Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan

dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadianya (Menurut WHO).

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Tahun 2014 merupakan suatu kondisi dimana

seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu

tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara

produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Menurut Riyadi dan

Purwanto (2013), kesehatan jiwa suatu kondisi perasaan sejahtera secara subyektif, suatu

penilaian diri tentang perasaan mencakup aspek konsep diri, kebugaran dan kemampuan

pengendalian diri.

Menurut WHO (2014), remaja (adolescents) adalah mereka yang berusia antara 10-19 tahun.

Populasi remaja adalah populasi yang terbesar didunia yaitu sebanyak 1,2 miliyar orang atau

18% dari jumlah penduduk dunia. Di indonesia, menurut data proyeksi penduduk 2014, jumlah

remaja mencapai 65 juta jiwa atau 25% dari 255 juta jiwa jumlah penduduk (Kemenkes RI,

2015).

Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa

setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi. Peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan anak telah banyak diterbitkan namun dalam implementasi nya dilapangan masih

menunjukan adanya berbagai kekerasan yang menimpa pada anak antara lain adalah bullying.
Kata bullying berasal dari bahasa inggris yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang

menunduk kesana kemari. Dalam bahasa indonesia, secara etimologi kata bully berarti

penggertak, orang yang menggangu orang lemah. Sedangkan secara terminologi menurut

Tattum bullying adalah “....the willful, conscious desire to hurt another and put him/her under

stress”. Kemudian, dan Olweus juga mengatakan hal yang serupa bahwa bullying adalah

perilaku negatif yang menggakibatkan seseorang ada dalam keadaan tidak nyaman/terluka dan

biasanya terjadi berulang-ulang. (Wiyani,2012; 12)

Bullying merupakan fenomena yang tersebar di seluruh dunia. Prevalensi bullying di

perkirakan 8 hingga 50% di beberapa negara Asia, Amerika, dan Eropa (Soedjatmiko dkk,

2013).

Hasil riset yang dilakukan oleh National Association of School Psychologist menunjukan

bahwa lebih dari 160.000 remaja di Amerika Serikat bolos sekolah sertiap hari karena takut di

bullying (Sari, 2010). Sebuah riset yang dilakukan oleh LSM Plan International dan

International Center for Research of Women (ICRW) yang di rilis awal maret 2015 ini juga

menunjukan fakta mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Di tingkat Asia, kejadian

bullying pada siswa di sekolah mencapai angka 70%. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa

84% siswa di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi sebanyak

14% dari tren kawasan Asian. Riset yang di lakukan di 5 Negara Asia, yakni Vietnam,

Kamboja, Nepal, Pakistan dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten ini

diambil pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17

tahun, guru, orang tua, kepala sekolah, dan perwakilan LSM(Qodar, 2015). Menurut Komisi

Perlindungan Anak (KPAI), kasus bullying di sekolah menduduki tingkat teratas pengaduan

masyarakat ke komisi perlindungan anak (KPAI) di sektor pendidikan. Dari 2011 sampai

Agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah tersebut sekitar

25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Kasus yang dilaporkan
hanya sebagian kecil dari kasus bullying yang terjadi, tidak sedikit tindak kekerasan terhadap

anak yang tidak di laporkan (KPAI dalam setyawan , 2015). Penelitian yang dilakukan oleh

SEJIWA (2008) tentang kekerasan bullying ditiga kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta,

Surabaya, dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat Sekolah

Menengah Atas (SMA) dan 66,1% di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kekerasan

yang dilakukan sesama siswa tercatat sebesar 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% tingkat

SMA dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa pengucilan. Peringkat kedua

ditempati kekerasan verbal (mengejek) dan kekerasan fisik (memukul). Gambaran kekerasan

di SMP di tiga kota besar yaitu Yogya: 77,5% (mengakui ada kekerasan) dan 22,5% (mengakui

tidak ada kekerasan), Surabaya: 59,8% (ada kekerasan) dan Jakarta: 61,1% (ada kekerasan)

(Fajrin, 2013).

Secara garis besar faktor yang mempengaruhi bullying menurut Tumon (2014) yaitu faktor

keluarga, faktor sekolah, faktor teman sebaya. Menurut Usman (2013) beberapa faktor yang

memicu perilaku bullying pada remaja seperti jenis kelamin, tipe kepribadian anak,

kepercayaan diri, iklim sekolah serta peranan kelompok/teman sebaya.

Olweus (2006) merumuskan adanya 3 unsur dasar bullying, yaitu bersifat menyerang dan

negatif, dilakukan secara berulang kali, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak

yang terlibat. Coloroso (2003) juga mengatakan bahwa bullying akan selalu mengandung 3

elemen, yaitu: kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti, dan adanya ancaman

akan dilakukannya agresif. Oleh sebab itu, seseorang yang dianggap menjadi korban bullying

bila ia dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang

dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu,bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan

yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu

mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang di terimanya

(Olweus, dalam Kerabe, 2005). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang
dikatakan menjadi korban bullying dilihat dari frekuensi mengalami bullying, yaitu minimal 2

sampai 3 kali dalam sebulan. Seseorang korban bullying dapat mengalami satu atau beberapa

bentuk bullyig. Ketika hanya satu bentuk bullying yang dialami seseorang, namun

frekuensinya minimal 2 sampai 3 kali dalam sebulan, hal itu juga termasuk korban bullying

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi 4 yaitu:

a. Bullies (pelaku bullying) yaitu murid yang secara fisik dan/atau emosional melukai murid

secara berulang ulang(Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Menurut Step handson dan Smith

(dalam Sullivan, 2000), tipe pelaku bullying antara lain (1) tipe percaya diri, secara fisik kuat,

menikmati agresifitas, merasa aman, dan biasanya populer, (2) tipe pencemas, secara akademik

lemah, lemah dalam berkonsentrasi, kurang populer, dan kurang merasa aman, dan (3) pada

situasi tertentu pelaku bullying bisa menjadi korban bullying.

b. Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target dari prilaku agresif,

tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan melawan

penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Menurut Byrne dibandingkan dengan

teman sebayanya yang tidak menjadi korban, korban bullying cenderung menarik diri, depresi,

cemas dan takut akan situasi baru (dalam Haynie dkk, 2001). Murid yang menjadi korban

bullying dilaporkan lebih menyendiri dan kurang bahagia di sekolah serta memiliki teman

dekat yang lebih sedikit daripada murid lain (Boulton & Underwod dkk, dalam Haynie dkk,

2001). Korban bullying juga dikarakteristikkan dengan perilaku hati-hati, sensitif, dan pendiam

(Olweus, dalam Moutappa 2004). Coloroso (2007) menyatakan korban bullying biasanya

merupakan anak baru disuatu lingkungan, anak termuda di sekolah, biasanya yang lebih kecil,

terkadang ketakutan, mungkin tidak terlindung, anak yang pernah mengalami terauma atau

pernah disakiti sebelumnya dan biasanya sangat peka, menghindari teman sebaya untuk

menghindari kesakitan yang lebih parah dan merasa sulit untuk meminta pertolongan.
Disamping itu juga merupakan anak yang miskin atau kaya, anak yang ras atau etnisnya

dipandang inferior sehingga layak dihina, anak yang orientasi nya gender atau seksualnya

dipandang inferior, berbakat atau memiliki kelebihan.

c. Bully-victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi korban

perilaku agresif (Andreou, dalam Moutappa dkk, 2004)

d. Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau bullying.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku

bullying dapat dibagi 4, yaitu pelaku (bullies), korban (victim), pelaku sekaligus korban (bully-

victim) dan pihak yang tidak terlibat (neutral).

Ada tiga bentuk bullying menurut Cloroso (2007), yaitu:

a. Verbal bullying

Kata-kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat mematahkan semangat anak yang

menerimanya. Verbal abuse adalah bentuk yang paling umum dari bullying yang digunakan

baik anak laki-laki maupun perempuan. Verbal bullying dapat berupa teriakan dan keriuhan

yang terdengar. Hal ini dapat berlangsung cepat dan tanpa rasa sakit pada pelaku bullying dan

dapat sangat menyakitkan pada target (korban bullying). Verbal bullying dapat berbentuk

name-calling (memberi nama julukan), taunting (ejekan), belitting (meremehkan), cruel critism

(kritikan yang kejam), personal defamation (fitnah secara personal), panggilan telepon yang

kasar, rumor yang jahat dan tidak benar.

b. Physical bullying

Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan paling mudah untuk diidentifikasi adalah

bullying secara fisik. Bentuk ini meliputi menampar, memukul, mencekik, mencolek, meninju,

merusak pakaian atau barang dari korban.


c. Relational bullying

Bentuk ini adalah yang paling sulit dideteksi, relational bullying adalah pengurangan

perasaan ‘sense’ diri seseorang yang sistematis melalui pengabaian, pengisolasian,

pengeluaran, penghindaran. Relational bullying paling sering terjadi pada tahun-tahun

pertengahan, dengan onset remaja yang disertai dengan perubahan fisik, mental, emosional,

dan seksual. Pada waktu inilah, remaja sering menggambarkan siapa diri mereka dan mencoba

menyesuaikan diri dengan teman sebaya.

Berdasarkan uraian diatas dapat dsimpulkan bahwa bullying terdiri dari 3 bentuk yaitu:

fisik, verbal dan relasional.

Dampak bullying akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, tidak hanya bagi

korban tetapi juga bagi pelakunya (Craig & Pepler, 2007). Selain itu menurut Swearer, dkk

(2010) korban bullying juga merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa

takut dan kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan

mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self esteem, kecemasan, dan

depresi. Korban bullying cenderung merasa takut, cemas, dan memiliki self esteem yang lebih

rendah dibandingkan anak yang tidak menjadi korban bullying (Olweus, Rigby, & Slee, dalam

Aluedse, 2006). Duncan (dalam Aluedse, 2006) juga menyatakan bila dibandingkan dengan

anak yang tidak menjadi korban bullying, korban bullying akan memiliki self esteem yang

rendah, kepercayaan diri rendah, penilaian diri yang buruk, tingginya tingkat depresi,

kecemasan, ketidakmampuan, hipersensitivitas, merasa tidak aman, menghindari interaksi

sosial, terisolasi, dan merasa kesepian.

Self esteem merupakan penilaian seseorang terhadap gambaran dirinya dalam berbagai

aspek kehidupan (Pintrich & Scunk dalam Woolfolk,2004). Melalui self esteem, seorang

remaja dapat mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan pada perasaan keberhargaan dirinya
yang bisa berupa perasaan-perasaan positif atau negatif (Rosenberg dalam Mruk, 2006). Selain

itu Murk (2006) menyatakan self esteem merupakan keberhargaan (worthiness) atau sikap yang

dimiliki individu terhadap dirinya sendiri, yang tampak dari perasaan berharga atau tidak

berharga.

Self esteem berkaitan dengan self concept (konsep diri). Akan tetapi self esteem dan self

concept memiliki makna yang berbeda. Self concept merupakan pengetahuan dan keyakinan

seseorang mengenai karakteristik diri, kelebihan, dan kekurangan yang dimilikinya. Self

concept berkaitan dengan pertanyaan “siapa diri saya?”. Sementara self esteem merupakan

penilaian dan perasaan terhadap nilai dan rasa keberhargaan diriseorang individu, seperti

pernyataan “saya bangga dengan prestasi akademik saya”. Self esteem berkaitan dengan

pertanyaan “seberapa baik diri saya sebagai individu?” (McDevitt & Omrod, 2010).

Berdasarkan permasalahan yang digambarkan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai “Asuhan Keperawatan pada korban Tn.X dengan diagnosa keperawatan

Gangguan Konsep Diri : Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat”.

B. Rumusan Masalah

Berhubungan dengan fenomena diatas maka yang menjadi rumusan masalah

pada kasus tersebut adalah sejauh mana “Asuhan Keperawatan pada Tn.X dengan

diagnosa Keperawatan Gangguan Konsep diri: Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Jawa Barat”

C. Tujuan Peneliti

1. Tujuan Umum

Penulis mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif bio-

psiko-sosial-spiritual pada klien dengan gangguan konsep diri: isolasi sosial

berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan dengan meliputi menggunakan pola pikir ilmiah
melalui pendekatan proses keperawatan sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasar

dan mencari alternative pemecahan masalah.

2. Tujuan Khusus

a. Dapat melaksanakan pengkajian pada klien dengan gangguan konsep diri: isolasi

sosial.

b. Dapat menentukan masalah keperawatan pada klien dengan gangguan kosnep diri:

isolasi sosial.

c. Dapat melaksanakan implementasi keperawatan pada klien dengan konsep diri:

isolasi sosial.

d. Dapat mengevaluasi tentang tindakan yang telah dilakukan pada klien dengan

gangguan konsep diri: isolasi sosial.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi institusi

Sebagai salah satu referensi atau masukan kepustakaan bagi institusi pendidikan

mengenai Asuhan Keperawatan terhadap Klien gangguan konsep diri: Isolasi Sosial.

2. Manfaat bagi intansi kesehatan

Sebagai bahan masukan dan menambah referensi dalam upaya meningkatkan mutu

pelayanan keperawatan dengan menyediakan informasi yang menandai tentang Gangguan

konsep diri: Isolasi Sosial.

3. Manfaat bagi penulis

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman penelitian mengenai Asuhan Keperawatan

Pada Pasien dengan diagnosa Gangguan Konsep Diri: Isolasi Sosial Melalui penelitian ini
peniliti dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan dan

menambah pengalaman dalam membuat penelitian ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai