Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini kemajuan teknologi mempengaruhi perubahan
sosial pada setiap individu dengan sangat cepat. Perubahan juga terjadi di bidang
kesehatan khususnya pada kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa menjadi masalah yang
serius dan memprihatinkan, penyebab masalah kesehatan jiwa salah satunya juga
disebabkan oleh beban hidup yang semakin tinggi yang bisa berdampak pada
depresi yang berlanjut pada gangguan jiwa. Insiden Keselamatan Pasien adalah
setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari
kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC), kejadian nyaris
cedera (KNC) dan kejadian potensial cedera (KPC) (PERMENKES RI No. 11
Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien).

Gangguan jiwa secara langsung tidak dapat menyebabkan kematian, akan


tetapi menyebabkan penderita tidak produktif dan menimbulkan beban bagi
keluarga dan masyarakat disekitarnya. Angka pasien gangguan jiwa di seluruh
dunia dari tahun ketahun semakin meningkat. Menurut World Health Organitazion
(WHO) tahun 2013, ada sekitar 450 juta orang didunia mengalami gangguan jiwa.
WHO menyatakan setidaknya ada satu dari empat orang di dunia mengalami
masalah gangguan jiwa dan gangguan mental yang ada diseluruh dunia sudah
menjadi masalah yang sangat serius (WHO, 2013).

Pada tahun 2013 Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia
sebesar 1,7 per mil dengan gangguan jiwa terbanyak di wilayah Aceh, DI
Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Bali. Proporsi Anggota Rumah
Tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat sebanyak 14,3%, sedangkan proporsi
terbesar tinggal di wilayah pedesaan sebanyak 18,2%, dan prevalensi gangguan
mental emosional pada penduduk Indonesia sebesar 6,0% (Riskesdas, 2013).
1
Penderita gangguan jiwa di daerah Jawa Tengah tergolong cukup tinggi,
yaitu 2,3 persen jumlah penduduk atau mencapai 107 ribu orang (Widiyanto,
2015). Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien gangguan jiwa
adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan harus segera ditangani karena
dapat membahayakan diri pasien, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan
merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang baik
secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara fisik
dan verbal. Penanganan perilaku kekerasan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, salah satunya dengan cara isolasi dan atau restarin (menurut kebijakan
institusi) (Purwanto, 2015).

Restrain adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu tersebut,


tanpa ijin individu tersebut, untuk membatasi kebebasan gerak dari individu.
Kekuatan fisik ini menggunakan alat medis, tenaga manusia ataupun kombinasi
keduanya. Pengekangan fisik menggunakan pengekangan mekanik, seperti
manset pada pegelangan tangan dan kaki, serta sprey untuk pengekangan.
Restrain tenaga manusia dilakukan ketika anggota staf secara fisik
mengendalikan pasien dan memindahkan pasien ke ruangan (Sulistyowati,
2014).

Tindakan restrain jika dilakukan dengan tidak benar akan menyebabkan


cedera fisiologis dan psikologis. Pasien dengan kondisi restrain seharusnya
dilakukan observasi setiap 15 menit untuk dilakukan pemantauan hygiene,
sirkulasi, respiratory, aktivitas, satatus mental dan tanda-tanda vital.Pasien
restrain setiap 2 jam seharusnya dilakukan latihan latihan gerak pada
extremitasnya dengan ROM (Kandar, 2013).

Fenomena menunjukkan bahwa pada beberapa pasien tidak direstrain


dengan benar, hal ini menyebabkan pasien mengalami cedera fisiologis dan
psikologis. Cedera fisik yang mereka alami berupa ketidaknyamanan fisik, lecet
pada area pemasangan restrain, peningkatan inkontinensia, ketidakefektifan
sirkulasi, peningkatan risiko kontraktur, dan terjadinya iritasi kulit. Indikasi
dilakukannya restrain pada pasien yaitu karena pasien amuk, marah, kondisi
2
tidak stabil, pengaruh obat dan kondisi kesadaran menurun. Restarin yang biasa
dilakukan menggunakan manset di pergelangan tangan dan pergelangan kaki.
Restrain pada pasien ini menimbulkan bekas pada setiap extremitasnya, yaitu
terutama pada bagian tangan dan kaki, sehingga perlu diberi lotion untuk
mencegah terjadinya luka tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian restrain ?
2. Bagaimana hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan restrain ?
3. Bagaimana jenis-jenis restrain ?
4. Bagaimana resiko penggunaan restrain pada pasien ?
5. Bagaimana efek yang dialami ketika dipasang restrain ?
6. Bagaimana peran pemerintah dalam menangani ODGJ ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian restrain
2. Untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan restrain
3. Untuk mengetahui jenis-jenis restrain
4. Untuk mengetahui resiko penggunaan restrain pada pasien
5. Untuk mengetahui efek yang dialami ketika dipasang restrain
6. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam menangani ODGJ

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. KONSEP PEMENUHAN KEBUTUHAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN


A. PENGERTIAN
Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan pada dasarnya merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia yang dikemukaan oleh Abraham Maslow.
Kebutuhan keselamatan dan kemanan merupakan kebutuhan dasar kedua yang
harus diupayakan setelah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan keamanan dan
keselamatan juga harus dicapai jika seseorang ingin memenuhi kebutuhan dasar
yang lain, seperti kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri,
dan kebutuhan aktualisasi diri (Green, 2000).

Secara umum keamanan (safety) adalah status seseorang dalam keadaan


aman, kondisi yang terlindungi secara fisik, sosial, spiritual, finansial, politik,
emosi, pekerjaan, psikologis atau berbagai akibat dari sebuah kegagalan,
kerusakan, kecelakaan, atau berbagai keadaan yang tidak diinginkan. Kebutuhan
keamanan berkaitan dengan konteks fisiologis dan hubungan interpersonal.
Keamanan fisiologis berkenaan dengan sesuatu yang mengancam tubuh dan
kehidupan seseorang. Ancaman yang datang secara fisiologis tersebut dapat berupa
hal yang nyata maupun imajinasi. Keamanan dalam konteks hubungan
interpersonal bergantung pada banyak faktor, seperti kemampuan berkomunikasi,
kemampuan mengontrol masalah, kemampuan memahami, tingkah laku yang
konsisten dari orang lain, serta kemampuan untuk memahami orang dan lingkungan
di sekitarnya. Ketidaktahuan seseorang akan sesuatu yang adal di sekitarnya dapat
menimbulkan perasaan cemas dan tidak aman (Asmadi , 2008).

Berbeda dengan kebutuhan keamanan, kebutuhan keselamatan merupakan


kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman yang muncul terhadap
keselamatan manusia dapat berupa ancaman mekanis, kimiawi, termal, dan
bakteriologis. Pasien kadang kurang menyadari adanya ancaman di rumah sakit
atau di tempat-tempat pelayanan kesehatan. Hal inilah yang membuat perawat
harus menyadari situasi yang mungkin dapat membuat pasien cedera. Perlindungan

4
yang diberikan bukan hanya ditujukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan tetapi
juga memelihara kebersihan (Asmadi, 2008).

Hampir sama dengan keselamatan akan ancaman fisik, keamanan fisik


(Biologic safety) merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari ancaman
kecelakaan dan cedera (injury) baik secara mekanis, termis, elektris maupun
bakteriologis. Kebutuhan keamanan fisik merupakan kebutuhan untuk melindungi
diri dari bahaya yang mengancam kesehatan fisik, yang pada pembahasan ini akan
difokuskan pada providing for safety atau memberikan lingkungan yang aman.
Sedangkan keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar
dari ancaman bahaya/ kecelakaan. Kecelakaan adalah kejadian yang tidak dapat
diduga dan tidak diharapkan yang dapat menimbulkan kerugian.

Karakteristik keamanan dan keselamatan :

1. Pervasiveness (insidensi)
Keamanan bersifat pervasif artinya luas mempengaruhi semua hal.
Artinya klien membutuhkan keamanan pada seluruh aktifitasnya seperti makan,
bernafas, tidur, kerja, dan bermain.

2. Perception (persepsi)
Persepsi seseorang tentang keamanan dan bahaya mempengaruhi
aplikasi keamanan dalam aktifitas sehari-harinya. Tindakan penjagaan
keamanan dapat efektif jika individu mengerti dan menerima bahaya secara
akurat.

3. Management (pengaturan)
Ketika individu mengenali bahaya pada lingkungan klien akan
melakukan tindakan pencegahan agar bahaya tidak terjadi dan itulah praktek
keamanan. Pencegahan adalah karakteristik mayor dari keamanan.

5
B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBUTUHAN
KEAMANAN DAN KESELAMATAN
1. Usia
Individu belajar untuk melindungi dirinya dari berbagai bahaya melalui
pengetahuan dan pengkajian akurat tentang lingkungan. Perawat perlu untuk
mempelajari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam individu sesuai usia
dan tahap tumbuh kembangnya sekaligus tindakan pencegahannya.

2. Gaya Hidup
Faktor gaya hidup yang menempatkan klien dalam resiko bahaya
diantaranya lingkungan kerja yang tidak aman, tinggal didaerah dengan tingkat
kejahatan tinggi, ketidakcukupan dana untuk membeli perlengkapan
keamanan,adanya akses dengan obat-obatan atau zat aditif berbahaya.

3. Status mobilisasi
Klien dengan kerusakan mobilitas akibat paralisis, kelemahan otot,
gangguan keseimbangan/koordinasi memiliki resiko untuk terjadinya cedera.

4. Gangguan sensori persepsi


Sensori persepsi yang akurat terhadap stimulus lingkungan sangat
penting bagi keamanan seseorang. Klien dengan gangguan persepsi rasa,
dengar, raba, cium, dan lihat, memiliki resiko tinggi untuk cedera.

5. Tingkat kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan untuk menerima stimulus lingkungan,
reaksi tubuh, dan berespon tepat melalui proses berfikir dan tindakan. Klien
yang mengalami gangguan kesadaran diantaranya klien yang kurang tidur, klien
tidak sadar atau setengah sadar, klien disorientasi, klien yang menerima obat-
obatan tertentu seperti narkotik, sedatif, dan hipnotik.

6. Status emosional
Status emosi yang ekstrim dapat mengganggu kemampuan klien
menerima bahaya lingkungan. Contohnya situasi penuh stres dapat menurunkan
konsentrasi dan menurunkan kepekaan pada simulus eksternal. Klien dengan
depresi cenderung lambat berfikir dan bereaksi terhadap stimulus lingkungan.

6
7. Kemampuan komunikasi
Klien dengan penurunan kemampuan untuk menerima dan
mengemukakan informasi juga beresiko untuk cedera. Klien afasia, klien
dengan keterbatasan bahasa, dan klien yang buta huruf, atau tidak bisa
mengartikan simbol-simbol tanda bahaya.

8. Pengetahuan pencegahan kecelakaan


Informasi adalah hal yang sangat penting dalam penjagaan keamanan.
Klien yang berada dalam lingkungan asing sangat membutuhkan informasi
keamanan yang khusus. Setiap individu perlu mengetahui cara-cara yang dapat
mencegah terjadinya cedera.

9. Faktor lingkungan
Lingkungan dengan perlindungan yang minimal dapat beresiko menjadi
penyebab cedera baik di rumah, tempat kerja, dan jalanan.

10. Informasi / komunikasi


Gangguan komunikasi seperti afasia atau tidak dapat membaca dapat
menimbulkan kecelakaan.

11. Penggunaan antibiotic yang tidak rasional


Antibiotic dapat menimbulkan resisten dan syok anafilaktik.

12. Keadaan imunitas


Gangguan imunitas akan mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terserang penyakit.

13. Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih


Sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu
penyakit.

14. Status nutrisi


Keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan mudah
terserang penyakit, demikian sebaliknya kelebihan nutrisi berresiko terhadap
penyakit tertentu.

7
15. Tingkat pengetahuan
Kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan dapat
diprediksi sebelumnya.

C. PENATALAKSANAAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN


KEAMANAN DAN KESELAMATAN
1. Meningkatkan keamanan sepanjang hayat manusia
Memastikan keamanan klien pada semua usia berfokus pada: obsevasi
atau prediksi situasi yang mungkin membahayakan sehingga dapat dihindari
dan memberikan pendidikan kesehatan yang memberikan kekuatan bagi klien
untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari cedera secara mandiri.

2. Mempertahankan kondisi aman dari api dan kebakaran


Upaya pencegahan yang bisa dilakukan perawat adalah memastikan
bahwa ketiga elemen tersebut dapat dihilangkan. Jika kebakaran sudah terjadi
ada dua tujuan yang harus dicapai yaitu: melindungi klien dari cedera dan
membatasi serta memadakan api.

3. Mencegah terjadinya jatuh pada klien


 Orientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan sistem
komunikasi yang ada
 Hati-hati saat mengkaji klien dengan keterbatasan gerak
 Supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari
 Anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan
 Berikan alas kaki yang tidak licin
 Berikan pencahayaan yang adekuat
 Pasang pengaman tempat tidur terutama pada klien dengan penurunan
kesadaran dan gangguan mobilitas
 Jaga lantai kamar mandi agar tidak licin
4. Melakukan tindakan pengamanan pada klien kejang
 Pasang pengaman tempat tidur dengan dilapisi kain tebal (mencegah nyeri
saat terbentur)
 Pasang spatel lidah untuk mencegah terhambatnya aliran udara

8
 Longgarkan baju dan ikatan leher (kerah baju)
 Kolaborasi pemberian obat antikonvulsi.
 Berikan masker oksigen jika diperlukan.
5. Memberikan pertolongan bila terjadi keracunan
Perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat bila
terjadi keracunan melalui identifikasi adanya zat-zat beracun dirumah yang
terkonsumsi, segera laporkan ke institusi kesehatan terdekat serta menyebutkan
nama dan gejala yang dialami klien, jaga klien pada posisi tenang ke satu sisi
atau dengan kepala ditempatkan diantara kedua kaki untuk mencegah aspirasi.

6. Memberikan pertolongan bagi klien yang terkena sengatan listrik


Jika seseorang terkena macroshock (sengatan listrik yang cukup besar)
jangan sentuh klien tersebut sampai pusat listrik dimatikan dan klien aman dari
arus listrik. Macroshock sangat berbahaya karena dapat menyebabkan luka
bakar, kontraksi otot, dan henti nafas serta henti jantung. Untuk mencegah
macroshock gunakan mesin/alat listrik yang berfungsi dengan baik, pakai
sepatu dengan alas karet, berdirilah diatas lantai nonkonduktif, dan gunakan
sarung tangan non konduktif.

7. Melakukan penanganan bagi klien yang terpapar kebisingan


Kebisingan memiliki efek psikososial dan efek fisiologis. Efek
psikososial seperti rasa jengkel, tidur dan istirahat terganggu, serta gangguan
konsentrasi dan pola komunikasi. Efek fisiologis meliputi peningkatan nadi dan
respirasi, peningkatan aktifitas otot, mual, dan kehilangan pendengaran jika
intensitas suara tepat. Kebisingan dapat diminimalisir dengan memasang
genting, dinding, dan lantai yang kedap suara; memasang gorden; memasang
karpet; atau memutar background music.

8. Melakukan Heimlich maneuver pada klien yang mengalami tersedak.


9. Melakukan perlindungan terhadap radiasi
Tingkat bahaya radiasi tergantung dari: lamanya, kedekatan dengan
sumber radioaktif, dan pelindung yang digunakan selama terpapar radiasi.
Upaya yang harus dilakukan oleh perawat dalam hal ini adalah memakai baju
khusus, memakai sarung tangan, mencuci tangan sebelum dan sesudah
memakai sarung tangan, dan membuang semua benda yang terkontaminasi.
9
10. Melakukan pemasangan restrain pada klien
Restrain adalah alat atau tindakan pelindung untuk membatasi
gerakan/aktifitas fisik klien atau bagian tubuh klien. Restrain diklasifikasikan
menjadi fisikal(physical) dan kemikal(chemical) restrain. Fisikal restrain
adalah restrain dengan metode manual atau alat bantu mekanik, atau lat-alat
yang dipasang pada tubuh klien sehingga klien tidak dapat bergerak dengan
mudah dan terbatas gerakannya. Kemikal restrain adalah restrain dalam bentuk
zat kimia neuroleptics, anxioulytics, sedatif, dan psikotropika yang digunakan
untuk mengontrol tingkahlaku sosial yang merusak.

Restrain sebaiknya dihindari sebab berbagai komplikasi sering


dikeluhkan akibat pemasangan restrain. Komplikasi fisik diantaranya luka
tekan, retensi urin, inkontinensia, dan sulit BAB, bahkan kematian pun
dilaporkan. Komplikasi psikologisnya adalah penurunan harga diri, bingung,
pelupa, depresi, takut, dan marah. Restrain hendaknya digunakan sebagai
alternatif terakhir. Bila dilakukan maka haruslah:

a. Di bawah pengawasan dokter dengan perintah tertulis, apa penyebabnya,


dan untuk berapa lama
b. Klien setuju dengan tindakan tersebut.

II. KONSEP RESTRAINT


A. Pengertian

Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk


tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas
individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik
dan psikologis individu.(Stuart,2001)

Restraint (fisik) merupakan alternative terakhir intervensi jika dengan


intervensi verbal, chemical restraint mengalami kegagalan. Seklusi merupakan
bagian dari restraint fisik yaitu dengan menempatkan klien di sebuah ruangan
tersendiri untuk membatasi ruang gerak dengan tujuan meningkatkan keamanan dan
kenyamanan klien.

10
Perawat perlu mengkaji apakah restraint di perlukan atau tidak. Restrein
seringkali dapat dihindari dengan persiapan pasien yang adekuat, pengawasan
orang tua atau staf terhadap pasien, dan proteksi adekuat terhadap sisi yang rentan
seperti alat infus. Perawat perlu mempertimbangkan perkembangan pasien, status
mental, ancaman potensial pada diri sendiri atau orang lain dan keamannnya.

1. Indikasi Penggunaan Restrain

Penggunaan tekhnik pengendalian fisik (restrain) dapat siterapkan


dalam keadaan: Pasien yang membutuhkan diagnosa atau perawatan dan
tidak bisa menjadi kooperatif karena suatu keterbatasan misalnya : pasien
dibawah umur, pasien agresif atau aktif dan pasien yang memiliki retardasi
mental. Ketika keamanan pasien atau orang lain yang terlibat dalam
perawatan dapatterancam tanpa pengendalian fisik (restraint). Sebagai bagian
dari suatu perawatan ketika pasien dalam pengaruh obat sedasi.

2. Kontraindikasi Pengunaan Restrain

Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) tidak boleh


diterapkan dalam keadaan yaitu: Tidak bisa mendapatkan izin tertulis dari
orang tua pasien untuk melakspasienan prosedur kegiatan. Pasien pasien
kooperatif. Pasien pasien memiliki komplikasi kondisi fisik atau mental.

Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) pada pasien dalam


penatalaksanaanya harus memenuhi syarat-syarat yaitu sebagai berikut:
Penjelasan kepada pasien pasien mengapa pengendalian fisik (restraint)
dibutuhkandalam perawatan, dengan harapan memberikan kesempatan
kepada pasien untuk memahami bahwa perawatan yang akan diberikan sesuai
prosedur dan aman badi pasien maupun keluarga yang bersangkutan.
Memiliki izin verbal maupun izin tertulis dari psikiater yang menjelaskan
jenis teknik pengendalian fisik yang boleh digunakan kepada pasien pasien
dan pentingnya teknik pengendalian fisik yang dapat digunakan terhadap
pasien berdasarkan indikasi-indikasi yang muncul.

Adanya dokumen yang menjelaskan kepada orang tua pasien pasien


maupun pihak keluarga pasien yang bersangkutan mengapa pengendalian

11
fisik (restraint) dibutuhkan dalam perawatan. Adanya penilaian berdasarkan
pedoman rumah sakit dari pasien yang pernahmenjalankan pengendalian fisik
(restraint) untuk memastikan bahwa pengendalian fisik tersebut telah
diaplikasikan secara benar, serta memastikan integritas kulit dan status
neurovaskular pasien tetap dalam keadaan baik.

Perlu digunakan teknik pengendalian fisik (restraint) adalah karena


tenaga kesehatan harus mengutamakan kebutuhan kesehatan pasien, teknik
pengendalian tersebut dapat dilakspasienan dengan cara menjaga keamanan
pasien ataupun keluarga yang bersangkutan, mengontrol tingkat agitasi dan
agresi pasien, mengontrol perilaku pasien, serta menyediakan dukungan
fisik bagi pasien.

B. Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam penggunaan Restraint

Pada kondisi gawat darurat, restrain/seklusi dapat dilakukan tanpa order


dokter. Sesegera mungkin (< 1jam) setelah melakukan restrain, perawat melaporkan
pada dokter untuk mendapatkan legalitas tindakan baik secara verbal maupun tertulis.

Intervensi restrain dibatasi waktu yaitu: 4 jam untuk klien berusia >18 tahun, 2
jam untuk usia 9-17 tahun, dan 1 jam untuk umur <9 tahun. Evaluasi dilakukan 4 jam
untuk klien >18tahun, 2 jam untuk pasien-pasien dan usia 9-17 tahun. Waktu minimal
reevaluasi oleh dokter adalah 8 jam untuk usia>18 tahun dan 4 jam untuk usia <17
tahun. Selama restrain klien di observasi tiap 10-15 menit, dengan fokus observasi:
Tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan restrain : Nutrisi dan hidrasi sirkulasi
dan rentang gerak eksstremitas tanda penting kebersihan dan eliminasi status fisik dan
psikologis kesiapan klien untuk dibebaskan dari restrain.

Alat restrain bukan tanpa resiko dan harus diperiksa dan di dokumentasikan
setiap 1-2 jam untuk memastikan bahwa alat tersebut mencapai tujuan
pemasangannya, bahwa alat tersebut dipasang dengan benar dan bahwa alat tersebut
tidak merusak sirkulasi, sensai, atau integritas kulit.

Selekman dan Snyder (1997) merekomendasikan intervensi keperawatan


yang tepat untuk pasien yang direstrain adalah:
12
1. Lepaskan dan pasang kembali restrain secara periodic.
2. Lakukan tindakan untuk memberi rasa nyaman, gunakan pelukan terapeutik
bukan restrain mekanik.
3. Lakukan latihan rentan gerak jika diperlukanTawarkan makanan, minuman dan
bantuan untuk eliminasi, beri pasien dot.
4. Diskusikan kriteria pelepasan restrain .
5. Berikan analgesik dan sedatif jika diinstruksikan atau di mintaHindari
kemarahan psikologik kepada pasien lain.
6. Berikan distraksi (membaca buku) dan sentuhan pertahankan harga diri pasien
lakukan pengkajian keperawatan yang kontinu dokumentasikan penggunaan
restrain.

C. Jenis-jenis Restrain

Pengendalian fisik (physical restraint) dengan menggunakan alat pengendalian


fisik dengan menggunakan alat merupakan bentuk pengendalian dengan menggunakan
bantuan alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien maupu nmenahan
gerakan rahang dan mulut pasien.

1. Alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien


a. Sheet and ties

Penggunaan selimut untuk membungkus tubuh pasien supaya tidak


bergerak dengan cara melingkarkan selimut ke seluruh tubuh pasien dan
menahan selimutnya dengan perekat atau mengikatnya dengan tali.

13
b. Restraint Jaket

Restraint jaket digunakan pada pasien dengan tali diikat dibelakang


tempat tidur sehingga pasien tidak dapat membukanya. Pita panjang diikatkan
ke bagian bawah tempat tidur, menjaga pasien tetap di dalam tempat tidur.
Restrain jaket berguna sebagai alat mempertahankan pasien pada posisi
horizontal yang diinginkan.

c. Papoose board

Papoose board merupakan alat yang biasa digunakan untuk menahan


gerak pasien saat melakukan perawatan gigi. Cara penggunaannya adalah
pasien ditidurkan dalam posisi terlentang di atas papan datar dan bagian atas
tubuh, tengah tubuh dan kaki pasien diikat dengan menggunakan tali kain yang
besar. Pengendalian dengan menggunakan papoose board dapat diaplikasikan
dengan cepat untuk mencegah pasien berontak dan menolak perawatan. Tujuan

14
utama dari penggunaan alat ini adalah untuk menjaga supaya pasien pasien
tidak terluka saat mendapatkan perawatan.

d. Restraint Mumi atau Bedong

Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan salah satu
ujungnya dilipat ke tengah. Pasien diletakkan di atas selimut tersebut dengan
bahu berada di lipatan dan kaki ke arah sudut yang berlawanan.

Lengan kanan pasien lurus kebawah rapat dengan tubuh, sisi kanan
selimut ditarik ke tengah melintasi bahu kanan pasien dan dada diselipkan
dibawah sisi tubuh bagian kiri. Lengan kiri pasien diletakkan lurus rapat
dengan tubuh pasien, dan sisi kiri selimut dikencangkan melintang bahu dan
dada dikunci dibawah tubuh pasien bagian kanan. Sudut bagian bawah dilipat
dan ditarik kearah tubuh dan diselipkan atau dikencangkan dengan
pinpengaman.

e. Restraint Lengan dan Kaki

Restraint pada lengan dan kaki kadang-kadang digunakan untuk


mengimobilisasi satu atau lebih ekstremitas guna pengobatan atau prosedur,
atau untuk memfasilitasi penyembuhan. Beberapa alat restraint yang da di
pasaran atau yang tersedia, termasuk restraint pergelangan tangan atau kaki
sekali pakai, atau dapat dibuat dari pita kasa, kain muslin, atau tali stockinette
tipis. Jika restraint jenis ini di gunakan, ukurannya harus sesuai dengan tubuh
pasien. Harus dilapisi bantalan untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya,
konstriksi, atau cidera jaringan. Pengamatan ekstremitas harus sering
dilakukan untuk memeriksa adanya tanda-tanda iritasi dan atau gangguan
sirkulasi. Ujung restraint tidak boleh diikat ke penghalang tempat tidur, karena

15
jika penghalang tersebut diturunkan akan mengganggu ekstremitas yang sering
disertai sentakan tiba-tiba yang dapat menciderai pasien.

f. Restraint siku

Adalah tindakan mencegah pasien menekuk siku atau meraih kepala


atau wajah. Kadang-kadang penting dilakukan pada pasien setelah bedah bibir
atau agar pasien tidak menggaruk pada kulit yang terganggu. Bentuk restraint
siku paling banyak digunakan, terdiri dari seutas kain muslin yang cukup
panjang untuk mengikat tepat dari bawah aksila sampai ke pergelangan tangan
dengan sejumlah kantong vertikal tempat dimasukkannya depresor lidah.
Restraint di lingkarkan di seputar lengan dan direkatkan dengan plester atau
pin.

g. Pedi-wrap

Pedi-wrap merupakan sejenis perban kain yang dilingkarkan pada leher


sampai pergelangan kaki pasien pasien untuk menstabilkan tubuh pasien serta
menahan gerakan tubuh pasien. Pedi-wrap mempunyai berbagai variasi ukuran
sesuai dengan kebutuhan. Alat bantu untuk menahan gerakan mulut dan rahang
pasien

h. Molt Mouth Prop

Molt mouth prop merupakan salah satu alat yang paling penting dalam
melakukan perawatan gigi. Alat ini biasanya digunakan dalam anestesi umum
untuk mencegah supaya mulut tidak tertutup saat perawatan dilakukan. Alat
ini juga sangat cocok dalam penanganan pasien yang tidak bisa membuka
mulut dalam jangka waktu lama karena suatu keterbatasan. Penggunaan molt
mouth prop harus memperhatikan posisi rahang pasien saat pasien membuka
mulutnya, supaya tidak terjadi dislokasi temporomandibular. Sebagai
tambahan, dokter gigi harus memindahkan molt mouth prop dari mulut pasien
setiap sepuluh hingga lima belas menit agar rahang dan mulut pasien
dapat beristirahat.

i. Molt Mouth Gags

16
Molt mouth gags juga merupakan salah satu alat bantu yang dapat
digunakan untuk menahan mulut pasien.

j. Tongue Blades

Tongue blades merupakan alat bantu yang digunakan untuk menahan


lidah pasien supaya tidak mengganggu proses perawatan

2. Pengendalian fisik (physical restraint) tanpa bantuan alat

Pengendalian fisik tanpa bantuan alat merupakan bentuk pengendalian


fisik tanpa menggunakan bantuan alat, pengendalian bentuk ini merupakan bentuk
pengendalian yang menggunakan bantuan perawat maupun bantuan orang tua atau
pihak keluarga pasien. Pengendalian fisik dengan bantuan tenaga kesehatan
pengendalian fisik dengan menggunakan bantuan tenaga kesehatan merupakan
bentuk pengendalian fisik dimana diperlukan tenaga kesehatan, misalnya perawat
untuk menahan gerakan pasien pasien dengan cara memegang kepala, lengan,
tangan ataupun kaki pasien pasien.

Pengendalian fisik dengan bantuan orang tua pasien pengendalian fisik


dengan bantuan orang tua sebenarnya sama dengan pengendalian fisik dengan
bantuan tim medis (tenaga kesehatan). Hanya saja peran perawat digantikan oleh
orang tua pasien pasien. Cara pengendalian dengan menggunakan bantuan orang
tua lebih disukai pasien apabila dibandingkan dengan menggunakan bantuan tim
medis, sebab pasien lebih merasa aman apabila dekat dengan orang tuanya.

D. Resiko Penggunaan Restraint pada Pasien

Terdapat beberapa laporan ilmiah mengenai kematian pasien pasien yang


disebabkan oleh penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint). Hubungan kematian
pasien dengan gangguan psikologi yang disebabkan penggunaan restraint adalah
dimana ketika pengendalian fisik (restrain) dilakukan, pasien pasien mengalami reaksi
psikologis yang tidak normal, yaitu seperti menigkatnya suhu tubuh, cardiac
arrhythmia yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya positional asphyxia,
excited delirium, acute pulmonary edema, atau pneumonitis yang dapat menyebabkan
kematian pada pasien.

17
E. Efek atau dampak yang dialami ketika mengalami restrain
1. Terjadi luka atau lecet pada saat restrain
Cedera fisik yang umumnya dialami oleh pasien yang menjalani restrain
berupa ketidaknyamanan fisik, lecet pada area pemasangan restrain, peningkatan
inkontinensia, ketidakefektivan sirkulasi, peningkatan risiko kontraktur, dan
terjadinya iritasi kulit (Kandar, 2014). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wanda, K. (2003), menyebutkan bahwa tindakan restrain yang
dilakukan pada pasien gangguan jiwa dapat menimbulkan trauma fisik maupun
efek psikologis misalnya takut, marah dan cemas.
2. Penyebab timbulnya luka atau lecet saat restrain
Timbulnya luka atau lecet dan gangguan fisiologis pada tubuh pasien
yang menjalani restrain sebagaimana dikemukakan oleh Kandar (2014) bahwa
pasien yang mengalami ketidaknyamanan fisik diakibatkan adanya pemasangan
restrain, pasien yang mengalami lecet terjadi akibat dari pemasangan restrain
yang telalu kencang, pasien juga mengalami peningkatan inkontinensia yang
disebabkan oleh terbatasnya mobilitas fisik klien yang berakibat pada
ketidakmampuan klien untuk memenuhi kebutuhan eliminasinya, dan pasien
mengalami ketidakefektifan sirkulai yang ditandai dengan terjadinya odem pada
area pemasangan restrain.
3. Perawat memberikan lotion selama restrain
Secara teknis seharusnya perawat memberikan lotion untuk
mengantisipasi timbulnya gangguan fisik pada pasien serta menjaga
kenyamanan pasien. Tidak diberikannya lotion pada pelaksanaan restrain salah
satunya disebabkan kondisi pasien yang menyebabkan pasien secara emosional
kurang siap sehingga tidak dapat melaksanakan semua prosedur restrain dengan
baik.
Abraham, C dan Shanley (Faiqoh, 2009) mengemukakan bahwa salah
satu stressor pada perawat pasien penyakit jiwa adalah karakteristik pasien
penyakit jiwa yang negative seperti sulit diajak berkomunikasi, agresif, dan lain-
lain. Keadaan dimana tekanan-tekanan pekerjan lebih berat karena setiap hari
mengurus dan merawat pasien penyakit jiwa mengharuskan perawat pasien
penyakit jiwa untuk mampu mengendalikan dan bertindak sesuai dengan tata
cara perawatan sehingga tidak membahayakan diri dan pasien. Keadaan yang
18
rentan dapat menyebabkan stres tersebut juga dapat menyebabkan individu
menjadi kurang dapat mengontrol diri dan tingkah lakunya. Keadaan ini dapat
menyebabkan individu melakukan tindakan-tindakan yang disebut perilaku
antisosial, termasuk perilaku agresif.
4. Kesulitan bergerak selama restrain
Kesulitan bergerak selama restrain merupakan salah satu langkah untuk
meredahkan tingkat agresifitas pasien. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan
Perry dan Potter (2005) bahwa restrain dalam psikiatrik, secara umum mengacu
pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi
gerakan ekstremitas individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan
untuk memberikan keamanan fisik dan psikologis individu. Didalam
pelaksanaan prosedur ini di Rumah Sakit tentunya harus memiliki standarisasi
demi kode etik dan legal dalam pelaksanaan prosedur pada pasien. Dalam dunia
pelayanan kesehatan standar tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang
harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu dikenal dengan
istilah standard operating procedure (SOP) atau Standar Prosedur Operasional
(SPO).
5. Pengikatan yang dilakukan terlalu kencang
Pelaksanaan restrain pada pasien gangguan jiwa dengan perilaku
agresifitas harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip menjaga hak
asasi manusia, baik pada pasien maupun keluarga pasien. Malfasari (2014)
mengemukakan bahwa pelindungan HAM pada pasien gangguan jiwa pelaksaan
restrain adalah menjadikan restrain bukan sebagai hukuman. International Bill
of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk tidak
mendapatkan kekerasan baik itu kekerasaan fisik maupun mental. Jika restrain
dilaksanakan karena alasan untuk menghukum pasien, berarti perorangan atau
sebuah organisasi tersebut sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
6. Perlakuan kasar perawat selama restrain
Perlakuan kasar yang dilakukan oleh perawat dalam pelaksanaan restrain
sebenarnya tergantung dari kondisi pasien ketika mengalami perilaku kekerasan.
Perawat yang merasa dirinya terancam ketika menjalankan restrain maka akan
memunculkan sikap bertahan pada diri perawat sehingga seakan-akan sikap
tersebut menjadi perilaku yang kasar kepada pasien. As’ad dan Sucipto (2010)
19
mengemukakan bahwa perilaku agresifitas yang dilakukan pasien gangguan jiwa
merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan fisik dan psikologis perawat.
Perawat cenderung menjadi korban dalam perilaku kekerasan pasien gangguan
jiwa. Perawat harus menghadapi kekerasan secara fisik hampir setiap hari
sehingga memunculkan sikap defensive dan hati-hati pada diri perawat dalam
penanganan pasien gangguan jiwa.

III. KONSEP LANJUT USIA


A. Definisi Lanjut Usia
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak
secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan
akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang
dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami
yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses
menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Diamana
seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap
(Ma’rifatul, 2011). Lanjut usia adalah seseorang yang berusia lebih dari 65 atau 70
tahun yang dibagi lagi dengan 70-75 tahun (young old), lebih dari 80 tahun (very
old) (Setyonegoro, dalam Azizah, 2011). Sedangkan menurut Reimer et al, Stanley
and Beare (2007), mendefinisikan lanjut usia berdasarkan karakteristik sosial
masyarakat yang menganggap bahwa orang yang telah tua menunjukan ciri fisik
seperti rambut beruban, kerutan kulit dan hilangnya gigi. Dalam peran masyarakat
tidak bisa melaksanakan lagi fungsi peran orang dewasa, seperti pria yang tidak lagi
berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif, dan wanita tidak dapat memenuhi
tugas rumah tangga. Kriteria simbolik seseorang dianggap tua ketika cucu
pertamanya lahir.
Berdasarkan definisi Ma’rifatul (2011), Setyonegoro (dalam Azizah, 2011)
dan Reimer et al, Stanley and Beare (2007). Dapat disimpulkan bahwa Lanjut usia
adalah bagian dari proses tumbuh kembang yang terjadi didalam suatu kehidupan.
Proses perkembangan itu dimulai dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya
menjadi tua. Lanjut usia menunjukan ciri fisik seperti rambut beruban, kulit
mengendur, dan kehilangan gigi, dan dialam peran masyarakat nya lanjut usia tidak
20
bisa lagi melaksanakan fungsi peran orang dewasa, seperti pria yang tidak lagi
berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif, dan wanita tidak dapat memenuhi
tugas rumah tangga. Dan seseorang lanjut usia adalah seseorang yang berusia lebih
dari 65 atau 70 tahun.
B. Klasifikasi lansia
Menurut WHO klasifikasi lanjut usia bisa dibedakan menjadi :
1. Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia 45-59 tahun
2. Usia lanjut (elderly) antara 60-70 tahun
3. Usia lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
Menurut Setyonegoro (dalam Azizah, 2011) usia dikelompokkan menjadi
1. Usia dewasa muda (elderly adulthood), 18 atau 19-25 tahun
2. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas, 25-60 tahun atau 65 tahun
3. Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang dibagi lagi
dengan 70-75 tahun (young old), lebih dari 80 tahun (very old)

C. Fisiologi Lansia
Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus menerus secara
alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya dan umunya dialami
seluruh makhluk hidup. Menua merupakan proses penurunan fungsi struktural
tubuh yang diikuti penurunan daya tahan tubuh. Setiap orang akan mengalami masa
tua, akan tetapi penuaan pada tiap seseorang berbeda-beda tergantung pada
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor
herediter, nutrisi, stress, status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006).

D. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan
masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun
psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun
psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan
berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.
21
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi
tidak harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat
dalam hal ini diartikan:
 Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
 Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari,
 Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo,
1996)
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan
yang menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus-menerus. Apabila
proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah
berbagai masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh MunandarAshar Sunyoto
(1994) menyebutkan masalah – masalah yang menyertai lansia yaitu:
 Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain
 Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola
hidupnya
 Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah
meninggal atau pindah
 Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah
banyak
 Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan
dengan perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik
yang mendasar adalah perubahan gerak.
Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan
bahwa perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya
terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya.
Bagaimana sikap yang ditunjukkan apakah memuaskan atau tidak memuaskan, hal
ini tergantung dari pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya.
Perubahan ynag diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan
dengan masalah peningkatan kesehatan, ekonomi/pendapatan dan peran sosial
(Goldstein, 1992)
Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri
penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979 dalam Munandar, 1994)
adalah:
22
 Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya.
 Penarikan diri ke dalam dunia fantasi
 Selalu mengingat kembali masa lalu
 Selalu khawatir karena pengangguran,
 Kurang ada motivasi,
 Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan
 Tempat tinggal yang tidak diinginkan.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah:
minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas,
menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilkukan saat ini dan
memiliki kekhawatiran minimla trehadap diri dan orang lain.

E. Karakteristik Lansia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan
masalah kesehatan lansia adalah:
1. Jenis kelamin : Lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan
kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara lansia laki-laki dan
perempuan. Misalnya lansia laki-laki sibuk dengan hipertropi prostat, maka
perempuan mungkin menghadapi osteoporosis
2. Status perkawinan: Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda atau
duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun
psikologis.
3. Living arrangement: misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama
instri, anak atau keluarga lainnya.
Tanggungan keluarga: masih menangung anak atau anggota keluarga.
Tempat tinggal: rumah sendiri, tinggal bersama anak. Dengan ini kebanyakan
lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya, baik lansia sebagai kepala
keluarga atau bagian dari keluarga anaknya. Namun akan cenderung bahwa
lansia akan di tinggalkan oleh keturunannya dalam rumah yang berbeda.
Menurut Darmawan mengungkapkan ada 5 tipe kepribadian lansia yang perlu
kita ketahui, yaitu: tipe konstruktif (constructive person-ality), tipe mandiri
(independent personality), tipe tergantung (hostilty personality) dan tipe kritik
diri (self hate personality).
23
4. Kondisi kesehatan
 Kondisi umum: Kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada orang
lain dalam kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air besar dan kecil.
 Frekuensi sakit: Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak
produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain.
5. Keadaan ekonomi
 Sumber pendapatan resmi: Pensiunan ditambah sumber pendapatan lain
kalau masih bisa aktif.
 Sumber pendapatan keluarga: Ada bahkan tidaknya bantuan keuangan dari
anak atau keluarga lainnya atau bahkan masih ada anggota keluarga yang
tergantung padanya.
 kemampuan pendapatan: Lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi,
sementara pendapatan semakin menurun. Status ekonomi sangat terancam,
sehinga cukup beralasan untuk melakukann berbagai perubahan besar dalam
kehidupan, menentukan kondisi hidup yang dengan perubahan status
ekonomi dan kondisi fisik

F. Perubahan – perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia,
tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual
(Azizah, 2011).
1. Perubahan Fisik
a. Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh
karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata,
b. Sistem Intergumen:
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak.
c. Sistem Muskuloskeletal
24
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain sebagai berikut:
Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai pendukung
utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami
perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
d. Tulang: berkurangnya kepadatan tualng setelah di obserfasi adalah bagian
dari penuaan fisiologi akan mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.
e. Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangat berfariasi, penurunan
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan
jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
f. Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.
g. Sistem kardiovaskuler
Massa jantung bertambah, vertikel kiri mengalami hipertropi dan
kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada
jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi Sa nude dan
jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
h. Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru
tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah untuk mengompensasi
kenaikan ruang rugi paru, udara yang mengalir ke paru berkurang.
i. Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata :
1) Kehilangan gigi,
2) Indra pengecap menurun,
3) Rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun),
4) Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan,
berkurangnya aliran darah.
j. Sistem perkemihan
k.Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak fungsi
yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan
reabsorpsi oleh ginjal.
25
2. Perubahan Kognitif
a. Memory (Daya ingat, Ingatan)
b. IQ (Intellegent Quocient)
c. Kemampuan Belajar (Learning)
d. Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
e. Pemecahan Masalah (Problem Solving)
f. Pengambilan Keputusan (Decission Making)
g. Kebijaksanaan (Wisdom)
h. Kinerja (Performance)
i. Motivasi
3. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khsusnya organ perasa.
b. Kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan (hereditas)
e. Lingkungan
f. Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
h. Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
famili.
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran
diri, perubahan konsep diri.
4. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow,
1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat
dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970)
5. Kesehatan Psikososia
a. Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama
jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit
fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama
pendengaran.
26
b. Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada
lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
c. Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti
dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode
depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi
d. Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas umum,
gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif,
gangguan-gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek
samping obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
e. Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga),
lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau berniat
membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau
menarik diri dari kegiatan sosial.
f. Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku sangat
mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-
main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak
teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang
kembali.

IV. Peranan Pemerintah Dalam Menangani ODGJ


1. Mencapai masyarakat Indonesia yang bebas dari tindakan pemasungan terhadap
orang dengan gangguan jiwa, melalui:
a. Terselenggaranya perlindungan HAM bagi orang dengan gangguan jiwa.
Tercapainya.
27
b. Peningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan di bidang
kesehatan jiwa.
c. Terselenggaranya pelayanan kesehatan jiwa yang bekualitas di setiap tingkat
layananmasyarakat.
d. Tersedianya skema pembiayaan yang memadai untuk semua bentuk upaya
kesehatan jiwa di tingkat pusat maupun daerah.
e. Tercapainya kerjasama dan koordinasi lintas sektor di bidang upaya
kesehatan jiwa.
f. Terselenggaranya sistem monitoring dan evaluasi di bidang upaya kesehatan
jiwa
2. Penangulangan Pemasungan
a. menyediakan fasilitas rehabilitasi ODGJ
b. menyediakan anggaran dalam penanganan ODGJ
c. menyediakan obat-obatan yang diperlukan dalam pencegahan kekambuhan
bagi ODGJ.
d. meningkatkan upaya promotif bagi masyarakat dalam hal kesehatan jiwa agar
masyarakat mengetahui masalah kesehatan jiwa, dilakukannya berbagai
upaya untuk mencegah dan menangani masalah kesehatan jiwa, menghargai
dan melindungi ODGJ, serta memberdayakan ODGJ.

28
BAB III

HASIL TELAAH

A. RINGKASAN HASIL PENELITIAN


Hampir di seluruh dunia, ancaman dan kekerasan (disebut insiden
agresif) yang dilakukan oleh pasien di unit rawat inap darurat jiwa sangat
umum dan merupakan faktor umum mengenai penerapan pengekangan
mekanis dan fisik. Insiden agresif disebabkan oleh banyak penyebab, seperti
frustrasi, patologi, atau pengaruh staf terhadap lingkungan atau bahkan staf,
hubungan pasien. Pengekangan fisik tak terelakkan dalam beberapa situasi
untuk mencegah pasien dari merugikan diri sendiri atau orang lain.
Diperkirakan bahwa 75% pengekangan fisik dan pengasingan dapat dicegah
dengan menerapkan mekanisme yang sesuai seperti berbagi rencana
perawatan dengan pasien, merenovasi lingkungan darurat, melatih staf
bagaimana melakukan teknik de-eskalating dan intervensi yang kurang kuat
dan bagaimana mengenali faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran,
dan memberikan umpan balik reguler kepada staf dan sebagainya.
Berdasarkan penelitian berbasis bukti penelitian ini menghasilkan
keseluruhan tema: Kehadiran Fisik, Instruksi dan Perilaku Tertentu Dapat
Mengurangi Ketidakpuasan dan Trauma pada Restrain. Hasilnya
menunjukkan bahwa kehadiran staf secara fisik sangat penting bagi
pengalaman positif pasien selama masa pengekangan mekanisnya. Sikap
dan tingkat perawatan yang tepat dari staf saat menempatkan pasien dalam
batasan mekanis adalah faktor penentu mengenai bagaimana situasi dialami.
Informan menunjukkan pentingnya menerima instruksi yang jelas selama
situasi pengekangan mekanis. Menerima pengetahuan tentang apa yang
terjadi dan apa yang akan terjadi memberi peserta rasa kontrol, ketenangan,
dan keamanan. Hasil serupa telah dijelaskan sebelumnya; misalnya, telah
menunjukkan bagaimana sikap tenang dan profesional terhadap pasien

29
dalam situasi pengekangan mekanis meningkatkan kemungkinan
pengalaman positif bagi pasien. Pentingnya memberikan informasi yang
jelas kepada pasien juga telah dilaporkan. Nilai kehadiran anggota staf telah
dilaporkan. Isu penting dalam penelitian ini adalah pentingnya kehadiran
fisik staf pendukung selama prosedur dan prosedur pembekalan
sesudahnya. Jika tidak, seperti yang telah ditunjukkan oleh studi ini,
pengekangan mekanis dapat dialami sebagai kasar dan, dalam beberapa
kasus, menciptakan trauma. Konsekuensinya, penting untuk
mengidentifikasi pasien berisiko sehingga pengendalian koersif dapat
dicegah.
Bila pengekangan mekanis tidak dapat dihindari, perspektif
keperawatan harus dipertimbangkan. Informasi harus diberikan secara
tenang dan sensitif, staf harus hadir secara fisik selama keseluruhan
prosedur, dan pembekalan harus dilakukan setelahnya. Jika ini tercapai,
keseluruhan tujuan QSEN untuk meningkatkan kualitas dan keamanan
sistem perawatan kesehatan sedang dalam perjalanan untuk dicapai.
Pentingnya kehadiran staf yang berkomitmen selama pengekangan mekanis
yang ditunjukkan oleh penelitian ini menunjukkan pentingnya melatih
perawat psikiatri akut dengan benar sehingga kehadiran mereka bermakna.
Perawat dalam pengaturan psikiatri akut harus diminta untuk benar-benar
berkomitmen, sadar akan tindakan mereka, dan hadir sepenuhnya dalam
situasi pemaksaan dimana pasien rentan. Ini mengharuskan manajer
pengaturan psikiatri akut memastikan bahwa staf mendapatkan pelatihan
yang sesuai dalam empati dan pencegahan kekerasan. Selanjutnya, ini bisa
menjadi dasar konsensus saat membuat rutinitas nasional untuk asuhan
keperawatan dalam situasi pengekangan mekanis.

B. PEMBAHASAN

30
Pada stase keperawatan Jiwa di Ruang Brotojoyo selama kurang
lebih 2 minggu, kami mengangkat tema untuk pengerjaan EBP kami yaitu
mengenai restrain pada subjek pasien dengan riwayat gaduh gelisah atau
dengan resiko perilaku kekerasan. Pada kesempatan ini, restrein yang kami
angkat sebagai sub pembahasan kami yang utama adalah penggunaan lotion
dan lamanya durasi restrein terhadap keamanan dan keselamatan pasien.
Hal ini didasari oleh karakteristik responden di Ruang Brotojoyo dimana
ruangan tersebut merawat pasien psikogeriatri yang memiliki resiko
terhadap kerusakan integritas kulit selama di restrein.
Restrein atau pengikatan fisik (dalam psikiatrik) secara umum
mengacu pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang
atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang berperilaku diluar
kendali (lepas kontrol) dengan tujuan untuk memberikan keamanan fisik
dan psikologis bagi individu tersebut. Pengikatan fisik merupakan
alternative intervensi terakhir jika dengan intervensi verbal (persuasi),
pengekangan kimia (biologi) mengalami kegagalan. Berdasarkan standar
operasional yang terdapat dirumah sakit dengan jurnal yang dikaitkan ada
beberapa tahapan yang berbeda seperti pada prosedur dirumah sakit.
Pada standar prosedur operasional yang terdapat di Rs dr.Amino
Gondohutomo khususnya di Ruang Brotojoyo terkait restrain yaitu tertera
bahwa restrain digunakan untuk membatasi gerakan pada pasien yang
beresiko mencederai diri sendiri maupun orang lain. Restrein yang
dilakukan pada usia >18 tahun maka setiap 4 jam harus dikontrol atau dicek
ulang, hal ini bertujuan untuk tetap menjaga keamanan dan keselamatan
pasien atau lebih tepatnya mencegah resiko cedera pada pasien sedangkan
jurnal terkait restrain yang kami dapatkan menjelaskan tidak hanya sekedar
durasi lamanya restrain yang dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien,
tetapi perlu juga dilakukan pengolesan lotion pada kulit pasien serta
pengendoran ikatan restrain setiap 4 jam akan sangat membantu mengurangi
resiko cedera pada pasien. Selebihnya hampir semua tahapan dalam standar
prosedur operasional dirumah sakit telah sama dan sesuai dilakukan.

31
Dengan demikian, hal tersebut sesuai dengan hasil kelolaan kami
selama 2 hari terhadap 2 pasien yang menjadi subjek dalam kelolaan EBP
di Ruang Brotojoyo dengan sistem dimana 1 orang pasien (Ny.N) diberikan
intervensi sesuai dengan SPO restrain yang ada di ruangan tersebut dan 1
orang pasien lainnya (Ny.S) diberikan intervensi sesuai dengan jurnal yang
kami dapatkan. Pada hasil evaluasi kelompok terhadap 2 pasien kelolaan
didapatkan bahwa Ny.Ntampak terjadinya ruam kemerahan pada sekitar
lokasi restrain dengan luas ± 7 cm, tampak kulit kering, sedangkan pada
pasien Ny.S didapatkan bahwa kulit lembab, tidak terdapat ruam kemerahan
maupun luka lecet di sekitar lokasi restrain. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan penggunaan lotion pada pasien yang terpasang restrain terbukti
dapat mencegah cedera pada pasien, sehingga keamanan dan keselamatan
pasien tetap terjaga.

BAB IV

32
HASIL TELAAH

A. KESIMPULAN
Pelatihan semua perawat dalam teknik de-eskalasi sangat penting untuk
mencegah perilaku kekerasan baik pada petugas kesehatan, keluarga maupun
lingkungan.

Untuk mencegah perilaku kekerasan, penting untuk melakukan intervensi


dan meredakan situasi sebelum pasien sampai pada titik kehilangan kendali
diri. Perawat yang memadai sangat penting karena harus siap untuk melakukan
intervensi lebih awal dengan intervensi de-eskalasi untuk mencegah kekerasan.
Sangat penting bahwa petugas layanan kesehatan melakukan intervensi pada
tanda pertama bahwa perilaku kekerasan pada pasien meningkat. Turunkan
stimulasi lingkungan jika memungkinkan dan pindahkan individu yang gelisah
ketempat yang lebih tenang.

Memvalidasi dan mendorong individu untuk mendiskusikan perasaannya.


Mendidik individu tentang teknik manajemen stress. Fokus pada elemen
rencana pengobatan untuk mencegah kekerasan, misalnya. de-eskalasi,
pengobatan, pengamatan khusus one-to-one, dan pengembangan keterampilan.
Jika alternative ini gagal, upaya terakhir untuk pencegahan perilaku kekerasan
adalah pengasingan atau penerapan pengekangan fisik per-kebijakan rumah
sakit.

B. SARAN
Penelitian ini diperlukan dalam penerapan restrain lanjutan dan
melindungi keselamatan pasien kedalam semua lingkungan kesehatan.
Restrain meningkatkan keamanan, dan melindungi pasien dari tindakan yang
dapat menciderai dirinya, orang lain, dan lingkungan. Maka pasien perlu di
lakukan restrain sampai keadaan pasien tenang.

DAFTAR PUSTAKA

33
Master, Kim J. 2017. Physical Restraint: A Historical Review and Current Practice.
Psychiatric Annals Vol. 47 No. 1. doi: 10.3928/00485713-20161129-01.

Lanthén, Klas, RaskMikael, Sunnqvist3Charlotta.2015. Psychiatric Patients


Experiences with Mechanical Restraints:An Interview Study. Hindawi
Publishing Corporation. Psychiatry Journal Volume 2015.Article ID
748392, 8 pages. http://dx.doi.org/10.1155/2015/748392

Booth,James Stuart.2015. Four-Point Restraint: Overview, Periprocedural Care,


Technique. https://emedicine.medscape.com/article/1941454-
overview#showall diakses tangggal 29 November 2017

34

Anda mungkin juga menyukai