Anda di halaman 1dari 10

Sindrom Nefrotik pada Anak

Joni Indah sari (102012127)


FK UKRIDA
Jalan Arjuna utara No.6 Jakarta Barat, 11510
Email : joniindahsari@yahoo.com

Abstrak

Sindrom nefrotik merupakan salah satu kelainan fungsi ginjal yang


ditandai dengan edema, proteinuria, dan hiperlipidemia. Sindrom nefrotik
menurut etiologinya dibagi menjadi 2 yaitu sindrom nefrotik primer (etiologinya
iodopatik) dan sindrom nefrotik sekunder (akibat penyakit sistemik lain).
Menurut tipe histologinya anak paling sering mengalami sindrom nefrotik tipe
Minimal Change Disease. Penyakit ini prognosisnya relatif lebih baik
dibandingkan sindrom nefrotik tipe histologi yang lain. Karakteristik utama dari
Minimal Change Disease yang membedakannya dari yang lain adalah tidak
adanya hematuria, hipertensi, dan cenderung responsif terhadap terapi steroid.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
urinanalisis dan pemeriksaan histopatologi. Tatalaksana ditujukan untuk
mengurangi gejala seperti mengurangi edema, mengurangi proteinuria, dan
menghindari komplikasi. Komplikasi tersering dari sindrom nefrotik adalah
infeksi dan episode tromboemboli.

Kata kunci : sindrom nefrotik, edema, proteinuria, hiperlipidemia, Minimal


Change Disease, hematuria, hipertensi, steroid, urinanalisis, tromboemboli

Abstract

Nephrotic syndrome is a group of symptoms that caused by abnormality


in renal function. It’s characteristics are edema, proteinuria, and hyperlipidemia.
According to the etiology, nephrotic syndrome are classified as primary
nephrotic syndrome (which etiology is iodophatic) and secondary nephrotic
syndrome ( the etiology are other systemic disease). As with histologic
classification, children with nephrotic syndrome mostly have what it called
Minimal Change Disease. The main characteristic of Minimal Change Disease
which differentiate it from other types are there is no hematuria and
hypertension, and it’s tendency to respond to steroid therapy. Workups to make
the diagnosis include urinanalysis and histophatology. The goal treatment are to
alleviate the symptoms (edema, proteinuria) and preventing further
complications. The most common complication in nephrotic syndrome are
infection and thromboemboli episode.

Keywords : nephrotic syndrome, edema, proteinuria, hyperlipidemia, Minimal


Change Disease, hematuria, hypertension, steroid, urinanalysis, thromboemboli
Pendahuluan

Salah satu bentuk kelainan fungsi ginjal adalah suatu kumpulan gejala
yang terdiri dari albuminuria (>3,5 gr/dl) dan hipoalbuminemia (<30 gr/L),
edema, hipertrigliseridia, dan lipiduria. Kumpulan gejala-gejala itu disebut
sindrom nefrotik.1 Sindrom nefrotik terjadi terutama pada anak usia 2-6 tahun
(2 kasus baru/100.000 orang per tahun) dan pada orang dewasa semua usia (3-
4 kasus baru/100.000 orang/tahun).2 Penyebab utama dari sindrom nefrotik
kebanyakan tidak diketahui (iodophatic) dan sebagian kecil penyebabnya adalah
sekunder akibat penyakit lain. Sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
yang penyebabnya tidak diketahui. Ada 4 spektrum sindrom nefrotik menurut
gambaran histopatologinya yaitu Minimal Change Disease (MCD), focal segmental
glomerular sclerosis (FSGS), membranous nephropathy, dan
membranoproliferative glomerular nephropathy.2

Etiologi dan Epidemiologi Sindrom Nefrotik

Seperti dijelaskan sebelumnya pada pendahuluan, sindrom nefrotik


terdiri dari albuminuria, hipoalbuminemia yang kemudian menyebabkan edema,
dan hyperlipidemia. Angka kejadiannya di negara Barat adalah 2-3
kasus/100.000 orang tiap tahun dan lebih tinggi prevalensinya di negara yang
belum berkembang akibat malaria. Sindrom nefrotik primer lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dan terjadi antara usia 2-6
tahun.3 Penyebab dan jenis histologic sindrom nefrotik bervariasi menurut umur.
Pada anak-anak, penyebab sindrom nefrotik adalah lesi primer di ginjal,
sedangkan pada orang dewasa penyebab utamnya adalah sekunder akibat
penyakit lain. Penyebab sekunder sindrom nefrotik paling sering pada dewasa
adalah diabetes, amyloidosis, dan SLE.4 Entitas sindrom neftrotik primer bisa
saja iodophatik, tapi juga bisa mengikuti infeksi virus saluran napas atas
(terutama pada anak), penyakit tumor, obat (lithium), dan reaksi
hipersensitivitas (kortikosteroid, sengatan lebah).5 MCD merupakan penyebab
penyakit ginjal proteinuria tersering pada anak-anak, yaitu bisa mencapai 80%
dari semua kasus sindrom nefrotik primer,5 sedangkan pada dewasa tipe
sindrom nefrotik tersering adalah FSGS.4

Patofisiologi Sindrom Nefrotik

Abnormalitas utama pada sindrom nefrotik adalah peningkatan


permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan proteinuria massif dan
hipoalbuminemia.3 Seperti kita ketahui, glomerulus yang berfungsi menfiltrasi
plasma terdiri dari 3 lapis penting penyaring yaitu endothelium yang fenestrated,
membran basalis ginjal, dan sel epitel visceral ginjal (podosit) yang juluran
kakinya membentuk celah filtrasi (filtration slit). Ginjal menyaring zat sesuai
dengan ukurannya. Semakin kecil ukuran molekul, semakin mudah zat itu lolos
dari ketiga lapisan penyaring itu. Protein merupakan molekul yang besar dan
tidak pernah melewati penyaring pertama yaitu fenestrated endothel , kecuali
protein yang ukurannya kecil, contohnya albumin. Hal itu tidak serta membuat
albumin ada di dalam urin. Mengapa demikian? Hal ini dapat dijelaskan karena
membran basalis ginjal mengandung kolagen dan glikoprotein. Kolagen
berfungsi untuk keutuhan structural ginjal, sedangkan glikoprotein berfungsi
untuk menghalangi filtrasi protein dengan berat molekul kecil. Glikoprotein yang
bermuatan negatif akan menghambat keluarnya albumin yang juga sama
bermuatan negatif.6 Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari protein yang kecil misalnya albumin,
sedangkan proteinuria non-selektif terjadi jika protein yang keluar adalah
protein yang besar seperti immunoglobulin.7
Proteinuria pada berbagai kelainan sindrom nefrotik disebabkan oleh
berbagai hal. Pada MCD, proteinuria yang terjadi adalah proteinuria selektif.
Penyebab proteinuria pada MCD adalah berkurangnya heparin sulfat
proteoglikan menyebabkan muatan negatif membran basalis ginjal menurun
sehingga akan menyebabkan albumin dapat lolos ke urin. Pada FSGS, proteinuria
disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi yang kemudian
menyebabkan terlepasnya epitel visceral glomerulus dari membran basalis
ginjal. Proteinuria pada membranous nephropathy disebabkan karena kerusakan
struktur membran basalis ginjal akibat dari endapan kompleks imun di
subepitel. Kompleks C5b-9 akan meningkatkan permeabilitas membran basal
ginjal walaupun mekanismenya belum diketahui.7
Proteinuria massif akan menyebabkan hipoalbuminemia yang lalu akan
menyebabkan transudasi plasma ke jaringan interstitial sehingga akan
menyebabkan edema. Kadar albumin plasma ditentukan oleh asupan albumin
dari luar, sintesis albumin oleh hati, dan kehilangan albumin melalui urin. 7
Pengurangan volume cairan intravascular akibat transudasi ke jaringan
intersitiel juga akan menyebabkan perfusi ginjal berkurang. Hal ini akan
merangsang ginjal untuk mengaktifkan sistem RAAS, sehingga akan teraktivasi
angiotensin 2 yang akan meningkatkan produksi aldosterol dan ADH sehingga
retensi air akan meningkat.
Sebagai mekanisme kompensasi dari keadaan hipoalbumin ini, hati akan
berusaha meningkatkan sintesis albumin.7 Hipoalbuminemia akan menyebabkan
peningkatan sintesis semua jenis protein, termasuk lipoprotein.3 Hiperlipidemia
(teruama peningkatan kolesterol dan trigliserid darah) disebabkan oleh
peningkatan sintesis lipoprotein oleh hati dan penurunan katabolismenya.
Peningkatan lipoprotein ini akan meningkatkan kadar trigliserid (karena
peningkatan VLDL) dan kolesterol (karena peningkatan LDL) darah, serta faktor
koagulasi darah sehingga kecenderungan thrombosis juga akan meningkat.
Mekanisme hiperkoagulasi pada sindrom nefrotik cukup kompleks yang meliputi
peningkatan fibrinogen, hiperagregrasi trombosit, dan penurunan fibrinolysis.7
Peningkatan trigliserid dan kolesterol darah juga diakibatkan oleh penurunan
kadar lipoprotein lipase yang hilang lewat urin.3 Lipiduria juga sering ditemukan
pada sindrom nefrotik dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan
cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria
lebih dikatikan dengan proteinuria dibandingkan dengan hyperlipidemia. 7
Pasien dengan sindrom nefrotik juga lebih rentan mengalami infeksi terutama
infeksi organisme yang berkapsul (Streptoccocus pneumoniae dan Hemmophillus
influenza) karena hilangnya faktor komplemen C3b, opsonin seperti properdin
factor B, dan immunoglobulin di urin, serta akibat dari penggunaan agent
immunosupresive untuk mengobati sindrom nefrotik ini sendiri.3
Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Episode awal terjadinya sindrom nefrotik atau terjadinya relaps biasanya


mengikuti infeksi minor dan lebih jarangnya karena gigitan serangga, sengatan
lebah, atau poison ivy.3 Edema perifer adalah tanda sindrom nefrotik yang
lumayan khas terjadi ketika kadar albumin serum <3 gr/dL (<30 g/L).7 Anak-
anak biasanya mengalami edema ringan, yang biasanya akan nampak awal di
sekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindroma nefrotik sering disalah diagnosis
sebagai reaksi alergi karena sifat edemanya yang akan berkurang dengan
berjalannya hari. Dengan berjalannya waktu dan memberatnya penyakit, dapat
terjadi edema yang umum (generalized edema/anasarca), asites, efusi pleura,
dan edema genital.3 Gambaran pasien yang khas adalah adanya edema perifer
yang berat, dyspnea pada aktivitas, dan rasa penuh pada abdomen karena asites.
Ada peningkatan berat badan yang signifikan pada kebanyakan pasien.2
Gejala utama yang penting dari MCD adalah tidak adanya hipertensi dan
gross hematuria.3 Yang perlu diperhatikan juga adalah MCD berespon baik
terhadap pengobatan Kortikosteroid.4

Pemeriksaan Laboratorium pada Sindrom Nefrotik

Pada pemeriksaan urinanalisis dapat ditemukan proteinuria 3+ atau 4+


dan hematuria mikroskopik terjadi hanya pada 20% pasien.3 Tes screening
untuk proteinuria adalah analisis dipstick urin, tapi test ini hanya diindikasikan
untuk albumin. Penambahan asam sulfosalisilat pada sedimen urin menjadikan
paraprotein abnormal lain dapat terdeteksi.5
Pemeriksaan spot urine ratio protein dan kreatinin memberikan
perkiraan berapa gram protein yang disekresikan tiap hari.5 Ratio protein :
kreatinin urin melebihi 2,0 dan ekskresi protein urin melebihi 40 mg/m2/jam
pada anak,3 sedangkan pada orang dewasa ambang proteinuria adalah >3,5
gr/dL/1,73 m2.8 Berat jenis urin juga lebih tinggi akibat proteinuria.
Hipoalbuminemia merupaka marker penting dari sindrom nefrotik. Level
hipoalbuminemia dimana edema dapat terjadi bervariasi. Sindrom nefrotik pada
anak terjadi jika albumin serum <2,5 gr/dL.8 Pemeriksaan lain yang dilakukan
pada sindrom nefrotik adalah pemeriksaan kolesterol dan trigliserid darah. Tes
fungsi renal biasanya normal kecuali pada kasus-kasus dimana terjadi FSGS yang
tidak terdiagnosis atau pada kasus-kasus yang berlanjut menjadi gagal ginjal
akut.8 Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan penyakit sistemik
penyebab sindrom nefrotik meliputi kadar komplemen, elektroforesis urin
serum dan urin, antibody antinuclear, dan pemeriksaan serologi untuk
Hepatitis.5

Berbagai Tipe Sindrom Nefrotik Berdasarkan Gambaran Histologiknya

Minimal Change Disease Merupakan jenis histologik sindrom nefrotik


yang paling sering dijumpai pada anak. MCD bermanifestasi sebagai terjadinya
sindrom nefrotik secara insidious pada anak kecil yang kelihatannya sehat-sehat
saja. Tidak ada hipertensi dan hematuria, sedangkan pada pada FSGS kejadian
hipertensi dan hematuria lebih sering terjadi.4 Di bawah mikroskop cahaya
terlihat struktur glomerulus yang normal, tetapi memperlihatkan fusi (juluran
kaki) podosit dan terlepasnya sel dari struktur membran basalis ginjal.7 Ketika
perubahan podosit bisa diperbaiki (misalnya karena pengobatan
Kortikosteroid), maka proteinuria akan mengalami remisi.4 Sel di tubulus
kontortus proksimal ginjal biasanya banyak mengandung droplet protein dan
lipid, tapi hal ini dikarenakan reabsorbsi lipoprotein tubular yang melewati
struktur glomerulus yang sudah bermasalah. Gambaran tubulus kontortus
proksimal yang dipenuhi droplet protein dan lipid inilah yang mencetuskan
istilah lipoid necrosis dulunya.4
Jenis histologic sindrom nefrotik kedua adalah Focal Segmental
Glomerular Sclerosis yang lebih banyak terjadi pada orang dewasa dibanding
anak. Tidak seperti MCD, insiden hematuria dan hipertensi lebih sering terjadi
pada FSGS; dan sifat proteinurianya adalah nonselektif dan relative tidak
berespon baik terhadap Kortikosteroid.4 Diganosis FSGS memerlukan biopsy
ginjal. Mikroskop cahaya memperlihatkan sclerosis pada bagian tertentu
(segment) tapi tidak pada semua glomerulus (focal, bukan penyakit difus). 5
Kelainan mula-mula terjadi pada nefron bagian juxtamedular, lalu kalau sudah
menjadi lanjut akan melibatkan juga semua bagian korteks. Secara histologi,
glomerulus yang terkena akan mengalami peningkatan matriks mesangial,
lumen kapiler yang terobliterasi, dan penumpukan masa hialin (hyalinosis) dan
droplet lipid. Kadang-kadang glomeruli mengalami sclerosis total ( sclerosis
global).4 IgM dan C3 terlihat pada lesi sklerotik pada pemeriksaan
imunofluoresen, walaupun hanya diasumsikan bahwa kompleks imun ada di lesi
sklerotik karena terperangkap dan tidak berpartisipasi dalam pathogenesis
FGSG.5 Seperti pada MCD juga terlihat difusi foot processes pada mikroskop
electron.4
Membranous nephropathy (membranous glomerulonephritis)
merupakan penyakit yang berkembang secara lambat tapi progresif, paling
sering pada usia 30-50 tahun dan dikarakteristikkan sebagai adanya kompleks
immunoglobulin di subepitel membran basalis ginjal.4 Pasien dengan
glomerulonephritis membranosa memiliki resiko hiperkoagulasi lebih tinggi
dibandingkan sindrom nefrotik lain; ada predisposisi khusus terjadi thrombosis
vena Renalis pada pasien-pasien ini.5 Glomerulonefritis membranosa iodophatic
pada manusia dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang disebabkan
oleh antibody terhadap autoantigen renal yang belum teridentifikasi.4 Onset
Glomerulonefritis membranosa juga bersifat insidious tetapi beberapa orang
dengan penyakit ini mengalami proteinuria yang lebih ringan dibandingkan
sindrom nefrotik full blown lainnya. Proteinuria bersifat nonselektif dengan
adanya globulin dan albumin di urin dan tidak berespon baik terhadap terapi
Kortikosteroid.4 Dengan mikroskop cahaya, terjadi penebalan membran basalis
ginjal yang difus tanpa perubahan inflamasi atau proliferasi sel.5 Dengan
mikroskop electron dapat terlihat bahwa penyebab penebalan membran basal
ginjal adalah karena deposit subepitel yang terletak di membran glomerulus dan
deposit ini dipisahkan satu sama lain oleh protrusi matrik membran basalis yang
berbentuk seperti tanduk (spikelike protrusion). Spikelike protrusion (spike and
dome pattern) ini diakibatkan oleh reaksi membran glomerulus terhadap
deposit subepitel. Seiring dengan perjalanan penyakit, spike ini menurupi
deposit subepitel dan akan menyatukan deposit pada membran basal ginjal.
Selanjutnya akan terjadi katabolisme deposit subepitel dan meninggalkan lubang
di membran basal ginjal. Deposit subepitel yang terus-terusan akan
menyebabkan membran basal lebih tebal dan akhirnya terjadi sklerosis
glomerular.
Manifestasi histologi dari membranoproliferative glomerulonephritis
adalah perubahan membran basal ginjal dan mesangium serta proliferasi sel
glomerular. Beberapa pasien hanya mengalami hematuria atau proteinuria,
sedangkan yang lainnya mengalami gabungan gejala nefritik dan nefrotik. Pada
gambaran mikroskop cahaya terlihat glomerulus menjadi besar, dengan
penampakan lobular yang jelas dan memperlihatkan prolierasi sel mesangial dan
sel endotel serta adanya infiltrate leukosit. Membran basal ginjal mengalami
penebalan dan dinding kapiler glomerular sering memperlihatkan gambaran
double contour atau tram track appearance khusunya jika diwarnai dengan
pewarnaan perak atau pewarnaan PAS.4

Tatalaksana dan Prognosis Sindrom Nefrotik

Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang


ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk
mengurangi gejala proteinuria, edema, dan mengontrol komplikasi.7 Pasien anak
dengan episode pertama sindrom nefrotik dapat diterapi sebagai pasien rawat
jalan. Anak kecil usia 1-8 tahun dengan sindrom nefrotik tanpa penyulit lebih
mungkin mengalami MCD yang responsif terhadap terapi steroid dan pemberian
terapi steroid dapat dilakukan anoa melakukan biopsy diagnostic. Anak dengan
gejala hematuria, hipertensi, dan insufisiensi renal, hipokomplementemia, atau
anak usia <1 tahun atau >8 tahun harus dipertimbangkan untuk melakukan
biopsy ginjal.3 Kortikosteroid adalah terapi pilihan yang dapat membuat terjadi
remisi total proteinuria pada kebanyakan kasus. Pasien dewasa berespon lebih
lambat terhadap terapi kortikosteroid dibanding pasien anak. Pada beberapa
anak, proteinuria gagal mengalami remisi dalam 6-8 minggu, dan pada kasus
seperti ini sebaiknya dilakukan biopsy ginjal untuk mengetahui lebih detail
penyakitnya.8 Pada anak dengan kecurigaan MCD, Prednison harus diberikan
(seteleh terkonfirmasi tes PPD negatif dan telah mendapat vaksinasi
pneumococcus) dengan dosis 60 mg/m2/hari (dosis maksimal harian 80 mg)
dalam dosis tunggal selama 4-6 minggu berturut-turut.3 Kortikosteroid harus
dilanjutkan selama beberapa minggu setelah mengalami remisi.5 Setelah dosis
inisial kortikosteroid selama 6 minggu, dosis Prednison harus diturunkan
menjadi 40 mg/m2/hari diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal selama
minimal 4 minggu. Dosis ini kemudian diturunkan terus dosisnya dan bisa
berhenti lebih dari 1-2 bulan berikutny. Ada bukti yang menyataka bahwa
peningkatan dosis steroid dan peningkatan durasi pemberian adalah faktor
penting untuk mengurangi resiko relaps.3 Pasien anak yang tetap mengalami
proteinuria (2+ atau lebih) setelah 8 minggu terapi dimasukkan dalam kategori
resisten steroid, dan biopsy ginjal diagnostic direkomendasikan.3
Banyak pasien anak dengan sindrom nefrotik mengalami setidaknya 1
kali relaps (3-4 + proteinuria dan edema). Relaps harus diobati dengan
Kortikosteroid 60mg/m2/hari (max 80 mg/hari) dosis tunggal sampai anak
mengalami remisi (urin tidak mengandung protein lagi selama 3 hari berturut-
turut). Setelah mengalami remisi, regimennya diubah lagi menjadi dosis selang
sehari seperti pada dosis inisial dan secara gradual diturunkan selama 4-8
minggu. Sejumlah pasien mengalami relaps ketika dalam regimen alternate-day
dosing (dosis selang hari) atau 28 hari setelah menyelesaikan terapi prednisone
yang sukses. Pasien seperti ini dikategorikan sebagai pasien steroid dependent.
Pasien yang berespon baik terhadap terapi prednisone tapi mengalami relaps  4
kali dalam 12 bulan dikategorikan sebagai frequent relapsers. Anak yang tidak
berespon baik terhadap pengobatan steroid dalam 8 minggu terapi
dikategorikan sebagai steroid resistant. Sindrom nefrotik yang resisten steroid
diantaranya disebabkan oleh FSGS (80%), MCD, atau proliferasi mesangial
glomerulonephritis proliferative. Pasien yang steroid dependent, frequent
relapser, dan steroid resisten adalah kandidat untuk menerima pengobatan lain
selain kortikosteroid, khususnya jika anak memperlihatkan gejala toksisitas
steroid (cushingoid appearance, hipertensi, katarak, dan/atau gagal tumbuh).
Siklofosfamid akan memperpanjang durasi remisi dan mengurangi jumlah relaps
pada anak dengan sindrom nefrotik yang sering mengalami relaps dan steroid
dependent. Siklosporin atau tacrolimus juga efektif untuk menginduksi dan
mempertahankan remisi pada anak dengan steroid resistant.3
Anak dengan gejala edema yang berat meliputi efusi pleura yang berat
dan asites, atau edema genital yang berat harus dirawat inap. 3 Diuretik disertai
diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema,7 tetapi
karena peningkatan resiko thromboemboli, penggunaan diuretic harus hati-hati
dan hanya diberikan pada pasien dengan gejala berat dan harus dimonitor
dengan ketat.3 Pembengkakan di scrotum dapat diringankan dengan dielevasi
menggunakan bantal untuk meningkatkan penurunan cairan oleh gravitas.
Ketika pasien mengalami edema umum yang signifikan dengan bukti adanya
deplesi volume intravascular (hemokonsentrasi), dapat dilakukan pemberian
25% albumin secara IV sebagai infus lambat dan diikuti Furosemid.3
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik. Peritonitis
bacterial spontan merupakan infeksi yang paling sering pada sindrom nefrotik,
walaupun infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran
kemih dapat ditemukan. Pengasuh anak (orang tua atau pengasuhnya) harus
diedukasi untuk segera ke tenaga medis jika anak terlihat sakit, demam, dan
mengeluh nyeri abdomen yang persisten. Anak dengan sindrom nefrotik harus
menerima vaksin pneumococcus serotype 23 yang idealnya diberikan ketika
anak mengalami remisi dan sedang tidak mendapat terapi prednisone. Vaksin
dapat diberikan setelah terapi kortikosteroid setidaknya 1 bulan setelah
berhenti terapi kortikosteroid.3 Peningkatan resiko trombotik juga terjadi pada
pasien sindrom nefrotik. Terapi antikoagulan profilaksis pada anak tidak
direkomendasikan kecuali telah terjadi insiden tromboembolik sebelumnya.
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang responsif terhadap
steroid lebih bagus dibanding dengan pasien sindrom nefrotik yang tidak
responsif. Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik yang responsif terhadap
steroid akan mengalami relaps berulang yang umumnya akan berkurang ketika
anak semakin dewasa.3 Pasien MCD jarang yang berakhir sebagai end stage renal
disease (gagal ginjal).5 Sebaliknya, pasien dengan FSGS akan mengalami gagal
ginjal dalam 6-8 tahun.5 Pada pasien membranous glomerulonephritis, walaupun
proteinuria persisten terjadi pada lebih dari 60% pasien, tetapi hanya 40% yang
mengalami penyakit ginjal progresif yang berakhir pada gagal ginjal setelah 2-20
tahun. Membranoproliferative glomerulonephritis secara umum memiliki
prognosis yang jelek. 40% pasien mengalami gagal ginjal tahap akhir, 30%
mengalami insufisiensi renal, dan 30% lagi mengalami sindrom nefrotik tanpa
gagal ginjal.4

Diagnosis Banding

Diagnosa banding yang sindrom nefrotik primer pada anak yang sering
adalah sindrom nefrotik sekunder, glomerulonephritis akut post infeksi
streptococcus, serta sindrom nefrotik kongenital. Sindrom nefrotik sekunder
perlu dipertimbangkan pada pasien >8 tahun dan pasien dengan hipertensi,
hematuria, disfungsi renal, gejala extrarenal (ruam, arthralgia, demam) atau
penurunan serum komplemen.3
Glomerulonefritis akut post streptococcus adalah contoh klasik
sindrom nefritik akut yang dikarakteristikkan dengan onset gross hematuria
yang tiba-tiba, edema, hipertensi, dan insufisiensi renal.3 Gross hematurianya
lebih terlihat coklat keruh daripada merah. Proteinuria dapat terjadi dan jika
cukup berat dapat memberikan gejala sindrom nefrotik.4 Penyakit ini
merupakan penyakit glomerulus yang paling sering menyebabkan gross
hematuria pada anak-anak. Glomerulonefritis akut post streptococcal paling
sering menyerang anak usia 5-12 tahun dan jarang pada anak sebelum usia 3
tahun.3 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis glomerulonephritis akut post streptococcal adalah dengan
pemeriksaan titer ASTO yang akan meningkat post infeksi. Selain itu juga dapat
dilakukan urinanalisis, dimana penemuan primernya antara lain hematuria yang
nyata, proteinuria, oligouria, disertai dengan silinder eritrosit (red blood cell
cast), eritrosit yang dismorfik, silinder hialin dan granuler, dan leukosit. Seiring
dengan toksisitas terhadap membran glomerulus yang berkurang, maka hasil
urinanalisis akan kembali normal dengan kemungkinan hematuria mikroskopik
yang terus berlanjut sampai kerusakan membran basal ginjal bisa diperbaiki.9
Pada mikroskop cahaya, perubahan paling khas pada glomerulonephritis akur
post infeksi streptococcus adalah peningkatan selularitas yang seragam pada
gumpalan kapiler glomerulus (glomerular tuft) yang mengenai semua
glomerulus sehingga disebut difus. Peningkatan selularitas disebabkan oleh
proliferasi dan pembengkakan dari sel endotel dan mesangial dan oleh karena
infiltrate neutrophil serta monosit. Pada mikroskop electron bisa terlihat adanya
deposit kompleks imun yang berbentuk seperti tonjolan subepitel (subepitel
humps) yang terletak di membran basal ginjal.4 Tatalaksana terutama ditujukan
untuk menangani efek akut insufisiensi renal dan hipertensi. Selain antibiotic
penisilin sistemi yang diberikan selama 10 hari, perlu juga diberikan obat lain
untuk mengurangi gejala nefritiknya. Pembatasan natrium, diuresis yang
biasanya dicapai dengan furosemide, dan terapi farmakologi dengan channel
calcium blocker, vasodilator, atau ACE-inh untuk menangai hipertensinya.3
Sindrom nefrotik kongenital dapat mulai terjadi pada tahun-tahun
pertama kehidupan anak. Sindrom nefrotik kongenital adalah sindrom nefrotik
yang terjadi saat lahir atau dalam 3 bulan pertama kehidupan. 3 Pada penelitian
kohort besar di Eropa pada anak dengan sindrom nefrotik kongenital, 85%
pasien mengalami mutasi pada 4 gen (NPHS1, NPHS2, WT1, LAMB2). Bayi yang
terkena mengalami edema saat lahir karena proteinuria massif dan biasanya
lahir dengan plasenta yang besar (>25% dari berat bayi). Diagnosis prenatal
dapat dilakukan dengan adanya peningkatan kadar alfa fetoprotein maternal dan
amniotic.3

Penutup

Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala yang terdiri dari edema,
proteinuria, dan hyperlipidemia. Sindrom nefrotik terjadi akibat kelainan pada
kemampuan filtrasi ginjal. Menurut etiologinya, sindrom nefrotik dapat dibagi
menjadi sindrom nefrotik primer (iodophatic) dan sindrom nefrotik sekunder.
Klasifikasi menurut gambaran histologi, sindrom nefrotik primer dibagi menjadi
empat. Yang paling sering mengenai anak-anak adalah Minimal Change Disease
yang prognosisnya lebih baik dibandingkan dengan 3 spektrum sindrom nefrotik
primer lainnya. Minimal Change Disease selain perlu dibedakan dari spectrum
sindrom nefrotik primer yang lain juga perlu dibedakan dari sindrom nefrotik
sekunder dan kongenital serta dibedakan juga dengan glomerulonephritis akut
post infeksi Streptococcus.
Karakteristik utama yang membedakan minimal change disease dari
spectrum sindrom nefrotik primer lainnya adalah tidak adanya gejala hematuria
dan hipertensi, serta minimal change disease relative lebih responsif terhadap
Kortikosteroid. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis adalah urinanalisis, serta pemeriksaan histopatologi di
bawah mikroskop cahaya atau electron. Pemberian Kortikosteroid dapat
diberikan secara empiris pada anak yang dicurigai menderita Minimal Change
disease tanpa melakukan biopsy ginjal. Pemberian Kortikosteroid kemudian
harus di-tappering off perlahan sampai akhirnya berhenti. Selain diberi
Kortikosteroid, pasien juga harus diberi obat untuk mengurangi gejala edema.
Pasien sindrom nefrotik rentan mengalami komplikasi infeksi serta
thromboembolism (walaupun pada anak resikonya kecil). Infeksi yang sering
adalah peritonitis bacterial spontan dan pneumonia, dianjurkan pasien setelah
menyelesaikan terapi kortikosteroid, sebulan setelahnya melakukan imunisasi
pneumococcus. Prognosis Minimal Change Disease relative lebih baik
dibandingkan dengan dengan spectrum sindrom nefrotik yang lain.

Daftar Pustaka

1. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson L, Loscalzo J.
Harrison’s manual of medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill;
2013.p.972
2. Alvero R, Ferri FF, Borkan JM, Fort GG, Dobbs MR, Goldberg RJ. Ferri’s
clinical advisor. Philadelphia: Elsevier; 2013.p.734
3. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Behrman RE. Nelson textbook of
pediatrics.19th ed. United States of America: Elsevier;2011.p. 1783-1807
4. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th
ed. Philadelphia : Saunder Elsevier;2007.p.549-54
5. Papadakis MA, McPhee SJ. Current medical diagnosis and treatment. 52nd
ed. New York: McGraw-Hill; 2013.p.927-30
6. Sherwood L. Fundamental of human physiology. 4th ed. Canada: Cengage
Learning; 2011.p.537
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.h.999-1002
8. Mansur A. Minimal change disease. Cited from : www.medscape.com Feb
14th 2013; October 23rd 2014
9. Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Urinanalysis and body fluids.5th ed.
Philadelphia: F.A Davis Company; 2008.p.144

Anda mungkin juga menyukai