (2):

“Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan yang selanjutnya disebut program PPG
adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1
Kependidikan dan S1/DIV Nonkependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi
guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional
pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional pada
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.

Dengan adanya Peraturan Pemerintah tersebut berarti tidak hanya mahasiswa yang
sedang menempuh program S1 Kependidikan saja yang dapat memiliki sertifikat guru
professional, melainkan mahasiswa yang sedang menempuh program S1
Nonkependidikan juga dapat memperolehnya dengan mengikuti program Pendidikan
Profesi Guru (PPG) tersebut. Sedangkan mahasiswa Kependidikan juga harus
mengikuti program Pendidikan profesi Guru (PPG) untuk bias mendapatkan sertifikat
guru. Terhitung mulai tahun 2013, lulusan S1 pendidikan harus mengikuti program
Pendidikan Profesi Guru (PPG) agar dapat memperoleh sertifikat guru professional
yang berjangka 1 tahun atau dua smester. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang
dikenal dengan PLGP (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) yang hanya menerima
lulusan S1 pendidikan.

Sesuai pernyataan tersebut, tentu akan memunculkan masalah di dalam mahasiswa


terutama mahasiswa yang sedang menenpuh program pendidikan (S1 Kependidikan).
Selain menyita waktu yang lebih lama, juga akan membutuhkan biaya yang lebih
banyak. Karena jika dibandingkan dengan PLPG tentu sangat jauh perbandingan
waktu dan biaya yang dikeluarkan.

Dalam peraturan program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dapat ditempuh melaului
dua cara. Cara yang pertama adalah PPG Kolaboratif yang telah berlangsung selama 2
tahun. PPG prajabatan ini bertujuan untuk memenihi kebutuhan guru Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dalam berbagai program studi, seperti Mesin, sipil, Tata
Boga, dan lainnya. Sedangkan cara yang kedua adalah melalui PPG SM-3T yang juga
sudah 2 tahun diselenggarakan oleh LPTK. Sebelum PPG ini dilakukan, para sarjana
pendidikan harus ikut berpartisipasi dalam bentukpengabdian pendidikan di daerah
terpencil, terluar, dan terdepan (3T) selama satu tahun. Sehingga melalui PPG SM-3T
dapat melahirkan pendidik yang profesiona terhadap profesi guru.

Dalam pasal 9 ayat (1) Permendikbud Nomor 87 tahun 2013 menyatakan bahwa
“Struktur kurikulum program PPG berisi lokakarya pengembangan perangkat
pembelajaran, latihan mengajar melalui pembelajaran mikro, pembelajaran pada teman
sejawat, dan Program Pengalaman Lapangan (PPL), dan program pengayaan bidang
studi dan/atau pedagogi”. Di mana semua isi kurikulum tersebut sudah dimuat dalam
mata kuliah yang ditempuh oleh mahasiswa yang menempuh program S1 pendidikan.
Dalam program S1 pendidikan juga diadakan yang namanya PPL. Dalam program
tersebut biasa disebut Magang III, di mana mahasiswa terjun ke sekolah untuk
mengajar siswa secara langsung. Dengan adanya mata kuliah microteaching atau
Magang II sebelum dilakukan Magang III terlebih dahulu untuk melatih kematangan
mahasiswa sebelum melakukan Magang III yang langsung berhadapan dengan peserta
didik (siswa).

Dengan pertimbangan adanya program PPL dalam program S1 pendidikan, tentu


lulusan mahasiswa S1 pendidikan sudah siap untuk terjun ke lapangan (sekolah) untuk
mengajar tanpa adanya PPG yang menyita waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Keadaan seperti ini dirasa merugikan pihak lulusan S1 pendidikan.

Pendidikan Profesi Guru (PPG) selalu menjadi perbincangan bagi mahasiswa yang
sedang menempuh program S1 pendidikan. Karena kebijakan pemerintah tersebut
membuka jalan bagi mahasiswa nonkependidikan untuk menjadi pesaing sarjana
kependidikan dalam seleksi guru professional. Mengingat masih banyak lulusan
sarjana pendidikan yang belum mendapat pekerjaan. Di samping itu, mahasiswa
program S1/DIV nonpendidikan juga pasti sudah mempunyai pandangan ke depan
sesuai bidang yang ditempuh, tentunya selain menjadi guru.

PRO KONTRA PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)


Posted on 23/02/2011by ilmucerdaspendidikan
PRO KONTRA PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)

Oleh

Herdik Sodikin

Pendidikan Profesi Guru (PPG) merupakan isu hangat yang banyak


diperbincangkan dunia akademisi. Lulusan kualifikasi kependidikan dan non-
kependidikan di berbagai Perguruan Tinggi memiliki kesempatan menjadi
guru. Dengan mengikuti pendidikan pada lembaga pendidikan, masing-
masing Kualifikasi kependidikan selama setengah semester beban 20 sks dan
non-kependidikan selama satu tahun beban 42 sks. Bertujuan lulusan
memiliki kompetensi guru seperti kepribadian, sosial, profesional dan
pedagogik. Jelas lulusan dari kualifikasi pendidikan memiliki kompetensi ini
karena pembelajaran di perkuliahan difokuskan menjadi guru profesional
ketika terjun di masyarakat.

Pendidikan merupakan salah satu kunci kemajuan suatu bangsa. Kemajuan


pendidikan tidak terlepas dari campur tangan guru yang berhadapan langsung
dengan siswa. Dalam hal ini, guru harus profesional menjalankan proses
belajar mengajar di kelas. Siswa belajar merasa senang dan memahami
pembelajaran yang disampaikan. Program PAIKEM (Pembelajaran Aktif,
Inovatif, Kreatif dan Menyenangkan) menjadi pilihan. Akan tetapi, kondisi
sekarang guru belum mencapai harapan masyarakat. Faktanya, masih ada
guru ketika mengajar kurang bisa membawa antusias siswa untuk belajar
sehingga merasa bosan, mengantuk dan memilih mendengarkan musik dan
memainkan handphone. Bahkan ada guru yang meninggalkan kewajiban
untuk kepentingan semata. Guru kurang memiliki jiwa berbagi ilmu
pengetahuan dan teknologi serta pengabdian tinggi kepada negara.

Permasalahan ini kecenderungan di akibatkan oleh guru yang tidak memiliki


kualifikasi pendidikan. Mereka tidak sepenuhnya tahu peran dan fungsi guru
sebagai kunci kesuksesan dunia pendidikan dan negara. Ditangan guru
mencetak output generasi muda yang cerdas, kreatif, inovatif dan bermoral
tinggi calon pemimpin bangsa. Bisa dibayangkan apabila program PPG ini
terus dijalankan oleh pemerintah, akan banyak menghasilkan guru-guru
“instan” yang sebelumnya tidak dipersiapkan menjadi guru. Lulusannya pun
belum tentu profesional dalam mengajar. Apabila hal ini dibiarkan berlarut
dunia pendidikan indonesia tidak akan pernah berkembang. Dan harapan
menjadi negara besar kemudian mengejar pendidikan malaysia hanya impian.
Pendidikan kita akan lebih jauh tertinggal disebabkan penciptaan kebijakan
maupun program yang kurang menyentuh kebutuhan pendidikan.

Sehingga penulis menyarankan supaya pemerintah mengaji ulang kebijakan


program PPG ini sebelum digulirkan secara keseluruhan. Kebermanfaatannya
dirasakan kurang dibanding dengan dampak yang akan di timbulkan. Serta
tidak efektif dan efisien karena penghamburan waktu, tenaga, pikiran dan
biaya. Sebaiknya pemerintah lebih fokus untuk peningkatan mutu lulusan
kualifikasi pendidikan. Akhirnya akan menunjang pencapaian tujuan dan
kemajuan pendidikan Indonesia.

Senin, 02 Juli 2012


Permasalahan Pendidikan Profesi Guru
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang tingkat pendidikannya menempati
urutan ke- 108 di dunia. Tentu hal tersebut menjadi pemikiran bagi pemerintah di bidang pendidikan
untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Banyak cara sudah diupayakan oleh pemerintah. Mulai dari menganggarkan dana APBN dan APBD
sebanyak 20% untuk kepentingan pendidikan, menyelenggarakan wajib belajar 9 tahun, maupun dengan
cara meningkatkan keprofesionalismean guru.

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru adalah dengan
menyelenggarakan program Pendidikan Profesi Guru ( PPG ). Pendidikan Profesi Guru ( PPG ) merupakan
program pendidikan untuk lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat
dan minat menjadi guru yang profesional sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dan memperoleh
sertifkat pendidik.

Jika dilihat dari kenyataan yang ada, dengan adanya Pendidikan Profesi Guru ( PPG ) tersebut
seolah membuat program keguruan dan kependidikan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
menjadi tidak berfungsi optimal. Perguruan tinggi tersebut dianggap tidak melahirkan para calon
pendidik yang profesional sehingga mereka harus menempuh pendidikan lagi pada program Pendidikan
Profesi Guru ( PPG ) untuk meningkatkan keprofesionalismean mereka, yang tentu saja akan menguras
lebih banyak biaya dan waktu. Selain itu dengan adanya Pendidikan Profesi Guru ( PPG ) dianggap dapat
melahirkan guru secara instan, sebab rekrutmentasinya dapat berasal dari lulusan non kependidikan.

B. Permasalahan
Penyelenggaran program Pendidikan Profesi Guru ( PPG ) menimbulkan beberapa permasalahan.
Apakah tujuan meningkatkan mutu pendidikan dengan adanya program Pendidikan Profesi Guru ( PPG )
dapat dicapai jika rekrutmentasinya berasal dari lulusan non kependidikan dan apakah perguruan tinggi
yang menyelenggarakan program keguruan dan kependidikan tidak dapat menghasilkan lulusan guru
yang profesional?

C. Tujuan Penulisan

Menguraikan tujuan peningakatan mutu pendidikan dengan adanya program Pendidikan Profesi
Guru ( PPG ) yang dapat dicapai atau tidak jika rekrutmentasinya berasal dari lulusan non kependidikan
dan menguraikan argumentasi bahwa perguruan tinggi yang menyelenggarakan program keguruan dan
kependidikan tidak dapat menghasilkan lulusan guru yang profesional.

D. Manfaat Penulisan

Dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca, menambah pengetahuan, dan
menjadi salah satu sumber referensi bagi bidang pendidikan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang


meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan undang-undang (pasal 31 ayat 4 UUD 1945 ).
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah ( pasal 1 ayat 1 UU No. 14 tahun 2005 ).

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi ( pasal 39
ayat 2 UU No 20 tahun 2003).

Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen


pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional (pasal 28 ayat 1 UU PP No.19 tahun 2005).

Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan


menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi (pasal 28 ayat 3 UU PP No.19 tahun
2005) :

a. Kompetensi pedagogik;

b. Kompetensi kepribadian;

c. Kompetensi profesional; dan

d. Kompetensi sosial.

Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan ( pasal 2 ayat 1 UU No. 14 tahun 2005 ).

Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan sertifikat pendidik ( pasal 2 ayat 2 UU No. 14 tahun 2005 ).

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional ( pasal 4 UU No. 14 tahun 2005 ).

Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk
diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu ( pasal 12 UU No. 14 tahun 2005 ).

Program pendidikan profesi guru prajabatan yang selanjutnya disebut program Pendidikan
Profesi Guru (PPG) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1
kependidikan dan S1/D IV nonkependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai
kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh
sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah ( pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 ).

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan yang ada maka
pada dasarnya ada dua bentuk penyelenggaraan PPG, yakni:

1. PPG pasca S-1 kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S1 kependidikan
dengan struktur kurikulum subject specific paedagogy (pendidikan bidang studi) dan PPL
Kependidikan.
2. PPG pasca S-1/D-IV non kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S-1/D-IV non kependidikan,
dengan struktur kurikulum matakuliah akademik kependidikan (paedagogical content), subject specific
paedagogy (pendidikan bidang studi), dan PPL Kependidikan ( Draf Panduan Pendidikan Profesi Guru
Prajabatan).

Tujuan khusus Pendidikan Profesi Guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki
kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta melakukan penelitian ( Draf Panduan
Pendidikan Profesi Guru Prajabatan).

BAB III

METODOLOGI PENULISAN

Makalah ini disusun dengan cara mengumpulkan referensi dari berbagai literatur yang ada.
Literatur tersebut dapat berupa data sekunder yang diperoleh dari Undang- Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Republik Indonesia, dan PeraturanMenteri Pendidikan Nasional, yang kemudian
ditelaah dan dikoherensikan dengan gagasan penulis sehingga diperoleh makalah ini.

BAB IV

PEMBAHASAN
Istilah Pendidikan Profesi Guru ( PPG ) tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pendidikan
Profesi Guru ( PPG ) merupakan program gebrakan pemerintah yang bertujuan melahirkan guru yang
memiliki profesialisme dengan memberikan pendidikan kepada pasca sarjana S1 kependidikan atau S1/D
IV non kependidikan. Bagi sarjana pendidikan, untuk menempuh pendidikan profesi II, mereka
diwajibkan untuk mengikuti kuliah dengan beban 24 SKS untuk memperoleh pendidikan profesi II
(prasyarat untuk dapat diterima sebagai pelamar tenaga pendidik (guru) sesuai dengan UU Guru dan
Dosen, serta PP No. 19 tahun 2005, yang kisarannya kurang lebih 1 tahun. Bagi sarjana bidang
studi/keilmuan, untuk memperoleh sertifikat profesi kependidikan, mereka diwajibkan untuk mengikuti
perkuliahan dengan beban 36 – 40 SKS. Sertifikat profesi ini akan menunjukkan bahwa seseorang
berwenang sebagai guru bidang studi tertentu sesuai dengan kualifikasi keilmuannya, dan bidang
studinya harus linier, yang ditempuh selama ± 1,5 tahun. Contoh, seorang lulusan sarjana fisika, untuk
memperoleh kewenangan sebagai guru fisika, dia harus mengambil pendidikan profesi bidang
pendidikan fisika.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa semua mahasiswa baik lulusan kependidikan
maupun ilmu murni tetap harus mengikuti PPG untuk dapat menjadi guru. Secara umum hal tersebut
dapat merugikan mahasiswa lulusan kependidikan. Apalah artinya mahasiswa kependidikan tersebut
kuliah di perguruan tinggi kependidikan selama bertahun-tahun jika pada akhirnya mereka harus
mengikuti PPG lagi sama seperti mahasiswa lulusan non kependidikan? Tentu hal tersebut dapat
merugikan mahasiswa lulusan kependidikan baik dari segi waktu maupun biaya. Dengan adanya program
PPG untuk melahirkan seorang pendidik, tidak perlu lulusan kependidikan, yang terpenting adalah telah
mengikuti PPG. Pengalaman belajar yang telah dialami oleh mahasiswa lulusan kependidikan dianggap
kurang melahirkan keprofesionalismean bagi para mahasiswanya, sehingga mereka perlu mengikuti
program PPG lagi.

Pada saat ini telah banyak pengangguran dari lulusan kependidikan yang tidak diangkat menjadi
guru, setiap kali diadakan tes CPNS diikuti oleh ribuan mahasiswa dan hanya segelintir orang saja yang
diterima menjadi CPNS. Hal tersebut menujukkan sudah banyak mahasiswa lulusan kependidikan yang
ingin menjadi seorang pendidik, apabila lulusan perguruan tinggi non kependidikan juga dapat
memberikan kontribusi di bidang kependidikan, tentu hal tersebut akan semakin banyak melahirkan
pengangguran dari lulusan kependidikan.

Menurut Draf Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan tujuan khusus Pendidikan Profesi
Guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
serta melakukan penelitian. Tujuan tersebut merupakan tujuan dan tugas pokok yang ingin dicapai oleh
perguruan tinggi kependidikan. Apabila guru lulusan perguruan tinggi kependidikan dianggap tidak
professional, salah satu langkah yang sebaiknya ditempuh adalah memperbaiki system internal dalam
perguruan tinggi tersebut, bukannya dengan menambah program baru sebagai alasan peningkatan mutu
pendidikan. Menghasilkan pendidik dengan mutu yang tinggi merupakan komitmen perguruan tinggi
yang harus dicapai.

Perguruan tinggi kependidikan memberikan pengalaman bagi para mahasiswaanya dalam hal
pendidikan langsung dengan adanya PPL. Dengan adanya PPL, lulusan perguruan tinggi kependidikan
sudah memiliki pengalaman yang tidak dimiliki oleh lulusan non kependidikan sebagai usaha
meningkatkan keprofesionalan lulusan perguruan tinggi keguruan. Lulusan perguruan tinggi keilmuan
tidak memiliki pengalaman mengajar seperti yang dimiliki oleh lulusan kependidikan. Disini terlihat
adanya perbedaan mutu output yang dihasilkan.

Guru berbeda dengan profesi seorang dokter yang harus mengikuti pendidikan profesi setelah
memperoleh gelar sarjana. Sebab guru sudah terspesialisasi sebelumnya pada pendidikan S1. Sehingga
dapat kita lihat adanya guru pendidikan biologi, guru pedidikan PAUD, maupun guru pendidikan
bimbingan dan konseling.

Menurut UU No. 14 tahun 2005 pasal 10 ayat 1 kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Di perguruan tinggi keguruan, mahasiswa telah
dibekali dengan empat kepribadian tersebut. Sehngga PPG tidak diperlukan bagi mahasiswa lulusan
perguruan tinggi keguruan jika ingin menguasai empat kompetensi tersebut.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peningkatan mutu pendidikan dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG)kurang dapat
tercapai secara optimal jka rekrutmentasinya berasal dari lulusan perguruan tinggi non kependidikan.
Sebab perguruan tinggi non kependidikan tidak membekali lulusannya dengan kemampuan mengajar.
Lulusan perguruan tinggi kependidikan mendapat keterampilan mengajar dan dipersiapkan menjadi
seorang guru yang profesional.

Menciptakan guru yang profesionl merupakan tujuan dari setiap perguruan tinggi
kependidikan. Apabila guru lulusan perguruan tinggi kependidikan dianggap tidak professional, salah
satu langkah yang sebaiknya ditempuh adalah memperbaiki sistem internal dalam perguruan tinggi
tersebut, bukannya dengan menambah program baru sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.
Menghasilkan pendidik dengan mutu yang tinggi merupakan komitmen perguruan tinggi yang harus
dicapai.

B. Saran

Menghasilkan guru yang profesional merupakan salah satu cara untuk meningkatkan mutu
pendidikan di negeri ini. Namun akan lebih baik jika peningkatan keprofesialismean guru dilakukan dari
sistem internal perguruan tinggi. Jikapun program Pendidikan Profesi Guru (PPG) tetap dilaksanakan,
akan lebih baik jika rekrutmentasinya hanya berasal dari lulusan perguruan tinggi kependidikan saja.

Daftar Pustaka

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 tentang Pendidikan Profesi Guru

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Minggu, 31 Januari 2016


PENDIDIKAN PROFESI GURU
http://novitasari1431060.blogspot.co.id/2016/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
kasih‐Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami terima, serta petunjuk‐Nya sehingga
memberikan kemampuan dan kemudahan bagi kami dalam penyusunan makalah ini sebagai tugas di
mata kuliah “Pengantar dan Profesi Pedidikan”.
Didalam makalah ini kami selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang bisa kami sajikan dengan
topik “Pendidikan Profesi Guru”. Dimana didalam topik tersebut ada beberapa hal yang bisa kita pelajari
khususnya pengetahuan tentang Pendidikan Profesi Guru

Kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kami, menjadikan


keterbatasan kami pula untuk memberikan penjabaran yang lebih dalam tentang masalah ini, kiranya
mohon dimaklumi apabila masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan
makalah ini.

Harapan kami, semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita, setidaknya untuk sekedar
membuka cakrawala berpikir kita tentang hal yang mengenai Pendidikan Profesi Guru.

Sidoarjo, April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 3

B. Rumusan Masalah 3

C. Tujuan 3

D. Manfaat 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Profesi Guru 5

B. Tujuan Program Pendidikan Profesi Guru 5

C. Pembentukan professional 7
D. Kualifikasi Akademik Calon Pesera Didik Pendidikan Profesi Guru 7

E. Kurikulum Pendidikan Profesi Guru 8

F. Beban Belajar Program Pendidikan Profesi Guru 9

G. Sistem Pembelajaran Program Pendidikan Profesi Guru 9

H. Uji Kompetensi Program Pendidikan Profesi Guru 10

I. Landasan Pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru (PPG) 10

J. Manfaat Pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru (PPG) 12

BAB III PENUTUP

Kesimpulan 14

DAFTAR PUSTAKA 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Guru yang profesional adalah guru yang memiliki seperangkat kompetenasi (pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku) yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan
tugas keprofesionalannya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru berdasarkan Undang-undang
Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Profesi merupakan pekerjaan, yang
dapat terwujud sebagai jabatan seseorang yang ia tekuni berdasarkan keahliannya melaui proses
pembelajaran.

B. Rumusan Masalah

a. Apa tujuan program pendidikan profesi guru ?

b. Apa saja sistem pembelajaran program pendidikan profesi guru ?


c. Apa kualifikasi akademik calon pesera didik pendidikan profesi guru ?

d. Apa landasan pelaksanaan pendidikan profesi guru ?

C. Tujuan

a. Agar pembaca mengetahui tujuan pendidikan profesi guru

b. Agar pembaca mengetahui system pembelajaran program pendidikan profesi guru

c. Agar pembaca mengetahui kualitas akademik calon peserta didik pendidik profesi guru

d. Agar pembaca mengetahui landasan pelaksanaan pendidikan profesi guru

D. Manfaat

a. Pembaca mengetahui tujuan pendidikan profesi guru

b. Pembaca mengetahui system pembelajaran program pendidikan profesi guru

c. Pembaca mengetahui kualitas akademik calon peserta didik pendidik profesi guru

d. Pembaca mengetahui landasan pelaksanaan pendidikan profesi guru

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Profesi Guru

Pendidikan profesi guru (PPG) merupakan suatu program pendidikan yang diberikan untuk para
sarjana pendidikan atau diploma 4 yang berminat untuk menjadi guru. Agar dapat menjadi guru yang
sesuai dengan kebutuhan pendidikan serta standar nasional dalam masalah pendidikan dan untuk
memperoleh sertifikat sebagai pendidik, maka diwajibkan bagi para calon guru untuk melanjutkan
studinya untuk mendapatkan pelatihan dan pembimbingan lagi agar dapat menjadi guru yang
profesional.

Terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam segala aspek kehidupan akibat dari
gelombang globalisasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan serangkaian
tantangan baru yang perlu disikapi dengan cermat dan sistematis. Perubahan tersebut secara khusus
berdampak terhadap tuntutan akan kualitas pendidikan secara umum, dan kualitas pendidikan guru
secara khusus untuk menghasilkan guru yang profesional melalui Pendidikan Profesi Guru(PPG).

Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugasnya mampu menunjukkan
kemampuannya yang ditandai dengan penguasaan kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi
substansi dan/atau bidang studi sesuai bidang ilmunya. Calon guru harus disiapkan menjadi guru
profesional melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang
mempersiapkan mahasiswa didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.

B. Tujuan Program Pendidikan Profesi Guru

1. Tujuan umum

Tujuan umum PPG tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3, yaitu menghasilkan calon guru
yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus dilaksanakannya pendidikan profesi guru tercantum dalam Permendiknas No 8 Tahun
2009 Pasal 2 yaitu untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan,
melaksanakan, dan menilai pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan,
pelatihan peserta didik, dan melakukan penelitian, serta mampu mengembangkan profesionalitas secara
berkelanjutan.
Sedangkan menurut Oemar Hamalik ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan mengadakan
pelatihan antara lain:

a. Pelatihan berfungsi memperbaiki perilaku atau performance kerja. Hal ini sangat diperlukan agar
pendidik lebih mampu melaksanakan tugas-tugasnya dan diharapkan berhasil dalam upaya
pelaksanaan program kerja organisasi atau lembaga.

b. Pelatihan berfungsi mempersiapkan promo ketenagaan untuk jabatan yang lebih rumit dan sulit.

c. Pelatihan berfungsi untuk mempersiapkan tenaga kerja pada jabatan yang lebih tinggi.

Penguasaan dan kemampuan melaksanakan kompetensi secara prima dalam arti efektif dan efesien,
menempatkan profesi guru sebagai sebuah profesi.Sehubungan dengan itu Djojonegoro (1998)
menyatakan bahwa profesionalisme dalam suatu jabatan ditentukan oleh tiga faktor penting.Ketiga
faktor tersebut dapat disajikan sebagai berikut :

1. Memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau spesialisasi.

2. Kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus yang dikuasai).

3. Penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian khusus yang dimilikinya

C. Pembentukan professional

Guru harus mencapai kemampuan pofesional tingkat tinggi. Kemampuan itu dapat tercapai melalui
pendidikan persiapan, praktik kerja lapangan, pendidikan profesi, atau pengembangan profesional
berkelanjutan. Secara teoritis dan simultan, simultan kegiatan ini dimaksudkan untuk membentuk guru
profesinal sungguhan, yang mampu melaksanakan proses pembelajaran secara baik dan bermutu.
Menurut Vigotsky dimensi yang terkait dalam pembentukan guru profesional disajikan berikut ini

1. Pembentukan guru sebagai pribadi yang utuh.Kemampuan ini diperlukan agar guru
mampu membimbing dan mengarahkan paserta didik dalam setiap aspek pengembangan
kepribadian dan dimensi sosialnya.
2. Pembentukan karakter sistemik yang diperlukan untuk memberdayakan siswa, dimulai
ketika siswa teregistrasi untuk keperluan studinya dan hingga mereka dinyatakan lulus.
3. Pembentukan karakter pribadi (personalized character) dengan dua jalur referensi, yaitu
individualisasi (orientasi pada orang-orang tertentu secara indifidual) dan integrasi (orientasi
pada orang secara keseluruhan) dengan mempertimbangkan berbagai sisi pengembangan,
termasuk yang terkait dengan tujuan edukatif.
4. Pembentukan karakter preventif, tidak hanya dalam kaitannya dengan pemecahan
masalah melainkan juga dalam rangka mengantisipasi kesulitan dan dalam situasi defisit yang
dapat menghambat pemenuhan tujuan.
D. Kualifikasi Akademik Calon Pesera Didik Pendidikan Profesi Guru

1. S1 Kependidikan yang sesuai dengan program pendidikan profesi yang akan di tempuh.

2. S1 Kependidikan yang serumpun dengan program pendidikan profesi yang akan di tempuh dengan
menempuh materikulasi.

3. S1/DIV Non kependidikan yang sesuai dengan program pendidikan profesi yang akan di tempuh dengan
menempuh materikulasi mata kuliah akademik kependidikan.

4. S1/DIV Non kependidikan serumpun dengan program pendidikan profesi yang akan di tempuh dengan
menempuh materikulasi.

5. S1 Psikologi untuk program PPG pada PAUD SD, dengan menempuh materikulasi

E. Kurikulum Pendidikan Profesi Guru

Sebagaimana dikemukakan pada landasan konseptual di depan dan yang tertuang dalam Pasal 1
(13) PP No. 19/2005 tentang SNP, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pasal 9 PP No. 19/2005 tentang SNP
mengemukakan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan sendiri
untuk setiap program studi. Dengan demikian masing-masing LPTK yang akan menyelenggarakan PPG
dapat menyusun sendiri kurikulumnya , baik kurikulum PPG pasca S1/D-IV Non Kependidikan. Walaupun
demikian LPTK penyelenggara melakukan kerjasama dalam pengembangan kurikulum dengan difasilitasi
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Dengan kerjasama ini deharapkan terwujudnya kurikulum PPG yang
setara dalam menjaga mutu LPTK penyelenggara dan akan memudahkan mahasiswa pindah dari satu
PPG ke PPG lainnya serta memudahkan dalam penilain jika terjadi mobilitas guru dari satu daerah ke
daerah lain.

Dalam menyusun kurikulum PPG perlu diperhatikan kompetensi guru sebagaiman di maksud dalam
pasal 10 UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yakni kompetensi kepribadian, kompeten sisosial dan
kompetensi profesionalyang diperoleh melalui pendidikan profesi. Namun demikian pengelompokkan
kompetensi ini tidak dapat dijadikan sebagai pengelompokkan mata kuliah, oleh karena itu merupakan
hasil akhir dari proses pendidikan, dan kompetensi-kompetensi itu dapat tertampung dalam beberapa
mata kuliah, misalnya mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia
dan Bahasa Ingris dapat menampung kompetensi kepribadian dan sosial. Dengan demikian dalam
penyusun kurikulum PPG kompetensi yang ingin di capai dapat disederhanakan menjadi kompetensi
akademik dan kompetensi professional.
Kompetensi akademik adalah seluruh bekal yang bersifat basis keilmuan dari kegiatan mendidik
yang akan di aplikasikan secara otentik dalam melaksanakan tugas keprofesionalan di lapangan.

Kompetensi profesional adalah seluruh kemampuan mengaplikasikan prinsip-prinsip keilmuan


dalam praktik nyata di sekolah yang memiliki stuktur, yang terdiri atas orientasi, latiahan terbimbing,
latihan mandiri, mengatasi masalah-masalah belajar siswa dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
non mengajar yang terjadi di sekolah.

Sebelum menetapkan kurikulum yang akan di berlakuakan untuk PPG, perlu dianalisa terlebih
dahulu apa saja kompetensi yang telah diperoleh mahasiswa lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-IV non
kependidikan. Analisis ini akan menentukan apa saja kegiatan perkuliahan yang perlu ditambahnkan
untuk kedua program tersebut. Sebagai mana diketahui pada program PPG pasca S1 pendidikan
diperuntukkan bagi peserta didik yang sebelumnya berasal dari S1 kependidikan.

F. Beban Belajar Program Pendidikan Profesi Guru

NO PROGRAM PPG

1 Untuk menjadi guru pada satuan pendidikan TK/RA/TKLB

2 Untuk menjadi guru pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB

3 Untuk menjadi guru pada satuan pendidikan PGTK dan PG PAUD

4 Untuk menjadi guru pada satuan pendidikan S1 selain PGSD

5 Untuk menjadi guru pada satuan pendidikan SMP/MTS/SMPLB

6 Untuk menjadi guru pada satuan pendidikan SMA/MA/SMALB

G. Sistem Pembelajaran Program Pendidikan Profesi Guru

1. Sistem pembelajaran mencakup perkuliahan, partikum dan praktek penggalaman lapangan yang
diselengarakan dengan pemantauan langsung secara insentif oleh dosen yang ditugaskan khusus untuk
kegiatan tersebut, dinilai secara objektif dan transparan.
2. Perkuliahan praktikum dan praktek pengalaman lapangan dilaksanakan secara tatap muka dan
berorientasi pada pencapaian kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menulis hasil pembelajaran, menindak lanjuti hasil pembelajaran, serta melakukan pembembingan pada
pelatih.

H. Uji Kompetensi Program Pendidikan Profesi Guru

1. Uji kompetensi sebagai ujian akhir terdiri dari ujian tulis ujian kinerja, ditempuh setelah peserta lulus
semua program PPG

2. Ujian tulis di laksanakan oleh program studi/jurusan penyelenggara, xedangkan ujian kinerja
dilaksanakan oleh program studi/jurusan dengan melibatkan organisasi profesi atau pihak eksternal yang
professional dan relevan.

3. Peserta yang lulus uji kompetensi yang memperoleh sertifikat pendidik bernomor registrasi yang di
keluarkan oleh PPG.

I. Landasan Pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru (PPG)

Dalam pelaksanaan pendidikan profesi guru tentunya memiliki landasan yang digunakan sebagai acuan
yang mengatur keseluruhan bagian program tersebut.Landasan tersebut adalah :

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang
tersebut terdapat beberapa pasal yang terkait dengan penyelenggaraan pelaksanaan pendidikan profesi
guru, yaitu:

a. Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk meujudkan tujuan pendidikan
nasional.

b. Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.[23]

c. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga
kependidikan yang terakreditasi.[24]selanjutnya dikatakan pula bahwa:

1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban dan mengembangkan tenaga kependidikan


pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.
3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarkat.[25]

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang guru dan dosen mengenai pendidikan profesi guru
dinyatakan bahwa:

a. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasamani dan rohani
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

b. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tunggi yang memiliki program pengadaan tenaga
kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah.

c. Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan dan akuntabel.

d. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi
akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.[26]

J. Manfaat Pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru (PPG)

Kegiatan Pendidikan Profesi guru (PPG) dapat memberikan manfaat sebagai berikut yaitu:

1. Bagi guru dapat menambah pengalaman dan penghayatan guru tentang proses pendidikan dan proses
pembelajaran disekolah

2. Dapat menciptakan guru profesional dibidangnya

3. Dapat meningkatkan kesejahteraan bagi guru

4. Memperoleh pengalaman tentang cara berpikir dan bekerja secara interdisipliner sehingga dapat
memahami keterkaitan ilmu dalam mengatasi permasalahan pendidikan yang ada disekolah.
Mempertajam daya nalar dalam penelaahan perumusan dan pemecahan masalah pendidikan yang ada
disekolah

5. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat berperan sabagai motivator, dinamisator
dalam pembelajaran.

6. Bagi sekolah menemukan penyegaran serta ide baru dalam proses pembelajaran baik sistem
pengajarannya maupun tugas kependidikan, sehingga diharapkan model pembelajaran akan menjadi
lebih baik.
7. Bagi masyarakat tersedianya calon tenaga pendidik (guru) yang memiliki kualitas yang baik dan
menumbuhkan motivasi masyarakat untuk percaya bahwa dunia pendidikan mampu memberikan
pelayanan yang cukup memuaskan.[27]

Guru sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar,
sesuai dengan potensi masing-masing. Pelatihan yang dilakukan, disamping harus memperhatikan
kompetensi dasar dan materi standar, juga harus mampu memperhatikan perbedaan individual peserta
didik, serta lingkungannya.

Jabatan guru dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan tenaga guru.Kebutuhan ini meningkat
dengan adanya lembaga pendidikan yang menghasilkan calon guru untuk menghasilkan guru yang
profesional.Walaupun jabatan profesi guru belum dikatakan penuh, namun kondisi ini semakin membaik
dengan peningkatan penghasilan guru, pengakuan profesi guru, organisasi profesi yang semakin baik,
dan lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga guru sehingga ada sertifikasi guru melalui Akta
Mengajar.

Organisasi profesi berfungsi untuk menyatukan gerak langkah anggota profesi dan untuk
meningkatkan profesionalitas para anggotanya. Hal ini sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005 akan jelas
bahwa untuk menjadi seorang tenaga pendidik yang professional tidaklah mudah, mereka harus benar-
benar teruji dan memenuhi persyaratan. Setelah diberlakukannya uji sertifikasi yang diikuti dengan
mendapatkan tunjangan profesi bagi guru, diharapkan ada peningkatan kesejahteraan yang diikuti
dengan peningkatan kinerja.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Profesi guru merupakan suatu bidang pekerjaan khusus yang memerlukan keahlian, kemampuan,
ketelatenan, dan pengetahuan yang digunakan untuk melaksanakan tugas pokok seperti mendidik,
mengajar, membimbing melatih, serta mengevaluasi peserta didik, agar memiliki sikap dan prilaku yang
diharapkan. Profesi harus memiliki tiga pilar pokok, penting yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan
akademik.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan,
bahwa guru adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik guru yang memenuhi standar
mutu (memenuhi kualifikasi) yang dipersyaratkan.

Secara teoritis kegiatan pendidikan profesi guru dimaksudkan untuk membentuk guru profesinal
yang mampu melaksanakan proses pembelajaran secara baik dan bermutu. Manfaat tersebut dapat
menambah pengalaman dan penghayatan guru tentang proses pendidikan serta proses pembelajaran di
sekolah.

Dengan adanya pelatihan profesi guru sangat menguntungkan bagi guru, sekolah,
dan masyarakat. Dengan tersedianya calon tenaga pendidik (guru), yang memiliki kualitas yang
bermutu dapat menumbuhkan motivasi masyarakat untuk semakin percaya bahwa dunia pendidikan
mampu memberikan pelayanan yang cukup memuaskan. Hal ini akan mendorong
masyarakat untuk lebih turut aktif menggalakkan program wajib belajar yang dicanangkan oleh
pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan dan H. Khairil, Profesi Kependidikan. Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2010

------- Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi Cet. II; Bandung: Alfabeta, 2013

Darajat, Zakiah Ilmu Pendidikan Islam. Cet. X; Jakarta: Bumi Aksara, 2012.

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemagnya. Cet. XIV; Jakarta: Sari Agung.
Getteng, Abd. Rahman. Menuju guru Profesional dan Beretika. Cet. I; yogyakarta: Grha Guru, 2009

Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

http:/ppg-pgsd.blogspot.com/2011/12/manfaat-pendidikan-profesi-guru-ppg.html

http:file:/localhost/D:/PPG/Makalah profesi guru.htm

Muhyidin, Albarobis dan Sutrisno. Pendidikan Islam Berbasis problem Sosial. Cet. I; Jakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2009, Tentang Guru.

Republik Indonesia, Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003. Cet. IV;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Republik Indonesia, Undang-undang Guru Dan Dosen. Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Udin, Syaefuddin Saud. Pengembangan Profesi Guru. Cet. IV; Bandung: Alfabeta, 2011.

Usman, Moh Uzer. Menjadi Guru Profesional. Cet. XXVII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 20013.

Kritik atas Pendidikan Profesi Guru dan Solusinya (hasil dialog)


november 17, 2011 by edi subkhan, posted in pedagogi kritis

Terkait rencana penerbitan majalah LPM EDUKASI IAIN Walisongo Semarang Edisi 43
yang mengangkat tema utama “Pendidikan Profesi Guru (PPG)”, kru majalah
mahasiswa tersebut kemarin mengirimkan email pada saya dengan niat agar saya
bersedia sharing pendapat seputar masalah tersebut. Di sinilah saya sampaikan
jawaban saya atas pertanyaan yang diberikan oleh mereka. Jawaban di bawah ini
sekaligus menegaskan sikap dan posisi saya dalam soal PPG tersebut.
1. Menurut Anda apakah peningkatan mutu guru lewat sertifikasi (lewat portofolio &
PLPG) yang telah berjalan saat ini cukup efektif sebagai alat peningkatan
profesionalisme guru?
Jawab: Pertama, pertanyaan Anda ambigu, karena dengan menggunakan kata
“peningkatan” tersebut seolah-olah menyatakan bahwa program sertifikasi memang
telah meningkatkan mutu guru. Kedua, perlu diperjelas konsep “efektif” yang Anda
maksud, apa maksud efektif tersebut? Apakah efektif dalam arti pragmatis, yakni
meminimalkan aktivitas untuk dapat menghasilkan target, capaian dan tujuan maksimal,
atau apa? Ketiga, perlu diperjelas juga arti “profesionalisme” guru tersebut, apakah
seperti yang sering dilakukan oleh khalayak ramai, yakni menyamakan profesionalisme
dengan kualitas, kemampuan, dan kondisi yang baik, atau bagaimana? Keempat, saya
secara personal belum pernah melakukan penelitian secara khusus mengenai
“efektivitas” ini (satu hal yang saya ketahui: tema penelitian efektivitas ini banyak
dilakukan di kampus-kampus pendidikan dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi
yang akhirnya hanya akan menghasilkan kesimpulan efektif atau tidak sebuah program
tertentu dari nalar positivistic), pun saya tidak tertarik untuk melakukannya karena tidak
akan menghasilkan riset yang mendalam untuk memahami dan mengidentifikasi praksis
pendidikan. Oleh karenanya, saya tidak dapat menjawab secara tepat apa yang
dimaksud sebagai efektif atau tidaknya dari program PLPG tersebut. Namun saya akan
coba artikulasikan dalam istilah yang berbeda.
Kita mesti paham dulu apa itu PLPG dan kemudian melihatnya dari sisi dasar
konseptual, operasional dan imbasnya terhadap guru dan sekolah. Sekali lagi saya tidak
punya dokumen PLPG, namun saya dapat memberikan acuan teoretisnya, bahwa kalau
yang dituju adalah profesionalisme guru, maka konsep PLPG juga harus dapat
memenuhi tujuan profesionalisme guru tersebut. Kalau rujukan PLPG adalah standar
kompetensi guru, ada standar pedagogi, standar kepribadian dan sejenisnya itu, maka
bisa jadi PLPG cukup dapat membekali guru untuk menjadi professional. Namun
pertanyaan besarnya adalah: apakah cukup guru menjadi professional? Tepat atau
tidak guru menjadi professional? Kalau Anda menjawab “iya”, maka Anda berada pada
posisi yang bersebarangan dengan saya yang mengatakan “tidak”.
Mengapa? Karena bagi saya yang lebih penting dari profesionalitas dan profesionalisme
adalah kualitas guru itu sendiri, kualitas tentu di sini dalam arti kualitas yang bagus
berupa penguasaan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan nilai, konstruksi
kultural yang ia bawa dan sejenisnya. Kualitas tidak ada hubungannya dengan
professional, itu sudah beda bahasan. “Professional” adalah kata sifat dari “profesi”
yang artinya secara ringkas adalah “pekerjaan” (kalau dikaji dari akar katanya,
“profession” dari kata “profess” yang artinya “menunjukkan pada publik”), jadi:
professional adalah bersifat pekerjaan. Pekerjaan itu apa? Pekerjaan adalah aktivitas
yang tujuannya untuk menghasilkan produk atau mencapai tujuan tertentu, dan dari
aktivitas itulah seseorang yang melakukannya mendapatkan bayaran. Dengan
demikian, kerja professional adalah kerja untuk mendapatkan untung profit (profitable),
contoh sederhana: petinju professional bertinju untuk mendapat upah yang sepadan
dari apa yang ia lakukan, petinju amatir bertinju untuk mengharumkan nama bangsa.
Jadi, kalau guru disebut professional, maka artinya guru tersebut bekerja untuk
mendapatkan upah atau bayaran, sah-sah saja anggapan seperti itu, terlebih dalam
alam pikir neoliberal, namun sekali lagi dengan demikian professional tidak ada
hubungannya dengan kualitas dan kemampuan diri seseorang guru tersebut. Orang
yang bekerja untuk mendapatkan upah (yang disebut sebagai professional) bisa jadi
kemampuannya bagus atau tidak, becus atau tidak becus, pintar atau bodoh. Nah,
pemahaman awam yang digunakan dan bahkan menjadi rezim baru kebenaran
sekarang menyamakan professional dengan kualitas yang bagus. Apa sebenarnya yang
terjadi? Tiada lain ini adalah membangun makna dan nilai baru dengan dasar ideologi
kapitalisme, bahwa cukup dengan memenuhi indicator sebagai pekerja (baca:
professional), maka seseorang tersbut dapat dikatakan sebagai berkualitas. Cukup
dengan memenuhi tugas-tugas yang diemban oleh seorang pekerja berdasarkan
spesialisasi kerjanya maka ia dapat disebut sebagai berkualitas, padahal lebih tepat
disebut sebagai professional saja—yang tidak otomatis disebut sebagai berkualitas dan
berkemampuan bagus.
Edward Said dalam bukunya Representations of the Intellectual menegaskan bahwa
para intelektual (termasuk guru dalam hal ini) haruslah menjadi amatir, bukan
professional. Amatir (amateurs) dari kata “amor” yang artinya cinta. Walau sama-sama
dilekatkan pada aktivitas kerja, namun jika seseorang bekerja secara amatir maka ia
mendasarkan aktivitas kerjanya pada rasa cinta, pengabdian dan ketulusan, jika
mendasarkan pada profesionalisme maka ia mendasarkan pada spesialisasi kerja ala
modernitas dan kapitalisme serta hasrat untuk mendapat upah yang layak.
Oleh karena itu, ketika ditanyakan apakah PLPG cukup memberikan bekal
profesionalisme, ya saya kira cukup walau saya tidak punya datanya, namun jika
ditanyakan apakah PLPG cukup memberikan bekal untuk menjadi guru yang berkualitas
bagus, saya bisa jawab: tidak cukup! Guru yang berkualitas bagus menurut Henry
Giroux adalah seorang intelektual transformatif, mereka ini beraktivitas kerja tidak
didasari hasrat spesialisasi kerja dan profit, melainkan didasari oleh kesadaran kritis
untuk perubahan sosial, kecintaan pada manusia dan aktivitas pedagogi dan seterusnya
dan seterusnya.
2. Bagaimana Anda melihat flowup pemerintah terhadap guru yang telah lulus
sertifikasi?
Jawab: Sejauh yang dapat kita lihat secara umum, tindak lanjut dari program sertifikasi
ya guru mendapat tunjangan profesi, itu saja. Klo bicara soal kualitas guru tentu itu soal
lain, program sertifikasi itu jelas tidak dapat meningkatkan kualitas guru menjadi lebih
baik dalam pemahaman dan praksis pedagogi mereka di kelas. Karena sertifikasi khan
sekadar bentuk pengakuan secara formal bahwa guru bersangkutan telah memenuhi
indicator-indikator tertentu yang dibuktikan dengan dokumen portofolio dan sejenisnya,
ya sudah cukup di situ saja. Kalau mau meningkatkan kualitas ya guru diberi pelatihan,
pendalaman materi pelajaran, up date pengetahuan baru berkaitan dengan subjek
pelajaran yang ia ampu dan pengetahuan pendidikan kontemporer serta pendampingan
intensif dari para intelektual kepada para guru. Tampaknya pemerintah melalui
Kemdiknas, dinas pendidikan di daerah, LPMP dan LPTK belum mengarah pada upaya-
upaya tersebut. Sekarang yang ada ya MGMP, tapi juga agaknya tidak terdapat proses
yang mengarah pada pemberdayaan MGMP untuk meningkatkan intelektualitas guru
berkaitan dengan program sertifikasi mereka.
3. Apa asumsi Anda terkait alasan mendasar pemerintah mencanangakan PPG (upaya
mempercepat sertifikasi atau peningkatan profesionalisme)?
Jawab: PPG ada dua, dalam jabatan dan prajabatan. Semuanya agaknya dimotivasi
oleh hasrat untuk meningkatkan kemampuan guru sebagai pekerja yang dapat
memenuhi indicator-indikator kinerja (performance) tertentu. Kalau dikaitkan dengan
sertifikasi rasanya kok tidak ada hubungannya, karena sertifikasi tidak ada
hubungannya dengan peningkatan kualitas guru, sedangkan PPG ditujukan untuk
meningkatkan profesionalisme guru yang disamakan dengan peningkatan kualitas guru.
Nah, dari dua program PPG tersebut saya menganggap bermasalah, atau kalaupun
diterima ya dengan catatan kritis. Pertama adalah PPG Prajabatan, tujuannya untuk
meningkatkan kualitas calon guru. Apa kampus LPTK selama ini kurang membekali
mahasiswanya untuk jadi guru berkualitas? Kalau iya jawabannya dan itu yang jadi
alasan digagasnya PPG Prajabatan, maka yang harus diperbaiki adalah desain
konseptual dan praksis perkuliahan di kampus, bukannya membuat program baru.
Dengan adanya PPG Prajabatan mahasiswa program S1 kependidikan harus keluar
duit lagi untuk ikut program tersebut, ini artinya PPG tidak efisien dari segi waktu dan
finansial. Selain itu apa yang diberikan di PPG Prajabatan juga tidak beda dengan apa
yang diberikan di kampus kependidikan. Pertanyaan saya, loh buat apa mengulang
kuliah lagi? Ini jelas mubazir—untuk tidak mengatakan “tidak efektif”. Kalau mereka para
konseptor PPG Prajabatan menyatakan “ada bedanya”, saya sampai sekarang belum
tahu apa bedanya, tapi dari draft panduan PPG Prajabatan jelas tidak ada bedanya.
Kalaupun dicari-cari “kebaikan” adari PPG, ya kampus penyelenggara akan
mendapatkan untung profit, karena mereka akan menerima mahasiswa PPG Prajabatan
selama satu tahun berkuliah di situ. Inilah proyek besar pendidikan di Indonesia hehe…
Sementara itu ada PPG dalam jabatan, yakni yang ditujukan untuk meningkatkan
profesionalisme guru yang sudah bekerja sebagai guru. Secara pribadi saya
mengatakan ya memang perlu tapi bentuknya bukan dalam bentuk kuliah satu tahun
seperti PPG Prajabatan, melainkan pelatihan dan pendampingan intensif dan
sejenisnya, itu saja. Tapi sebagaimana saya katakan di depan bahwa tidak cukup guru
menjadi professional, yang harus dilakukan adalah guru harus menjadi intelektual,
berkualitas bagus dan seterusnya. Jadi, PPG dalam jabatan tidak cukup untuk program
meningkatkan kualitas dan intelektualitas guru sekarang.
4. Perlu atau tidak kah pendidikan profesi untuk pendidik (guru dan dosen)? Apa
alasannya?

Guru GTT Demo


Jawab: tidak perlu, karena guru dan dosen sudah bekerja, dengan kata lain sudah
memiliki profesi, untuk apa dididik lagi untuk menjadi pekerja atau profesional? Kalau
yang dimaksud pendidikan profesi untuk menjadikan guru dan dosen menjadi profesi,
loh bukankah sekarang guru dan dosen juga sudah sebuah profesi? Kalaupun yang
dimaksud pendidikan profesi tersebut adalah cara untuk meningkatkan profesionalitas
dan kualitas guru dan dosen, maka seperti argument saya di depan, bentuknya mesti
jelas, yakni pendampingan dan pelatihan intensif untuk guru, pemberdayaan MGMP dan
sejenisnya (untuk PPG dalam jabatan), sedangkan yang PPG Prajabatan sama sekali
tidak relevan, tidak efektif dan efisien dari sisi biaya, dan dasar epistemology dan
empirisnya gak kuat (lihat argument saya di depan).
Untuk dosen lebih-lebih lagi buat apa? Dosen untuk menjadi berkualitas ya cukup
mengaktifkan diskusi intelektual, melakukan penelitian, banyak membaca, melakukan
pengadian masyarakat, dan studi lanjut. Mereka yang masih S1 harus studi S2, yang S2
studi lagi untuk S3, yang S3 bisa berupaya jadi professor atau mengambil post-doctoral
di banyak kampus di luar (untuk di Indonesia aktivitas belajar post-doctoral agaknya
belum familiar). Saya pikir pemerintah jangan lebay deh membuat gagasan yang
maunya biar jadi trend, jadi brand, sebuah penanda keberhasilan ide dan program
pendidikan di bawah periode menteri tertentu, tapi jelas mubazir dan konyol idenya.
5. (Jika Perlu) Bagaimana konsep itu (PPG) yang harus disusun? (Jika
tidak) Bagaimana alternatif peningkatan mutu pendidikan yang tepat -dipandang dari
segi gurunya- mengingat dalam tataran global pendidikan kita tertinggal dari bangsa-
bangsa lainnya?
Jawab: Masalahnya tidak sesimpel dijawab perlu atau tidak PPG. Tentu tidak adil juga
kalau memang di masyarakat kita, misal ada mahasiswa yang non-kependidikan
mendadak di tengah atau akhr perkuliahannya dia menjadi sadar dan terbentuk niatnya
bahwa menjadi guru adalah tugas mulia, dan dorongan itu menjadikan ia berniat
sungguh-sungguh jadi guru. Secara factual banyak juga para pendidik yang bagus di
masyarakat latar belakangnya justru bukan berasal dari kampus-kampus kependidikan,
namun karena mereka serius secara mandiri membaca dan terjun dalam aktivitas
pendidikan, maka mereka justru membangun pengtahuan pedagoginya sendiri menjadi
lebih baik berbasis pada pengalaman riil. Oleh karena itu PPG Prajabatan boleh ada
namun dengan catatan: bahwa mahasiswa S1 kependidkan tidak ikut dalam program
tersebut.
Pihak yang boleh ikut PPG Prajabatan adalah mereka yang lulusan kampus non-
kependidikan, catatan kritisnya adalah: harus diseleksi ketat, mulai dari niat tulusnya,
apakah hanya untuk asal bekerja dapat duit (niat profesi), atau niatnya untuk
mengabdikan diri dalam aktivitas pendidikan (niat amatir)? Kalau niatnya adalah yang
pertama, maka harus ditolak untuk masuk PPG Prajabatan. Soal niat ini pun
sebenarnya juga masalah tersendiri di kampus kependidikan, karena faktanya di
kampus kependidikan juga banyak mahasiswanya yang tidak berniat jadi guru, jadi ia
kuliah asal mendapat aktivitas pasca SMA/SMK/MA saja, asal mendapat ijazah untuk
bekerja. Jadi, niatnya adalah adalah sekadar bekerja dapat duit, selesai. Bagi saya
pribadi mereka yang sperti itu tidak layak menjadi guru yang berkualitas. Mereka
mestinya bekerja di sector yang memang tujuannya untuk mendapat profit langsung,
misal di dunia industri, wirausaha, pertanian dan sejenisnya.
Nah, dengan adanya seleksi ketat tersebut, maka mereka para mahasiswa lulusan
program non-kependidikan yang bisa diterima adalah para pilihan calon guru,
kualitasnya juga pasti diharapkan menjadi lebih baik. Di sinilah PPG Prajabatan
desainnya mestinya tidak hanya satu tahun, itu khan seperti kursus singkat saja.
Idealnya dengan tujuan untuk membekali dasar teoretik pedagogi, metodologi
pembelajaran, manajemen sekolah, teori kurikulum, pengembangan kurikulum, sosiologi
pendidikan, filosofi pendidikan dan lainnya butuh waktu 2 sampai 3 tahun termasuk
praktik pembelajaran di lapangan (PPL). Jadi tidak sebagaimana desain PPG
Prajabatan yang ada dalam draft sekarang, cuma 1 tahun, jadi sperti kursus singkat
menjadi tukang ngajar.
Nah, untuk PPG dalam jabatan sebagaimana saya kemukakan di depan, selain dengan
pelatihan dan pendampingan intensif, para guru juga dapat melakukan studi lanjut ke
jenjang S2 dan S3. Kenapa tidak? Jadi mereka jelas tidak hanya dapat up
date pengetahuan, tapi juga dapat gelar, artinya: secara pragmatis tunjangan
kesejahteraan mereka akan naik. Selain itu, kalau program S2 dan S3nya bagus, maka
tidak hanya keuntungan pragmatis saja yang didapat guru, melainkan memang betul-
betul guru dapat meningkatkan kualitas intelektual dirinya. Tentu kendalanya adalah
soal biaya. Namun sejauh yang saya ketahui pemerintah punya alokasi beasiswa untuk
keperluan studi lanjut guru tersebut. Justru yang paling rawan adalah seringkali di
lapangan, para guru progresif yang berniat studi lanjut sering dihalang-halangi oleh para
guru senior namun berpandangan konservatif. Perasaan senioritas (age-ism) dan rasa
tidak mau disaingi dan dilangkahi karirnya membuat upaya studi lanjut guru-guru
berkualitas jadi terhambat.
Selanjutnya, dari pertanyaan poin ke-5 (lima) tersebut, saya rasa acuan peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia tidak selayaknya menurut pada apa yang ada di
negara-negara Barat dengan mengatakan “untuk mengejar ketertinggalan kita” dari
mereka. Kalau kita mengatakan hal itu, artinya sama saja kita menyatakan bahwa
tujuan dan orientasi pendidikan kita sama dengan negara-negara Barat yang ingin kita
kejar tersebut, artinya juga: kita ada pada satu track lomba lari yang sama dengan
tujuan finish yang sama. Ini artinya kita terjebak pada pola pikir ideologi kompetisi dan
juga praktik kompetisi pendidikan dalam konteks kapitalisme global. Mestinya
Indonesia—dalam tujuan peningkatan kualitas guru misalnya—punya tujuan sendiri,
dalam arti kualitas guru Indonesia konsep idealnya tentu berbeda dengan konsep guru
berkualitas di Amerika, Jepang dan lainnya. Memang ada anasir universal yang bisa
diambil, tetapi tetap ada anasir lokal, nasional, yang hanya dapat dibangun berdasrkan
pada konteks Indonesia. Dengan kata lain, jalur upaya peningkatan kualitas guru kita
berbeda dengan negara seperti Amerika dan kawan-kawannya.
Kalau ada pertanyaan: loh kalau acuannya tidak ke negara-negara Barat yang sudah
maju lalu apa? Kita akan jalan di tempat dong! Bagi saya itu ketakutan yang berlebihan
yang didasari oleh logika kompetisi dan inferioritas diri warisan kolonialisme. Ada logika
lain yang harus dibangun, yakni logika solidaritas, kebersamaan, gotong royong, dan
membuat target-target personal. Analoginya adalah: kita cukup membuat target-target
capaian sendiri, misalnya kita ingin fasih berbahasa Inggris dengan skor TOEFL 550, ya
itu target kita sendiri yang kita upayakan untuk kita capai. Tidak ada urusannya harus
berkompetisi dengan orang lain yang juga punya target sama atau lebih ari skor TOEFL
550. Kalau pendidikan kita dikatakan tertinggal dalam tataran global, maka perlu
dipertanyakan, siapa yang mengatakan hal itu? Apakah pernyataan tersebut
mendasarkan pada penilaian PISA, TIMMS, THE, QS, Webometric, OECD dan lainnya?
Mengapa tidak membuat target sendiri berdasarkan pada acuan nilai dan ideologi kita
sendiri? Memangnya para pakar pendidikan, aktivitas dan praktisi pendidikan yang ada
di Indonesia bodoh-bodoh hingga harus membebek pada konsep dan standar penilaian
institusi-institusi tersebut? Ataukah sebenarnya kita bisa membuat konsep penilaian
sendiri berdasrkan pada acuan nilai dan ideologi kita, hanya saja ternyata pemerintah
tidak melihat itu, pemerintah dengan rasa inferioritas warisan nalar dan kultur kolonial
tidak percaya diri dan kemudian ngikut arus untuk sukarela didikte, dijajah,
dikolonialisasi institusi-institusi tersebut.

Hanya dipisahkan dinding


Dengan begitu, artinya sekali lagi Anda terjebak pada pendiktean penilaian oleh institusi
tertentu, yang mereka juga punya standar penilaian sendiri, berdasarkan pada basis
ideologi dan nilai tertentu. Standar penilaian PISA dan Ujian Nasional (UN) aja beda,
standar THE, QS dan Webometric untuk menilai “ranking” kampus-kampus juga
berbeda. Masuk dan mengiyakan penilaian mereka artinya mengiyakan desain tata
dunia global yang mereka idealkan untuk diwujudkan, artinya juga mengiyakan konsep
nilai dan ideologi yang mendasari penilaian mereka. Di sisi lain dengan demikian
imbasnya dari menunduk di bawah penilaian THE dan QS untuk menjadi world class
university misalnya artinya semua energy akan dilakukan oleh kampus-kampus untuk
mengikuti kompetisi tersebut yang boros duit tapi hasilnya nol untuk rakyat riil. Orientasi
tersebut akan memangkas sensitivitas dan daya baca kritis serta keberpihakan kampus-
kampus kita pada tujuan transformasi sosial masyarakat riil. Dari kacamata studi post-
kolonial, kita punya konteks sendiri, kita punya konteks sosio-historis sendiri, kita punya
kedaulatan sendiri untuk menentukan apa yang penting dan prioritas bagi kita sendiri.
Bagi saya, jangan risau dan terlalu berkiblat pada Barat yang ironisnya sampai
sekarang masih meneguhkan kultur-kultur kolonialisme di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Beda cara pandang, paradigm, ideologi, juga akan berimbas pada
beda acuan kualitas dan kebermaknaan. Kalau saya menggunakan dasar pro-rakyat
dan keadilan sosial dalam membuat pemeringkatan kampus-kampus dunia, atau
membuat perankingan dunia untuk pemerintah yang pro-rakyat dan keadilan sosial,
pastinya negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Brazil yang akan
menempati peringkat pertama. Tapi dengan basis ideologi “elitism” dan/atau
neoliberalisme, maka kampus-kampus yang dinilai oleh THE, QS, dan Webometric akan
menempatkan kampus-kampus di Amerika sebagai unggulan berdasarkan kuantitas
publikasi dan mutual relationship mereka dengan dunia industri. Saya pikir kita mesti
paham betul praktik neo-kolonialisasi yang dilakukan oleh institusi “negara baru” ini…
6. Menurut Anda, tepatkah jika sertifikasi guru juga dimaksudkan untuk mengangkat
kedudukan guru yang akhir-akhir ini di pandang “rendah” di banding profesi -dokter,
arsitek, TNI- lainnya?
Jawab: tidak tepat. Sertifikasi ya sekadar untuk syarat naik gaji melalui tunjangan
profesi saja. Tidak lebih dari itu. Ini khan soal pemahaman dan paradigm berpikir
sebenarnya. Guru dipandang rendah dibanding pekerjaan lain sebenarnya ketika dilihat
dari prestisenya, nah prestise tersebut dilihat dari kepemilikan harta, benda, kekayaan,
intinya adalah soal kesejahteraan yang berpangkal pada besaran gaji guru yang tidak
seberapa. Kalau di Finlandia guru adalah pekerjaan yang prestise, kenapa? Ya karena
gajinya tinggi, selain itu mereka dapat membawa kredibilitas diri mereka di sekolah dan
masyarakat. Dulu konsep guru di Nusantara khan juga begitu, dihormati di padepokan,
perguruan dan juga di masyarakat, tapi kemudian bergeser menjadi tidak prestise lagi
karena perannya dipersempit hanya di sekolah dan gajinya rendah, bagi mereka calon
mahasiswa yang cerdas tapi berpikiran modern (modern diartikan sebagai yang
mencita-citakan kesuksesan dalam bentuk materi) tentu tidak akan memilih pekerjaan
sebagai guru yang bergaji rendah, akhirnya mereka yang “cerdas” namun karena sejak
kecil dibangun kesadaran bahwa ideal orang sukses dan orang modern adalah sebagai
dokter, insyur, pengacara dll yang gajinya tinggi dan dihormati orang, maka mereka
tidak masuk kampus keguruan, jadilah input LPTK dan eks-LPTK yang menjadi
univesitas sekarang rendah.
Pandangan rendah berdasarkan prestise juga patut dipertanyakan, prestise itu khan
gengsi, gengsi itu pengertiannya gak jelas, seperti penilaian yang dilakukan oleh anak-
anak muda mendasarkan pada konsep keren, cool, gaul dst. Setidaknya acuan nilai dari
gengsi, keren dan cool adalah merujuk pada hal-hal yang bersifat fisik-material, keren
dan cool dilihat dari tampilan fisik seseorang, pakaian, dandanan rambut, gaya hidup dll,
gengsi juga dilihat dari keberpunyaan materi sejenisnya. Pertanyaan saya: apakah tepat
menilai guru berdasarkan pada konsep gengsi yang acuannya adalah fisik-material?
Tentu tidak tepat karena bidang kerjanya beda, yang diolah adalah manusia, tentu akan
beda kalau menggunakan konsep gengsi pada profesi yang memang tujuannya adalah
untuk profit, misalnya pengusaha, dll. Pada alam kapitalisme global memang segala
jenis profesi atau pekerjaan dalam upaya untuk dinaikkan gengsinya akan dilihat dari
upah, bayaran atau gaji yang diterima, semuanya dimaterialkan dan dikuantitatifkan.
Inilah yang disebut oleh Giroux sebagai culture of positivism yang sudah merasuk pada
nalar pikir masyarakat kapitalisme akhir (the late of capitalism).
Kalau mau ikut-ikutan alur pikir tersebut juga bisa, yakni caranya adalah dengan
menaikkan gaji guru. Saya pun sepakat dengan gaji guru naik, tapi beda dasar
ideologisnya. Bagi saya, gaji guru harus naik tidak untuk menaikkan gengsi atau
prestisenya dan derajatnya dibandingkan pekerjaan lain. Gaji tersebut hanya efek yang
niscaya harus diberikan oleh pemerintah dengan jalan memahami dulu bahwa posisi
guru memang sudah semestinya sama dengan jenis pekerjaan lain, atau bahkan lebih
tinggi. Kalau TNI menjaga negara maka ia digaji tinggi, dokter menyelamatkan nyawa
juga digaji tinggi, pengacara menyelamatkan masa depan seseorang dari jerat hukum
juga dikasih imbalan tinggi, maka guru sebagai orang yang mengolah dan membangun
potensi anak didik, mengarahkan masa depannya, menyiapkan para pemimpin negara,
dan memperbaiki karakternya juga harus digaji tinggi. Menaikkan derajat guru dengan
demikian pertama adalah melalui merombak cara pikir modernitas dan kapitalis yang
menganggap peran guru di sekolah saja. Peran guru harus dikembalikan sebagai guru
di masyarakat juga selain di sekolah, di situlah ia sebagai intelektual organik (Gramsci)
dan intelektual transformatif (Giroux) dapat dijalankan dengan baik. Ketika guru
perannya sudah menjadi penting di masyarakat—dan dalam konteks yang lebih tinggi
adalah negara—maka konsekuensinya adalah penghargaan terhadap guru juga harus
tinggi, termasuk kesejahteraan, akses terhadap pengetahuan, jaminan kesehatan,
keamanan dan lainnya.
7. Boleh dibilang dengan diberlakukannya PPG bagi lulusan LPTK berarti pemerintah
menafikkan mutu LPTK sendiri. Bagaimana tanggapan Anda?
Jawab: yang Anda maksud tentu adalah PPG Prajabatan. Ya, saya pikir program
tersebut memang melecehkan keberadaan LPTK yang ada. Kalau tujuan PPG
Prajabatan adalah untuk meningkatkan kualitas guru dalam kemampuan
pedagogisnya—terlebih dulu dengan didasari oleh laporan dari “lapangan” bahwa
kualitas mahasiswa lulusan LPTK dan universitas eks-IKIP sekarang tidak lebih baik dari
lulusan SPG dulu—maka sudah semestinya yang diperbaiki adalah desain dan praksis
perkuliahan di LPTK. Bukan malah membuat program baru yang mubazir dan
menyalahi konsep pendidikan dan keguruan serta cenderung merunduk di bawah logika
kapitalisme (division of labor and professionalism). Jika dilihat pada draft panduan PPG
Prajabatan maka mahasiswa lulusan S1 kependidikan juga wajib ikut PPG tersebut,
padahal yang dipelajari di PPG Prajabatan tersebut ada PPL, ada materi ilmu
pendidikan, ada subjek palajaran tertentu, nah itu khan sudah dipelajari selama
mahasiswa tersebut kuliah S1. Lalu untuk apa ikut PPG Prajabatan ketika materinya
sama saja? Kalau materinya beda, bedanya di mana? Kalau ada konsep, materi dan
desain belajar yang beda yang tujuannya untuk peningkatan kualitas lulusan, kenapa
tidak dimasukkan dalam program S1 saja? Alasannya jelas, dengan PPG Prajabatan
mahasiswa yang sudah lulus S1 kependidikan harus keluar duit lagi, memeras tenaga,
pikiran dan lainnya lain. Dari itung-itungan ekonomi ini jelas tidak efisien. Yang untung
secara ekonomi tentu kampus-kampus yang mendapat kesempatan sebagai
penyelenggara PPG Prajabatan, karena uang dari mahasiswa akan mengalir ke kas
mereka.

Demo guru bantu

Saya punya cerita analogi yang serupa: dalam kasus UN sekolah-sekolah mewajibkan
siswa-siswinya untuk mengikuti Bimbel agar siswa sekolah tersebut lulus UN 100%.
Siswa wajib bayar per kepala sekian puluh ribu rupiah. Nah, sekolah bekerjasama
dengan Bimbel tersebut, akhirnya sekolah dapat diskon yang bisa berupa potongan
harga atau bonus ke dompet guru-guru di sekolah tersebut. Tapi ternyata lewat jalan
lain bisa dilakukan dengan cara dan nalar proyek, yakni: guru-guru mendirikan Bimbel
sebagai cara mencari duit, Bimbelnya sendiri berkantor di sekolah tersebut, Bimbel itu
berfungsi sebagai tim sukses lulus UN 100%, akhirnya yang dapat untung juga guru-
guru di sekolah tersebut yang sekaligus sebagai tenaga tutor Bimbelnya. Kasus PPG
Prajabatan di kampus-kampus juga agaknya bisa terjadi dengan logika yang sama, tapi
semoga saja tidak.
Dengan demikian apakah ini pelecehan atau tidak, ya tergantung dari sudut pandang
siapa? Para dosen dan birokrat kampus LPTK mungkin lebh memandang ini
menguntungkan dari sisi pemasukan yang akan didapat oleh kampus, persis ketika
kampus membuka program baru, ditambah lagi ketika pihak kampus menganggap
bahwa untuk menjadi profesi maka guru atau calon guru harus sekolah profesi dulu.
Kalau merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa “pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi
setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan persyaratan keahlian khusus.” Pengertian pendidikan profesi tersebut merujuk
pada konsep pendidikan profesi yang dilalui oleh dokter, psikolog, akuntan, advokat dan
sejenisnya. Karakternya jelas, yakni spesifikasi, spesialisasi, penyiapan tenaga kerja
dengan kemampuan tertentu yang jelas untuk menjalankan aktivitas kerja tertentu yang
spesifik dan special. Nah, guru jelas berbeda, bidang garapan guru lebih luas dan lintas-
bidang aktivitas, tidak spesifik dan spesialisasi. Guru dalam perspektif pedagogi kritis
harus terlibat dalam aktivitas politik untuk transformasi sosial, artinya ia melintas batas
bidang pedagogi dan politik, di sisi lain guru juga harus paham dimensi psikologis anak
didiknya, di sini juga guru melintas batas bidang pedagogi dan psikologi, dan banyak
lagi contohnya. Artinya: salah besar menyamakan guru dengan pekerjaan atau profesi
seperti dokter! Oleh karenanya, PPG Prajabatan sebagai sekolah untuk menyiapkan
tukang ngajar dengan spesifikasi dan kompentensi professional (karena Cuma satu
tahun), yang dibuthkan adalah reformulasi pendidikan keguruan di LPTK untuk
membangun pribadi guru lulusannya menjadi intelektual transformatif.
https://pendidikankritis.wordpress.com/2011/11/17/kritik-atas-pendidikan-profesi-guru-dan-solusinya-
hasil-dialog/

Anda mungkin juga menyukai