ROTASI REPRODUKSI
yang dilaksanakan di
LABOLATORIUM REPRODUKSI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh:
FITRI NUR MEDIA P., S. KH
210130100111101
Oleh:
LISMAR HANUM, S. KH
210130100111057
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM RERPODUKSI
VETERINER
Pembimbing Penguji
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................vi
DAFTAR TABEL................................................................................................vii
RINGKASAN.......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................3
1.3 Tujuan....................................................................................................3
1.4 Manfaat..................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................4
2.1 Anatatomi dan fisiologi reproduksi jantan dan betina...........................4
2.1.1 Anatatomi dan fisiologi reproduksi betina........................................4
2.1.2 Anatatomi dan fisiologi reproduksi jantan........................................8
2.2 Siklus Reproduksi Hewan Betina..........................................................10
2.2.1 Siklus Estrus.....................................................................................10
2.2.2 Perkembangan Folikel Ovarium......................................................12
2.3 Penanganan Distokia..............................................................................14
BAB III METODOLOGI....................................................................................17
3.1 Waktu dan Tempat.................................................................................17
3.2 Peserta PPDH.........................................................................................17
3.3 Jadwal Kegiatan.....................................................................................17
3.4 Metode Kegiatan....................................................................................17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................21
4.1 Anatomi Reproduksi Betina...................................................................21
4.2 Siklus Birahi dan Swab Vagina Mencit.................................................22
4.3 Aspirasi Oosit.........................................................................................25
iv
4.4 Flushing Embrio.....................................................................................27
4.5 Distokia Pada Sapi.................................................................................29
BAB IV PENUTUP..............................................................................................32
4.1 Kesimpulan............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................34
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
vii
BAB 1 PENDAHULUAN
2
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari pelaksaan kegiatan rotasi reproduksi ini yaitu
mahasiswa PPDH dapat memahami ilmu reproduksi pada ternak besar
sehingga dapat mengaplikasikan soft skill yang diperoleh.
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Susunan anatomi alat kelamin betina pada umumnya terdiri dari alat
kelamin utama yaitu gonad atau ovarium, Saluran Reproduksi yang terdiri
dari tuba falopii, uterus, serviks dan vagina serta alat kelamin luar yang
terdiri dari vulva dan clitoris. Pada umumnya ovarium terdapat dua buah,
kanan dan kiri dan terletak di dalam pelvis. Bentuk dan ukuran ovarium
berbeda-beda menurut spesies dan fase dari siklus birahi. Pada sapi,
berbentuk oval dengan ukuran yang bervariasi dengan panjang 1,3–5 cm,
lebar 1,3–3,2 cm dan tebal 0,6–1,9 cm. Pada Domba ovarium berbentuk
lonjong dengan panjang berkisar 1,3–1,9 cm, sedangkan pada kuda
berbentuk ginjal dengan ukuran panjang 4,0–8,0 cm, lebar 3,0–6,0 cm dan
4
tebal 3,0–5,0 cm.Ovarium pada babi, berbentuk lonjong dengan bentukan
seperti setangkai buah anggur karena banyaknya folikel dan korpus luteum
(Damayanti, 2020).
5
2.1.1.3 Uterus
2.1.1.4 Serviks
6
vulva dan dapat dipakai sebagai tanda bahwa sapi dalam keadaan birahi.
Fungsi dari cairan serviks adalah memberi jalan dan arah bagi spermatozoa
yang disemprotkan oleh penis dalam vagina. Spermatozoa yang akan
berenang mengikuti arah asal cairan tersebut. Sekaligus fungsi cairan
serviks juga menyeleksi spermatozoa yang tidak berenang menuju ke
depan akan tidak dapat masuk ke dalam serviks, melainkan akan berputar-
putar di muka serviks (Damayanti, 2020).
Alat kelamin luar terdiri atas klitoris, vulva dan beberapa kelenjar yang
berada pada vestibulum vulvae. Klitoris secara embriologik homolog
dengan penis, sedangkan vulva homolog dengan skrotum. Pada bagian alat
kelamin luar ini banyak ujung-ujung syaraf perasa. Klitoris dapat sedikit
7
berereksi karena mengandung sepasang unsur cavernosus kecil, sedangkan
vulva dapat menjadi tegang karena bertambahnya volume darah yang
mengalir di dalamnya (Damayanti, 2020).
8
(Salisbury, 1985). Kepala (caput epididymis) membentuk suatu
penonjolan dasar dan agak berbentuk mangkok yang dimulai pada ujung
proximal testis. Umumnya berbentuk U, berbeda-beda dalam ukurannya dan
menutupi seluas satu pertiga dari bagian-bagian testis (Toelihere, 1979).
Corpus epididimis (badan epididimis): bagian badan terentang lurus ke
bawah, sejajar dengan jalannya vasdeferens, menjalar terus hampir melewati
testes, dibagian bawah testes epididimis membelok ke atas. Cauda epididimis
(ekor epididimis): merupakan bagian epididimis yang terletak pada bagian
bawah testes yang membelok ke atas. Pada hewan hidup cauda epididimis
terlihat berupa benjolan di bagian ujung bawah testes dan dapat diraba
(Marawali, 2001).Vas deferens atau ductus deferens mengangkut sperma dari
ekor epididimis ke urethra. Dindingnya mengandung otot-otot licin yang
penting dalam mekanisme pengangkutan semen waktu ejakulasi.
Diameternya mencapai 2 mm dan konsistensinya seperti tali (Toelihere, 1979.
Marawali, 2001).
9
maksimum. Pada fase ini terjadi LH surge yang dibutuhkan untuk
mengimbas ovulasi. Pada preparate vaginal smear ditemukan sel-sel
peralihan yaitu peralihan dari sel-sel parabasal dan sel-sel intermediet
menuju sel suferficial.
b. Estrus
Fase estrus merupakan fase yang sangat menciri pada hewan
betina, dimana hewan betina menunjukan tingkah laku ingin berkopulasi.
Perubahan yang dapat terjadi pada ovarium yaitu pematangan folikel , dan
pada fase ini folikel telah siap untuk diovulasikan. Pada tikus ovulasi
terjadi dipertengahan fase estrus. Gambaran preparat vaginal smearnya
yaitu ditemukanya banyak sel-sel superficial dengan ciri sel paling besar
yang terlihat pada preparate vagina smear dengan bentuk polygonal,
nukleusnya mengalami piknotik bahkan kadang tidak ditemukan dengan
sel-selnya telah mengalami kornifikasi.
c. Metestrus
Fase ini terjadi segera setelah fase estrus berakhir, dimana didalam
ovarium terjadi proses pembentukan korpus haemoragikum. Banyak
leukosit muncul dalam lumen vaginal sengan sedikit sel-sel superficial.
d. Diestrus
Fase ini ditandai dengan tidak adanya kebuntingan, tidak adanya
aktifitas kelamin, dan hewan menjadi tenang. Fase ini merupakan fase
terlama dimana pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel-sel superficial
dan mulai munculnya sel parabasal yang bercirikan sel epitel terkecil yang
ditemukan pada preparat vagiana smear dengan bentuk bulat atau agak
bulat yang bercampur dengan sel-sel intermediet.
10
sebuah oosit primer yang dilapisi oleh beberapa lapis sel granulosa
berbentuk kuboid. Pada saat folikel primer berkembang, terbentuk lapisan
glikoprotein disebut zona pelusida diantara oosit primer dan sel granulosa
(Tortora dan Derrickson, 2014). Pada perkembangannya, sel granulosa akan
mengekspresikan reseptor FSH sehingga merangsang peningkatan sekresi
FSH yang dapat meningkatkan perkembangan folikel primer. Perkembangan
folikel primer juga diiringi dengan perkembangan oosit dan sel granulosa
yang berproliferasi. Jaringan ikat yang berkontak langsung dengan sel
granulosa, berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk suatu lapisan luar
disebut sel teka (Sherwood, 2010).
Folikel primer yang berkembang menyebabkan struktur folikel
mengalami perubahan menjadi folikel sekunder yang distimulasi oleh FSH
dan LH. FSH dan LH masing-masing akan berikatan dengan reseptor
spesifik pada permukaan sel granulosa dan sel teka. Pengikatan yang terjadi
antara hormon LH dan resptornya akan merangsang pembentukan androgen.
Sedangkan pengikatan yang terjadi antara FSH dan reseptornya pada sel-sel
granulosa akan merangsang enzim aromatase untuk mengkonversi androgen
menjadi hormon estrogen. Sel granulosa akan menghasilkan cairan folikular
yang banyak mengandung hormone estrogen dan membentuk suatu rongga
yang disebut antrum. Sedangkan sel teka berdiferensiasi menjadi dua lapis
yaitu teka interna dan teka eksterna (Tortora dan Derrickson, 2014). Lapisan
dalam yang tersusun atas sel-sel granulosa akan melingkupi zona pelusida
dan melapisi oosit yang disebut korona radiata (Junqueira dan Carneiro,
2007).
Folikel sekunder berkembang secara bertahap dan menjadi folikel
matang (Folikel de Graaf). Folikel de Graaf adalah folikel yang telah
mencapai perkembangan optimal dengan jumlah sel-sel granulosa yang
semakin banyak dan siap untuk ovulasi. Ruang antrum folikel juga
bertambah besar karena akumulasi hormon estrogen yang semakin
meningkat. Oosit dikelilingi oleh zona pelusida dan korona radiata yang
melekat pada dinding folikel melalui tangkai yang tersusun atas sel
granulosa disebut kumulus ooforus (Sherwood, 2010).
11
Pada saat folikel telah mencapai kematangan, peningkatan hormone
estrogen akan memberikan umpan balik positif kepada hipofisis anterior
untuk mensekresikan LH dan umpan balik negatif kepada hipofisis anterior
untukmenghambat disekresikannya FSH. LH menginduksi terjadinya
ovulasi berupa perubahan pada struktur dan biokimia dari dinding folikel
yang mengakibatkan pecahnya dan pengeluaran oosit dari dalam folikel
yang dikelilingi oleh cumulus ooforus. Ovulasi menyebabkan oosit dan
badan polar pertama meninggalkan ovarium dan memasuki tuba falopi
untuk siap dibuahi (Sherwood, 2010). Pasca ovulasi, dinding folikel
menyusut membentuk korpus luteum. Perkembangan dari korpus luteum
tergantung dari terjadinya fertilisasi dan kebuntingan atau tidak. Apabila
terjadi fertilisasi maka korpus luteum akan bertambah ukurannya dan jika
tidak terjadi fertilisasi, maka korpus luteum akan mengalami degenerasi.
Korpus luteum merupakan ruang folikuler berukuran besar yang berisi darah
dan cairan limfa (Mastuti dan Ciptono, 2017).
12
c. uterus dan pengeluaran plasenta.
d. Pengeluaran Fetus dengan entraksi. Esktraksi adalah penarikan fetus
dari induk melalui jalan lahir, dengan tarikan dilakukan dari luar
(Mekonnen and Moges, 2016). Aplikasi penarikan luar digunakan untuk
menarik bagian fetus yang muncul dan untuk mendukung atau
menggantikan dorongan induk. Penarikan tersebut dilakukan dengan
tangan atau melalui media jerat atau kait. Jerat kaki dipasang di atas
fetlock dan jerat kepala dapat dipasang dimana loop ditempatkan di
mulut dan di atas kepala dan di belakang kedua telinga dengan
meninggalkan kedua ujung tali yang menonjol dari vagina. Pertimbangan
yang sangat penting adalah besarnya gaya pelengkap yang dapat
digunakan, karena tarikan berlebihan yang tidak tepat dapat
menyebabkan trauma pada induk dan fetus (Noakes et al., 2011). Pada
traksi presentasi posterior dapat dilakukan pada pastern fetus atau di atas
pengait dengan penggunaan obstetrical chain.
e. Traksi atau tarik paksa yaitu pengeluaran foetus dari induk melalui
saluran kelahiran menggunakan kekuatan dari luar. Tarik paksa
dilakukan apabila terdapat kelemahan uterus dan foetus tidak ikut
menstimulir perejanan serta diameter foetus minimal sama besar dengan
diameter jalan kelahiran.
f. Pengeluaran fetus dengan tarikan yang akan membahayakan induk atau
fetus, dokter kandungan harus mempertimbangkan opsi CS atau
fetotomi. Bila fetus dibagi ke dalam potongan yang lebih kecil, atau
pengangkatan parsial bagian fetus yang mati atau ketika bagian kecil
fetus seperti kaki dilepas semuanya disebut fetotomi (Mekonnen and
Moges, 2016). Indikasikan dilakukannya fetotomi yaitu pada fetus yang
besar, abnormalitas pada presentasi, posisi, atau postur tubuh atau
kombinasi ini yang tidak dapat diperbaiki dengan mutasi dan ketika fetus
mengalami emfisema. Fetotomi dianjurkan untuk menghindari
pembedahan besar dari Cesarean section, yang memerlukan bantuan
lebih sedikit, waktu pemulihan lebih pendek, perawatan yang kurang dan
biaya yang lebih murah dibandingkan Cesarean section (Abera, 2017.).
13
g. Operasi caesar (sectio caesar) merupakan teknik alternatif yang
dilakukan apabila semua cara tidak berhasil. Biasanya cara ini digunakan
untuk menangani keadaan dimana kepala foetus tersangkut di serviks
akibat kepalanya yang terlalu besar, ketidakmampuan induk untuk
merejan karena lemahnya otot abdomen, diafragma dan dada akibat
hernia ventralis, retikulitis dan perikarditis. Selain itu, pada kondisi
ruptur uterus, kegagalan dilatasi serviks, torsi uterus selama kebuntingan
dan kematian foetus. Operasi ini dilakukan dengan cara laparotomy
(pembedahan abdomen) dengan alat dan kondisi yang steril.
14
BAB 3 MATERI DAN METODE
15
4. Tarik tuas spuit untuk menghisap isi cairan dari folikel
5. Lepas needle dari spuit
6. Tuang cairan hasil aspirasi diatas object glass
16
menggunakan methanol selama 15 menit, dilanjutkan pewarnaan
metylen blue selama 30 menit. Hasil swab vagina yang telah di warnai,
dibilas dngan air mengalir secara perlahan. Lalu dikeringkan
kemuadian diamati dibawah mikroskop.
18
BAB 4 PEMBAHASAN
Tuba falopii
Ovarium
uterus
cerviks
Vagina
33
suatu struktur yang memisahkan rongga uterus dengan rongga vagina. Fungsi
dari cairan serviks adalah memberi jalan dan arah bagi spermatozoa yang
disemprotkan oleh penis dalam vagina. Spermatozoa yang akan berenang
mengikuti arah asal cairan tersebut. Serviks menutup pada saat ternak
mengalami kebuntingan. Vagina alat reproduksi paling luar yang berfungsi
sebagai alat kopulasi pada organ reproduksi betina dan tempet keluarnya fetus
pada saat partus atau saat terjadinya kelahiran. Vulva adalah lubang terluar
dari alat reproduksi. Fungsi vulva adalah sebagai pelindung, tempat keluarnya
lendir dan hormon pheromon untuk menarik pejantan. Vulva berasal dari
intoderm sinus urogenitalis dan ektoderm embrional. Vulva terdiri atas labia
mayora (luar) dan labia minora (dalam) (Damayanti, 2020).
20
fase diestrus pada tikus bisa berlangsung selama sehari. Berikut gambar
hasil mikroskop pada pemeriksaan swab vagina
Oosit adalah sel gamet betina yang jika telah mengalami pematangan
dan terjadi fertilisasi dengan sel gamet jantan (spermatozoa) selanjutnya akan
berkembang menjadi embrio dan dalam keadaan yang normal maka akan
dapat berkembang menjadi individu baru. Perkembangan oosit terjadi di
dalam folikel dan selama perkembangannya folikel juga akan mengalami
perkembangan yang dikenal dengan folikulogenesis. Tahap perkembangan
folikel diawali dengan terbentuknya folikel primordial hingga terbentuk
folikel matang dan oosit akan memasuki tahap ovulasi (Li & Chian 2017).
Situs : Longitudinal
Anterior Posisi : Dorso
sacral Habitus: -
Kelahiran normal
28
Fiksasi ekstremitas bagian
belakang menggunakan tali,
lalu traksi, lalu diretropulsi
lagi, raih ekornya ,fiksasi juga
ekornya dengan tali, lalu
30
Dilakuka fiksasi pada
estremitas depan
menggunakan tali, lalu
dilakukan retropulsi, lalu
estensi pada bagian kepala
sehingga kepala fetus lurus
menghadap keluar kesaluran
Situs : Longitudinal anterior
reproduksi lalu di traksi
Posisi : Dorso sacral
kepala fetus dan di fiksasi,
Habitus: Upward
kemudian fetus ditarik keluar.
33
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
vagina serta vulva, serta labia mayor dan minor. Fase reproduksi pada betina
pada fase proestrus ditemukan sel epitel berinti, fase estrus ditemukan sel
kornifikasi, fase metestrus ditemukan sel kornifikasi dan leukosit dan pada
adanya embrio pada organ reproduksi betina. Pada proses kelahiran biasanya
dapat terjadi abnormalitas baik dari faktor maternal maupun fetalis, distokia
dapat terjadi karena adanya abnormalitas pada situs, habitus maupun posisi,
5.2 Saran
Praktikum koasistensi sudah berjalan dngan baik dengan alat dan bahan yang
32
DAFTAR PUSTAKA
Busman H., 2013, Histologi ulas vagina dan waktu siklus estrus masa subur tikus
betina setelah pemberian ekstrak rimpang rumput teki.Seminar Nasional
Sains & Teknologi V, Lampung : L embaga Penelitian Universitas
Lampung.
Pertiwi, W., & Ihsan i, N. (2019). Siklus Estrus Tikus Betina Virgin (Mus
musculus) Strain BALB/c setelah Terpapar Berbagai Jenis Sound. Journal
of Science, Technology and Entrepreneur, 1(2), 127-133.
33
Rao MM, Mahesh YU. 2012. Efficacy of different harvesting techniques on
oocyte retrieval from buffalo ovaries. Buffalo Bull. 31:209-213.
Simatauw, A. Z., & Unitly, A. J. A. (2019). Gambaran Siklus Estrus Tikus Rattus
norvegicus Terpapar Asap Rokok Setelah Diterapi Ekstrak Etanol Rumput
Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch). RUMPHIUS: Pattimura
Biological Journal, 1(1), 001-007.
Sherwood, L. 2010. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sulastri, S., Wiratmini, N. I., & Suriani, N. L. (2014). Panjang Siklus Estrus
Tikus (Mus musculus L.) yang Diberi Pemanis Buatan Aspartam secara
Oral. Jurnal Biologi, 18(2), 69-72.
34