Anda di halaman 1dari 1

1.

1 Latar Belakang
Kebutuhan telur setiap tahunnya semakin meningkat, hal ini membuktikan bahwa semakin
banyak yang mengkonsumsi telur. Namun perlu diketahui, tidak semua telur memiliki kualitas yang
bagus. Telur utuh sekalipun dapat mengalami kerusakan, baik kerusakan fisik maupun tidak. Beberapa
penyebab kerusakan telur dapat dikarenakan tumbuhnya bakteri/mikroba, tempat penyimpanan pada
suhu kamar, dan tercemarnya telur oleh kotoran. Beberapa mikroba yang dapat merusak telur antara
lain, Pseudomonas(Rachmawan 2001), Aloaligenes (Moats 1980), Escherichia(Moats 1980, Coufal et
al. 2003), dan Salmonella(Coufal et al. 2003, Lu et al. 2003). Mikroba tersebut masuk ke dalam telur
melalui pori-pori yang terdapat pada kulit telur, baik melalui air, udara, maupun kotoran ayam.
Kerusakan telur green rot yang disebabkan oleh Pseudomas ditandai dengan isi telur menjadi
encer, kadang-kadang dijumpai warna kehijauan, kuning telur tertutup oleh lapisan berwarna merah
jambu keputih-putihan, putih telur kadang-kadang menjadi hitam, serta telur berbau busuk dan rasanya
agak asam (Rachmawan 2001). Bakteri ini juga menyebabkan kerusakan telur yang disebut red rot yang
ditandai dengan timbulnya warna merah pada kuning telur, putih telur menjadi encer dan berwarna
keabu-abuan mendekati merah. Aloaligenes dan Escherichia menyebabkan black rot, yaitu telur
menjadi sangat busuk, isinya berwarna coklat kehijauan, encer dan berair, serta kuning telur
berwarna hitam. Kontaminasi Salmonella terjadi jika telur tidak disimpan pada suhu rendah, bakteri ini
dapat tumbuh dan berkembang biak di dalam membran kulit, dan akan mengkontaminasi isi telur
sewaktu telur dipecahkan untuk diolah. (Coufal et al. 2003, Lu et al. 2003)
Penyimpanan terlur pada suhu kamar dapat menyebabkan telur mengalami penurunan berat,
pembesaran kantung udara di dalam telur, dan pengenceran putih dan kuning telur. Hal tersebut
mengakibatkan timbulnya bau busuk karena pertumbuhan bakteri pembusuk, timbulnya bintik-bintik
berwarna karena pertumbuhan bakteri pembentuk warna (bintik-bintik hijau, hitam, dan merah), dan
bulukan yang disebabkan oleh kapang. Pencucian telur dengan air tidak menjamin telur menjadi lebih
awet, karena jika air pencuci yang digunakan tidak bersih dan tercemar oleh bakteri, maka akan
mempercepat terjadinya kebusukan pada telur.
Kebusukan telur dapat menimbulkan beberapa penyakit salah satunya keracunan. Menurut
Sarwono (1995), telur segar memiliki daya simpan yang relatif pendek, jika dibiarkan dalam udara
terbuka (suhu ruang sekitar 27oC) hanya dapat bertahan kurang lebih 14 hari. Oleh karena itu dianjurkan
untuk mencuci telur menggunakan air bersih yang hangat dan segera dikeringkan dan menyimpan telur
utuh dalam keadaan bersih dan kering sehingga dapat bertahan dalam kondisi baik selama 3-4 minggu.
Setelah batas jangka waktu tersebut maka akan muncul tanda-tanda kerusakan secara signifikan.
Terdapat beberapa parameter untuk mengetahui kondisi dari telur secara langsung, yaitu pH telur yang
mengakibatkan bau busuk, bentuk cangkang telur, intensitas cahaya pada telur apabila dikenai cahaya,
menimbulkan suara apabila digoyang/dikocok, posisi telur apabila direndam di air.
Selama ini untuk mengetahui kondisi telur masih dilakukan secara manual yaitu dengan
menggunakan cahaya senter yang diarahkan pada cangkang telur. Namun cara tersebut dirasa kurang
efektif dan masih terkesan subjektif. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian tengtang (JUDUL)
sehingga masyarakat dapat mengkonsumsi telr dengan kualitas yang baik.

Referensi :
1. http://achamad.staff.ipb.ac.id/wp-content/plugins/as-pdf/bios-logos-Kerusakan%20Telur.pdf
2. Rachmawan O. 2001. Penanganan Telur dan Daging Unggas [terhubung berkala]
bos.fkip.uns.ac.id/pub/.../penanganan_telur_dan_daging_unggas.pdf [9 Oktober 2009]
3. Coufal CD, Chavez C, Knape KD, Carey JB. 2003. Evaluation of a Method of Ultraviolet Light
Sanitation of Broiler Hatching Eggs. J. Poultry Science 82:754–759
4. Moats WA. 1980. Classification of Bacteria from Commercial Egg Washers and Washed and
Unwashed Eggs. J. App & Envi Microbiol 40 (4): 710-714.
5. http://e-journal.uajy.ac.id/11271/3/2BL01264.pdf suwarno, 1995

Anda mungkin juga menyukai