Anda di halaman 1dari 3

BAB II

PEMBAHASAN

2.3 Mekanisme Defisiensi Vitamin Sehingga Menyebabkan Kemajiran pada Hewan


Betina
Vitamin sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan hewan.
Beberapa vitamin seperti vitamin A, D dan E sangat dibutuhkan tersedia dalam ransum
dalam jumlah yang cukup. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan terjadinya
gangguan reproduksi terutama pada ternak yang sedang bunting karena dapat
menyebabkan terjadinya keratinasi pada epitel uterus sehingga mengganggu implantasi.
Kekurangan vitamin A juga dapat menyebabkan terjadi kelahiran anak dengan kondisi
lemah atau kematian fetus disertai dengan terjadinya retensio sekundinarum. Kekurangan
vitamin D pada hewan betina dapat menghambat munculnya estrus dan bila dalam keadaan
bunting dapat menyebakan terjadinya abortus, distokia dan retensi sekundinarum. Vitamin
E dibutuhkan untuk memacu munculnya estrus, ovulasi, meningkatkan angka kebuntingan
dan mengurangi kejadian retensio sekundinarum. Kekurangan vitamin E dapat
menghambat munculnya estrus.
Kekurangan atau kelebihan sumber energi ini pada ternak dapat menimbulkan
gangguan reproduksi. Provitamin A yang banyak terdapat dalam biji jagung, dapat dipecah
menjadi vitamin A oleh dinding usus. Kekurangan vitamin A dalam pakan dapat
menyebabkan gangguan kesuburan sampai pada tingkat kemajiran, disertai dengan
penurunan produksi susu. Hati mempunyai kemampuan untuk menyimpan vitamin A,
sehingga kekurangan vitamin A dalam pakan dapat menggunakan persediaan vitamin A
dalam hati. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan tidak timbulnya birahi, fertilisasi
terganggu diikuti dengan angka kebuntingan yang rendah. Pada induk bunting muda dapat
terjadi keratinisasi dari epitel uterus, sehingga proses implantasi terganggu diikuti
kematian embrio Pada induk bunting dapat terjadi abortus karena menjadi terganggu dan
degenerasi plasenta. Pada periode pertengahan masa kebuntingan. dapat menyebabkan
kelahiran anak yang lemah atau mati yang diikuti dengan retensi sekundinarum. Kasus
kawin berulang.

1
2
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam melalukan diagnosa rabies terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan
yaitu Seller, FAT, dan IHK (Immunohistokimia). FAT ( Fluorescent Antigen Test)
merupakan standar diagnosa pemeriksaan yang distandarkan dunia namun dalam
penerapannya kerap kali memiliki kendala yang cukup nyata yaitu membutuhkan sampel
segar di laboratorium. Sehingga diperlukan metode diagnosa lain yang dapat efektif dan
efisien dalam melakukan metode diagnosa. Salah satu cara yang paling tepat dan efektif
adalah menggunakan teknik IHK. Teknik IHK pada dasarnya memiliki kelebihan karena
dalam pengambilan spesimen untuk pemeriksaan tidak perlu spesimen segar. Beberapa
kali penelitian mengenai diagnosa ini membuktikan bahwa sensitifitas dari metode
diagnosa IHK sama dengan FAT.

Anda mungkin juga menyukai