Anda di halaman 1dari 6

Hukum Ketenagakerjaan

A. Kasus Pertama
Karina adalah seorang karyawan di PT. Indrustri Kampar yang beralamat di Jl. Kebo Iwa Perumahan
BPU No. D4. Karina dalam hal ini disebut sebagai penggugat melawan PT.Indrustri Kampar yang
beralamat di Jl. Padang Sambian. PT. Indrustri Kampar dalam hal ini disebut sebagai pihak yang
tergugat.

B. Kronologi
- Bahwa Karina adalah seorang karyawati PT. Indrustri Kampar yang bekerja sebagai ahli computer.
- Bahwa Karina selama ini bekerja sesuai dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
- Bahwa selama bekerja sebagai karyawati,Karina telah mendapat penghargaan sebagai ahli
computer di perusahaannya bekerja.
- Bahwa Karina diberi upah atas kerjanya yakni senilai Rp. 2.751.000,- (Dua juta tujuh ratus lima
puluh satu ribu rupiah.
- Bahwa upah yang diterima Karina adalah upah diatas minimum .
- Bahwa tiba-tiba tergugat mengeluarkan SK untuk mem PHK penggugat.

C. Pertanyaan

1. Apakah Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan tergugat sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan apabila pada saat itu Karina sedang menyusui bayinya dan Karina
sebelumnya tidak pernah menerima surat peringatan apabila Karina melakukan kesalahan ?
2. Apakah perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melanggar hukum?
3. Apakah tergugat memiliki alasan untuk mem PHK Karina?
4. Bagaimana kah cara penyelesaian apa bila terjadi perselisihan hubungan indrustrial seperti dalam
kasus antara Karina dengan PT. Indrustri Kampar?

D. Analisis Pertanyaan sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Pemutusan Hubungan Kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (25) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
PHK pada dasarnya harus ada izin,kecuali dalam hal tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 154
UU Ketenagakerjaan, yaitu

a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis
sebelumnya
b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali
c. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan atau
d. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Batasan pemberian izin PHK tergantung pada alasannya, yaitu izin tidak dapat diberikan atau
karena alasan yang dilarang. Berdasarkan ketentuan Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yakni
a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus
b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
d. Pekerja/buruh menikah
e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya
f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya
di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama
g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan
i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi
fisik, atau status perkawinan
j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum
dapat dipastikan.

Jadi sudah jelas bahwa mem PHK seorang buruh/ pekerja dengan alasan bahwa pekerja/buruh
tersebut sedang menyusui adalah tidak dibenarkan menurut Pasal 153 ayat (1) poin e. Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 153
ayat (2))

Dalam kasus ini juga tidak dibenarkan apabila pengusaha mem PHK pekerja begitu saja terlebih
tanpa surat peringatan sebelumnya. Dalam Pasal 161 ayat (1) dinyatakan bahwa Dalam hal
pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja,
setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan
ketiga secara berturut-turut.

Kecuali dalam hal ini menurut penulis, rasanya dibenarkan mem PHK pekerja secara langsung
tanpa didahulukan surat peringatan apabila pekerja dalam hal ini telah melakukan suatu kesalahan
berat (suatu tindak pidana) yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yakni:

1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh
telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik


perusahaan
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
d. mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja melakukan perbuatan
asusila atau perjudian di lingkungan kerja
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di
tempat kerja
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan negara atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih

2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai
berikut:

a. pekerja/buruh tertangkap tangan


b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang
bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.

2. Menurut Pasal 51 UU Ketenagakerjaan perjanjian kerja harus dibuat secara tertulis atau lisan.
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila dalam hal ini perjanjian kerja yang dibuat oleh Karina dan
pengusaha sudah sah menurut UU, tentunya perjanjian kerja tersebut akan menimbulkan akibat hukum
apabila dilanggar. Perbuatan tergugat dapat dikatakan melanggar hukum apabila :

a. Pemutusan Hubungan Kerja semata-mata hanya karena Karina adalah seorang ibu yang sedang
menyusui bayinya.
b. Pengusaha tidak memberikan surat peringatan pertama,kedua dan ketiga apabila sebelumnya Karina
telah melakukan kesalahan ringan.

3. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dibenarkan mem
PHK pekerja/buruh apabila

a. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena


perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus
selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur),atau perusahaan melakukan efisiensi.
Kerugian perusahaan tersebut dapat dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang
telah diaudit oleh akuntan publik. (Pasal 164)
b. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena
perusahaan pailit. (Pasal 165)
c. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
memasuki usia pension. (Pasal 167)
d. Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri. (Pasal 168)
4. Apabila terjadi perselisihan hubungan indrustrial antara pekerja dengan pengusaha, maka

penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal penyelesaian secara
musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikatburuh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang. (Pasal 136)

KASUS KEDUA

Analisis Kasus Perburuhan: Stephen Michael Young Melawan PT. Siemens Indonesia
Oleh: Ardy Prasetyo
I.

Kasus Posisi Pesangon Tak Dibayar, Eks Pegawai PT. Siemens Menggugat
Senin, 18 Juni 2012

18.54 WIB Rizka Diputra - Okezone

JAKARTA - Stephen Michael Young, mantan karyawan PT Siemens Indonesia, mengajukan gugatan
ke Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, terhadap bekas
perusahaan tempatnya bekerja, lantaran haknya berupa uang pesangon belum dibayar. Sidang
perkara beregister No: 85/PHI.G/2012/PN. JKT.PST tertanggal 14 Mei 2012 yang dipimpin majelis
hakim pimpinan Dwi Sugiarto, SH, MH sudah memasuki tahap pembacaan jawaban tergugat (PT
Siemens Indonesia) atas gugatan penggugat (Stephen Michael Young). Dalam gugatan Stephen yang
dibacakan Sapriyanto Refa dan M Nazarudin Salam, disebutkan, sejak penggugat diberhentikan
sebagai Manager Power Transmission and Distribution (PTD) Service pada Oktober 2011 hingga hari
ini, uang pesangon senilai Euro 347,602 ditambah bonus tahun 2011 sebesar Rp80,659 juta dan
sebesar Euro 11,118, serta gaji yang menjadi hak penggugat belum diberikan oleh tergugat.
Penggugat merasa kecewa diperlakukan tidak adil oleh tergugat, yakni di PHK tanpa kesalahan, tidak
ada pemberitahuan, serta tanpa izin dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
(LPPHI). Yang lebih melanggar hukum lagi, hak-haknya selama bekerja 13 tahun tidak dipenuhi oleh
tergugat.
“Penyebab tergugat mem
-PHK, hanya karena penggugat tidak menyetujui draf perjanjian baru tentang perpanjangan
kesepakatan kerja waktu tertentu (KKWT) yang disodorkan pihak PT Siemen Indonesia. Menurut
penggugat, draft baru itu sangat merugikan dirinya sebagai karyawan, sebab isinya apabila KKWT
berakhir, atau putus perjanjian kerja, penggugat tidak mendapat pesangon atau hak-hak lainnya.
Berbeda dengan isi perjanjian KKWT sebelumnya, yakni mendapat pesangon dan
lainnya,” papar Refa dalam keterangannya di Jakarta, Senin (18/6/2012).

Tindakan sepihak itu, menurut penggugat, tidak sesuai pasal 151 ayat (3) UU No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan. Di mana karyawan yang di PHK harus mendapat pesangon, uang penghargaan,
uang penggantian hah dan hak-hak lainnya. Di samping pihak perusahaan harus memberitahukan
alasan tindakan PHK kepada karyawan bersangkutan, serta mesti melalui mekanisme LPPHI hingga
dikeluarkannya penetapan.
“Yang menjadi pokok persoalan dan merupakan pelanggaran tergugat, adalah
Stephen (penggugat) sebagai warga negara asing, menurut UU No 13/2003 hanya bisa bekerja di
Indonesia untuk jangka waktu tertentu. Atau paling lama hanya tiga tahun, dan kalau ingin
diperpanjang harus dilakukan pembaharuan perjanjian kerja dengan masa jedah minimal 30 hari,"
tambahnya. Tetapi kenyataannya, kata dia, Stephen dipekerjakan oleh PT Siemens Indonesia selama
kurang lebih 13 tahun terus menerus tanpa putus. Seolah-olah telah menjadi karyawan tetap, yang
menurut UU sesuatu tak boleh terjadi bagi warga asing yang bekerja di Indonesia. Menurut UU
Ketenagakerjaan, lanjutnya, konsekwensinya dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi
Perjanjian Kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), kalau sampai terjadi PHK, maka harus ada kesalahan
yang pernah dilakukan, kemudian harus ada pemberitahuan/peringatan, dan harus ada izin dari
(LPPHI).
“Ternyata,
bagi klien kami, semua itu tidak ada. Penyebab Stephen di PHK karena tidak mau menandatangani
draf perjanjian kerja baru, yang isinya menghilangkan hak pesangon dan
lain, tidak seperti diatur dalam isi kontrak sebelumnya,” ungkap
Refa yang kini menjabat Wakil Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Stephen, katanya lagi,
di PHK oleh PT Siemens Indonesia pada Oktober 2011 tanpa kesalahan, tanpa pemberitahuan, dan
tanpa izin dari (LPPHI), maka konsekwesinya perusahaan itu harus membayar pesangon, uang
penghargaan masa kerja, penggantian hak-hak yg blm dibayar dan hak2 lain yang menjadi hak
Penggugat/Steven menurut UU No 13/2003. Sementara itu, menurut jawaban kuasa hukum PT
Siemens Indonesia, Kantor Hukum Adnan Kelana Haryanto & Hermanto (AKHH), pihak tergugat
menolak dalil yang disampai penggugat yang dinilai tidak logis dan keliru. Dalam jawaban disebutkan,
bahwa dalil tentang selama masa kerja penggugat di tergugat telah melewati batas 3 tahun, kemudian
oleh penggugat dianggap sebagai karyawan tetap, adalah sesuatu yang keliru.

Sebab, meski hubungan kerja antara penggugat dan tergugat menggunakan PKWT, bukan berarti
harus tunduk pada ketentuan PKWT sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Hal itu,
mengingat perjanjian dimaksud berdasarkan kesepakatan bersama, dan tidak melanggar ketentuan
perundang-undangan Indonesia. Oleh karena itu, menurut dalil tergugat, berdasarkan perjanjian kerja
dan peraturan UU Ketenagakerjaan, maka PT Siemens Indonesia (tergugat) tidak pernah memiliki
kewajiban hukum apapun. Baik untuk pemberitahuan, peringatan/teguran, uang pesangon, uang
penghargaan maupun uang penggantian hak sebagaimana dituntut Stephen Michael Young. Kepada
Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang mengadili gugatan tersebut, tergugat meminta
agar menolak seluruh gugatan, serta menghukum penggugat membayar biaya perkara ini.(ful)
II.

Analisis Kasus
Pesangon merupakan salah satu jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja. Jaminan sosial,
menurut Widodo Suryandono, merupakan perlindungan yang diberikan oleh masyarakat dari
economic and social distress
yang disebabkan oleh penghentian pembayaran upah (tidak bekerja) misalnya karena sakit,
kecelakaan, melahirkan, pemutusan hubungan kerja, cacat badan, ketuaan, kematian.
1
Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyebutkan
yang dimaksud dengan jaminan sosial adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan
kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
2
Sedangkan pengertian pengupahan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Pengupahan menyebutkan bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha
kepada buruh untuk suatu pekerjaam atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai

Anda mungkin juga menyukai