Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN AKHIR KEGIATAN PPDH

ROTASI REPRODUKSI
yang dilaksanakan di
LABOLATORIUM REPRODUKSI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Oleh:
FITRI NUR MEDIA P., S. KH
210130100111101

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI REPRODUKSI
yang dilaksanakan di
LABOLATORIUM REPRODUKSI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN
HEWAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA

Oleh:
LISMAR HANUM, S. KH
210130100111057

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
PPDH ROTASI REPRODUKSI HEWAN
BESAR

yang dilaksanakan di
LABORATORIUM RERPODUKSI
VETERINER

Malang, 20-30 Juni 2022


Oleh:
FITRI NUR MEDIA P., S. KH
NIM. 210130100111101

Menyetujui, Komisi koordinator

Pembimbing Penguji

drh.Aulia Firmawati, M.Vet drh. Yudit Oktanella, M.Si


NIK. 201106 850506 2 001 NIK. 2014058810222001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya

drh. Dyah Ayu Oktavianie A.P.,M.Biotech


NIP. 19841026 200812 2 004

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan untuk Allah SWT.,


karena atas limpahan rahmat, taufik serta hidayah-Nya, “Laporan Kegiatan
PPDH Rotasi Reproduksi” dapat terselesaikan. Laporan ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan Laporan ini banyak
mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai
pihak dan berkah dari Allah SWT, sehingga kendala-kendala yang dihadapi
tersebut dapat diatasi. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. drh. Dyah Ayu Oktavianie AP., M.Biotech selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya yang telah membantu
memberikan fasilitas dan kemudahan selama koas.
2. drh.Aulia Firmawati, M.Vet, drh. Herlina Pratiwi, M.Si, drh. Viski Fitri
Hendrawan, M.Vet,, M.Vet, drh. Yudit Oktanella, M.Si, selaku Penguji
satu yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk selama penyelesaian
penulisan laporan ini.
3. Orang tua bapak dan ibu, kakak serta orang terkasih yang senantiasa
memberikan dukungan baik moriil maupun materiil sehingga penulis bisa
sampai pada tahap ini.
4. Teman sejawat kelompok 5 dan PPDH Gelombang X 2021 atas
kerjasamanya dalam menempuh gelar dokter hewan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun penulis butuhkan
untuk kesempurnaa laporan ini.

Malang, 20 Juli 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................vi
DAFTAR TABEL................................................................................................vii
RINGKASAN.......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................3
1.3 Tujuan....................................................................................................3
1.4 Manfaat..................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................4
2.1 Anatatomi dan fisiologi reproduksi jantan dan betina...........................4
2.1.1 Anatatomi dan fisiologi reproduksi betina........................................4
2.1.2 Anatatomi dan fisiologi reproduksi jantan........................................8
2.2 Siklus Reproduksi Hewan Betina..........................................................10
2.2.1 Siklus Estrus.....................................................................................10
2.2.2 Perkembangan Folikel Ovarium......................................................12
2.3 Penanganan Distokia..............................................................................14
BAB III METODOLOGI....................................................................................17
3.1 Waktu dan Tempat.................................................................................17
3.2 Peserta PPDH.........................................................................................17
3.3 Jadwal Kegiatan.....................................................................................17
3.4 Metode Kegiatan....................................................................................17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................21
4.1 Anatomi Reproduksi Betina...................................................................21
4.2 Siklus Birahi dan Swab Vagina Mencit.................................................22
4.3 Aspirasi Oosit.........................................................................................25

iv
4.4 Flushing Embrio.....................................................................................27
4.5 Distokia Pada Sapi.................................................................................29
BAB IV PENUTUP..............................................................................................32
4.1 Kesimpulan............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................34

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1 Saluran Reproduksi Sapi..............................................................4


Gambar 2 Organ Reproduksi Betina............................................................22
Gambar 3 Hasil Vagina Smear fase diestrus................................................24
Gambar 4 Fase estrus pada tikus..................................................................25
Gambar 5 Aspirasi Oosit dan oosit grade C.................................................27
Gambar 6 Grade oosit berdasarkan kualitasnya...........................................28

vii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.5 Distokia dan Penanganannya.........................................................................31

vii
BAB 1 PENDAHULUAN

Peternakan sapi di Indonesia merupakan peternakan yang sangat tangguh,


Peternakan tersebut tidak terpengaruh oleh krisis moneter maupun tingginya harga
daging sapi dan kerbau, seperti yang pernah menggoncangkan dan merusak usaha
penggemukan sapi lokal. Berdasarkan ketangguhan tersebut, sampai sekarang
peternakan sapi rakyat masih merupakan sumber yang potensial penghasil sapi
bakalan, walaupun keberhasilan reproduksinya rendah. Rendahnya keberhasilan
reproduksi disebabkan karena pemeliharaan sapi betina oleh rakyat kecil di
pedesaan, pada umumnya bersifat tradisionil. Pemeliharaan sapi secara tradisionil
sangat rawan terjadi kegagalan reproduksi yang disebabkan karena bibit tidak
dipilih secara baik, dan pakan yang diberikan berkualitas rendah. Peliharaan sapi
jabres secara tradisional mempunyai produktivitas rendah, karena pakan yang
diberikan oleh peternak berkualitas rendah (Lestari et al., 2014).
Menejemen pemeliharaan sapi yang tidak baik dalam hal pemberian
pakan, lingkungan pemeliharaan, pencegahan penyakit, dan penyapihan anak
dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan reproduksi. sedangkan ganngguan
reproduksi pada induk, sebagai akibat pedet lama tidak disapih adalah anestrus
post partus lebih lama yang berakibat calving interval lebih panjang. Reproduksi
yang baik akan menjamin keterlangsungan ternak tersebut sedangkan reproduksi
yang tidak baik dapat menyebabkan terjadinya kegagalan kebuntingan, yang
selanjutnya dapat memberikan kerugian reproduksi yaitu kualitas semen pejantan
yang kurang baik (Alvionita, 2015).
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan populasi dan genetik Sapi
melalui teknologi Inseminasi Buatan (IB) yang diterapkan pada peternakan rakyat.
Dengan IB peternak tidak perlu memelihara sapi pejantan sehingga kemungkinan
terjadinya inbreeding dapat dihindari. Namun, IB dapat merugikan peternak akibat
peternak dalam melakukan deteksi birahi kurang akurat dan inseminator kurang
trampil. Reproduksi yang baik akan menjamin keterlangsungan ternak tersebut
sedangkan reproduksi yang tidak baik dapat menyebabkan terjadinya kegagalan
kebuntingan, yang selanjutnya dapat memberikan kerugian reproduksi yaitu
kualitas semen pejantan yang kurang baik (Alvionita, 2015). Semen yang
berkualitas dari seekor pejantan unggul dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
1
antara lain umur pejantan, sifat genetik, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi dan
pakan. Kualitas semen dapat ditentukan dengan cara mengetahui volume, pH,
konsentrasi dan motilitas. Seleksi kesuburan pejantan dapat dilakukan untuk
mendapatkan pejantan yang mampu menghasilkan kualitas semen yang baik
namun analisis kualitas semen tampaknya sulit dilakukan dilapangan, cara yang
dapat dilakukan salah satunya adalah melalui seleksi berdasarkan umur.
Sedangkan pada organ reproduksi ruminansia betina terdiri dari organ genitalia
interna (ovarium, oviduk, uterus, cervix uteri dan vagina) dan organ genitalia
eksterna (vestibulum dan vulva). Ovarium merupakan organ reproduksi primer
yang menghasilkan ova dan hormon-hormon kelamin betina. Sedangkan soviduk,
uterus, cervix uteri, vagina dan vulva merupakan organ reproduksi sekunder yang
berfungsi menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina,memberi
makan dan melahirkan individu baru (Suharyati, 2016)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah yang diambil yaitu :


1. Bagaimana fisiologi sistem reproduksi ternak?
2. Bagaimana prosedur koleksi oosit dengan metode flushing tuba
falopii dan aspirasi dari folikel kambing ?
3. Bagaimana cara dan interpretasi fase-fase siklus birahi melalui metode
vaginal smear pada hewan coba mencit?
4. Bagaimana pertolongan kasus distokia pada sapi betina?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai yaitu :
1. Mengetahui fisiologi sistem reproduksi ternak.
2. Mengetahui teknik dan prosedur koleksi oosit dengan metode flushing
tuba falopii dan aspirasi dari folikel kambing
3. Mengetahui cara dan interpretasi fase-fase siklus birahi melalui metode
vaginal smear pada hewan coba mencit
4. Mengetahui pertolongan kasus distokia pada sapi betina

2
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari pelaksaan kegiatan rotasi reproduksi ini yaitu
mahasiswa PPDH dapat memahami ilmu reproduksi pada ternak besar
sehingga dapat mengaplikasikan soft skill yang diperoleh.

3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Reproduksi jantan dan betina

Ilmu reproduksi ternak merupakan ilmu yang mempelajari


perkembangan, bagian, fungsi, ukuran, serta pengaruh terhadap pertumbuhan
ternak dalam berkembangbiak. Umumnya reproduksi baru dapat berlangsung
setelah hewan mencapai masa pubertas atau dewasa kelamin, dan hal ini
diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormone yang dihasilkan oleh
tubuh hewan (Alvionita et al., 2015).
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Reproduksi Betina
2.1.1.1 Ovarium

Gambar 1 : Saluran Reproduksi Sapi (Damayanti, 2020)

Susunan anatomi alat kelamin betina pada umumnya terdiri dari alat
kelamin utama yaitu gonad atau ovarium, Saluran Reproduksi yang terdiri
dari tuba falopii, uterus, serviks dan vagina serta alat kelamin luar yang
terdiri dari vulva dan clitoris. Pada umumnya ovarium terdapat dua buah,
kanan dan kiri dan terletak di dalam pelvis. Bentuk dan ukuran ovarium
berbeda-beda menurut spesies dan fase dari siklus birahi. Pada sapi,
berbentuk oval dengan ukuran yang bervariasi dengan panjang 1,3–5 cm,
lebar 1,3–3,2 cm dan tebal 0,6–1,9 cm. Pada Domba ovarium berbentuk
lonjong dengan panjang berkisar 1,3–1,9 cm, sedangkan pada kuda
berbentuk ginjal dengan ukuran panjang 4,0–8,0 cm, lebar 3,0–6,0 cm dan

4
tebal 3,0–5,0 cm.Ovarium pada babi, berbentuk lonjong dengan bentukan
seperti setangkai buah anggur karena banyaknya folikel dan korpus luteum
(Damayanti, 2020).

Pada sapi umumnya ovarium kanan agak lebih besar daripada


ovarium kiri, hal ini disebabkan karena secara fisiologik lebih aktif.
Ovarium secara normal, terletak pada perbatasan kranial ligamentum lata
uteri pada lantai ventrolateral pelvis dekat ke gerbang dalam pelvis.
Ovarium terletak pada kantong yang dibentuk oleh ligamen utero-ovarica
dan mesovarium yang disebut sebagai bursa ovarii. Pada umumnya
ovarium bertaut pada mesovarium, sedangkan bagian ovarium yang tidak
bertaut pada mesovarium menonjol pada kavum abdomen dan pada
permukaan inilah folikel ovarium menonjol keluar (Damayanti, 2020).

2.1.1.2 Tubafalopi atau Oviduct

Tuba falopii merupakan saluran reproduksi betina yang kecil,


berlikuliku dan kenyal serta terdapat sepasang. Pada sapi dan kuda
Panjang oviduk berkisar 20–30 cm dengan diameter 1,5–3 mm, sedangkan
pada babi dan domba panjang oviduk mencapai 15–30 cm. Pada saat
ovulasi, sel telur disapu ke dalam ujung tuba fallopii yang berfimbriae.
Kapasitasi spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio terjadi di dalam
tuba falopii. Pengakutan spermatozoa ke tempat fertilisasi dan
pengangkutan sel telur ke uterus untuk perkembangan selanjutnya diatur
oleh kerja silia dan kontraksi otot-otot yang dikoordinir oleh hormone-
hormon yang berasal dari ovarium yaitu estrogen dan progesteron. Sekresi
cairan luminal oviduk merupakan lingkungan yang baik untuk terjadinya
fertilisasi dan permulaan perkembangan embrio. Cairan ini disekresikan
secara aktif oleh lapisan epitel oviduk dan kadarnya diatur oleh hormone-
hormon yang berasal dari ovarium. Volume cairan oviduk ini bervariasi
selama siklus birahi. Volume tersebut rendah selama fase luteal, meninggi
pada permulaan estrus dan mencapai maksimum sehari kemudian, lalu
menurun kembali selam fase luteal (Damayanti, 2020).

5
2.1.1.3 Uterus

Uterus merupakan saluran reproduksi hewan betina yang


diperlukan untuk penerimaan sel telur yang telah dibuahi, nutrisi dan
perlindungan fetus. Pada umumnya uterus hewan terdiri dari sebuah
korpus uteri dan dua buah kornua uteri serta sebuah serviks. Uterus
bergantung pada ligamentum lata atau mesometrium yang bertaut pada
dinding ruang abdomen dan ruang pelvis. Uterus mempunyai beberapa
fungsi penting dalam proses reproduksi. Pada waktu birahi, kelenjar-
kelenjar endometrium menghasilkan cairan uterus. Walaupun dalam
jumlah sedikit, cairan tersebut sangat diperlukan bagi spermatozoa yang
masuk ke dalam uterus untuk proses kapasitasi. Pada waktu kopulasi
uterus berkontraksi dan kontraksi ini masih berjalan walaupun kopulasi
telah selesai. Kontraksi ini sangat diperlukan bagi pengangkutan
spermatozoa dari uterus ke oviduk. Setelah ovulasi, oleh pengaruh hormon
progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum, uterus menjadi tenang,
sementara itu kelenjar-kelenjar endometrium mulai tumbuh memanjang
dan menghasilkan sekresinya. Bila sel telur yang telah dibuahi masuk ke
dalam uterus, maka cairan uterus merupakan substrat yang cocok bagi
pertumbuhan embrio muda. Cairan luminal uterus merupakan kombinasi
antara plasma darah dan sekresi kelenjar uterus(Damayanti, 2020).

2.1.1.4 Serviks

Serviks merupakan otot sphincter yang terletak di antara uterus dan


vagina. Struktur serviks pada hewan mamalia berbeda-beda tetapi
umumnya dicirikan adanya penonjolan-penonjolan pada dindingnya. Pada
ruminansia penonjolan-penonjolan ini terdapat dalam bentuk lereng-lereng
transversal dan saling menyilang, disebut cincin-cincin annuler. Cincin-
cincin ini sangat nyata pada sapi (biasanya 4 buah) yang dapat menutup
rapat serviks secara sempurna. Pada waktu birahi sel-sel goblet pada
dinding lumen serviksmenghasilkan sekresi yang banyak mengandung air.
Cairan serviks ini pada sapi terang tembus, jernih dan bersih. Pada
kebanyakan sapi cairan ini cukup banyak jumlahnya hingga keluar dari

6
vulva dan dapat dipakai sebagai tanda bahwa sapi dalam keadaan birahi.
Fungsi dari cairan serviks adalah memberi jalan dan arah bagi spermatozoa
yang disemprotkan oleh penis dalam vagina. Spermatozoa yang akan
berenang mengikuti arah asal cairan tersebut. Sekaligus fungsi cairan
serviks juga menyeleksi spermatozoa yang tidak berenang menuju ke
depan akan tidak dapat masuk ke dalam serviks, melainkan akan berputar-
putar di muka serviks (Damayanti, 2020).

Pada hewan bunting, sekretum yang bersifat mukus dari kanalis


servikalis menutup os serviks. Pada sapi yang bunting seringkali secretum
ini berlebihan hingga meleleh keluar melalui vagina dan vulva. Sekretum
yang kental, yang merupakan sumbat pada kanalis servikalis, sesaat
sebelum kelahiran, yaitu pada stadium pembukaan serviks, mencair.
Mungkin pencairan ini terjadi di bawah pengaruh suatu hormon. Setelah
sumbatnya mencair, serviks keseluruhannya merileks.

2.1.1.5 Vagina dan alat Kelamin Luar

Vagina merupakan bagian saluran reproduksi betina yang


memanjang dari mulut serviks bagian luar (portio vaginalis cervicis)
sampai tepat di depan (cranial) dari muara urethra. Vagina terbagi atas
bagian vestibulum yaitu bagian ke sebelah luar yang berhubungan dengan
vulva dan portio vaginalis cervicis yaitu bagian ke sebelah serviks. Batas
kedua bagian tersebut tepat pada munculnya muara urethra. Di antara
kedua bagian tersebut terdapat selaput tipis yang merupakan sekat, disebut
sebagai hymen. Selaput ini terbentang transversal menutup vagina.
Histologik hymen ini terdiri dari lapisan epithel sisik. Pada umumnya
hymen ini karena tipisnya robek dan hilang pada waktu hewan mencapai
dewasa (Damayanti, 2020).

Alat kelamin luar terdiri atas klitoris, vulva dan beberapa kelenjar yang
berada pada vestibulum vulvae. Klitoris secara embriologik homolog
dengan penis, sedangkan vulva homolog dengan skrotum. Pada bagian alat
kelamin luar ini banyak ujung-ujung syaraf perasa. Klitoris dapat sedikit

7
berereksi karena mengandung sepasang unsur cavernosus kecil, sedangkan
vulva dapat menjadi tegang karena bertambahnya volume darah yang
mengalir di dalamnya (Damayanti, 2020).

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Reproduksi Jantan


Organ reproduksi hewan jantan dapat dibagi atas tiga komponen; (a)
organ kelamin primer, yaitu gonad jantan, dinamakan testis testiculus (jamak:
testes atau testiculae), disebut juga orchis didymos, (b) sekelompok kelenjar-
kelenjar kelamin pelengkap kelenjar-kelenjar vesikularis, prostata dan
cowper, dan saluran-saluran yang terdiri dari epididimis dan vas deferens, dan
(c) alat kelamin luar atau organ kopulatoris yaitu penis (Toelihere, 1979 dan
Marawali 2001).
Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai dua fungsi yaitu 1)
mengahasilkan spermatozoa atau sel-sel kelamin jantan, dan 2)
mensekresikan hormon kelamin jantan, testosteron. Spermatozoa dihasilkan
dalam tubuli seminiferi atas pengaruh FSH (Follicle Stimulating Hormone),
sedangkan testosteron diproduksi oleh sel-sel intertitial dari Leydig atas
pengaruh ICSH (Intertitial Cell Stimulating Hormone) (Toelihere, 1979).
Struktur-struktur testis meliputi; a) Tunika albuginea, merupakan
pembungkus langsung testis. Licin karena banyak mengandung pembuluh
syaraf dan darah. b) Septum testis; c) Tubulus seminiferus, merupakan tabung
(saluran) kecil panjang berkelok-kelok dan merupakan isi dari Lobulus; d)
Rete testis, merupakan saluran penghubung antara epididimis dengan
Lobulus; e) Ductus efferentis; f) Caput Epididimis, membentuk suatu tonjolan
dasar dan agak berbentuk mangkuk yang dimulai pada ujung proximal testis
(Toelihere, 1979); g) Corpus Epididimis, bagian bawah terentang ke bawah,
sejajar dengan jalannya vasdeferens, menjalar terus hampir melewati testes,
dibagian bawah teats epididimis membelok ke atas; h) Cauda epididimis,
merupakan bagian epididimis yang terletak pada bagian bawah testis yang
membelok ke atas (Toelihere, 1979); i) Vasdeferens, terentang dari ekor
epididimis sampai urethra (Toelihere 1979, Marawali 2001).
Epididimis, suatu pembuluh yang timbul dari bagian dorsal testis
berasal dari duktus efferensia, terdiri dari 3 bagian: kepala, badan dan ekor

8
(Salisbury, 1985). Kepala (caput epididymis) membentuk suatu
penonjolan dasar dan agak berbentuk mangkok yang dimulai pada ujung
proximal testis. Umumnya berbentuk U, berbeda-beda dalam ukurannya dan
menutupi seluas satu pertiga dari bagian-bagian testis (Toelihere, 1979).
Corpus epididimis (badan epididimis): bagian badan terentang lurus ke
bawah, sejajar dengan jalannya vasdeferens, menjalar terus hampir melewati
testes, dibagian bawah testes epididimis membelok ke atas. Cauda epididimis
(ekor epididimis): merupakan bagian epididimis yang terletak pada bagian
bawah testes yang membelok ke atas. Pada hewan hidup cauda epididimis
terlihat berupa benjolan di bagian ujung bawah testes dan dapat diraba
(Marawali, 2001).Vas deferens atau ductus deferens mengangkut sperma dari
ekor epididimis ke urethra. Dindingnya mengandung otot-otot licin yang
penting dalam mekanisme pengangkutan semen waktu ejakulasi.
Diameternya mencapai 2 mm dan konsistensinya seperti tali (Toelihere, 1979.
Marawali, 2001).

2.2 Siklus Reproduksi Hewan Betina


2.2.1. Siklus Estrus
Reproduksi adalah proses fisiologis yang terjadi pada seluruh
makhluk hidup guna mempertahankan keturunan dan kelangsungan hidup.
Hal yang menunjang keberhasilan proses reproduksi yakni organ reproduksi
dan kadar hormon reproduksi yang normal. Organ reproduksi akan berfungsi
pada saat mencapai pubertas yang ditandai oleh terjadinya siklus estrus.
Siklus estrus merupakan suatu fase dari terjadinya estrus ke estrus berikutnya.
Siklus ini merupakan proses berulang yang mengambarkan perubahan kadar
hormone reproduksi yang disebebkan oleh aktivitas ovarium dibawah
pengaruh hormone pituitary. Perubahan kadar hormone reproduksi
menyebabkan perubahan struktur pada jaringan penyusun saluran reproduksi.
Panjang siklus pada tikus adalah 4-5 hari (Simatauw, 2019).
a. Proestrus
Proestrus merupakan fase yang berlangsung pendek yang
merupakan fase persiapan yang dapat dilihat dari perubahan pada alat
kelamin betina dimana adanya pertumbuhan folikel sampai ukuran

9
maksimum. Pada fase ini terjadi LH surge yang dibutuhkan untuk
mengimbas ovulasi. Pada preparate vaginal smear ditemukan sel-sel
peralihan yaitu peralihan dari sel-sel parabasal dan sel-sel intermediet
menuju sel suferficial.
b. Estrus
Fase estrus merupakan fase yang sangat menciri pada hewan
betina, dimana hewan betina menunjukan tingkah laku ingin berkopulasi.
Perubahan yang dapat terjadi pada ovarium yaitu pematangan folikel , dan
pada fase ini folikel telah siap untuk diovulasikan. Pada tikus ovulasi
terjadi dipertengahan fase estrus. Gambaran preparat vaginal smearnya
yaitu ditemukanya banyak sel-sel superficial dengan ciri sel paling besar
yang terlihat pada preparate vagina smear dengan bentuk polygonal,
nukleusnya mengalami piknotik bahkan kadang tidak ditemukan dengan
sel-selnya telah mengalami kornifikasi.
c. Metestrus
Fase ini terjadi segera setelah fase estrus berakhir, dimana didalam
ovarium terjadi proses pembentukan korpus haemoragikum. Banyak
leukosit muncul dalam lumen vaginal sengan sedikit sel-sel superficial.
d. Diestrus
Fase ini ditandai dengan tidak adanya kebuntingan, tidak adanya
aktifitas kelamin, dan hewan menjadi tenang. Fase ini merupakan fase
terlama dimana pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel-sel superficial
dan mulai munculnya sel parabasal yang bercirikan sel epitel terkecil yang
ditemukan pada preparat vagiana smear dengan bentuk bulat atau agak
bulat yang bercampur dengan sel-sel intermediet.

2.2.2. Perkembangan Folikel Ovarium


Tahapan perkembangan folikel primer dimulai saat hipotalamus
mensekresikan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). GnRH akan
menstimulus hipofisis anterior untuk mensekresikan follicle stimulating
hormone (FSH) dan lteinizing hormone (LH). FSH akan merangsang
pertumbuhan dan perkembangan folikel primer. Folikel primer terdiri atas

10
sebuah oosit primer yang dilapisi oleh beberapa lapis sel granulosa
berbentuk kuboid. Pada saat folikel primer berkembang, terbentuk lapisan
glikoprotein disebut zona pelusida diantara oosit primer dan sel granulosa
(Tortora dan Derrickson, 2014). Pada perkembangannya, sel granulosa akan
mengekspresikan reseptor FSH sehingga merangsang peningkatan sekresi
FSH yang dapat meningkatkan perkembangan folikel primer. Perkembangan
folikel primer juga diiringi dengan perkembangan oosit dan sel granulosa
yang berproliferasi. Jaringan ikat yang berkontak langsung dengan sel
granulosa, berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk suatu lapisan luar
disebut sel teka (Sherwood, 2010).
Folikel primer yang berkembang menyebabkan struktur folikel
mengalami perubahan menjadi folikel sekunder yang distimulasi oleh FSH
dan LH. FSH dan LH masing-masing akan berikatan dengan reseptor
spesifik pada permukaan sel granulosa dan sel teka. Pengikatan yang terjadi
antara hormon LH dan resptornya akan merangsang pembentukan androgen.
Sedangkan pengikatan yang terjadi antara FSH dan reseptornya pada sel-sel
granulosa akan merangsang enzim aromatase untuk mengkonversi androgen
menjadi hormon estrogen. Sel granulosa akan menghasilkan cairan folikular
yang banyak mengandung hormone estrogen dan membentuk suatu rongga
yang disebut antrum. Sedangkan sel teka berdiferensiasi menjadi dua lapis
yaitu teka interna dan teka eksterna (Tortora dan Derrickson, 2014). Lapisan
dalam yang tersusun atas sel-sel granulosa akan melingkupi zona pelusida
dan melapisi oosit yang disebut korona radiata (Junqueira dan Carneiro,
2007).
Folikel sekunder berkembang secara bertahap dan menjadi folikel
matang (Folikel de Graaf). Folikel de Graaf adalah folikel yang telah
mencapai perkembangan optimal dengan jumlah sel-sel granulosa yang
semakin banyak dan siap untuk ovulasi. Ruang antrum folikel juga
bertambah besar karena akumulasi hormon estrogen yang semakin
meningkat. Oosit dikelilingi oleh zona pelusida dan korona radiata yang
melekat pada dinding folikel melalui tangkai yang tersusun atas sel
granulosa disebut kumulus ooforus (Sherwood, 2010).

11
Pada saat folikel telah mencapai kematangan, peningkatan hormone
estrogen akan memberikan umpan balik positif kepada hipofisis anterior
untuk mensekresikan LH dan umpan balik negatif kepada hipofisis anterior
untukmenghambat disekresikannya FSH. LH menginduksi terjadinya
ovulasi berupa perubahan pada struktur dan biokimia dari dinding folikel
yang mengakibatkan pecahnya dan pengeluaran oosit dari dalam folikel
yang dikelilingi oleh cumulus ooforus. Ovulasi menyebabkan oosit dan
badan polar pertama meninggalkan ovarium dan memasuki tuba falopi
untuk siap dibuahi (Sherwood, 2010). Pasca ovulasi, dinding folikel
menyusut membentuk korpus luteum. Perkembangan dari korpus luteum
tergantung dari terjadinya fertilisasi dan kebuntingan atau tidak. Apabila
terjadi fertilisasi maka korpus luteum akan bertambah ukurannya dan jika
tidak terjadi fertilisasi, maka korpus luteum akan mengalami degenerasi.
Korpus luteum merupakan ruang folikuler berukuran besar yang berisi darah
dan cairan limfa (Mastuti dan Ciptono, 2017).

2.3. Penanganan Distokia


Dalam menangani distokia ada banyak cara atau prosedur yang harus dapat
dilakukan atau digunakan oleh dokter hewan diantaranya :
a. Mutasi adalah proses dimana fetus dikembalikan ke presentasi, posisi
dan postur tubuh normal melalui repulsi, rotasi, versi, atau esktensi
ekstremitas. Abnormalitas pada postur fetus umumnya lebih mudah
diperbaiki ketika induk berdiri. Setelah dokter hewan mengembalikan
setiap bagian fetus ke dalam postur tubuhnya yang normal, penyebab
distokia biasanya sudah tidak ada maka fetus akan dikeluarkan secara
normal, atau kelahiran dibantu dan disempurnahkan dengan tarikan. Jika
mutasi tidak dapat diselesaikan dalam 15 sampai 30 menit, metode
alternatif untuk persalinan harus dipilih (Mekonnen and Moges, 2016).
b. Pemberian 400 mL larutan kalsium boroglukonat 20% atau 40%
secara intravena pada sapi yang mengalami inersia uterine prim er,
inersia uterine sekunder akibat hipokalsemia. Selanjutnya diinjeksi 400
mL larutan tersebut secara subkutan. Setelah pengambilan foetus,
diinjeksi 20 IU oksitosin secara intramuskuler untuk memacu involusi

12
c. uterus dan pengeluaran plasenta.
d. Pengeluaran Fetus dengan entraksi. Esktraksi adalah penarikan fetus
dari induk melalui jalan lahir, dengan tarikan dilakukan dari luar
(Mekonnen and Moges, 2016). Aplikasi penarikan luar digunakan untuk
menarik bagian fetus yang muncul dan untuk mendukung atau
menggantikan dorongan induk. Penarikan tersebut dilakukan dengan
tangan atau melalui media jerat atau kait. Jerat kaki dipasang di atas
fetlock dan jerat kepala dapat dipasang dimana loop ditempatkan di
mulut dan di atas kepala dan di belakang kedua telinga dengan
meninggalkan kedua ujung tali yang menonjol dari vagina. Pertimbangan
yang sangat penting adalah besarnya gaya pelengkap yang dapat
digunakan, karena tarikan berlebihan yang tidak tepat dapat
menyebabkan trauma pada induk dan fetus (Noakes et al., 2011). Pada
traksi presentasi posterior dapat dilakukan pada pastern fetus atau di atas
pengait dengan penggunaan obstetrical chain.
e. Traksi atau tarik paksa yaitu pengeluaran foetus dari induk melalui
saluran kelahiran menggunakan kekuatan dari luar. Tarik paksa
dilakukan apabila terdapat kelemahan uterus dan foetus tidak ikut
menstimulir perejanan serta diameter foetus minimal sama besar dengan
diameter jalan kelahiran.
f. Pengeluaran fetus dengan tarikan yang akan membahayakan induk atau
fetus, dokter kandungan harus mempertimbangkan opsi CS atau
fetotomi. Bila fetus dibagi ke dalam potongan yang lebih kecil, atau
pengangkatan parsial bagian fetus yang mati atau ketika bagian kecil
fetus seperti kaki dilepas semuanya disebut fetotomi (Mekonnen and
Moges, 2016). Indikasikan dilakukannya fetotomi yaitu pada fetus yang
besar, abnormalitas pada presentasi, posisi, atau postur tubuh atau
kombinasi ini yang tidak dapat diperbaiki dengan mutasi dan ketika fetus
mengalami emfisema. Fetotomi dianjurkan untuk menghindari
pembedahan besar dari Cesarean section, yang memerlukan bantuan
lebih sedikit, waktu pemulihan lebih pendek, perawatan yang kurang dan
biaya yang lebih murah dibandingkan Cesarean section (Abera, 2017.).

13
g. Operasi caesar (sectio caesar) merupakan teknik alternatif yang
dilakukan apabila semua cara tidak berhasil. Biasanya cara ini digunakan
untuk menangani keadaan dimana kepala foetus tersangkut di serviks
akibat kepalanya yang terlalu besar, ketidakmampuan induk untuk
merejan karena lemahnya otot abdomen, diafragma dan dada akibat
hernia ventralis, retikulitis dan perikarditis. Selain itu, pada kondisi
ruptur uterus, kegagalan dilatasi serviks, torsi uterus selama kebuntingan
dan kematian foetus. Operasi ini dilakukan dengan cara laparotomy
(pembedahan abdomen) dengan alat dan kondisi yang steril.

Kedudukan normal pada fetus di dalam tubuh induk yaitu dengan


presentasi anterior dengan posisi fetus bagian columna vetebralis sejajar
columna vetebralis induk dan postur kaki depan serta kepala berada dirongga
pelvis (Cady, 2009).

14
BAB 3 MATERI DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Kegiatan


Kegiatan koasistensi praktikum reproduksi veteriner dilaksanakan pada 20-30
Juni 2022 di Laboratorium Reproduksi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.

3.2 Peserta Kegiatan


Peserta kegiatan rotasi reproduksi adalah mahasiswa PPDH Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya Malang, yaitu:
Nama : Fitri Nur Media Purwanti, S.KH
NIM : 210130100111101
Program Studi : PPDH
Nomor HP : 082325263603
Email : fnurmedia@student.ub.ac.id

3.3 Metode Kegiatan


3.3.1 Aspirasi Oosit
Alat dan Bahan :
1. Spuit 3cc
2. Needle
3. Cawan petri
4. Beker glass
5. Diseting set
6. Pinset
7. Glove
8. Mikroskop
9. Nacl 0,9%
10. PBS
11. Alat reproduksi betina
(Ovarium) Langkah Kerja :
1. Cuci ovarium menggunakan PBS
2. Isi spuit dengan Nacl fisiologus 1,5 ml
3. Tusukkan ujung needle dibawah bagian folikel

15
4. Tarik tuas spuit untuk menghisap isi cairan dari folikel
5. Lepas needle dari spuit
6. Tuang cairan hasil aspirasi diatas object glass

3.3.2 Flushing Embrio

Alat : Disecting set, Spuit, Cawan petri, Gelas


beker, Mikroskop, Glove, objek glas
Bahan : Organ reproduksi betina, NaCl
fisiologi Langkah Kerja
1. Dipotong bagian serviks
2. Diisi spuit dengan NaCl fisiologis
3. Diflushing dari infundibulum sampai cairan yang keluar
4. dari serviks yang dipotong berwarna bening
5. Ditampung cairan pada cawan petri
6. Diamati sampel yang telah diperoleh pada mikroskop
7. perbesaran 10x, 100x, 400x

3.3.3 Siklus Birahi dan Swab Vagina


 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum vagina smear adalah
mencit betina, cutton bud, alcohol 70%, Nacl fisiologis, methanol,
metylen blue, objek glass dan mikroskop.
 Metode
Metode yang digunakan adalah vagina smear yang bertujuan untuk
mengetahui fase-fase siklus birahi dan mengetahui Teknik swab vagina
yang bener.
 Langkah kerja vagina smear
Pertama-tama disiapkan cuttonbud yang sudah dibasahi dengan
alkohol 70%, lalu handling dan fiksasi tikus betina. Dilakukan ulas
vagina dengan cara cuttonbud dimasukan secara perlahan kedalam
vagina dan dilakukan ulas memutar. Hasil dari swab vagina di ulas
diatas objek glass secara horizontal sebanyak 3 ulasan, lalu di fiksasi

16
menggunakan methanol selama 15 menit, dilanjutkan pewarnaan
metylen blue selama 30 menit. Hasil swab vagina yang telah di warnai,
dibilas dngan air mengalir secara perlahan. Lalu dikeringkan
kemuadian diamati dibawah mikroskop.

18
BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Anatomi Reproduksi Betina


Organ reproduksi betina terdiri dari ovarium, oviduk, uterus, serviks,
vagina dan vulva. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2008) yang
menyatakan bahwa alat kelamin betina terdiri dari dua buah indung telur
(ovarium), dua buah oviduk (tabung falopian), rahim (uterus), liang senggama
(vagina), dan vulva.

Tuba falopii

Ovarium

uterus

cerviks

Vagina

Gambar 2 Organ Reproduksi betina (Dokumnetasi Pribadi, 2021)

Ovarium merupakan alat reproduksi betina yang berfungsi untuk


memproduksi sel telur atau ovum dan penghasil hormon estrogen. Sel telur
dihasilkan dari folikel. Oviduk terletak setelah ovarium merupakan saluran
reproduksi betina yang kecil, berlikuliku dan kenyal serta terdapat sepasang
dan berfungsi sebagai tempat fertilisasi atau bertemunya sel sperma dan sel
telur. Pada saat ovulasi, sel telur disapu ke dalam ujung tuba fallopii yang
berfimbriae. Kapasitasi spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio
terjadi di dalam tuba falopii. Uterus merupakan saluran reproduksi hewan
betina yang diperlukan untuk penerimaan sel telur yang telah dibuahi, nutrisi
dan perlindungan fetus. Pada umumnya uterus hewan terdiri dari sebuah
korpus uteri dan dua buah kornua uteri serta sebuah serviks. Uterus berfungsi
sebagai tempat perkembangan fetus menjadi embrio. Serviks merupakan

33
suatu struktur yang memisahkan rongga uterus dengan rongga vagina. Fungsi
dari cairan serviks adalah memberi jalan dan arah bagi spermatozoa yang
disemprotkan oleh penis dalam vagina. Spermatozoa yang akan berenang
mengikuti arah asal cairan tersebut. Serviks menutup pada saat ternak
mengalami kebuntingan. Vagina alat reproduksi paling luar yang berfungsi
sebagai alat kopulasi pada organ reproduksi betina dan tempet keluarnya fetus
pada saat partus atau saat terjadinya kelahiran. Vulva adalah lubang terluar
dari alat reproduksi. Fungsi vulva adalah sebagai pelindung, tempat keluarnya
lendir dan hormon pheromon untuk menarik pejantan. Vulva berasal dari
intoderm sinus urogenitalis dan ektoderm embrional. Vulva terdiri atas labia
mayora (luar) dan labia minora (dalam) (Damayanti, 2020).

4.2 Siklus Birahi dan Swab Vagina Mencit

Siklus estrus adalah suatu periode perubahan fisiologis pada organ


reproduksi maupun tingkah laku hewan betina dari periode estrus sebelumnya
ke periode estrus berikutnya setelah mencapai pubertas dan menerima jantan
untuk kopulasi (Akbar, 2010). Siklus estrus dibagi menjadi dua fase yaitu fase
folikular dan fase luteal. Fase folikular merupakan fase perkembangan folikel
sampai mencapai kematangan dan mengalami ovulasi sedangkan fase luteal
merupakan fase terbentuknya korpus luteum. Fase folikuler terdiri dari
proestrus dan estrus sedangkan fase luteal terdiri dari metestrus dan diestrus.
Lamanya fase estrus pada tikus yaitu 4-5 hari. Metode yang digunakan dalam
pemeriksaan siklus estrus pada tikus adalah swab vagina. Swab Vagina
adalah metode evaluasi sitologi paling efektif untuk mengamati fase dalam
siklus estrus dengan cara mengulas sel-sel pada vagina (swab) , menempelkan
hasil ulasan ke objek gelas, fiksasi, staining dan pengamatan pada mikroskop.
Metode ini mudah, murah dan memiliki akurasi yang lebih tinggi (Sulastri,
2014).
Pratikum swab vagina pada tikus dilakukan 2 kali yaitu pada pukul
11.00 WIB pada tanggal 20 Juni 2022. Hasil dari swab vagina tikus
didapatkan berada dalam fase estrus. Dimana

20
fase diestrus pada tikus bisa berlangsung selama sehari. Berikut gambar
hasil mikroskop pada pemeriksaan swab vagina

Gambar 3 Hasil Vagina smear fase diestrus (Dokumnetasi Pribadi, 2021)

Pada gambar preparat kita dapat melihat terdapat banyak sel-sel


leukosit yang mendominasi preparate yang bertujuan untuk imunitas yang
merupakan ciri khusus periose diestrus. Periode disetrus merupaka periode
terakhir dan periode terlama pada siklus birahi dimana pada fase ini korpus
luteum menjadi matang dan adanya pengaruh progesterone terhadap saluran
reproduksi. Menurut Busman (2013), Hormon estrogen menyebabkan
peningkatan mitosis dan proliferasi sel-sel epitel dan proses pertandukan pada
sel-sel epitel permukaan. Konsentrasi estrogen yang tinggi pada saat estrus
mengakibatkan penebalan dinding vagina dan mengakibatkan sel-sel epitel
mengalami pertandukan dan terlepas dari dinding epitel vagina. Sel-sel
pertandukan terlihat dominan pada hasil ulas vagina, sedangkan pada fase
diestrus corpus luteum menjadi matang dan adanya pengaruh hormone
progesterone dimana dinding rahim atau uterus persiapan untuk kehamilan
apabila terjadi pembuahan sehingga fasenya berlangsung paling lama dan
adanya sel leukosit merupakan respon untuk imunitas.

Siklus estrus tikus juga ditemukan pada hewan-hewan mamalia non


primata. Siklus estrus tikus setara dengan siklus menstruasi pada hewan
primata dan manusia. Fase dalam siklus estrus dapat digolongkan berdasarkan
tipe dan proporsi sel yang terdapat pada hasil apusan dan setiap fase estrus
memiliki karakteristik spesifik. Penentuan fase estrus dengan pengamatan
langsung pada genitalia eksternal tikus betina membutuhkan cahaya yang
21
cukup pada ruang pengamatan. Sumber cahaya diperlukan untuk
pengamatan warna genitalia eksternal tikus betina yang mengalami perubahan
warna dan pembukaan vagina pada setiap fase. Tikus betina fase proestrus
dan estrus dengan pejantan akan mengalami kopulasi setelah semalam jika
disatukan. Tikus yang berhasil kopulasi ditandai dengan adanya vaginal plug
pada esok harinya. Karakteristik proestrus, alat kelamin betina luar mulai
memperlihatkan tanda-tanda bahwa terjadi peningkatan peredaran darah di
daerah itu. Meskipun telah ada perubahan yang menimbulkan gairah sex,
namun hewan betina ini masih menolak pejantan yang datang karena tertarik
oleh perubahan tingkah laku tersebut. Fase estrus merupakan fase yang tepat
dan terjadi kopulasi. Pada fase metestrus, serviks telah menutup, kelenjar-
kelenjar serviks merubah sifat hasil sekresinya dari cair menjadi kental.
Lendir kental ini berfungsi sebagai sumbat lumen serviks. Diestrus adalah
fase dalam siklus berahi yang ditandai dengan tidak adanya kebuntingan,
tidak adanya aktivitas kelamin dan hewan menjadi tenang.

Gambar 4 Fase estrus pada tikus A.Proestrus B. Fase estrus C. Fase


metestrus D. Fase diestrus (1. Sel leukosit 2. Sel epeitel berinti 3. Sel epitel
kornifikasi)

Untuk pemeriksaan hasil mikroskopis pada swab vagina tikus


biasanya ditemukan sel-sel berupa sel leukosit, sel epitel berinti, sel
kornifikasi. Sel leukosit memiliki struktur bulat dengan inti yang bersegmen-
22
segmen ditengah. Inti leukosit menyerap warna yang lebih kontras
dibadandingkan dengan sitoplasma. Ada dua tipe perkembangan sel epitel
vagina yaitu epitel berinti dan epitel terkornifikasi. Epitel berinti memiliki
struktur bulat dan atau lonjong dengan inti bulat ditengah. Intesitas
penyerapan warna inti sel epitel lebih kontras jika dibandingkan dengan
sitoplasmanya. Epitel kornifikasi adalah epitel berinti akan mengalami
diferensiasi perkembangan karena epitel megalami keratinisasi protein dan sel
nampak menanduk atau menebal sehingga inti sel tidak tampak. sel leukosit
memiliki ukuran yang relatif kecil dibandingkan sel epitel berinti. Sel epitel
terkornifikasi memiliki intensitas penyerapan warna yang lebih kontras
dibandingkan sel epitel berinti (Pertiwi, 2019). Pada fase proestrus dan estrus
hanya dijumpai satu tipe sel yaitu sel epitel. Kopulasi hanya terjadi saat
estrus, tikus betina dalam fase ini siap menerima pejantan dikarenakan epitel
sudah dilapisi epitel kornifikasi atau sel epitel yang menebal atau menanduk.
Kehadiran sel leukosit pada fase metestrus dan diestrus adalah sebagai sel
imunitas.

4.3 Aspirasi Oosit

Oosit adalah sel gamet betina yang jika telah mengalami pematangan
dan terjadi fertilisasi dengan sel gamet jantan (spermatozoa) selanjutnya akan
berkembang menjadi embrio dan dalam keadaan yang normal maka akan
dapat berkembang menjadi individu baru. Perkembangan oosit terjadi di
dalam folikel dan selama perkembangannya folikel juga akan mengalami
perkembangan yang dikenal dengan folikulogenesis. Tahap perkembangan
folikel diawali dengan terbentuknya folikel primordial hingga terbentuk
folikel matang dan oosit akan memasuki tahap ovulasi (Li & Chian 2017).

Koleksi oosit dengan menggunakan teknik aspirasi dilakukan dengan


memanfaatkan tampilan gambaran folikel yang tampak pada permukaan
ovarium. Folikel berukuran 2-6 mm umumnya akan terlihat jelas pada
permukaan ovarium, berwarna abuabu kehitaman dan berisi cairan folikel.
Cairan folikel inilah yang disedot dan diharapkan dapat diperoleh oosit.
Dengan menggunakan syringe steril 5 ml, jarum berukuran 18-22 gauge dan
23
berisi 2 ml medium koleksi, folikel ditusuk untuk kemudian disedot
cairan folikelnya. Kemudian cairan tersebut ditempatkan pada cawan petri
dan dievaluasi dengan mikroskop untuk mendapatkan oosit dengan kategori
yang diinginkan (Rao & Mahesh 2012).

Gambar 5 Aspirasi oosit dan oosit grade C (Dokumnetasi Pribadi, 2021)

Pada praktikum dilakukan aspirasi dengan needle dan di amati pada


perbesaran mikroskop 100x. Hasil oosit didapatkan dengan grade C seperti
gambar diatas. Kualitas oosit ditentukan berdasarkan kompleks lapisan
kumulus oophorus (Cumulus Oocyte Complex) yaitu sel-sel granulosa yang
mengelilingi oosit dalam kondisi utuh (padat) atau tidak. Klasifikasi untuk
menentukan kualitas oosit (kualitas baik atau jelek), sampai saat ini
kebanyakan masih menggunakan sistem ini. Menurut Febretrisiana (2017),
hasil koleksi oosit dari ovarium dapat dikategorikan berdasarkan kualitasnya
dan terbagi kedalam empat grade seperti terlihat pada Gambar 2. Oosit
dengan grade A adalah oosit yang dikategorikan sebagai oosit yang paling
baik. Oosit dengan grade ini memiliki kumulus yang seragam dan kompak
dengan dikelilingi oleh lima lapisan atau lebih sel kumulus. Oosit dengan
grade B adalah oosit dengan kategori baik yang ditandai dengan oosit yang
seragam dan memiliki sitoplasma yang gelap dengan komplemen dari korona
radiata yang lengkap tetapi dikelilingi tidak lebih dari lima lapisan sel
24
kumulus. Oosit dengan grade C adalah oosit dengan kategori kurang
baik yang ditandai dengan oosit yang kurang seragam dan warna sitoplasma
lebih transparan dan tidak merata, korona radiata dan sel-sel kumulus yang
mengelilingi oosit tidak merata dan terlihat tidak kompak. Oosit dengan
kategori grade D dikelompokkan sebagai oosit dengan kualitas buruk. Oosit
dengan kategori ini mempunyai sitoplasma yang transparan maupun terjadi
fragmentasi pada sitoplasma, sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit terlihat
sangat jarang dan bahkan beberapa oosit tidak memiliki sel kumulus

Gambar 4.2. Grade Oosit berdasarkan kualitasnya (Febretrisiana, 2017)

Gordon (2003) melaporkan bahwa terdapat beberapa faktor yang


dapat mempengaruhi jumlah oosit yang diperoleh, yaitu suhu dan lama waktu
penyimpanan ovarium serta kualitas dan ukuran folikel. Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kualitas oosit adalah umur, jenis hewan, siklus estrus,
morfologi ovarium, kondisi tubuh dan nutrisi, status reproduksi hewan donor,
faktor genetik, dan faktor lingkungan. Penurunan kualitas oosit kemungkinan
juga dapat disebabkan oleh lamanya waktu transportasi ovarium dari RPH
menuju ke laboratorium. Lamanya waktu penyimpanan ovarium selama
transportasi akan menyebabkan terjadinya kekurangan suplai darah akibat
ovarium telah terpisah dari tubuh hewan. Hal ini menyebabkan hilangnya
suplai oksigen dan energi menuju ovarium, sehingga mengakibatkan ovarium
dalam kondisi ischemia dan reoksigenasi. Kondisi kekurangan oksigen
tersebut menyebabkan ovarium merubah metabolismenya dari aerobik
menjadi anaerobik dan hasil akhirnya adalah produk berupa asam laktat yang
terakumulasi pada sel-sel ovarium.
25
4.4 Flushing Embrio

Pada praktikun flushing embrio tidak ditemukan adanya embrio


diduga karena kualitas reproduksi betina kambing tersebut tidak terlalu
bagus.Sehingga tidak ditemukan pada metode flushing. Menurut Gordon
(2003) metode flushing pada sapi yaitu dimulai dengan servik yang perlu
dibuka terlebih dahulu. Pemasukan semua peralatan ke dalam alat reproduksi
harus dalam keadaan aseptis dan steril. Untuk mencegah pencemaran
terhadap alat reproduksi dan menjaga kualitas embrio. Pemasukan dilatators
harus hati-hati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri melakukan fiksasi
servik per-rectum untuk memandu pemasukan dilatators tersebut. Pembukaan
servik dilakuakan sampai cincin ke empat dari servik, sampai dilatators
memasuki bagian kaudal dari korpus uteri.Bila servik dibuka sepenuhnya dan
selanjutnya disiapkan catheter foley yang sudah dimasuki stilet khusus untuk
membuatnya kaku. Catheter folley dilumasi dengan jelly dan pemasukannya
dilakukan dengan cara aseptis. Pemasukan catheter folley lewat servik juga
dilakuakn secara manual, pemasukan dengan tangan kanan, sedangkan tangan
kiri melakukan fiksasi servik perektum untuk memandu pemasukan catheter
ke dalam servik. Pemasukan catheter folley sampai mencapai Koruna Uteri
sapanjang pertengahan koruna, balon pada catheter kemudian di isi udara
dengan volume 15 – 20 ml tergantung dari diameter Lumen Uterus. Pada
pengisian balon dilakukan control volume dan keterangan dinding Lumen
Uterus per rektum.

Stilet kemudian dicabut dan catheter dihubungkan dengan selang


penyambung berbentuk V. Satu ujung dihubungkan ke botol penampung
yang sudah berfilter, sedang ujung yang lain dihubungkan dengan botol
plastic 500 ml yang berisi media pembilas, yang ditempatkan tinggi sehingga
media bisa mengalir, atau yang dimasukan ke dalam pompa Uterus otomatis,
dilakuakn pembilasan Uterus untuk mengumpulkan embrio.Pembilasan
Uterus dilakukan dengan membuka klem Inlet dan menutup klem Outlet, baik
dengan pompa uterus otomatis maupun secara manual media pembilas
dibiarkan mengalir sebayak 50 ml. dalam keadaan klem Inlet tertutup
26
dilakuakan massage dan manipulasi uterus, Kornua Uteri diluruskan
beberapa menit untuk menghindari adanyaa embrio yang tersekap dalam
afeks Uteri yang melengkung, kemudian klem outlet dibuka untuk
mengeluarkan media pembilas.Cara pembilasan ini diulang lagi, sehingga
untuk satu Kornua Uteri dibutuhkan 300 – 500 ml media pembilas.
Setelah pembilas pada satu Kornua selesai kemudian dilanjutkan
dengan Kornua yang satunya. Pemindahan catheter dilakukan dengan
pengempesan balon terlebih dahulu, catheter dimasuki stilet kembali dengan
dipandu secara manual per rectum catheter dikeluarkan dengan hati-hati dari
Kornua, sampai di Corpus kemudian catheter kembali dimasukan ke dalam
Cornua yang satunya. Penempatan catheter sama seperti sebelumnya ujung
catheter menempati kurang lebih separuh panjang Kornua. Balon kembali di
isi udara, stilet dicabut, catheter dihubungkan dengan selang penyambung dan
di mulai pembilasan Cornua dengan cara yang sama.

4.5 Distokia Pada Sapi

Distokia merupakan salah satu gangguan reproduksi yang sering


terjadi pada ternak. Distokia lebih sering terjadi pada sapi perah daripada sapi
potong dan lebih umum terjadi pada sapi dara yang pertama kali melahirkan.
Distokia adalah istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan tentang
kelahiran yang sulit dimana ketidakmampuan induk sapi melakukan
perejanan untuk mengeluarkan anaknya dengan usaha sendiri dan penyebab
utama penurunan jumlah kelahiran pedet sehingga menimbulkan masalah
ekonomi yang besar bagi peternak (Abera, 2017).
Proses kelahiran pada sapi perah merupakan proses fisiologis yang
berhubungan dengan pengeluaran fetus dan plasenta dari induk pada akhir
masa kebuntingan. Kondisi normal proses kelahiran fetus dibagi menjadi 3
fase yaitu : 1. Dilatasi serviks dan kontraksi uterus yang berlangsung sekitar
2-6 jam, terlihat ternak tampak gelisah, relaksasi dan dilatasi serviks, fetus
mengambil postur kelahiran dan kontraksi uterus terjadi 2. Pengeluaran fetus
yang berlangsung sekitar 1 jam atau bisa kurang dari 1 jam yaitu sekitar ½
jam, pada fase ini kontraksi uterus berlanjut, fetus memasuki saluran
27
peranakan, kantong amnion memasuki vagina dan akan pecah secara refleks
ini merupakan awal terjadinya kontraksi otot-otot abdominal. Dengan adanya
dua macam kontraksi yaitu kontraksi uterus dan kontraksi abdominal maka
fetus akan terdorong melalui saluran kelahiran dan dikeluarkan. 3.
Pengeluaran plasenta, pada fase ini membran janin (plasenta) dikeluarkan
dalam waktu 3 jam setelah melahirkan. Jika tidak dikeluarkan dalam waktu 8
jam pasca melahirkan, pengobatan mungkin diperlukan.
Distokia dapat disebakan oleh 2 faktor yaitu factor maternal (induk)
dan factor fetalis (fetus). Faktor maternal dapat disebabkan oleh penyempitan
saluran kelahiran, salah letak uterus (hernia dan torsio uteri), dan ketidak
mampuan induk untuk mengeluarkan fetus. Sedangkan untuk faktor fetalis
(anak) dapat disebabkan oleh oversize fetus, deformasi fetus, kesalahan situs,
habitus dan posisi, dan kematian fetus. Untuk penangana distokia yang dapat
dilakukan yaitu reposisi, traksi, retropulsi, fetotomi,operasi Caesar,
episiotomy dan mutasi (Jackson, 2007). Untuk alat-alat pertolongan kelahiran
dapat menggunakan Kuhn crutch, rantai,obstetrical chain,introducer bengkok.
Calf puller, tali,kait mata, kait anus, fetotomyknife dan banyak sebagainya.
Tabel 4.5 Distokia dan Penagananya (Jackson, 2004)
Keterangan dan Gambar Penanganan
Fiksasi ekstremitas bagian
depan menggunakan tali, lalu
traksi, fiksasi bagian kepala
dengan tali lalu diretropulsi
dan traksi lagi lalu difetus
ditarik keluar

Situs : Longitudinal
Anterior Posisi : Dorso
sacral Habitus: -
Kelahiran normal
28
Fiksasi ekstremitas bagian
belakang menggunakan tali,
lalu traksi, lalu diretropulsi
lagi, raih ekornya ,fiksasi juga
ekornya dengan tali, lalu

Situs : Longitudinal posterior gunakan jembatan tangan

Posisi : Dorso pubis supaya bagian vetebre tidak

Habitus: - bersentuhan secara langsung


dengan tulang pubis, lalu
traksi lagi dan fetus ditarik
keluar
Dilakukan retropulsi pada
bagian scapula, lalu diraih
bagian mandibula, moncong
lalu difiksasi dan lakukan
retropulsi lagi lalu dilakukan
ekstensi sehingga kepala fetus
menghadap ke saluran
kelahiran , lalu retropulsi lagi
Situs : Longitudinal anterior di raih eksteremitas dan
Posisi : Dorso sacral fiksasi, Tarik keluar, lalu
Habitus :head flexion lateral diekstremitas depan di fiksasi
menggunakan tali fiksasi
bagian kepala juga lalu fetus
ditarik keluar.
29
Pertama-tama difiksasi bagian
dorsal fetus dengan kunch
crutch didorong fetus, lalu di
fiksasi fetus lagi dengan tali
menggunakan bantuan
introducer bengkok, lalu
dilakukan retropulsi fetus
Situs : Tranverso Dorsal
sehingga bisa dilakukan
Posisi : cephalon iliaca dextra
mutasi pada fetus sehingga
Habitus : Flexio
situsnya menjadi longitudinal
anterior, lalu keluarkan
ekstremitas depan, fiksasi
ekstremitas dan kepala lalu
fetus di traksi keluar.
Dilakuka fiksasi pada
estremitas depan
menggunakan tali, lalu
dilakukan retropulsi pada
bagian kepala fetus, diraih
mandibula lalu estensi pada
bagian kepala sehingga kepala
fetus lurus menghadap keluar,
diretropulsi lagi kesaluran
reproduksi lalu di traksi
Situs : Longitudinal anterior kepala fetus dan di fiksasi,
Posisi : dorso sacral kemudian fetus ditarik keluar.
Habitus: vertex

30
Dilakuka fiksasi pada
estremitas depan
menggunakan tali, lalu
dilakukan retropulsi, lalu
estensi pada bagian kepala
sehingga kepala fetus lurus
menghadap keluar kesaluran
Situs : Longitudinal anterior
reproduksi lalu di traksi
Posisi : Dorso sacral
kepala fetus dan di fiksasi,
Habitus: Upward
kemudian fetus ditarik keluar.

33
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan tentang disimpulkan

bahwa, organ Reproduksi betina terdiri atas ovarium, oviduct,uterus, serviks

vagina serta vulva, serta labia mayor dan minor. Fase reproduksi pada betina

terbagi atas 4 macam yaitu prostrus, estrus, metestrus, diestrus, dapat

diketahui dengan metode swab vagina yang hasilnya akan menunjukkan

adanya perbedaan secara mikroskopis. Pada hasil preparatnya didapatkan

pada fase proestrus ditemukan sel epitel berinti, fase estrus ditemukan sel

kornifikasi, fase metestrus ditemukan sel kornifikasi dan leukosit dan pada

fase diestrus didominasi sel leukosit.

Pada praktikum yang telah dilaksanakan ditemukan oosit yang

dikelilingi oleh kumulus oopherus dengan grade C pada pengamatan hasil

aspirasi dengan perbesaran mikroskop 100x dengan metode aspirasi

menggunakan needle. Sedangkan pada flushing embrio tidak ditemukan

adanya embrio pada organ reproduksi betina. Pada proses kelahiran biasanya

dapat terjadi abnormalitas baik dari faktor maternal maupun fetalis, distokia

dapat terjadi karena adanya abnormalitas pada situs, habitus maupun posisi,

dengan penanganan yang berbeda tergantung kasus yang ditangani.

5.2 Saran

Praktikum koasistensi sudah berjalan dngan baik dengan alat dan bahan yang

sesuai dengan kebutuhan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abera, D. 2017. Management of Dystocia Cases in the Cattle: A Review. Journal


of Reproduction and Infertility 8 (1): 01-09. ISSN 2079-2166.

Busman H., 2013, Histologi ulas vagina dan waktu siklus estrus masa subur tikus
betina setelah pemberian ekstrak rimpang rumput teki.Seminar Nasional
Sains & Teknologi V, Lampung : L embaga Penelitian Universitas
Lampung.

Damayanti, T. (2020). Ilmu Reproduksi Ternak. Airlangga University


press.

Febretrisiana, A., & Pamungkas, F. A. 2017. Pemanfaatan Ovarium yang Berasal


dari Rumah Potong Hewan sebagai Sumber Materi Genetik.

Gordon, Ian. 2005. Reproductive Technologies in Farm Animals. CABI


Publishing; Wallingford UK.

Gordon,Ian R. 2003. Laboratory Production of Cattle Embryos. CABI Publishing;


Wallingford UK.

Jackson PGG. 2004. Handbook of Veterinary Obstetrics 2nd Edition. USA:


Elsevier Sci Ltd. Hlm 16.

Lestari CMS, Purbowati E, Dartosukarno S, Rianto E. 2014. Sistem Produksi dan


Produktivitas Sapi Jawa-Brebes dengan Pemeliharaan Tradisional. (Studi
Kasus di Kelompok Tani Ternak Cikoneng Sejahtera dan Lembu Lestari
Kecamatan Bandarharjo Kabupaten Brebes). J Peternakan Indonesia 16(1):
8-14.

Li H, Chian R. 2017. Development of in vitro maturation for human: Follicular


development and oocyte growth oocytes. Gewerbestrasse (Switzerland):
Springer International Publishing AG.

Mastuti, R. Q. D. Dan Ciptono. 2017. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kacang


Merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap Perkembangan Folikel Ovarium
Tikus Putih (Rattus norvegicus, L.). Jurnal Prodi Biologi. (3): 131-141.

Mekonnen, M., Moges, N. 2016. A Review on Dystocia in Cows. European


Journal of Biological Sciences. 8 (3): 91-100, 2016. ISSN 2079-2085.

Pertiwi, W., & Ihsan i, N. (2019). Siklus Estrus Tikus Betina Virgin (Mus
musculus) Strain BALB/c setelah Terpapar Berbagai Jenis Sound. Journal
of Science, Technology and Entrepreneur, 1(2), 127-133.

33
Rao MM, Mahesh YU. 2012. Efficacy of different harvesting techniques on
oocyte retrieval from buffalo ovaries. Buffalo Bull. 31:209-213.

Simatauw, A. Z., & Unitly, A. J. A. (2019). Gambaran Siklus Estrus Tikus Rattus
norvegicus Terpapar Asap Rokok Setelah Diterapi Ekstrak Etanol Rumput
Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch). RUMPHIUS: Pattimura
Biological Journal, 1(1), 001-007.

Sherwood, L. 2010. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC.

Suharyati, S., & Hartono, M. (2016). Pengaruh manajemen peternak terhadap


efesiensi reproduksi sapi bali di Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 16(1), 61-67.

Sulastri, S., Wiratmini, N. I., & Suriani, N. L. (2014). Panjang Siklus Estrus
Tikus (Mus musculus L.) yang Diberi Pemanis Buatan Aspartam secara
Oral. Jurnal Biologi, 18(2), 69-72.

Toelihere. 1977. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

Tortora, G. J. dan B. Derrickson. 2014. Principles of Anatomy and Physiology.


Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

34

Anda mungkin juga menyukai