MODUL I
BLOK 3.3 : NEUROPSIKIATRI
Disusun oleh :
Kelompok 20 D
Millenia Calista
Ghina Zartin
Yuliana Eksandra
Khoirunnisa Puttri
Turfani Haffifa
Jian Hambali
Muhammad Fadli Robby
Lastri Daniati
Dosen Tutorial : dr. Afdal, Sp.A
PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
STEP I : TERMINOLOGI
1. Delirium : penurunan kesadaran disertai peningkatan abN psikomotor & siklus tidur yg
terganggu, pasien tampak gelisah, kacau, disorientasi, berteriak & meronta2
2. Kesadaran soporus : keadaan mengantuk yg dalam dimana pasien pasien bisa
dibangunkan dgn rangsangan kuat & nyeri tp tdk bisa bangun sempurna & tdk dpt
memberikan jawaban yg baik
3. GCS : Glasgow Coma Scale, sebuah skoring yg digunakan utk menghituhng tingkat
kesadaran secr kuantitaif, tdd 3 komponen : E ( Eye opening), V ( verbal response), M
(Motor response)
4. Kaku kuduk : salah 1 tanda rangsang meningeal dimana pasien dlm keadaan terbaring
tdk dpt memfleksikan leher dgn max shg dagu tdk dpt mencapai dada
5. Brudzinski : salah 1 gejala iritasi meningeal dimana fleksi pasif dr 1 kaki -> fleksi kaki
yg berlawanan
6. Kerniq : Pd pasien disuruh berbaring, paha difleksi pd persendian panggul sampai
membentuk susdut 90, setelah itu tungkai bawah diekstensikan pd persendian lutut dgn
sudut 135
7. Lateralisasi : adanya ketdksamaan neurologis antara sisi kiri dgn sisi kanan tubuh yg
ditandai berupa hemiparesis/plegi, pupil isokor, & reflek patologis 1 sisi
8. Pupil isokor : keadaan dimana kedua pupil sama besar & bentuknya jg sama
9. Funduskopi : px yg dilakukan d struktur belakang mata trmsk retina utk memeriksa
adanya peny mata
10. Pendarahan subhyaloid : Perdarahan pd retina karena pecahnya/ aneurisma pd A.
Anterior / karotis yg disebabkan penigkatan mendadak TIK
11. Refleks fisiologis : reflex yg timbul pd tubuh setelah diberikan rangsangan tertentu yg
berisfat N
12. Hemiparesis dupleks : kondisi dimana terjdnya pd sebelah / sisi tubuh, trjd dlm waktu yg
tdk bersamaan
13. Meningitis : infeksi pd ruang subaraknoid, infeksi yg menyerang meningen/selaput
pelindung yg menyelimuti otak & saraf tlg belakang
14. Kontusio Serebri : memar otak, yaitu yg menimbulkan lesi perdrahan interstisial pd jar.
otak tanpa terganggunya kontunuitas jr otak -> ggn neurologis
15. Fisioterapi pasif : proses merehabilitasi agar terhindar cacat fisik melalui serangkaian
pencegahan, D, serta penangan utk menangani ggn fisik pd tubuh akiba cidera / penyakit
16. Tekanan intrakranial : jumlah total tekanan yg tdd volume jar otak, volume darah
intrakranial & cairan cerebrospinalis
17. Kontraktur : hilang / kurangnya lingkup gerak sendi pasif atau aktif karena keterbatasan
sendi & fibrosis jar penyokong kulit, proses trjdnya pemendekan dr tendon otot/ sendi
akibat tdk digunakan dlm jangka waktu lama -> keterbatasan gerak
4. Mengapa Zardi sering mengeluh sakit kepala namun tidak pernah sampai kejang ?
Skit kepala : symptom pd meningitis
Kejang : kel jar otak
Obat :
Perdarahan subaraknoid : peingkatan TIK -> ditangani secepatnya
Diberi Manitol, diuresis osmotic, 15-30 menit, efek dlm 15 jam
Hipertonik salin : bisa diberikan pada pasien ggl ginjal, dimonitor ketat tiap 2-4 jam
ABCS pastikan N
Oksigenasi
9. Adakah hubungan antara hipertensi dan serangan stroke kedua dengan hemiparesis duplex
?
Etio stroke : akibat aterosklerosis di otak, plak tdk stabil pd srgn 1 -> rekuren shg
pencegahan dgn aspirin dosis rendah, pasien usia tua & riw HT
11. Mengapa fisioterapi pasif dpt mencegah atrofi otot & kontraktur pd pasien ?
Atrofi otot: proses massa otot menjd sedikit akibat tdk dignakan dlm jangka waktu
tertentu
Kontraktur : massa otot mnjd memendek akibat tdk digunakan
Mencegah atrofi & kontraktur dgn mengusahakan otot tetap bergerak
STEP IV : SKEMA
STEP V : LO
Mahasiswa mampu menjelaskan gangguan kesadaran, trauma SSP, peradangan pada
SSP, gangguan serebrovaskular
Definisi, epidemiologi dan etiologi, patogenesis & patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis komprehensif, tatalaksana & rehabilitasi, serta prognosis dan komplikasi
Rehabilitasi medik pada stroke
Farmakokinetik & farmakodinamik obat yang bekerja pada SSP
KOMA
1. DEFINISI
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi
petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai ―final common pathway‖ dari gagal
organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak
dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi
dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh2. Dalam hal
menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu
kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma. Terminologi tersebut
bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif,
dengan menggunakan skala koma Glasgow3.
A. Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera
(aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari
luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan
waspada.
C. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan rangsang
nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik
hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
D. Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara
kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif.
E. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun
tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi
motorik.
Verbal:
Pada Pediatric Coma Scale, dinilai kemampuan pasien untuk memperlihatkan tiga tes
fungsi saraf, yaitu : Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons verbal. Pada
infant face scale diperiksa respons buka mata, respon motorik dan respons muka.
Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga basil tes tersebut (Tabel 1).
Kecuali pada keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/tracheostomi. Pada
respons motorik yang, dipakai lengan yang baik/tidak parese. Kesadaran terbaik 15 SKG dan
terburuk 3 SKG. Koma disetarafkan dengan 8 SKG. Obtundation (somnolen) 13 SKG.
2. ETIOLOGI
Menurut kausa
Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi
3. PATOFISIOLOGI
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk
ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system
(ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima
serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on
switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat
mengganggu interaksi ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran.
Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di
bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :
- Lesi supratentorial,
- Lesi subtentorial,
- Proses metabolik.
Koma supratentorial
1. Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang otak tetap
normal. Ini disebabkan proses metabolik.
4. Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di
dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak,
abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya;
terjadilah :
Herniasi unkus.
2.Herniasi transtentorial/sentral
Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang
rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka
menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah
tentorium.
Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau
lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis
tengah dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.Ifi.di mesensefalon
ipsilateral, kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.
Koma infratentorial
1. Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak
pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis.
Misalnya pads stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.
Koma metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan
kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses patologi,
apakah di hemisfer, batang otak atau dikeduanya, dan penyebabnya.
1 Kejadian terakhir
2 Trauma
4 Riwayat psikiatrik
5 Obat-obatatan
Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik :
8. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial dengan
peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.
9. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness ( keracunan
CO), atau kuning
10. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
12. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan serangan
13. kejang.
14. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
h. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi dari
penyebab koma.
Pemeriksaan saraf
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang
tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.
3. Pola pemafasan.
e. Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat disebabkan oleh
lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan.
4. Posisi kepala dan mata. Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah
lesi dan menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada Iesi di talamus
dan mesensefalon bagian atas, kedua mata melirik ke arah hidung.
5. Funduskopi.
6. Pupil.
b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada -- koma
metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.
c) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan n.I1I
oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks
cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan glutethimide.
d) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti infark
atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan pinpoint pupil dan
refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi,
berarti bagian bawah batang otak masih utuh.
7. Gerakan bola mata.
1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari satu
sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.
6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di batang otak.
Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi structural penyebab koma.
Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural ditingkat
mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik atau barbiturate dapat
menghalangi refleks ini.
2. Tes kalori (refleks okulovestibular).
Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air dingin,
berarti batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak bergerak/tidak
simetris berarti kerusakan struktural mesensefalon-pons. Obat-obat
ototoksik dapat menghalangi refleks ini.
c. Gerakan bola mata saat istirahat.
i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi
hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis
iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus
refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud
iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak
menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi
hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik
v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke
arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan
kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.
vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan
suatu psikogenik unresponsive.
1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi struktural.
Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang multifokal berarti koma
disebabkan proses metabolik.
b) Gerakan-gerakan refleks.
11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi
defisit sensoris.
12. Refleks :
Pemeriksaan Laboratorium
glukosa darah, elektrolit, amonia serum, nitrogen urea darah (BUN), osmolalitas, kalsium,
masa pembekuan, kandungan keton serum, alkohol, obat-obatan dan analisa gas darah
arteri.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma
karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan dalam
membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai
terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada
kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat
ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui
pemeriksaan CT dan LP.
1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions /
SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
a. Elevasi kepala
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau
abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir
10 mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon
2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur
Terapi Umum
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau
peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube,
hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan
gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan
plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100 mg
3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress ulcer
akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada
beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu :
Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang
disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi
karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT)
dengan intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik
dan oksigenasi yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan
respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi. Pada
pasien stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 % oksigen
dengan face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?
Orang tua, kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir
kali kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk
menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan terapi
emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain :
3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini harus
dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang dapat
ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai
keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)
8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan ’dilapangan’ atau bila etiologi
dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
4. Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila situasi telah stabil atau
koma 2-3 hari, baru dimulai tube feeding.
A. DEFINISI
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin spesifik dari
kuman anaerob Clostridium tetani.
B. ETIOLOGI
disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu kuman gram positif, dalam keadaan biasa berbentuk
spora dan suasana anaerob menjadi vegetatif yang memproduksi eksotoksin : neurotoksin
tetanospasmin dan tetanolysmin.
Bentuk spora Clostridium tetani seperti pada tanah, rumput – rumput, kayu, kotoran hewan
dan manusia.
C. MANIFESTASI KLINIS
Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa penurunan kesadaran. Dan awitan penyakit
(waktu dari timbulnya gejala pertama sehingga terjadi kejang) adalah 24 – 72 jam
Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar membuka
mulut lebar – lebar), rhisus sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku buduk, kaku otot perut,
gaya berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme.
Pada keadaan yang lebih berat terjadi epistothonus (posisi cephalic tarsal), pada saat kejang
badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsa kaki saja yang
menyentuh dasar tempat berbaring.
Dapat terjadi spasme diafragma dan otot – otot pernapasan lainnya. Pada saat kejang
penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal hingga subfebris. Sekujur tubuh
berkeringat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak)
pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya
pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan
pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Pada 60 % dari pasien
tetanus, port d’entre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. juga terjadi melalui uterus
sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium tetani dapat melalui
umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media
atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak
dijumpai luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus.
ksin Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan
untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekoto. Kuman tetanusnya sendiri tetap
tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin
yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat
menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan
menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein
yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf
motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah
mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.
Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama
sekali tidak menyerap.
Karakteristik Penyakit
Kejang – kejang bertambah beram selama tiga hari pertama, menetap selama 5 – 7
hari. Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2 minggu kejang menghilang. Dan
kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.
Stadium Tetanus
Stadium klinis pada anak.
Stadium 1, trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 3, trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium 1 : trisnus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
Stadium 4 : kejang spontan
Tindakan profilaksis
Belum IA atau 1 – 5
Jenis Luka sebagian tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun
Mulai atau
melengkapi IA toks.
0,5 cc hingga
Ringan, bersih lengkap – Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
Berat, bersih,
ATS 1500 IU ATS 1500 IU
atau cenderung Toks. 0,5
tetanus Toks. 0,5 cc cc Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak – anak dosis ATS = dosis dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani
Penatalaksanaan tetanus
Terdiri atas :
1. Pemberian antitoksin tetanus
2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Dosis Orang
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dewasa
Klorpromazin
4 – 6 mg/kg BB/hari, mula –
(Largactil) mula IM, kemudian per oral 3 x 25 mg IM
3 x 500 – 100 mg
Klorhidrat – per rectal
Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant) ditambah alat bantu
pernapasan (ventilator).
Komplikasi
pneumonia, karena aspirasi : asfiksi, saat kejang, status konvulsivus, fraktur vertebra, akibat
kejang.
TRAUMA KAPITIS
A. Definisi
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi
kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut
kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio
atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang
kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24
jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau
edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai
berikut
Dengan perintah 3
Dengan Nyeri 2
Tidak berespon 1
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak berespon 1
Verbal : Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
1. Fraktur tengkorak
3. Komosio serebral
4. Kontusio cerebral
6. Hemotoma subdural
7. Hemotuma subaradinoid
8. Hemorasi infracerebral.
F. MANIFESTASI KLINIS.
4. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea
serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minorea
serebrospiral (les keluar dari hidung).
5. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
6. Penurunan kesadaran.
9. Peningkatan TIK
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat
luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk
mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum
laserasi ditutup.
3. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;
lepaskan gigi palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgn
memasang collar cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika
cedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.
6. Obati kejang ; Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-
lahan dan dpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan
fenitoin 15mg/kgBB
6. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB
- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairan
isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan
hipotonis dan larutan ini tdk menambah edema cerebri
- Lakukan CT scan
1. Hematoma epidural
4. Edema cerebri
6. Fraktur kranium
15. Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda herniasi
lakukan :
- Elevasikepala 30
- Hiperventilasi
A. DEFINISI
Menurut WHO stroke didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih ataupun menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler.1
B. EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu dan kematian nomor dua di dunia.
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan
dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.7,8
Menurut WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit stroke pada tahun
2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau
hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Sebanyak 75% penderita stroke
menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan. Di Indonesia, penyakit ini menduduki posisi
ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5% penderita stroke meninggal dunia.
Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh
total dari serangan stroke dan kecacatan.9
C. KLASIFIKASI STROKE
1. Berdasarkan Waktu
a. TIA (Trancient Ischemic Attack)
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah
di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.10
b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Gangguan neurologi yang timbul dan akan menghilang secara sempurna dalam
waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.10
c. Stroke in Evolution (Progressive Stroke)
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul
semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa
jam atau beberapa hari.10
d. Completed Stroke
Gangguan neurologi yang timbul bersifat menetap atau permanen.10
2. Berdasarkan Etiologi
a. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah suatu kondisi yang terjadi terutama disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah di otak. Pembuluh darah pecah dan kemudian melepaskan darah ke otak.
Setelah pecahnya arteri, pembuluh darah tidak mampu membawa darah dan oksigen ke otak
dan menyebabkan sel mati. Alasan lain yang dapat menyebabkan strok hemoragik adalah
darah yang mengalir ke otak akibat pecahnya pembuluh darah tersebut membentuk gumpalan
di dalam otak dan menyebabkan kerusakan jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan fungsi otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.
Umumnya terjadi pada saat melakukan aktivitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat.
Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi
yang tidak terkontrol. Stroke hemoragik terbagi menjadi intracerebral hemorrhage (ICH) dan
subarachnoid hemorrhage (SAH).11
D. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap
serangan stroke. Faktor resiko umumnya dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu: 11,12
1. Tidak dapat dimodifikasi: Umur, jenis kelamin, ras dan factor genetik.
2. Dapat dimodifikasi: diabetes melitus, penyakit jantung, inaktivitas fisik, obesitas,
peningkatan kolesterol dan hipertensi.
E. PATOGENESIS
1. Stroke Non Hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh trombus atau
embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area trombus menjadi
berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi
infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri
serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia
yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologi fokal. Perdarahan otak dapat
disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.3
2. Stroke Hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau
ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intrakranial yang seharusnya
konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh
akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) yang bila berlanjut akan
menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir
ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh
darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau
tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.3
G. DIAGNOSIS
Diagnosis klinik stroke dibuat berdasarkan batasan stroke, dilakukan pemeriksaan
klinis yang teliti, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan lokasi kerusakan
pada otak. Untuk memperkuat diagnosis biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan. Kedua
pemeriksaan tersebut juga bisa membantu menentukan penyebab dari stroke, apakah
perdarahan atau tumor otak.7
H. DIAGNOSIS TOPIK
Diagnosis topik dapat ditentukan dari gejala yang timbul, antara lain dengan cara
membedakan letak lesi apakah kortikal atau subkortikal (kapsula interna, ganglia basalis,
thalamus), batang otak dan medula spinalis. 14
1. Gejala klinis pada topik di kortikal
a. Afasia
b. Wajah dan lengan lebih lumpuh atau tungkai lebih lumpuh
c. Kejang
d. Gangguan sensoris kortikal
e. Deviasi mata ke daerah lesi
Gambar 6. Latihan untuk menguatkan otot tangan dan jari pada stroke
b. Okupasi Terapi
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari (AKS), meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang
terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan
satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan
pemakaian alat-alat yang disesuaikan.
Gambar 7. Terapi okupasi pada penderita stroke
c. Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Ini dapat
ditangani oleh speech therapist dengan cara:
1) Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan napas, menelan, meniup,
latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
2) Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan mengucapkan kata-
kata.
3) Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi mengucapkan kata-
kata.
4) Pelaksana terapi adalah tim medic dan keluarga.
d. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam membantu
transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan antara lain: arm sling,
walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up splint, ankle foot
orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic (KAFO).
Gambar 9. Pemakaian kursi roda pada penderita stroke
e. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui serial fase
psikologis, yaitu: fase syok, fase penolakan, fase penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian
penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami
secara lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang telah lewat.
Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.
Rehabilitasi : Pemulihan ke bentuk atau fungsi yang normal setelah terjadi luka atau
sakit, atau pemulihan pasien yang sakit atau cedera pada tingkat fungsional optimal di rumah
dan masyarakat, dalam hubungan dengan aktivitas fisik, psikososial, kerja dan rekreasi.
KEMANDIRIAN :
1. MANDIRI ( INDEPENDENT ) : Penderita dapat melaksanakan AKS tampa
bantuan dari seseorang , baik berupa instruksi ( lisan ) maupun bantuan secara fisik.
2. PERLU BANTUAN : Penderita memerlukan bantuan seseorang atau alat bantu,
bantuan bisa berderajat minimal, sedang atau maksimal.
3. TERGANTUNG : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas fungsional, meskipun
dengan alat-alat bantu. Untuk melakukan AKS mutlak membutuhkan bantuan orang
Program :
1. Activity Daily Living ( ADL)
- Komunikasi : menulis, mengetik, menelepon, alat komunikasi khusus, dll
- Self care : berpakaian, makan, mandi, toilet, merawat diri, dll
- Perangkat keras lingkungan : kunci, kran, saklar, jendela, pintu, dll
- Mobilitas : mobilitas tempat tidur, kursi roda, naik tangga, berjalan, dll
2. Pendekatan multidisiplin komprehensif
- Dokter spesialis rehabilitasi medic
- Fisioterapi
Aktifitas ditempat tidur : posisioning, alih baring, latihan pasif lingkup
gerak sendi.
Mobilisasi : latihan bangun sendiri, duduk, transfer , berdiri & berjalan ,
latihan beban ringan, olah raga.
Terapi modalitas : diathermi
- Terapi okupasi
Latihan dg aktifitas sesuai tujuan program .
Latihan melakukan AKS sendiri atau perlu bantuan ; memakai baju,
celana, mandi dll.
Latihan melempar bola :
- lingkup gerak sendi bahu
- latihan keseimbangan berdiri
- latihan kekuatan lengan, dll
Terapi suportif : menghasilkan suatu karya. Misalnya membuat anyaman :
latihan konsentrasi, latihan koordinasi dan kekuatan otot jari , latihan ketahanan
duduk, memori.
- Ortotik prostetik
Pembuatan alat bantu guna mendukung aktifitas penderita stroke,
mencegah spastik
yang berlanjut. Perlu pertimbangan khusus : ringan, sederhana, mudah
digunakan.
Ex : Tripot, quadripot, AFO, cock up splint, dll
- Psikologi
- Terapi wicara
- Pekerja social
- Perawat
- Pasien dan keluarganya
subaraknoid dapat mencapai hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Perdarahan
subarakhnoid memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60
tahun untuk perempuan. Lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:2.1
DEFINISI Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada
ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara
lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian
adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa
(MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti:
1. Aneurisma sakuler (berry)
bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis
interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan
basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur
disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterior
dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien
mengalami dipopia).
2. Aneurisma fusiformis
fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri karotis
interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat
disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada
arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis
Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan
(seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.
3. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya terdiri
dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi.
vasuler yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan
oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa
melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung
tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan
melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri. Pembuluh
darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang
terjadi paada aneurisma. MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat.
MAV yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.
GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul
pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah MAV (malformasi
PATOFISIOLOGI Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral
utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam
sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans
anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam
sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri basilar
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa,
terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture tidak
dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang
relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap
stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan
disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan
kolagen berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan
kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung
jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture menjadi rendah.4 Meskipun
masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya
menjadi ukuran minimal pada saat ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur
cenderung lebih besar daripada aneurisma yang tidak rupture.4 Aneurisma yang pecah
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam kehidupan. Hanya 20%
dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada
faktor predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin
sehari-hari, dan aktivitas berat.4 Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika
dianamnesis pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu
sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap
ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture
dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian pertama. Kematian
MANIFESTASI KLINIS
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi : 1.
Meningismus, 5. Mual dan muntah. Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis
yang hebat dan mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya
tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya.
Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi
sebelum terjadinya perdarahan yang hebat.5 Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri
kepala yang mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala
disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami
serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah)
nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi. Aneurisma berasal dari arteri komunikan
anterior dapat menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala
di daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis
okulomotorius, defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat.
Aneurisma pada arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan
arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan fokal, atau rasa baal.
pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi perdarahan. Pecahnya
aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan hematom subdural,
intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda kklinis dapat bervariasi mulai dari
meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma. Semnetara itu,
reflek Babinski positif bilateral. Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai
koma, biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari
kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu
dicurigai adanya hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya demensia
dan labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari
pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior. Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi
sebagai akibat dari a) kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah
yang keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus seringkali
terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas atau besar,
atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya vasospasme. Perdarahan
dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-
aksial. ]Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita PSA.
Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang
terpapar darah akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih
lama lagi.
DIAGNOSIS
53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu dievaluasi lebih cermat.
Anamnesis yang cermat mengarahkan untuk mendiagnosis PSA. Maka dari itu faktor resiko
terjadinya PSA perlu diperhatikan seperti pada tabel berikut.Bisa dimodifikasi Tidak bisa
dimodifikasi Hipertensi Riwayat pernah menderita PSA Perokok (masih atau riwayat)
Riwayat keluarga dengan PSA Konsumsi alcohol Penderita atau riwayat keluarga menderita
BMI rendah Konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya Bekerja keras terlalu
Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti yang dijelaskan
CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena sensitivitasnya tinggi dan mampu
akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk
pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil
kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia adalah
cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT
angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih
karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologic yang
negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak
malformasi vascular di otak maupun batang otak. Adapun parameter klinis yang dapat
dijadikan acuan untuk intervensi dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang
bisa digunakan.
II Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat seumur hidupnya),
V Koma, desebrasi
Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
pemeriksaan CT scan.
1 Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan CT scan kepala 1 Tidak terdeteksi adanya darah
2 Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah ukuran <1 mm, tidak ada jendalan
3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical terdapat darah tebal dengan ukuran >1 mm
4 Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara difus atau tidak ada darah
DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan stroke hemoragik
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah identifikasi
sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau tindakan
intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasive terhadap central
venous pressure dan atau pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah
arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi
pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien
harus istirahat total. PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus
diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar
30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial
seperti: Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara signifikan
(50% dalam 30 menit pemberian). Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan
intracranial masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain. Setelah itu
vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus
dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti
labetalol dan nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-
obat anti hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg. Setelah aneurisma dapat
diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum ada
kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesic seringkali diperlukan, obat obat narkotika dapat
diberikan berdasarkan indikasi. Dua factor penting yang dihubungkan dengan luaran buruk
adalah hiperglikemia dan hipertermia, karena itu keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis
terhadap thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan
KOMPLIKASI
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan
subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis
fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama,
yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas. 1 Perdarahan ulang mempunyai
mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan
aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin,
Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21
hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg
dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200220
mmHg. 1 Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
PROGNOSIS
Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila
tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi bedah
maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama,
dan 60% dalam 2 bulan pertama. Hal-hal yang dapat memperburuk prognosis dapat dilihat
Tabel Sistem Ogilvy dan Carter Skor Keterangan 1 Nilai Hunt dan Hess > III 1 Skor
skala Fisher > 2 1 Ukurn aneurisma > 10 mm 1 Usia pasien > 50 tahun 1 Lesi pada sirkulasi
Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan Carter, yaitu skor 5
mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0 mempunyai prognosis lebih baik. Pendapat
lain mengemukakan bahwa prognosis pasien-pasien PSA tergantung lokasi dan jumlah
perdarahan serta ada tidaknya komplikasi yang menyertai. Disamping itu usia tua dan gejala-
gejala yang berat memperburuk prognosis. Seseorang dapat sembuh sempurna setelah
pengobatan tapi beberapa orang juga meninggal walaupun sudah menjalani treatment.
Sedangkan prognosis yang baik dapat dicapai jika pasien-pasien ditangani secara agresif
seperti resusitasi preoperative yang agresif, tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan
vasospasme yang agresif serta perawatan intensif perioperative dengan fasilitas dan
tenaga medis yang mendukung.9 Adapun beberapa penanganan yang dapat dilakukan sendiri
memeriksakan tekanan darah 3. Mengkonsumsi makanan yang sehat. Minum bnyak cairan 5.