Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN TUTORIAL

MODUL I
BLOK 3.3 : NEUROPSIKIATRI

Disusun oleh :
Kelompok 20 D

Millenia Calista
Ghina Zartin
Yuliana Eksandra
Khoirunnisa Puttri
Turfani Haffifa
Jian Hambali
Muhammad Fadli Robby
Lastri Daniati
Dosen Tutorial : dr. Afdal, Sp.A

PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018

SKENARIO I : RUANG EMERGENSI


Zardi 32 tahun, dibawa ke puskesmas setelah mengeluh sakit kepala, muntah-muntah
dan tidak sadar ketika sedang bermain tenis. Dari pemeriksaan dokter puskesmas ditemukan
TD: 150/90 mmHg, nadi 56 x/mnt, Suhu 37,5o C, kesadaran soporous dengan GCS :
E3,V3,M4, delirium. Ditemukan juga kaku kuduk, Brudzinski I dan II (+), Kerniq (+) kanan
dan kiri, tidak ditemukan lateralisasi. Segera setelah di pasang infus, Zardi dirujuk ke RS Dr
M Djamil Padang.
Sesampainya di IGD, Zardi segera dikonsultasikan ke bagian neurologi. Dari
alloanamnesis diketahui bahwa sebelumnya Zardi sering mengeluh sakit kepala namun tidak
pernah sampai kejang. Dari pemeriksaan didapatkan tanda vital dan status neurologi: pupil
isokor, reflek cahaya (+) normal, dari funduskopi ditemukan adanya perdarahan subhyaloid,
reflek fisiologis (++) dan tidak ditemukan reflek patologis. Segera dilakukan pemeriksaan
Brain CT Scan dan kemudian pasien di rawat di ruang emergensi bangsal neurologi dan
diberikan obat untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Di ruang emergensi bangsal neurologi, selain Zardi dirawat juga pasien dengan
penurunan kesadaran. Seperti pada tempat tidur no.1 terdapat pasien berusia 62 tahun dengan
hemiparesis dupleks ec. perdarahan intraserebral dan ini adalah serangan stroke kedua, yang
selama ini pasien dikenal menderita hipertensi dan tidak kontrol secara teratur. Pada tempat
tidur no. 3 dan no. 5, dirawat pasien dengan meningitis dan contusio cerebri. Untuk
mencegah atropi otot dan kontraktur, pada pasien di ruang emergensi ini dilakukan fisioterapi
pasif, walaupun dalam keadaan kesadaran menurun.
Bagaimanakah anda menjelaskan berbagai kondisi dengan gangguan kesadaran ini?

STEP I : TERMINOLOGI
1. Delirium : penurunan kesadaran disertai peningkatan abN psikomotor & siklus tidur yg
terganggu, pasien tampak gelisah, kacau, disorientasi, berteriak & meronta2
2. Kesadaran soporus : keadaan mengantuk yg dalam dimana pasien pasien bisa
dibangunkan dgn rangsangan kuat & nyeri tp tdk bisa bangun sempurna & tdk dpt
memberikan jawaban yg baik
3. GCS : Glasgow Coma Scale, sebuah skoring yg digunakan utk menghituhng tingkat
kesadaran secr kuantitaif, tdd 3 komponen : E ( Eye opening), V ( verbal response), M
(Motor response)
4. Kaku kuduk : salah 1 tanda rangsang meningeal dimana pasien dlm keadaan terbaring
tdk dpt memfleksikan leher dgn max shg dagu tdk dpt mencapai dada
5. Brudzinski : salah 1 gejala iritasi meningeal dimana fleksi pasif dr 1 kaki -> fleksi kaki
yg berlawanan
6. Kerniq : Pd pasien disuruh berbaring, paha difleksi pd persendian panggul sampai
membentuk susdut 90, setelah itu tungkai bawah diekstensikan pd persendian lutut dgn
sudut 135
7. Lateralisasi : adanya ketdksamaan neurologis antara sisi kiri dgn sisi kanan tubuh yg
ditandai berupa hemiparesis/plegi, pupil isokor, & reflek patologis 1 sisi
8. Pupil isokor : keadaan dimana kedua pupil sama besar & bentuknya jg sama
9. Funduskopi : px yg dilakukan d struktur belakang mata trmsk retina utk memeriksa
adanya peny mata
10. Pendarahan subhyaloid : Perdarahan pd retina karena pecahnya/ aneurisma pd A.
Anterior / karotis yg disebabkan penigkatan mendadak TIK
11. Refleks fisiologis : reflex yg timbul pd tubuh setelah diberikan rangsangan tertentu yg
berisfat N
12. Hemiparesis dupleks : kondisi dimana terjdnya pd sebelah / sisi tubuh, trjd dlm waktu yg
tdk bersamaan
13. Meningitis : infeksi pd ruang subaraknoid, infeksi yg menyerang meningen/selaput
pelindung yg menyelimuti otak & saraf tlg belakang
14. Kontusio Serebri : memar otak, yaitu yg menimbulkan lesi perdrahan interstisial pd jar.
otak tanpa terganggunya kontunuitas jr otak -> ggn neurologis
15. Fisioterapi pasif : proses merehabilitasi agar terhindar cacat fisik melalui serangkaian
pencegahan, D, serta penangan utk menangani ggn fisik pd tubuh akiba cidera / penyakit
16. Tekanan intrakranial : jumlah total tekanan yg tdd volume jar otak, volume darah
intrakranial & cairan cerebrospinalis
17. Kontraktur : hilang / kurangnya lingkup gerak sendi pasif atau aktif karena keterbatasan
sendi & fibrosis jar penyokong kulit, proses trjdnya pemendekan dr tendon otot/ sendi
akibat tdk digunakan dlm jangka waktu lama -> keterbatasan gerak

STEP II-III : IDENTIFIKASI MASALAH DAN BRAINSTORMING


1. Mengapa Zardi mengeluh sakit kepala, muntah2 & tdk sadar ketika sedang bermain tenis ?
Adanya peningkatan TIK tiba, karena perdarahan akibat cedera atau aneurisma,
 Muntah : merangsang reseptor dr TIK, merangsang pusat muntah di dorsolateral
formatioretikularis, shg tersalurkan rgsg motoric melalui n vagus shg menyebabkan
kontraksi duodenum & antrum lambung, shg trjd peningkatan intrabdomen &
peristaltic retrograde -> lambung terasa penuh & tek intratoraks meningkat &
merangsang sfingter esophagus membuka.
 Nyeri kepala : peregangan dr struktu intracranial yg peka nyeri, nyeri karena penekan
lgsg o pelebaran pembuluh darah saat mekanisme kompensasi, otak terdesak darah yg
menumpuk shg tdk dpt terkompensasi
 Sakit kepala : bentuk nyeri disekitar kepala, berhub dgn peny tertentu,
Primer : karena kepala sensitive rasa sakit, tipe cluster : menyerag mata tension : terus
menerus migrain : sebelah bag kepala
Sekunder : muncul karena peny. Yg mendasari, eg ggn pmblh drh otak
 Penurunan kesadaran : rupture pemb darah -> menyumbat -> massa -> jar terdesak ->
penigkatan TIK -> mengganggu f otak
2. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan dr puskesmas terhadap Zardi ?
- TD 150/90 : meningkat (N 100-120/60-90)
- Nadi bradikardi
- Suhu : N
-Soporus : pasien dpt terbangun jika diberi rangsangan kuat penekanan pd sternum
- GCS :
V:
5 berorientasi baik
2 mengeluarkan suara tanpa arti
M:
6 mengikuti printah
3 menjauhi rgsgn nyeri
N : total 15
14-15 : cidera ringan
9-13 : cidera sedang
3-8 : cidera kepala berat
Pada Zardi 10 sedang

Delirium : gelisah, berhalusinasi & kdg berhayal


Kaku kuduk Brudzinski : untuk interp meningen
Lateralisasi & penuruan kesadaran : epidural hematom
Kaku kuduk : ada rigiditas leher & keterbatasan gerakan
Brad I +: fleksi kedua tungkai, tangan ditempatkan dibawah kepala
Brad II + : pasien dibaringkan terlentang, tungkai difleksikan pd sendi lutut, kemudian
pd sendi panggul ekstensi, tungkai satunya ikut fleksi,
+ : gerakan reflektorik, tungkai fleksi kontralateral sendi lutut

3. Mengapa Zardi dipasang infus kemudian dirujuk ?


Untuk menstabilkan tanda vital & mengembalikan cairan tubh yg hilang akibat muntah
utk menggantikan elektrolit agar tanda vital stabil & mencegah dehidrasi ( -> pmb darah
kolaps)
Rujuk : px lanjut, utk mendapatkan penyebab keluhan Zardi & px penunjang
Ditemukan tanda rangsan meningen + kemungkinan meningitis & perdarahan
subaraknoid

4. Mengapa Zardi sering mengeluh sakit kepala namun tidak pernah sampai kejang ?
Skit kepala : symptom pd meningitis
Kejang : kel jar otak

5. Apa makna dari pemeriksaan status neurologi ?


Pupil isokor : sama besar N
Refleks cahaya + : kontriksi pupil bilateral & simetris
Funduskopi : perdrhn subhyaloid, gambaran titik garis & bercak yg biasanya terletak dgn
mikroaneurisma, dicurigai aneurisma krn adanya peingkatan tik mendadak

6. Mengapa dilakukan Brain Ct scan & memberikan obat ?


Ct scan :
Perdarahan subhyaloid dr funduskopi : perdarahan pd subaraknoid
Meningitis : demam -> lumbal pungsi
Agar memastikan D prdh subaraknoid

Obat :
Perdarahan subaraknoid : peingkatan TIK -> ditangani secepatnya
Diberi Manitol, diuresis osmotic, 15-30 menit, efek dlm 15 jam
Hipertonik salin : bisa diberikan pada pasien ggl ginjal, dimonitor ketat tiap 2-4 jam
ABCS pastikan N
Oksigenasi

7. Apa penyebab trjdnya penurunan kesadaran ?


Ggn metabolic
Ggn elektrolit : hipernat, infeksi, toksik
Ggn struktural : kerusakan korteks serebri & ARAS pd perdarahan serebral, neoplasma,
infark

8. Mengapa hemiparesis duplex karena perdarahan intraserebral dpt trjd ?


Riwayat HT tdk terkontrol : pecahnya pembh otak -> prdrhn -> hematom
Prdrhn byk titik –>trjd pd kedua hemisfer-> kelumpuhan

9. Adakah hubungan antara hipertensi dan serangan stroke kedua dengan hemiparesis duplex
?
Etio stroke : akibat aterosklerosis di otak, plak tdk stabil pd srgn 1 -> rekuren shg
pencegahan dgn aspirin dosis rendah, pasien usia tua & riw HT

10. Apa penyebab dan tanda-tanda dari meningitis &?


Meningitis :
Plg byk virus, tp bisa bakteri, parasit, jamur
Demam
Kaku kuduk
Penurunan kesadaran

11. Mengapa fisioterapi pasif dpt mencegah atrofi otot & kontraktur pd pasien ?
Atrofi otot: proses massa otot menjd sedikit akibat tdk dignakan dlm jangka waktu
tertentu
Kontraktur : massa otot mnjd memendek akibat tdk digunakan
Mencegah atrofi & kontraktur dgn mengusahakan otot tetap bergerak
STEP IV : SKEMA

STEP V : LO
 Mahasiswa mampu menjelaskan gangguan kesadaran, trauma SSP, peradangan pada
SSP, gangguan serebrovaskular
 Definisi, epidemiologi dan etiologi, patogenesis & patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis komprehensif, tatalaksana & rehabilitasi, serta prognosis dan komplikasi
 Rehabilitasi medik pada stroke
 Farmakokinetik & farmakodinamik obat yang bekerja pada SSP

KOMA
1. DEFINISI

Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi
petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai ―final common pathway‖ dari gagal
organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak
dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi
dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh2. Dalam hal
menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu
kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma. Terminologi tersebut
bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif,
dengan menggunakan skala koma Glasgow3.

Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif3

A. Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera
(aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari
luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan
waspada.

B. Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, berarti mengantuk, mata


tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat
menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi
terhadap sekitarnya menurun.

C. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan rangsang
nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik
hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.

D. Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara
kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif.

E. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun
tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi
motorik.

Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif


Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal
(V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15.

Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:

E1 tidak membuka mata dengan


rangsang nyeri E2 membuka mata dengan
rangsang nyeri E3 membuka mata dengan
rangsang suara E4 membuka mata spontan
Motorik:

M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri

M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri

M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri

M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran

M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran

M6 reaksi motorik sesuai perintah

Verbal:

V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)

V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)

V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)

V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)


V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

Menentukan penurunan kesadaran pada Anak

Pada Pediatric Coma Scale, dinilai kemampuan pasien untuk memperlihatkan tiga tes
fungsi saraf, yaitu : Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons verbal. Pada
infant face scale diperiksa respons buka mata, respon motorik dan respons muka.

Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga basil tes tersebut (Tabel 1).
Kecuali pada keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/tracheostomi. Pada
respons motorik yang, dipakai lengan yang baik/tidak parese. Kesadaran terbaik 15 SKG dan
terburuk 3 SKG. Koma disetarafkan dengan 8 SKG. Obtundation (somnolen) 13 SKG.
2. ETIOLOGI
Menurut kausa
Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi

a. Gangguan kesadaran pada lesi supratentorial

b. Gangguan kesadaran pada lesi infratentorial

c. Gangguan difus (gangguan metabolik)


Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan-kemungkinan penyebab
koma, model berikut ini dapat dipergunakan di klinik : SEMENITE.

S : Sirkulasi (stroke, penyakit jantung)

E : Ensefalitis (dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik atau


sepsis yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan)

M : Metabolik (hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, dan koma


hepatikum)

E : Elektrolit (diare dan muntah)


N : Neoplasma (tumor otak baik primer ataupun
metastasis)

I : Intoksikasi (berbagai macam obat atau bahan


kimia)

T :Trauma (terutama trauma kapitis : kontusio, komosio, perdarahan epidural,


perdarahan subdural, dan dapat pula trauma andomen dan dada)

E : Epilepsi (pasca serangan grand mal atau pada status epileptikus)

3. PATOFISIOLOGI

Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :

1.Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran.

2.Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran.

Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk
ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system
(ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima
serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on
switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat
mengganggu interaksi ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran.

Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di
bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :

- Lesi supratentorial,
- Lesi subtentorial,

- Proses metabolik.

Koma supratentorial

1. Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang otak tetap
normal. Ini disebabkan proses metabolik.
4. Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di
dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak,
abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya;
terjadilah :

Hemiasi girus singuli,

Hemiasi transtentorial sentral,

Herniasi unkus.

1.Herniasi girus singuli

Hemiasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan


tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.

2.Herniasi transtentorial/sentral

Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang
rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka
menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah
tentorium.

3)Herniasi unkus atau tentorial herniation

Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau
lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis
tengah dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.Ifi.di mesensefalon
ipsilateral, kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.
Koma infratentorial

Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.

1. Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak
pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis.
Misalnya pads stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.

2. Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.

Langsung menekan pons.

Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melaluicelah tentorium dan


menekan tegmentum mesensefalon.

Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnumdan menekan medula


oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan
sebagainya.

Koma metabolik

Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan
kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.

1. Ensefalopati metabolik primer.

Penyakitdegenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel


saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.

2. Ensefalopati metabolik sekunder.

Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang


mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun
keracunan.
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim motorik simetris dan tetap
utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau atropin), juga
utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).
5. PEMERIKSAAN PASIEN KOMA

Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses patologi,
apakah di hemisfer, batang otak atau dikeduanya, dan penyebabnya.

Anamnesis sangat penting tapi jarang bisa didapat.

Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan penyakit


melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir kontak dengan
pasien dengan menanyakan :

1 Kejadian terakhir

2 Trauma

3 Riwayat medis pasien

4 Riwayat psikiatrik

5 Obat-obatatan

6 Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol

Pemeriksaan fisik

Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik :
8. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial dengan
peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.

9. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness ( keracunan
CO), atau kuning

10. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk

11. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi

12. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan serangan

13. kejang.

14. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
h. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi dari
penyebab koma.

Pemeriksaan saraf

1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.

Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang
tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.

2. Derajat kesadaran ditentukan dengan SKG.

3. Pola pemafasan.

a. Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada gangguan


metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di otak dan tidak dapat
menunjukkan tingkat anatomi lesi yang menyebabkan koma.

b. Ataxia dan gasping paling sering dilihat pada lesi pontomeduler.


c. Apneustic breathing : kerusakan pons

d. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar

e. Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat disebabkan oleh
lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan.
4. Posisi kepala dan mata. Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah
lesi dan menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada Iesi di talamus
dan mesensefalon bagian atas, kedua mata melirik ke arah hidung.

5. Funduskopi.

Papil edema menandakan peninggian tekanan intrakranial. Perdarahan


subhyaloid, biasanya menandakan rupture aneurisma atau malformasi arteriovena.

6. Pupil.

Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.

a) Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negatif -- kerusakan mesensefalon


(pusat refleks pupil di mesensefalon).

b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada -- koma
metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.

c) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan n.I1I
oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks
cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan glutethimide.

d) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti infark
atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan pinpoint pupil dan
refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi,
berarti bagian bawah batang otak masih utuh.
7. Gerakan bola mata.

Khas untuk lesi batang otak.

a. Gerakan bola mata spontan.

1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari satu
sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.

2. Retractory nystagmus-- ciri kerusakan tegmentum mesensefalon.


3. Convergence nystagmus -- ciri kerusakan mesensefalon.

4. Ocular bobbing -- ciri kerusakan caudal pontin.

5. Nystagmoid jerking of a single eye -- ciri kerusakan midpontine-lower


pontine.

6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di batang otak.
Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi structural penyebab koma.

b. Gerakan bola mata refleks.


Tes-tes yang lazim dilakukan :

1. Doll’s head maneuver (refleks okulosefalik).

Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural ditingkat
mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik atau barbiturate dapat
menghalangi refleks ini.
2. Tes kalori (refleks okulovestibular).

Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air dingin,
berarti batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak bergerak/tidak
simetris berarti kerusakan struktural mesensefalon-pons. Obat-obat
ototoksik dapat menghalangi refleks ini.
c. Gerakan bola mata saat istirahat.
i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi
hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis

ii. Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :

1. lesi di pons kontralateral hemiparesis

2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis

3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis

iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus
refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud

iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak
menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi
hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik

v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke
arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan
kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.

vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan
suatu psikogenik unresponsive.

8. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube.

9. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5( aferen) dan CN 7


(eferen)

10. Respons motoris.


a) Spontan.

1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi struktural.
Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang multifokal berarti koma
disebabkan proses metabolik.

2. Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor) berartiensefalopati metabolik.

b) Gerakan-gerakan refleks.

Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).


1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi tungkai. Bisa
simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus atau persis di batas
dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons motorik SKG).

2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan dan


ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).

11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi
defisit sensoris.

12. Refleks :

a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris


yang disebabkan lesi struktural

b. Refleks plantar : respon bilateral Babinski’s menunjukkan coma akibat


struktural atau metabolik.

Pemeriksaan Laboratorium

Digunakan untuk mengidentifikasi penyebab ketidaksadaran yang mencakup tes

glukosa darah, elektrolit, amonia serum, nitrogen urea darah (BUN), osmolalitas, kalsium,

masa pembekuan, kandungan keton serum, alkohol, obat-obatan dan analisa gas darah

arteri.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma
karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan dalam
membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :

1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai
terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada
kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat
ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.

3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui
pemeriksaan CT dan LP.

PENGELOLAAN PASIEN KOMA

1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions /
SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.

2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya :

a. Elevasi kepala

b. Intubasi dan hiperventilasi

c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 – 2 mg iv )


d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv

e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau
abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.

3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir
10 mg/kg iv tiap 8 jam

4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon
2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur

Terapi Umum

1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi

2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau
peningkatan TIK

3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube,
hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks

4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan
gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit

5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan
plester

6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100 mg
3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress ulcer
akibat pemberian steroid dan intubasi

7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam

8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur


9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,
penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

Hal yang perlu Dipikirkan

Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada
beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu :

1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ?


2. Apakah jalan napas baik ?

Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang
disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi
karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT)
dengan intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik
dan oksigenasi yang adekuat.

Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan
respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi. Pada
pasien stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 % oksigen
dengan face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.

3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?

Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang


dan dahulu baik medis maupun neurologis.

4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya ?

Orang tua, kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir
kali kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk
menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.

Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan terapi
emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain :

1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi bila


telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS) ataupun
Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang jalur intrravena (iv line)

3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini harus
dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang dapat
ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai
keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)

4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :


 Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum,
kreatinin)

 Hitung darah lengkap

 Analisa gas darah

 Kalsium dan magnesium

 Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)


5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi, tes
fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.

6. Lakukan pemasangan folley catheter

7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen thoraks.

8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan ’dilapangan’ atau bila etiologi
dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :

 Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan pasien


dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut (Wernicke
ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian dekstrose karena
hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin yang berlebihan dan
memperburuk keadaan pasien.

 50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv

 Naloxone (Narcan) 0.4 – 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang disebabkan
intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10 mg.

 Flumazenil (Romazicon) 0.2 – 1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang koma
dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat diberikan hingga 3
mg dan jangan diberikan bila telah terjadi kejang pada pasien, karena
flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.

Perawatan lanjutan (nursing care) :

1. Mempertahankan fungsi sistim kardiovaskular adekuat.

2. Mempertahankan fungsi sistim pernafasan adekuat.

3. Posisi dan kulit, ubah posisi tiap 1-2 jam.

4. Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila situasi telah stabil atau
koma 2-3 hari, baru dimulai tube feeding.

5. Perawatan bowel, mencegah diare; sering memeriksa rektum.


6. Perawatan kandung kemih, three-way catheter dipasang menetap, suing diirigasi,
clamp buka tiap 3-4 jam.
TETANUS

A. DEFINISI

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin spesifik dari
kuman anaerob Clostridium tetani.

B. ETIOLOGI

disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu kuman gram positif, dalam keadaan biasa berbentuk
spora dan suasana anaerob menjadi vegetatif yang memproduksi eksotoksin : neurotoksin
tetanospasmin dan tetanolysmin.

Bentuk spora Clostridium tetani seperti pada tanah, rumput – rumput, kayu, kotoran hewan
dan manusia.

C. MANIFESTASI KLINIS

Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa penurunan kesadaran. Dan awitan penyakit
(waktu dari timbulnya gejala pertama sehingga terjadi kejang) adalah 24 – 72 jam

Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar membuka
mulut lebar – lebar), rhisus sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku buduk, kaku otot perut,
gaya berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme.
Pada keadaan yang lebih berat terjadi epistothonus (posisi cephalic tarsal), pada saat kejang
badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsa kaki saja yang
menyentuh dasar tempat berbaring.

Dapat terjadi spasme diafragma dan otot – otot pernapasan lainnya. Pada saat kejang
penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal hingga subfebris. Sekujur tubuh
berkeringat.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak)
pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya
pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan
pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.

D. Patogenesis dan Patofisiologi

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Pada 60 % dari pasien
tetanus, port d’entre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. juga terjadi melalui uterus
sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium tetani dapat melalui
umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media
atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak
dijumpai luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus.

ksin Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan
untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekoto. Kuman tetanusnya sendiri tetap
tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin
yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat
menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan
menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein
yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf
motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah
mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.
Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama
sekali tidak menyerap.

Karakteristik Penyakit
Kejang – kejang bertambah beram selama tiga hari pertama, menetap selama 5 – 7
hari. Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2 minggu kejang menghilang. Dan
kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.

Stadium Tetanus
Stadium klinis pada anak.
Stadium 1, trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 3, trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium 1 : trisnus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
Stadium 4 : kejang spontan
Tindakan profilaksis

Mendapat IA yang lengkap

Belum IA atau 1 – 5
Jenis Luka sebagian tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun

Mulai atau
melengkapi IA toks.
0,5 cc hingga
Ringan, bersih lengkap – Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc

Berat, bersih,
ATS 1500 IU ATS 1500 IU
atau cenderung Toks. 0,5
tetanus Toks. 0,5 cc cc Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc

Cenderung ATS 1500 IU


tetanus, ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
debrimen
Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
terlambat,m Hingga lengkap Toks. 0,5
atau tidak bersih ABT cc ABT ABT

Keterangan :

ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak – anak dosis ATS = dosis dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani

Penatalaksanaan tetanus
Terdiri atas :
1. Pemberian antitoksin tetanus
2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi

Dosis Orang
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dewasa

Mula – mula 60 – 100 mg IM,


Fenobarbital
kemudian 6 x 30 mg per
(Luminal) oral. Maksimum 200 mg/hari 3 x 100 mg IM

Klorpromazin
4 – 6 mg/kg BB/hari, mula –
(Largactil) mula IM, kemudian per oral 3 x 25 mg IM

Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB


IM, kemudian per oral 1,5 – 4
Diazepam
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6
(Valium) dosis 3 x 10 mg IM

3 x 500 – 100 mg
Klorhidrat – per rectal

Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant) ditambah alat bantu
pernapasan (ventilator).

Komplikasi
pneumonia, karena aspirasi : asfiksi, saat kejang, status konvulsivus, fraktur vertebra, akibat
kejang.
TRAUMA KAPITIS

A. Definisi

Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,


tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang
serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai
hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

B. Klasifikasi CEDERA KEPALA

Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:

1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi
kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut
kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio
atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang
kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).

3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24
jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau
edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai
berikut

- Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak


tulang tengkorak.

- Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan


disertai edema cerebra.

F. Glasgow Coma Seale (GCS)

Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada


tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada
saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala.
Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan
respon membuka mata.

Skala GCS : Membuka mata : Spontan 4

Dengan perintah 3

Dengan Nyeri 2

Tidak berespon 1

Motorik : Dengan Perintah 6

Melokalisasi nyeri 5

Menarik area yang nyeri 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi 2
Tidak berespon 1

Verbal : Berorientasi 5

Bicara membingungkan 4

Kata-kata tidak tepat 3

Suara tidak dapat dimengerti 2

Tidak ada respons 1

E. jenis-jenis cedera kepala

1. Fraktur tengkorak

Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu


menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekauatan yang
ditransmisikan ke dalam jaringan otak. 2 bentuk fraktur ini : fraktur garis
(linier) yang umum terjadi disebabkan oleh pemberian kekuatan yang
amat berlebih terhadap luas area tengkorak tersebut dan fraktur tengkorak
seperti batang tulang frontal atau temporil. Masalah ini bisa menjadi
cukup serius karena les dapat keluar melalui fraktur ini.

2. Cedera otak dan gegar otak

Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak


bermakna . Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai
derajat tertentu. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai
derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel selebral membutuhkan suplay
darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak
belakang dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang
mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan keruskan neuron tidak
dapat mengalami regenerasi.

Gegar otak ini merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera


otak tengah yang menyebar ganguan neuntosis sementara dan dapat pulih
tanpa ada kehilangan kesadaran pasien mungkin mengalami disenenbisi
ringan,pusing ganguan memori sementara ,kurang konsentrasi ,amnesia
rehogate,dan pasien sembuh cepat.

Cedera otak serius dapat terjadi yang menyebabkan


kontusio,laserasi dan hemoragi.

3. Komosio serebral

Adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan


struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri
dalam waktu yang berakhir selama beberap detik sampai beberapa
menit,getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan amnesia atau
disonentasi.

4. Kontusio cerebral

Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar,


dengan kemungkinan adanya daerah hemorasi pada subtansi otak. Dapat
menimbulkan edema cerebral 2-3 hari post truma.Akibatnya dapat
menimbulkan peningkatan TIK dan meningkatkan mortabilitas (45%).

5. Hematuma cerebral ( Hematuma ekstradural atau nemorogi )

Setelah cedera kepala,darah berkumpul di dalam ruang epidural


(ekstradural) diantara tengkorak dura,keadaan ini sering diakibatkan dari
fraktur hilang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus
atau rusak (laserasi),dimana arteri ini benda diantara dura dan tengkorak
daerah infestor menuju bagian tipis tulang temporal.Hemorogi karena
arteri ini dapat menyebabkan penekanan pada otak.

6. Hemotoma subdural

Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling sering


disebabkan oleh truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan pendarahan
dengan serius dan aneusrisma.Itemorogi subdural lebih sering terjadi pada
vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang
menjembatani ruang subdural. Dapat terjadi akut, subakut atau kronik.

- hemotoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor

yang meliputi kontusio atau lasersi.

- Hemotoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat


dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran
setelah truma kepala.

- Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala


minor,terjadi pada lansia.

7. Hemotuma subaradinoid

Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara


lapisan amchnoid dengan diameter. Seringkali terjadi karena adanya
vena yang ada di daerah tersebut terluka. Sering kali bersifat kronik.

8. Hemorasi infracerebral.

Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan


daerah 25ml atau lebih pada parenkim otak. Penyebabanya seringkali
karena adanya infrasi fraktur, gerakan akselarasi dan deseterasi yang
tiba-tiba.

F. MANIFESTASI KLINIS.

2. Nyeri yang menetap atau setempat.

3. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.

4. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea
serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minorea
serebrospiral (les keluar dari hidung).
5. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.

6. Penurunan kesadaran.

7. Pusing / berkunang-kunang. Absorbsi cepat les dan penurunan volume


intravaskuler

9. Peningkatan TIK

10. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas

11. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasa


G. PENATALAKSANAAN

Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat
luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk
mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum
laserasi ditutup.

PEDOMAN RESUSITASI DAN PENILAIAN AWAL

3. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;
lepaskan gigi palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgn
memasang collar cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika
cedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.

4. Menilai pernafasan ; tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika


tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan
atasi cedera dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks.
Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2minimum 95%. Jika
jalan nafas pasien tidak terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 yg
adekuat ( Pa O2 >95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%)
atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli
anestesi

5. Menilai sirkulasi ; otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan semua


perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intra
abdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan darah
pasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan koloid
sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.

6. Obati kejang ; Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-
lahan dan dpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan
fenitoin 15mg/kgBB
6. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB

7. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,lakukan foto


tulang belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolar
servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh keservikal C1-C7
normal

8. Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :

- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairan
isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan
hipotonis dan larutan ini tdk menambah edema cerebri

- Lakukan pemeriksaan ; Ht,periksa darah perifer lengkap,trombosit, kimia


darah

- Lakukan CT scan

1. Hematoma epidural

2. Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel

3. Kontusio dan perdarahan jaringan otak

4. Edema cerebri

5. Pergeseran garis tengah

6. Fraktur kranium

15. Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda herniasi
lakukan :

- Elevasikepala 30

- Hiperventilasi

- Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit.Dosis


ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula
setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam I

- Pasang kateter foley


- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom epidural
besar,hematom sub dural,cedera kepala terbuka,fraktur impresi >1 diplo)
STROKE

A. DEFINISI
Menurut WHO stroke didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih ataupun menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler.1

Gambar 1. Patogenesis stroke

B. EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu dan kematian nomor dua di dunia.
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan
dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.7,8
Menurut WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit stroke pada tahun
2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau
hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Sebanyak 75% penderita stroke
menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan. Di Indonesia, penyakit ini menduduki posisi
ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5% penderita stroke meninggal dunia.
Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh
total dari serangan stroke dan kecacatan.9
C. KLASIFIKASI STROKE
1. Berdasarkan Waktu
a. TIA (Trancient Ischemic Attack)
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah
di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.10
b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Gangguan neurologi yang timbul dan akan menghilang secara sempurna dalam
waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.10
c. Stroke in Evolution (Progressive Stroke)
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul
semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa
jam atau beberapa hari.10
d. Completed Stroke
Gangguan neurologi yang timbul bersifat menetap atau permanen.10

2. Berdasarkan Etiologi
a. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah suatu kondisi yang terjadi terutama disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah di otak. Pembuluh darah pecah dan kemudian melepaskan darah ke otak.
Setelah pecahnya arteri, pembuluh darah tidak mampu membawa darah dan oksigen ke otak
dan menyebabkan sel mati. Alasan lain yang dapat menyebabkan strok hemoragik adalah
darah yang mengalir ke otak akibat pecahnya pembuluh darah tersebut membentuk gumpalan
di dalam otak dan menyebabkan kerusakan jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan fungsi otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.
Umumnya terjadi pada saat melakukan aktivitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat.
Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi
yang tidak terkontrol. Stroke hemoragik terbagi menjadi intracerebral hemorrhage (ICH) dan
subarachnoid hemorrhage (SAH).11

b. Stroke Non Hemoragik


Stroke non hemoragik terjadi akibat penutupan aliran darah ke sebagian otak tertentu.
Aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding
pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat di sepanjang jalur pembuluh
darah arteri yang menuju ke otak, maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah
iskemik. Perubahan ini dimulai dari tingkat seluler berupa perubahan fungsi dan struktur sel
yang diikuti dengan kerusakan fungsi dan integritas susunan sel, selanjutnya akan berakhir
dengan kematian neuron. Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun trombus pembuluh
darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi
perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia
jaringan otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.11
Klasifikasi Oxford Community Stroke Project (OCSP) juga dikenal sebagai Bamford,
membaginya berdasarkan gejala awal dan episode stroke yaitu total anterior circulation
infarct (TACI), partial anterior circulation infarct (PACI), lacunar infarct (LACI), dan
posterior circulation infarct (POCI).

D. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap
serangan stroke. Faktor resiko umumnya dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu: 11,12
1. Tidak dapat dimodifikasi: Umur, jenis kelamin, ras dan factor genetik.
2. Dapat dimodifikasi: diabetes melitus, penyakit jantung, inaktivitas fisik, obesitas,
peningkatan kolesterol dan hipertensi.

E. PATOGENESIS
1. Stroke Non Hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh trombus atau
embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area trombus menjadi
berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi
infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri
serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia
yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologi fokal. Perdarahan otak dapat
disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.3
2. Stroke Hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau
ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intrakranial yang seharusnya
konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh
akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) yang bila berlanjut akan
menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir
ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh
darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau
tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.3

Gambar 2. Stroke hemoragik dan stroke iskemik


F. MANIFESTASI KLINIK
Pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada saat melakukan aktivitas, namun juga
dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling
banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol, serta terdapat nyeri kepala dan terdapat
muntah.
Sedangkan pada stroke non hemoragik umumnya terjadi setelah beristirahat cukup
lama atau bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, tidak ada muntah dan tidak terdapat nyeri
kepala, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan
otak serta sering terdapat gangguan bicara. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83%
mengalami stroke jenis ini.13

G. DIAGNOSIS
Diagnosis klinik stroke dibuat berdasarkan batasan stroke, dilakukan pemeriksaan
klinis yang teliti, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan lokasi kerusakan
pada otak. Untuk memperkuat diagnosis biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan. Kedua
pemeriksaan tersebut juga bisa membantu menentukan penyebab dari stroke, apakah
perdarahan atau tumor otak.7
H. DIAGNOSIS TOPIK
Diagnosis topik dapat ditentukan dari gejala yang timbul, antara lain dengan cara
membedakan letak lesi apakah kortikal atau subkortikal (kapsula interna, ganglia basalis,
thalamus), batang otak dan medula spinalis. 14
1. Gejala klinis pada topik di kortikal
a. Afasia
b. Wajah dan lengan lebih lumpuh atau tungkai lebih lumpuh
c. Kejang
d. Gangguan sensoris kortikal
e. Deviasi mata ke daerah lesi

2. Gejala klinis pada topik subkortikal


a. Wajah, lengan dan tungkai mengalami kelumpuhan yang sama berat
b. Gangguan sensorik
c. Sikap distonik
3. Gejala klinis pada topik di batang otak
a. Hemiplegi alternans
b. Nistagmus
c. Gangguan pendengaran
d. Tanda serebelar
e. Gangguan sensorik wajah ipsilateral dan pada tubuh kontralateral
4. Gejala klinis pada topik di medulla spinalis
a. Gangguan sensorik setinggi lesi
b. Gangguan miksi dan defekasi
c. Wajah tidak ada kelainan
d. Brown Sequard syndrome

I. PROGRAM REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA STROKE


Perhatian utama rehabilitasi adalah evaluasi potensi perkembangan pasien dengan
rehabilitasi yang intensif. Tujuan dari rehabilitasi harus realistis dan fleksibel sebab status
neurologis dari pasien dan derajat kelainan biasanya berubah seiring waktu. Hal terbaik
didapatkan jika pasien dan keluarga berpartisipasi dalam mencapai tujuan rehabilitasi.12
1. Fase awal
Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi yang
tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum memungkinkan
dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan
lingkup gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar dimulai penanganan
masalah emosional.14
2. Fase lanjutan
Tujuannya adalah untuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan
aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada waktu penderita secara medik
telah stabil. Biasanya penderita dengan stroke trombotik atau embolik, biasanya mobilisasi
dimulai pada 2-3 hari setelah stroke. Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi
dimulai 10-15 hari setelah stroke. Program pada fase ini meliputi: 15,16
a. Fisioterapi
1) Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2 ke bawah).
2) Diberikan terapi panas superficial (infrared) untuk melemaskan otot.
3) Latihan lingkup gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif tergantung dari
kekuatan otot.
4) Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
5) Latihan fasilitasi atau reedukasi otot.
6) Latihan mobilisasi.

Gambar 3. terapi panas superficial (infrared)

Gambar 4. Latihan gerak sendi


Gambar 5. Latihan untuk menguatkan otot pada pasien stroke

Gambar 6. Latihan untuk menguatkan otot tangan dan jari pada stroke

b. Okupasi Terapi
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari (AKS), meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang
terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan
satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan
pemakaian alat-alat yang disesuaikan.
Gambar 7. Terapi okupasi pada penderita stroke

c. Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Ini dapat
ditangani oleh speech therapist dengan cara:
1) Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan napas, menelan, meniup,
latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
2) Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan mengucapkan kata-
kata.
3) Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi mengucapkan kata-
kata.
4) Pelaksana terapi adalah tim medic dan keluarga.

Gambar 8. Terapi bicara pada penderita stroke

d. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam membantu
transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan antara lain: arm sling,
walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up splint, ankle foot
orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic (KAFO).
Gambar 9. Pemakaian kursi roda pada penderita stroke

e. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui serial fase
psikologis, yaitu: fase syok, fase penolakan, fase penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian
penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami
secara lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang telah lewat.
Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.

f. Sosial Medik danVokasional


Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara keluarga, keterangan
tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta keadaan rumah
penderita.17
REHABILITASI STROKE

Rehabilitasi : Pemulihan ke bentuk atau fungsi yang normal setelah terjadi luka atau
sakit, atau pemulihan pasien yang sakit atau cedera pada tingkat fungsional optimal di rumah
dan masyarakat, dalam hubungan dengan aktivitas fisik, psikososial, kerja dan rekreasi.

Tujuan Rehabilitasi Stroke ( WHO ) :


1. Memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif dan fungsi lain yang terganggu.
2. Readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan hubungan interpersonal dan
aktivitas sosial.
3. Dapat melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari

Prinsip Rehabilitasi Pasca Stroke :


• Dimulai dengan latihan aktivitas yang ringan.
• Bertahap menjadi latihan aktivitas yang lebih berat.
• Aktivitas latihan bergantung kebutuhan pasien.
• Repetisi / diulang.

TUJUAN AKHIR REHABILITASI STROKE  KEMANDIRIAN

KEMANDIRIAN :
1. MANDIRI ( INDEPENDENT ) : Penderita dapat melaksanakan AKS tampa
bantuan dari seseorang , baik berupa instruksi ( lisan ) maupun bantuan secara fisik.
2. PERLU BANTUAN : Penderita memerlukan bantuan seseorang atau alat bantu,
bantuan bisa berderajat minimal, sedang atau maksimal.
3. TERGANTUNG : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas fungsional, meskipun
dengan alat-alat bantu. Untuk melakukan AKS mutlak membutuhkan bantuan orang

Program :
1. Activity Daily Living ( ADL)
- Komunikasi : menulis, mengetik, menelepon, alat komunikasi khusus, dll
- Self care : berpakaian, makan, mandi, toilet, merawat diri, dll
- Perangkat keras lingkungan : kunci, kran, saklar, jendela, pintu, dll
- Mobilitas : mobilitas tempat tidur, kursi roda, naik tangga, berjalan, dll
2. Pendekatan multidisiplin komprehensif
- Dokter spesialis rehabilitasi medic
- Fisioterapi
Aktifitas ditempat tidur : posisioning, alih baring, latihan pasif lingkup
gerak sendi.
Mobilisasi : latihan bangun sendiri, duduk, transfer , berdiri & berjalan ,
latihan beban ringan, olah raga.
Terapi modalitas : diathermi
- Terapi okupasi
Latihan dg aktifitas sesuai tujuan program .
 Latihan melakukan AKS sendiri atau perlu bantuan ; memakai baju,
celana, mandi dll.
 Latihan melempar bola :
- lingkup gerak sendi bahu
- latihan keseimbangan berdiri
- latihan kekuatan lengan, dll
Terapi suportif : menghasilkan suatu karya. Misalnya membuat anyaman :
latihan konsentrasi, latihan koordinasi dan kekuatan otot jari , latihan ketahanan
duduk, memori.
- Ortotik prostetik
Pembuatan alat bantu guna mendukung aktifitas penderita stroke,
mencegah spastik
yang berlanjut. Perlu pertimbangan khusus : ringan, sederhana, mudah
digunakan.
Ex : Tripot, quadripot, AFO, cock up splint, dll
- Psikologi
- Terapi wicara
- Pekerja social
- Perawat
- Pasien dan keluarganya

PERDARAHAN SUB ARACHNOID

Perdarahan subaraknoid dapat diartikan sebagai proses pecahnya pembuluh darah di

ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid). Prevalensi terjadinya perdarahan

subaraknoid dapat mencapai hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Perdarahan

subarakhnoid memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60

tahun untuk perempuan. Lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:2.1

DEFINISI Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada

rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid

ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara

lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian

selaput yang membungkus otak (meninges).

ETIOLOGI Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid

adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa

(MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti:
1. Aneurisma sakuler (berry)

bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis

interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan

basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur

disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterior

dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien

mengalami dipopia).

2. Aneurisma fusiformis

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut aneurisma

fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri karotis

interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat

disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada

arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis

dapat mempercepat pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya.

Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan

pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis

(seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.

3. Aneurisma mikotik

Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya terdiri

dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi.

Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini jarang

menyebabkan perdarahan subarachnoid.Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly

vasuler yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan

oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa
melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung

tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan

melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri. Pembuluh

darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang

terjadi paada aneurisma. MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat.

MAV yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.

EPIDEMIOLOGI Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus

GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul

pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah MAV (malformasi

arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada wanita.2

PATOFISIOLOGI Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral

utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam

sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans

anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam

sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri basilar

ke arterie otak posterior.

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa,

terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture tidak

dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang

relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap

stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan

disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan

kolagen berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan

kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung

jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture menjadi rendah.4 Meskipun
masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya

menjadi ukuran minimal pada saat ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur

cenderung lebih besar daripada aneurisma yang tidak rupture.4 Aneurisma yang pecah

Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam kehidupan. Hanya 20%

dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada

faktor predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin

sehari-hari, dan aktivitas berat.4 Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika

dianamnesis pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu

sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba di

rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap

ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture

dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian pertama. Kematian

terjadi terkait perdarahan kedua hampir 70%.

MANIFESTASI KLINIS

Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi : 1.

Nyeri kepala yang hebat dan mendadak, 2. Hilangnya kesadaran, 3. Fotofobia 4.

Meningismus, 5. Mual dan muntah. Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis

yang hebat dan mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya

tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya.

Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi

sebelum terjadinya perdarahan yang hebat.5 Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri

kepala yang mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala

disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami

serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah)

dapat menimbulkan tanda dan gejala


sebagai berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri wajah,

nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi. Aneurisma berasal dari arteri komunikan

anterior dapat menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala

di daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis

okulomotorius, defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat.

Aneurisma pada arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan

fistula karotiko-kavernosus, dapat menimbbulkan sindrom sinus kavernosus.Aneurisma pada

arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan fokal, atau rasa baal.

Aneurisma pada bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis okulomotorius.Hasil

pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi perdarahan. Pecahnya

aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan hematom subdural,

intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda kklinis dapat bervariasi mulai dari

meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma. Semnetara itu,

reflek Babinski positif bilateral. Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai

koma, biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari

kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu

dicurigai adanya hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya demensia

dan labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari

pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior. Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi

sebagai akibat dari a) kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah

yang keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus seringkali

terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya

perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat patognomik untuk PSA.

Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas atau besar,

atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya vasospasme. Perdarahan
dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-

aksial. ]Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita PSA.

Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang

terpapar darah akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih

lama lagi.

DIAGNOSIS

Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar antara 23% hingga

53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu dievaluasi lebih cermat.

Anamnesis yang cermat mengarahkan untuk mendiagnosis PSA. Maka dari itu faktor resiko

terjadinya PSA perlu diperhatikan seperti pada tabel berikut.Bisa dimodifikasi Tidak bisa

dimodifikasi Hipertensi Riwayat pernah menderita PSA Perokok (masih atau riwayat)

Riwayat keluarga dengan PSA Konsumsi alcohol Penderita atau riwayat keluarga menderita

polikistik renal Tingkat pendidikan rendah

BMI rendah Konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya Bekerja keras terlalu

ekstrim pada 2jam sebelum onset

Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti yang dijelaskan

sebelumnya. Untuk menunjang diagnosis, dapat dilakukan pemeriksan CT Scan Pemeriksaan

CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena sensitivitasnya tinggi dan mampu

menentukan lokasi perdarahan lebih

akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah

serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah serangan.


Pungsi Lumbal Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic

selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk

menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung

diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat

pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil

kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia adalah

warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit, terutama

oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal. Angiografi Digital-substraction

cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT

angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih

tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan

karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologic yang

negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak

memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya

malformasi vascular di otak maupun batang otak. Adapun parameter klinis yang dapat

dijadikan acuan untuk intervensi dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang

bisa digunakan.

Tabel Skala Hunt dan Hess Grade Gambaran Klinis

I Asimtomatik atau sakit kepala ringan dan iritasi meningeal

II Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat seumur hidupnya),

meningismus, deficit saraf kranial (paresis nervus abdusen sering ditemukan)

III Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan


IV Stupor, deficit neurologis berat (misalnya, hemiparesis), manifestasi otonom

V Koma, desebrasi

Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk

mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah di kepala pada

pemeriksaan CT scan.

Tabel Skor Fisher

1 Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan CT scan kepala 1 Tidak terdeteksi adanya darah

2 Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah ukuran <1 mm, tidak ada jendalan

3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical terdapat darah tebal dengan ukuran >1 mm

4 Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara difus atau tidak ada darah

DIAGNOSIS BANDING

Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan stroke hemoragik

akibat perdarahan subarakhnoid, yaitu4 : 1. Migraine 2. Cluster headache 3. Paroxysmal

hemicranial 4. Non-hemorrhagic stroke

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah identifikasi

sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau tindakan

intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasive terhadap central

venous pressure dan atau pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah

arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi

pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien

harus istirahat total. PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus

diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar

30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial

seperti: Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara signifikan

(50% dalam 30 menit pemberian). Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan

tekanan intracranial Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan

intracranial masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain. Setelah itu

tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan pengendalian

vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus

dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti

labetalol dan nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-

obat anti hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg. Setelah aneurisma dapat

diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum ada

kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesic seringkali diperlukan, obat obat narkotika dapat

diberikan berdasarkan indikasi. Dua factor penting yang dihubungkan dengan luaran buruk

adalah hiperglikemia dan hipertermia, karena itu keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis

terhadap thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan

peralatan kompresif sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan setlah dilakukan

penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat mengurangi risiko


komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin oral. 1,6 Hasil penelitian terakhir yang

dilakukan mengemukakan bahwa penambahan obat cilostazol oral pada microsurgical

clipping dapat mencegah kejadian vasospasme serebral dengan menurunkan resikoresiko

yang memperparah kejadian vasospasme serebral.

KOMPLIKASI

Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan

subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis

fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama,

yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas. 1 Perdarahan ulang mempunyai

mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan

aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin,

norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi).

Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21

hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg

dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200220

mmHg. 1 Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah

hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.

PROGNOSIS

Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa

sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila

tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi bedah

maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama,
dan 60% dalam 2 bulan pertama. Hal-hal yang dapat memperburuk prognosis dapat dilihat

pada tabel Sistem Ogilvy dan Carter berikut ini.

Tabel Sistem Ogilvy dan Carter Skor Keterangan 1 Nilai Hunt dan Hess > III 1 Skor

skala Fisher > 2 1 Ukurn aneurisma > 10 mm 1 Usia pasien > 50 tahun 1 Lesi pada sirkulasi

posterior berukuran besar (≥ 25mm)

Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan Carter, yaitu skor 5

mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0 mempunyai prognosis lebih baik. Pendapat

lain mengemukakan bahwa prognosis pasien-pasien PSA tergantung lokasi dan jumlah

perdarahan serta ada tidaknya komplikasi yang menyertai. Disamping itu usia tua dan gejala-

gejala yang berat memperburuk prognosis. Seseorang dapat sembuh sempurna setelah

pengobatan tapi beberapa orang juga meninggal walaupun sudah menjalani treatment.

Sedangkan prognosis yang baik dapat dicapai jika pasien-pasien ditangani secara agresif

seperti resusitasi preoperative yang agresif, tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan

tekanan intracranial dan

vasospasme yang agresif serta perawatan intensif perioperative dengan fasilitas dan

tenaga medis yang mendukung.9 Adapun beberapa penanganan yang dapat dilakukan sendiri

di rumah pasca pengobatan, seperti: 1. Mengkonsumsi obat secara teratur 2. Rajin

memeriksakan tekanan darah 3. Mengkonsumsi makanan yang sehat. Minum bnyak cairan 5.

Menghindari kebiasan merokok.

Anda mungkin juga menyukai