PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini kemajuan teknologi mempengaruhi perubahan
sosial pada setiap individu dengan sangat cepat. Perubahan juga terjadi di bidang
kesehatan khususnya pada kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa menjadi masalah yang
serius dan memprihatinkan, penyebab masalah kesehatan jiwa salah satunya juga
disebabkan oleh beban hidup yang semakin tinggi yang bisa berdampak pada
depresi yang berlanjut pada gangguan jiwa. Insiden Keselamatan Pasien adalah
setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari
kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC), kejadian nyaris
cedera (KNC) dan kejadian potensial cedera (KPC) (PERMENKES RI No. 11
Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien).
Pada tahun 2013 Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia
sebesar 1,7 per mil dengan gangguan jiwa terbanyak di wilayah Aceh, DI
Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Bali. Proporsi Anggota Rumah
Tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat sebanyak 14,3%, sedangkan proporsi
terbesar tinggal di wilayah pedesaan sebanyak 18,2%, dan prevalensi gangguan
mental emosional pada penduduk Indonesia sebesar 6,0% (Riskesdas, 2013).
1
Penderita gangguan jiwa di daerah Jawa Tengah tergolong cukup tinggi,
yaitu 2,3 persen jumlah penduduk atau mencapai 107 ribu orang (Widiyanto,
2015). Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien gangguan jiwa
adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan harus segera ditangani karena
dapat membahayakan diri pasien, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan
merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang baik
secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara fisik
dan verbal. Penanganan perilaku kekerasan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, salah satunya dengan cara isolasi dan atau restarin (menurut kebijakan
institusi) (Purwanto, 2015).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian restrain ?
2. Bagaimana hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan restrain ?
3. Bagaimana jenis-jenis restrain ?
4. Bagaimana resiko penggunaan restrain pada pasien ?
5. Bagaimana efek yang dialami ketika dipasang restrain ?
6. Bagaimana peran pemerintah dalam menangani ODGJ ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian restrain
2. Untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan restrain
3. Untuk mengetahui jenis-jenis restrain
4. Untuk mengetahui resiko penggunaan restrain pada pasien
5. Untuk mengetahui efek yang dialami ketika dipasang restrain
6. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam menangani ODGJ
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
yang diberikan bukan hanya ditujukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan tetapi
juga memelihara kebersihan (Asmadi, 2008).
1. Pervasiveness (insidensi)
Keamanan bersifat pervasif artinya luas mempengaruhi semua hal.
Artinya klien membutuhkan keamanan pada seluruh aktifitasnya seperti makan,
bernafas, tidur, kerja, dan bermain.
2. Perception (persepsi)
Persepsi seseorang tentang keamanan dan bahaya mempengaruhi
aplikasi keamanan dalam aktifitas sehari-harinya. Tindakan penjagaan
keamanan dapat efektif jika individu mengerti dan menerima bahaya secara
akurat.
3. Management (pengaturan)
Ketika individu mengenali bahaya pada lingkungan klien akan
melakukan tindakan pencegahan agar bahaya tidak terjadi dan itulah praktek
keamanan. Pencegahan adalah karakteristik mayor dari keamanan.
5
B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBUTUHAN
KEAMANAN DAN KESELAMATAN
1. Usia
Individu belajar untuk melindungi dirinya dari berbagai bahaya melalui
pengetahuan dan pengkajian akurat tentang lingkungan. Perawat perlu untuk
mempelajari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam individu sesuai usia
dan tahap tumbuh kembangnya sekaligus tindakan pencegahannya.
2. Gaya Hidup
Faktor gaya hidup yang menempatkan klien dalam resiko bahaya
diantaranya lingkungan kerja yang tidak aman, tinggal didaerah dengan tingkat
kejahatan tinggi, ketidakcukupan dana untuk membeli perlengkapan
keamanan,adanya akses dengan obat-obatan atau zat aditif berbahaya.
3. Status mobilisasi
Klien dengan kerusakan mobilitas akibat paralisis, kelemahan otot,
gangguan keseimbangan/koordinasi memiliki resiko untuk terjadinya cedera.
5. Tingkat kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan untuk menerima stimulus lingkungan,
reaksi tubuh, dan berespon tepat melalui proses berfikir dan tindakan. Klien
yang mengalami gangguan kesadaran diantaranya klien yang kurang tidur, klien
tidak sadar atau setengah sadar, klien disorientasi, klien yang menerima obat-
obatan tertentu seperti narkotik, sedatif, dan hipnotik.
6. Status emosional
Status emosi yang ekstrim dapat mengganggu kemampuan klien
menerima bahaya lingkungan. Contohnya situasi penuh stres dapat menurunkan
konsentrasi dan menurunkan kepekaan pada simulus eksternal. Klien dengan
depresi cenderung lambat berfikir dan bereaksi terhadap stimulus lingkungan.
6
7. Kemampuan komunikasi
Klien dengan penurunan kemampuan untuk menerima dan
mengemukakan informasi juga beresiko untuk cedera. Klien afasia, klien
dengan keterbatasan bahasa, dan klien yang buta huruf, atau tidak bisa
mengartikan simbol-simbol tanda bahaya.
9. Faktor lingkungan
Lingkungan dengan perlindungan yang minimal dapat beresiko menjadi
penyebab cedera baik di rumah, tempat kerja, dan jalanan.
7
15. Tingkat pengetahuan
Kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan dapat
diprediksi sebelumnya.
8
Longgarkan baju dan ikatan leher (kerah baju)
Kolaborasi pemberian obat antikonvulsi.
Berikan masker oksigen jika diperlukan.
5. Memberikan pertolongan bila terjadi keracunan
Perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat bila
terjadi keracunan melalui identifikasi adanya zat-zat beracun dirumah yang
terkonsumsi, segera laporkan ke institusi kesehatan terdekat serta menyebutkan
nama dan gejala yang dialami klien, jaga klien pada posisi tenang ke satu sisi
atau dengan kepala ditempatkan diantara kedua kaki untuk mencegah aspirasi.
10
Perawat perlu mengkaji apakah restraint di perlukan atau tidak. Restrein
seringkali dapat dihindari dengan persiapan pasien yang adekuat, pengawasan
orang tua atau staf terhadap pasien, dan proteksi adekuat terhadap sisi yang rentan
seperti alat infus. Perawat perlu mempertimbangkan perkembangan pasien, status
mental, ancaman potensial pada diri sendiri atau orang lain dan keamannnya.
11
fisik (restraint) dibutuhkan dalam perawatan. Adanya penilaian berdasarkan
pedoman rumah sakit dari pasien yang pernahmenjalankan pengendalian fisik
(restraint) untuk memastikan bahwa pengendalian fisik tersebut telah
diaplikasikan secara benar, serta memastikan integritas kulit dan status
neurovaskular pasien tetap dalam keadaan baik.
Intervensi restrain dibatasi waktu yaitu: 4 jam untuk klien berusia >18 tahun, 2
jam untuk usia 9-17 tahun, dan 1 jam untuk umur <9 tahun. Evaluasi dilakukan 4 jam
untuk klien >18tahun, 2 jam untuk pasien-pasien dan usia 9-17 tahun. Waktu minimal
reevaluasi oleh dokter adalah 8 jam untuk usia>18 tahun dan 4 jam untuk usia <17
tahun. Selama restrain klien di observasi tiap 10-15 menit, dengan fokus observasi:
Tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan restrain : Nutrisi dan hidrasi sirkulasi
dan rentang gerak eksstremitas tanda penting kebersihan dan eliminasi status fisik dan
psikologis kesiapan klien untuk dibebaskan dari restrain.
Alat restrain bukan tanpa resiko dan harus diperiksa dan di dokumentasikan
setiap 1-2 jam untuk memastikan bahwa alat tersebut mencapai tujuan
pemasangannya, bahwa alat tersebut dipasang dengan benar dan bahwa alat tersebut
tidak merusak sirkulasi, sensai, atau integritas kulit.
C. Jenis-jenis Restrain
13
b. Restraint Jaket
c. Papoose board
14
utama dari penggunaan alat ini adalah untuk menjaga supaya pasien pasien
tidak terluka saat mendapatkan perawatan.
Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan salah satu
ujungnya dilipat ke tengah. Pasien diletakkan di atas selimut tersebut dengan
bahu berada di lipatan dan kaki ke arah sudut yang berlawanan.
Lengan kanan pasien lurus kebawah rapat dengan tubuh, sisi kanan
selimut ditarik ke tengah melintasi bahu kanan pasien dan dada diselipkan
dibawah sisi tubuh bagian kiri. Lengan kiri pasien diletakkan lurus rapat
dengan tubuh pasien, dan sisi kiri selimut dikencangkan melintang bahu dan
dada dikunci dibawah tubuh pasien bagian kanan. Sudut bagian bawah dilipat
dan ditarik kearah tubuh dan diselipkan atau dikencangkan dengan
pinpengaman.
15
jika penghalang tersebut diturunkan akan mengganggu ekstremitas yang sering
disertai sentakan tiba-tiba yang dapat menciderai pasien.
f. Restraint siku
g. Pedi-wrap
Molt mouth prop merupakan salah satu alat yang paling penting dalam
melakukan perawatan gigi. Alat ini biasanya digunakan dalam anestesi umum
untuk mencegah supaya mulut tidak tertutup saat perawatan dilakukan. Alat
ini juga sangat cocok dalam penanganan pasien yang tidak bisa membuka
mulut dalam jangka waktu lama karena suatu keterbatasan. Penggunaan molt
mouth prop harus memperhatikan posisi rahang pasien saat pasien membuka
mulutnya, supaya tidak terjadi dislokasi temporomandibular. Sebagai
tambahan, dokter gigi harus memindahkan molt mouth prop dari mulut pasien
setiap sepuluh hingga lima belas menit agar rahang dan mulut pasien
dapat beristirahat.
16
Molt mouth gags juga merupakan salah satu alat bantu yang dapat
digunakan untuk menahan mulut pasien.
j. Tongue Blades
17
E. Efek atau dampak yang dialami ketika mengalami restrain
1. Terjadi luka atau lecet pada saat restrain
Cedera fisik yang umumnya dialami oleh pasien yang menjalani restrain
berupa ketidaknyamanan fisik, lecet pada area pemasangan restrain, peningkatan
inkontinensia, ketidakefektivan sirkulasi, peningkatan risiko kontraktur, dan
terjadinya iritasi kulit (Kandar, 2014). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wanda, K. (2003), menyebutkan bahwa tindakan restrain yang
dilakukan pada pasien gangguan jiwa dapat menimbulkan trauma fisik maupun
efek psikologis misalnya takut, marah dan cemas.
2. Penyebab timbulnya luka atau lecet saat restrain
Timbulnya luka atau lecet dan gangguan fisiologis pada tubuh pasien
yang menjalani restrain sebagaimana dikemukakan oleh Kandar (2014) bahwa
pasien yang mengalami ketidaknyamanan fisik diakibatkan adanya pemasangan
restrain, pasien yang mengalami lecet terjadi akibat dari pemasangan restrain
yang telalu kencang, pasien juga mengalami peningkatan inkontinensia yang
disebabkan oleh terbatasnya mobilitas fisik klien yang berakibat pada
ketidakmampuan klien untuk memenuhi kebutuhan eliminasinya, dan pasien
mengalami ketidakefektifan sirkulai yang ditandai dengan terjadinya odem pada
area pemasangan restrain.
3. Perawat memberikan lotion selama restrain
Secara teknis seharusnya perawat memberikan lotion untuk
mengantisipasi timbulnya gangguan fisik pada pasien serta menjaga
kenyamanan pasien. Tidak diberikannya lotion pada pelaksanaan restrain salah
satunya disebabkan kondisi pasien yang menyebabkan pasien secara emosional
kurang siap sehingga tidak dapat melaksanakan semua prosedur restrain dengan
baik.
Abraham, C dan Shanley (Faiqoh, 2009) mengemukakan bahwa salah
satu stressor pada perawat pasien penyakit jiwa adalah karakteristik pasien
penyakit jiwa yang negative seperti sulit diajak berkomunikasi, agresif, dan lain-
lain. Keadaan dimana tekanan-tekanan pekerjan lebih berat karena setiap hari
mengurus dan merawat pasien penyakit jiwa mengharuskan perawat pasien
penyakit jiwa untuk mampu mengendalikan dan bertindak sesuai dengan tata
cara perawatan sehingga tidak membahayakan diri dan pasien. Keadaan yang
18
rentan dapat menyebabkan stres tersebut juga dapat menyebabkan individu
menjadi kurang dapat mengontrol diri dan tingkah lakunya. Keadaan ini dapat
menyebabkan individu melakukan tindakan-tindakan yang disebut perilaku
antisosial, termasuk perilaku agresif.
4. Kesulitan bergerak selama restrain
Kesulitan bergerak selama restrain merupakan salah satu langkah untuk
meredahkan tingkat agresifitas pasien. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan
Perry dan Potter (2005) bahwa restrain dalam psikiatrik, secara umum mengacu
pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi
gerakan ekstremitas individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan
untuk memberikan keamanan fisik dan psikologis individu. Didalam
pelaksanaan prosedur ini di Rumah Sakit tentunya harus memiliki standarisasi
demi kode etik dan legal dalam pelaksanaan prosedur pada pasien. Dalam dunia
pelayanan kesehatan standar tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang
harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu dikenal dengan
istilah standard operating procedure (SOP) atau Standar Prosedur Operasional
(SPO).
5. Pengikatan yang dilakukan terlalu kencang
Pelaksanaan restrain pada pasien gangguan jiwa dengan perilaku
agresifitas harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip menjaga hak
asasi manusia, baik pada pasien maupun keluarga pasien. Malfasari (2014)
mengemukakan bahwa pelindungan HAM pada pasien gangguan jiwa pelaksaan
restrain adalah menjadikan restrain bukan sebagai hukuman. International Bill
of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk tidak
mendapatkan kekerasan baik itu kekerasaan fisik maupun mental. Jika restrain
dilaksanakan karena alasan untuk menghukum pasien, berarti perorangan atau
sebuah organisasi tersebut sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
6. Perlakuan kasar perawat selama restrain
Perlakuan kasar yang dilakukan oleh perawat dalam pelaksanaan restrain
sebenarnya tergantung dari kondisi pasien ketika mengalami perilaku kekerasan.
Perawat yang merasa dirinya terancam ketika menjalankan restrain maka akan
memunculkan sikap bertahan pada diri perawat sehingga seakan-akan sikap
tersebut menjadi perilaku yang kasar kepada pasien. As’ad dan Sucipto (2010)
19
mengemukakan bahwa perilaku agresifitas yang dilakukan pasien gangguan jiwa
merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan fisik dan psikologis perawat.
Perawat cenderung menjadi korban dalam perilaku kekerasan pasien gangguan
jiwa. Perawat harus menghadapi kekerasan secara fisik hampir setiap hari
sehingga memunculkan sikap defensive dan hati-hati pada diri perawat dalam
penanganan pasien gangguan jiwa.
C. Fisiologi Lansia
Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus menerus secara
alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya dan umunya dialami
seluruh makhluk hidup. Menua merupakan proses penurunan fungsi struktural
tubuh yang diikuti penurunan daya tahan tubuh. Setiap orang akan mengalami masa
tua, akan tetapi penuaan pada tiap seseorang berbeda-beda tergantung pada
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor
herediter, nutrisi, stress, status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006).
D. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan
masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun
psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun
psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan
berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.
21
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi
tidak harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat
dalam hal ini diartikan:
Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari,
Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo,
1996)
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan
yang menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus-menerus. Apabila
proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah
berbagai masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh MunandarAshar Sunyoto
(1994) menyebutkan masalah – masalah yang menyertai lansia yaitu:
Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain
Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola
hidupnya
Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah
meninggal atau pindah
Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah
banyak
Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan
dengan perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik
yang mendasar adalah perubahan gerak.
Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan
bahwa perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya
terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya.
Bagaimana sikap yang ditunjukkan apakah memuaskan atau tidak memuaskan, hal
ini tergantung dari pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya.
Perubahan ynag diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan
dengan masalah peningkatan kesehatan, ekonomi/pendapatan dan peran sosial
(Goldstein, 1992)
Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri
penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979 dalam Munandar, 1994)
adalah:
22
Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya.
Penarikan diri ke dalam dunia fantasi
Selalu mengingat kembali masa lalu
Selalu khawatir karena pengangguran,
Kurang ada motivasi,
Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan
Tempat tinggal yang tidak diinginkan.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah:
minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas,
menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilkukan saat ini dan
memiliki kekhawatiran minimla trehadap diri dan orang lain.
E. Karakteristik Lansia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan
masalah kesehatan lansia adalah:
1. Jenis kelamin : Lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan
kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara lansia laki-laki dan
perempuan. Misalnya lansia laki-laki sibuk dengan hipertropi prostat, maka
perempuan mungkin menghadapi osteoporosis
2. Status perkawinan: Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda atau
duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun
psikologis.
3. Living arrangement: misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama
instri, anak atau keluarga lainnya.
Tanggungan keluarga: masih menangung anak atau anggota keluarga.
Tempat tinggal: rumah sendiri, tinggal bersama anak. Dengan ini kebanyakan
lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya, baik lansia sebagai kepala
keluarga atau bagian dari keluarga anaknya. Namun akan cenderung bahwa
lansia akan di tinggalkan oleh keturunannya dalam rumah yang berbeda.
Menurut Darmawan mengungkapkan ada 5 tipe kepribadian lansia yang perlu
kita ketahui, yaitu: tipe konstruktif (constructive person-ality), tipe mandiri
(independent personality), tipe tergantung (hostilty personality) dan tipe kritik
diri (self hate personality).
23
4. Kondisi kesehatan
Kondisi umum: Kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada orang
lain dalam kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air besar dan kecil.
Frekuensi sakit: Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak
produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain.
5. Keadaan ekonomi
Sumber pendapatan resmi: Pensiunan ditambah sumber pendapatan lain
kalau masih bisa aktif.
Sumber pendapatan keluarga: Ada bahkan tidaknya bantuan keuangan dari
anak atau keluarga lainnya atau bahkan masih ada anggota keluarga yang
tergantung padanya.
kemampuan pendapatan: Lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi,
sementara pendapatan semakin menurun. Status ekonomi sangat terancam,
sehinga cukup beralasan untuk melakukann berbagai perubahan besar dalam
kehidupan, menentukan kondisi hidup yang dengan perubahan status
ekonomi dan kondisi fisik
28
BAB III
HASIL TELAAH
29
dalam situasi pengekangan mekanis meningkatkan kemungkinan
pengalaman positif bagi pasien. Pentingnya memberikan informasi yang
jelas kepada pasien juga telah dilaporkan. Nilai kehadiran anggota staf telah
dilaporkan. Isu penting dalam penelitian ini adalah pentingnya kehadiran
fisik staf pendukung selama prosedur dan prosedur pembekalan
sesudahnya. Jika tidak, seperti yang telah ditunjukkan oleh studi ini,
pengekangan mekanis dapat dialami sebagai kasar dan, dalam beberapa
kasus, menciptakan trauma. Konsekuensinya, penting untuk
mengidentifikasi pasien berisiko sehingga pengendalian koersif dapat
dicegah.
Bila pengekangan mekanis tidak dapat dihindari, perspektif
keperawatan harus dipertimbangkan. Informasi harus diberikan secara
tenang dan sensitif, staf harus hadir secara fisik selama keseluruhan
prosedur, dan pembekalan harus dilakukan setelahnya. Jika ini tercapai,
keseluruhan tujuan QSEN untuk meningkatkan kualitas dan keamanan
sistem perawatan kesehatan sedang dalam perjalanan untuk dicapai.
Pentingnya kehadiran staf yang berkomitmen selama pengekangan mekanis
yang ditunjukkan oleh penelitian ini menunjukkan pentingnya melatih
perawat psikiatri akut dengan benar sehingga kehadiran mereka bermakna.
Perawat dalam pengaturan psikiatri akut harus diminta untuk benar-benar
berkomitmen, sadar akan tindakan mereka, dan hadir sepenuhnya dalam
situasi pemaksaan dimana pasien rentan. Ini mengharuskan manajer
pengaturan psikiatri akut memastikan bahwa staf mendapatkan pelatihan
yang sesuai dalam empati dan pencegahan kekerasan. Selanjutnya, ini bisa
menjadi dasar konsensus saat membuat rutinitas nasional untuk asuhan
keperawatan dalam situasi pengekangan mekanis.
B. PEMBAHASAN
30
Pada stase keperawatan Jiwa di Ruang Brotojoyo selama kurang
lebih 2 minggu, kami mengangkat tema untuk pengerjaan EBP kami yaitu
mengenai restrain pada subjek pasien dengan riwayat gaduh gelisah atau
dengan resiko perilaku kekerasan. Pada kesempatan ini, restrein yang kami
angkat sebagai sub pembahasan kami yang utama adalah penggunaan lotion
dan lamanya durasi restrein terhadap keamanan dan keselamatan pasien.
Hal ini didasari oleh karakteristik responden di Ruang Brotojoyo dimana
ruangan tersebut merawat pasien psikogeriatri yang memiliki resiko
terhadap kerusakan integritas kulit selama di restrein.
Restrein atau pengikatan fisik (dalam psikiatrik) secara umum
mengacu pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang
atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang berperilaku diluar
kendali (lepas kontrol) dengan tujuan untuk memberikan keamanan fisik
dan psikologis bagi individu tersebut. Pengikatan fisik merupakan
alternative intervensi terakhir jika dengan intervensi verbal (persuasi),
pengekangan kimia (biologi) mengalami kegagalan. Berdasarkan standar
operasional yang terdapat dirumah sakit dengan jurnal yang dikaitkan ada
beberapa tahapan yang berbeda seperti pada prosedur dirumah sakit.
Pada standar prosedur operasional yang terdapat di Rs dr.Amino
Gondohutomo khususnya di Ruang Brotojoyo terkait restrain yaitu tertera
bahwa restrain digunakan untuk membatasi gerakan pada pasien yang
beresiko mencederai diri sendiri maupun orang lain. Restrein yang
dilakukan pada usia >18 tahun maka setiap 4 jam harus dikontrol atau dicek
ulang, hal ini bertujuan untuk tetap menjaga keamanan dan keselamatan
pasien atau lebih tepatnya mencegah resiko cedera pada pasien sedangkan
jurnal terkait restrain yang kami dapatkan menjelaskan tidak hanya sekedar
durasi lamanya restrain yang dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien,
tetapi perlu juga dilakukan pengolesan lotion pada kulit pasien serta
pengendoran ikatan restrain setiap 4 jam akan sangat membantu mengurangi
resiko cedera pada pasien. Selebihnya hampir semua tahapan dalam standar
prosedur operasional dirumah sakit telah sama dan sesuai dilakukan.
31
Dengan demikian, hal tersebut sesuai dengan hasil kelolaan kami
selama 2 hari terhadap 2 pasien yang menjadi subjek dalam kelolaan EBP
di Ruang Brotojoyo dengan sistem dimana 1 orang pasien (Ny.N) diberikan
intervensi sesuai dengan SPO restrain yang ada di ruangan tersebut dan 1
orang pasien lainnya (Ny.S) diberikan intervensi sesuai dengan jurnal yang
kami dapatkan. Pada hasil evaluasi kelompok terhadap 2 pasien kelolaan
didapatkan bahwa Ny.Ntampak terjadinya ruam kemerahan pada sekitar
lokasi restrain dengan luas ± 7 cm, tampak kulit kering, sedangkan pada
pasien Ny.S didapatkan bahwa kulit lembab, tidak terdapat ruam kemerahan
maupun luka lecet di sekitar lokasi restrain. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan penggunaan lotion pada pasien yang terpasang restrain terbukti
dapat mencegah cedera pada pasien, sehingga keamanan dan keselamatan
pasien tetap terjaga.
BAB IV
32
HASIL TELAAH
A. KESIMPULAN
Pelatihan semua perawat dalam teknik de-eskalasi sangat penting untuk
mencegah perilaku kekerasan baik pada petugas kesehatan, keluarga maupun
lingkungan.
B. SARAN
Penelitian ini diperlukan dalam penerapan restrain lanjutan dan
melindungi keselamatan pasien kedalam semua lingkungan kesehatan.
Restrain meningkatkan keamanan, dan melindungi pasien dari tindakan yang
dapat menciderai dirinya, orang lain, dan lingkungan. Maka pasien perlu di
lakukan restrain sampai keadaan pasien tenang.
DAFTAR PUSTAKA
33
Master, Kim J. 2017. Physical Restraint: A Historical Review and Current Practice.
Psychiatric Annals Vol. 47 No. 1. doi: 10.3928/00485713-20161129-01.
34