Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR TEORI


PNEUMONIA
1. Definisi
Pneumonia adalah proses inflamatori parenkim paru yang umumnya
disebabkan oleh agen infeksisus (Smeltzer & Bare, 2001: 571). Pneumonia
adalah peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus,
maupun jamur (Medicastore).
Pneumonia adalah penyakit infeksius yang sering menyebabkan kematian.
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang.
Kantong-kantong udara dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah
dan cairan sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang.
Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja. Karena
inilah, selain penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, penderita pneumonia
bisa meninggal.

2. Epidemiologi / Insiden Kasus


Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus tipe
8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%, sedangkan
pada anak ditemukan tipe 14,1,6,dan 9. Angka kejadian tertinggi
ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan berkurang dengan
meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh
pneumokokus dan ditemukan pada orang dewasa dan anak besar,
sedangkan bronchopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan
bayi.
Pneumonia sebenarnya bukan peyakit baru. Tahun 1936 pneumonia
menjadi penyebab kematian nomor satu di Amerika. Penggunaan
antibiotik, membuat penyakit ini bisa dikontrol beberapa tahun kemudian.
Namun tahun 2000, kombinasi pneumonia dan influenza kembali
merajalela. Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor tiga setelah kardiovaskuler dan TBC. Faktor sosial ekonomi yang
rendah mempertinggi angka kematian. Kasus pneumonia ditemukan paling
banyak menyerang anak balita. Menurut laporan WHO, sekitar 800.000
hingga 1 juta anak meninggal dunia tiap tahun akibat pneumonia. Bahkan
UNICEF dan WHO menyebutkan pneumonia sebagai penyebab kematian
anak balita tertinggi, melebihi penyakit penyakit lain seperti campak,
malaria, serta AIDS.

3. Etiologi
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat menimbulkan
pneumonia dan penyakit ini baru akan timbul apabila ada faktor- faktor
prsesipitasi, namun pneumonia juga sebagai komplikasi dari penyakit yang
lain ataupun sebagai penyakit yang terjadi karena etiologi di bawah ini :
a. Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan pneumonia adalah : Diplococus
pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus Hemoliticus aureus,
Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia),
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri gram positif yang menyebabkan
pneumonia bakteri adalah steprokokus pneumonia, streptococcus
aureus dan streptococcus pyogenis
b. Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum
disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi
droplet. Cytomegalovirus merupakan penyebab utama pneumonia
virus. Virus lain yang dapat menyebabkan pneumonia adalah
Respiratory syntical virus dan virus stinomegalik.
c. Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar
melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya
ditemukan pada kotoran burung. Jamur yang dapat menyebabkan
pneumonia adalah : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas,
Blastomices Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus Sp,
Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia.
d. Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti
pada penderita AIDS.
e. Faktor lain yang mempengaruhi
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia adalah daya
tahan tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein
(MEP), penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.

Faktor-faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat Pnemonia


- Umur dibawah 2 bulan
- Tingkat sosio ekonomi rendah
- Gizi kurang
- Berat badan lahir rendah
- Tingkat pendidikan rendah
- Tingkat pelayanan (jangkauan) pelayanan kesehatan rendah
- Kepadatan tempat tinggal
- Imunisasi yang tidak memadai
- Menderita penyakit kronis

4. Patofisiologi
Pneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh
bakteri yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan
paru. Bakteri pneumokok ini dapat masuk melalui infeksi pada daerah
mulut dan tenggorokkan, menembus jaringan mukosa lalu masuk ke
pembuluh darah mengikuti aliran darah sampai ke paru-paru dan selaput
otak. Akibatnya timbul peradangan pada paru dan daerah selaput otak.
Inflamasi bronkus ditandai adanya penumpukan sekret sehingga terjadi
demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Bila penyebaran kuman
sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps
alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.Kolaps alveoli akan
mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi.
Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi
surfaktan sebagai pelumas yang berfungsi untuk melembabkan rongga
pleura. Emfisema (tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru)
adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis mengakibatkan
peningkatan frekuensi nafas, hipoksemia, asidosis respiratorik, sianosis,
dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.

5. Klasifikasi
Menurut buku Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia tahun 2003 menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia, yaitu:
Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
 Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
 Pneumonia nosokomial, (hospital-acquired pneumonia/nosocomial
pneumonia)
 Pneumonia aspirasi
 Pneumonia pada penderita immunocompromised.
Berdasarkan bakteri penyebab:
 Pneumonia bakteri/tipikal.
Dapat terjadi pada semua usia. Pneumonia bakterial sering
diistilahkan dengan pneumonia akibat kuman. Pneumonia jenis itu
bisa menyerang siapa saja, dari bayi hingga mereka yang telah lanjut
usia. Para peminum alkohol, pasien yang terkebelakangan mental,
pasien pascaoperasi, orang yang menderita penyakit pernapasan lain
atau infeksi virus adalah yang mempunyai sistem kekebalan tubuh
rendah dan menjadi sangat rentan terhadap penyakit itu. Pada saat
pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan
malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak
dan merusak paru-paru.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun
seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga
di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan.
Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah. Bakteri Pneumokokus adalah kuman
yang paling umum sebagai penyebab pneumonia bakteri tersebut.
Biasanya pneumonia bakteri itu didahului dengan infeksi saluran
napas yang ringan satu minggu sebelumnya. Misalnya, karena infeksi
virus (flu). Infeksi virus pada saluran pernapasan dapat
mengakibatkan pneumonia disebabkan mukus (cairan/lendir) yang
mengandung pneumokokus dapat terisap masuk ke dalam paru-paru.
Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang yang
peka, misalnya klebsiella pada penderita alkoholik, staphyllococcus
pada penderita pasca infeksi influenza. Pneumonia Atipikal
disebabkan mycoplasma, legionella, dan chalamydia.
 Pneumonia Akibat virus.
Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza (bedakan
dengan bakteri hemofilus influenza yang bukan penyebab penyakit
influenza, tetapi bisa menyebabkan pneumonia juga). Gejala awal dari
pneumonia akibat virus sama seperti gejala influenza, yaitu demam,
batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, dan kelemahan. Dalam 12
hingga 36 jam penderita menjadi sesak, batuk lebih parah, dan
berlendir sedikit. Terdapat panas tinggi disertai membirunya bibir.
Tipe pneumonia itu bisa ditumpangi dengan infeksi pneumonia karena
bakteri. Hal itu yang disebut dengan superinfeksi bakterial. Salah satu
tanda terjadi superinfeksi bakterial adalah keluarnya lendir yang
kental dan berwarna hijau atau merah tua.
 Pneumonia jamur
Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).
Berdasarkan predileksi infeksi:
 Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus
(percabangan besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
 Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-
bercak infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri
yang disebabkan virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau
orang tua. Pada penderita pneumonia, kantong udara paru-paru penuh
dengan nanah dan cairan yang lain. Dengan demikian, fungsi paru-
paru, yaitu menyerap udara bersih (oksigen) dan mengeluarkan udara
kotor menjadi terganggu. Akibatnya, tubuh menderita kekurangan
oksigen dengan segala konsekuensinya, misalnya menjadi lebih
mudah terinfeksi oleh bakteri lain (super infeksi) dan sebagainya. Jika
demikian keadaannya, tentu tambah sulit penyembuhannya. Penyebab
penyakit pada kondisi demikian sudah beraneka macam dan bisa
terjadi infeksi yang seluruh tubuh.

6. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Wajah terlihat pucat, meringis, lemas, banyak keringat, sesak, adanya
PCH, Adanya takipnea sangat jelas (25-45 kali/menit), pernafasan
cuping hidung, penggunaan otot-otot aksesori pernafasan, dyspnea,
sianosis sirkumoral, distensi abdomen, sputum purulen, berbusa,
bersemu darah, batuk : Non produktif – produktif, demam menggigil,
faringitis.
b. Palpasi
Denyut nadi meningkat dan bersambungan (bounding), nadi biasanya
meningkat sekitar 10 kali/menit untuk setiap kenaikan satu derajat
celcius, turgor kulit menurun, peningkatan taktil fremitus di sisi yang
sakit, hati mungkin membesar.
c. Perkusi
Perkusi pekak bagian dada dan suara redup pada paru yang sakit.
d. Auslkutasi
Terdengar stridor, bunyi nafas bronkovesikuler atau bronkial, egofoni
(bunyi mengembik yang terauskultasi), bisikan pektoriloquy (bunyi
bisikan yang terauskultasi melalui dinding dada), ronchii pada lapang
paru. Perubahan ini terjadi karena bunyi ditransmisikan lebih baik
melalui jaringan padat atau tebal (konsolidasi) daripada melalui
jaringan normal.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X
Mengidentifikasikan distribusi strukstural (misal: Lobar, bronchial);
dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema (stapilococcus);
infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bacterial); atau
penyebaran/perluasan infiltrat nodul (lebih sering virus). Pada
pneumonia mikroplasma, sinar x dada mungkin bersih.
b. GDA (Gas Darah Arteri)
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat
dan penyakit paru yang ada
c. Pemeriksaan darah.
Pada kasus pneumonia oleh bakteri akan terjadi leukositosis
(meningkatnya jumlah netrofil) (Sandra M. Nettina, 2001)
Secara laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000-40.000/m
dengan pergeseran LED meninggi.
d. LED meningkat.
Fungsi paru hipoksemia, volume menurun, tekanan jalan nafas
meningkat dan komplain menurun, elektrolit Na dan Cl mungkin
rendah, bilirubin meningkat, aspirasi biopsi jaringan paru
e. Rontegen dada
Ketidak normalan mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang
terlibat dan penyakit paru yang ada. Foto thorax bronkopeumonia
terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus, jika
pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau
beberapa lobus.
f. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal,bronskoskopi
fiberoptik, atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme
penyebab, seperti bakteri dan virus. Pengambilan sekret secara
broncoscopy dan fungsi paru untuk preparasi langsung, biakan dan test
resistensi dapat menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini
tidak rutin dilakukan karena sulit.
g. Tes fungsi paru
Volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar), tekanan
jalan nafas mungkin meningkat dan complain menurun. Mungkin
terjadi perembesan (hipokemia).
h. Elektrolit
Natrium dan klorida mungkin rendah.
i. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka
Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik
(CMV), karakteristik sel raksasa (rubella).

8. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan dada dengan
menggunakan stetoskop, akan terdengar suara ronchi. Selain itu juga
didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti: rontgen dada, pembiakan
dahak, hitung jenis darah, gas darah arteri.

9. Therapy
 Pemberian antibiotik per-oral/melalui infus.
 Pemberian oksigen tambahan
 Pemberian cairan intravena dan alat bantu nafas mekanik.
 Antibiotik sesuai dengan program
 Pemeriksaan sensitivitas untuk pemberian antibiotik
 Cairan, kalori dan elektrolit glukosa 10 % : NaCl 0,9 % = 3 : 1
ditambah larutan KCl 10 mEq/500 ml cairan infuse.
 Obat-obatan :
- Antibiotika berdasarkan etiologi.
- Kortikosteroid bila banyak lender.
 Kemotherapi untuk mycoplasma pneumonia, dapat diberikan
Eritromicin 4 X 500 mg sehari atau Tetrasiklin 3-4 hari mg sehari.
Obat-obatan ini meringankan dan mempercepat penyembuhan terutama
pada kasus yang berat. Obat-obat penghambat sintesis SNA (Sintosin
Antapinosin dan Indoksi Urudin) dan interperon inducer seperti
polinosimle, poliudikocid pengobatan simptomatik seperti :
1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat di
rumah.
2. Simptomatik terhadap batuk.
3. Batuk yang produktif jangan di tekan dengan antitusif
4. Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris,
diberikan broncodilator.
5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus
berat. Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai
dengan penyebab yang mempunyai spektrum sempit.

10. Komplikasi
Bila tidak ditangani secara tepat, akan mengakibatkan komplikasi.
Komplikasi dari pneumonia / bronchopneumonia adalah :
 Otitis media akut (OMA) terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang
berlebihan akan masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga
menghalangi masuknya udara ke telinga tengah dan mengakibatkan
hampa udara, kemudian gendang telinga akan tertarik ke dalam dan
timbul efusi.
 Efusi pleura
 Abses otak
 Endokarditis
 Osteomielitis
 Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau
kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk
hilang.
 Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam
rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
 Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang
meradang.
 Infeksi sitemik.
 Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
 Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

11. Prognosis
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai 1%. Pasien dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

SEPSIS
1. Definisi
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi tubuh dan
menyebabkan respon inflamasi sitemik. Respon yang ditimbulkan sering
menyebabkan penurunan perfusi organ dan disfungsi organ. Jika disertai
dengan hipotensi maka dinamakan Syok sepsis. ( Linda D.U, 2006), Sepsis
adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-
gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan
syok septik. (Doenges, Marylyn E. 2000). Sepsis adalah infeksi berat
dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. (Surasmi,
Asrining. 2003). Sepsis adalah mikrooganisme patogen atau toksinnya
didalam darah. (Dorland, 2010).
Dari definisi di atas penyusun menyimpulkan bahwa sepsis adalah infeksi
bakteri generalisata dalam darah yang biasanya terjadi pada bulan pertama
kehidupan dengan tanda dan gejala sistemik.

2. Etiologi
Mayoritas dari kasus-kasus sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi bakteri
gram negatif (-) dengan persentase 60-70% kasus, beberapa disebabkan
oleh infeksi-infeksi jamur dan sangat jarang disebabkan oleh penyebab-
penyebab lain dari infeksi atau agen-agen yang mungkin menyebabkan
SIRS. Agen-agen infeksius, biasanya bakteri-bakteri, mulai menginfeksi
hampir segala lokasi organ atau alat-alat yang ditanam (contohnya, kulit,
paru, saluran pencernaan, tempat operasi, kateter intravena, dll.). Agen-
agen yang menginfeksi atau racun-racun mereka (atau kedua-duanya)
kemudian menyebar secara langsung atau tidak langsung kedalam aliran
darah. Ini mengizinkan mereka untuk menyebar ke hampir segala sistim
organ lain. Kriteria SIRS berakibat ketika tubuh mencoba untuk melawan
kerusakan yang dilakukan oleh agen-agen yang dilahirkan darah ini.
Sepsis bisa disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat bervariasi,
meliputi bakteri aerobik, anareobik, gram positif, gram negatif, jamur, dan
virus (Linda D.U, 2006)
a. Bakteri gram negative
Bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis adalah E. Coli,
Klebsiella Sp. Pseudomonas Sp, Bakteriodes Sp, dan Proteus Sp.
Bakteri gram negative mengandung liposakarida pada dinding selnya
yang disebut endotoksin. Apabila dilepaskan dan masuk ke dalam
aliran darah, endotoksin dapat menyebabkan bergabagi perubahan
biokimia yang merugikan dan mengaktivasi imun dan mediator
biologis lainnya yang menunjang timbulnya shock sepsis.
b. Bakteri gram positif
Bakteri gram positif yang sering menyebabkan sepsis adalah
staphilococus, streptococcus dan pneumococcus. Organime gram
positif melepaskan eksotoksin yang berkemampuan menggerakkan
mediator imun dengan cara yang sama dengan endotoksin.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya
populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat
bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di
antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid
atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan
ventilasi mekanis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan
sepsis yaitu:
a. Infeksi paru-paru (pneumonia)
b. Flu (influenza)
c. Appendiksitis
d. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
e. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius).
f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit.
g. Infeksi pasca operasi.
h. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada
satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.

3. Patofisiologi
Sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatip (70%), bakteri gram positip
(20-40%), jamur dan virus (2-3%), protozoa (Iskandar, 2002).Produk
bakteri yang berperan penting pada sepsis adalah lipopolisakarida (LPS)
yang merupakan komponen utama membran terluar bakteri gram negatip
dan berperan terhadap timbulnya syok sepsis (Guntur, 2008; Cirioni et al.,
2006). LPS mengaktifkan respon inflamasi sistemik (Systemic Inflamatory
Response Syndrome/SIRS) yang dapat mengakibatkan syok serta Multiple
Organ Failure (MOF) (Arul, 2001). Apoptosis berperan dalam terjadinya
patofisiologi sepsis dan mekanisme kematian sel pada sepsis (Hotchkiss
dan Irene, 2003; Chang et al, 2007). Pada pasien sepsis akan terjadi
peningkatan apoptosis limfosit lebih besar dari 25% total limfosit di lien
(Irene, 2007).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis,
masih banyak faktor lain (nonsitokin) yang sangat berperan dalam
menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen
melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat
proinflamasi maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah
tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ)
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas untuk memodulasi,
koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6
dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus.
Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari
endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin
utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks
dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral,
bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk
lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah
penderita dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan
makrofag yang kemudian mengekspresikan imunomudulator.
Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-
antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan
sebagai antigen processing celldan kemudian ditampilkan sebagai antigen
presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik
yang berasal dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian
berikatan dengan CD42+ (limposit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T
cell receptor (TCR).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator
yaitu: IFN-γ, IL-2, dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF0.
Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ
merangsang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2
dan TNF-α dapat merusak endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperan
dalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada
proses adhesi neutrofil dengan endotel. Neutrofil yang beradhesi dengan
endotel akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel
lisis. Neutrofil juga membawa superoksi dan radikal bebas yang akan
mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses tersebut terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan menyebabkan
gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ multipel.
Masuknya mikroorganisme penginfeksi ke dalam tubuh akan
menimbulkan reaksi yang berlebihan dari sistem imun dan menyebabkan
aktivasi APC yang akan mempresentasikan mikroorganisme tersebut ke
limfosit. APC akan mengeluarkan mediator-mediator proinflamasi seperti
TNF-α, IL-1, IL-6, C5a dan lainnya, yang menimbulkan SIRS dan MOD
yang dihasilkan oleh sel limfosit akan menyebabkan limfosit teraktivasi
dan berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi sel efektor (Abbas dan
Litchman, 2005; Remick, 2007).
Sel limfosit yang telah berdiferensiasi ini kemudian akan mengeluarkan
mediator-mediator proinflamasi yang berlebihan tanpa diimbangi
medioator anti inflamasi yang memadai. Ketidakseimbangan antara
proinflamasi dan anti inflamasi ini kemudian akan menimbulkan keadaan
hiperinflamasi sel endotel yang selanjutnya akan menyebabkan rangkaian
kerusakan hingga kegagalan organ yang merugikan (Guntur, 2008).
Sel-sel imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis ini
adalah limfosit (Wesche-Soldato et al., 2007). Apoptosis limfosit ini
terjadi pada semua organ limfoid seperti lien dan timus (Hotchkiss et al.,
2005). Apoptosis limfosit juga berperan penting terhadap terjadinya
patofisiologi sepsis (Chang et al., 2007). Apoptosis limfosit dapat menjadi
penyebab berkurangnya fungsi limfosit pada pasien sepsis (Remick, 2007).
4. Klasifikasi
Klasifikasi Sepsis
a. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
Ditandai dengan ≥ 2 gejala sebagai berikut
Hyperthermia/hypothermia ( >38,3°C; <35,6°C)
Tachypneu (resp >20/menit)
Tachycardia (pulse >100/menit)
Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
10% >cell imature
b. Sepsis
Infeksi disertai SIRS
c. Sepsis Berat
Sepsis yang disertai MODS / MOF, hipotensi, Oliguri bahkan anuria
d. Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg atau penurunan
tekanan sistolik > 40 mmHg)
e. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat
resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan

Gambar Klasifikasi Sepsis


5. WOC
Terlampir

6. Manifestasi Klinis
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflamatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan
berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu
demam takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi
hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta
peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran
pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini
mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia
dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,
dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya
(seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis
kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan
dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien
dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non- spesifik
dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan
sekurang -kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto
toraks dan urinalisis.
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut
menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan
tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan
perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental
seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena
perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium,
tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan
kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis
yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan
klinis.
7. Komplikasi
a. ARDS
b. Koagulasi intravaskular diseminata
c. Acute Renal Failure (Chronic Kidney Disease)
d. Perdarahan usus
e. Gagal hati
f. Disfungsi sistem saraf pusat
g. Gagal jantung
h. Kematian
8. Laboratorium
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia,
pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan
kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia,
penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan
jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur,
vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung
menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda baik yang
menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat
menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri
dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi suatu respons
inflamasi.
Tes
Temuan Keterangan
Laboratorium
Hitung sel Leukositosis atau Endotoksemia dapat Me-
darah putih leukopenia nyebabkan early leucopenia
Hitung Trombositosis atau Nilai tinggi awal dapat dilihat
Platelet Trombositopenia Sebagai respon fase akut,
jumlah trombosit yang rendah
terlihat pada DIC
Coagulation Defisiensi Protein C; Kelainan dapat diamati
cascade defisiensi Sebelum timbulnya kegagalan
antitrombin; level D- Organ dan tanpa perdarahan
dimer meningkat; PT Yang jelas
(ProthrombinTime)
Dan PTT (Partial
Thromboplastin
Time) memanjan

Level Meningkat Doubling-menandakan cedera


Creatinin Ginjal akut

Level asam Lactic acid > Mengindikasikan hipoksia


Laktat 4mmol/L (36 mg/dL) Jaringan

Level enzim Level alkaline Menginikasikan cidera


Hepar Phospatase, AST Hepatoselular akut yang
ALT, bilirubin Disebabkan hipoperfusi
Meningkat

Level serum Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik dengan


Fosfat Tingkat sitokin proinflamasi

Level C- Meningkat Respons fase akut


Reactive
protein (CRP)

Level Meningkat Membedakan SIRS Yang


Prokalsitonin infeksius dari SIRS yang non-
infeksius
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen
penyebab infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase
atau bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila
terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi
suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respons imun maladaptif
host terhadap infeksi.
a. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid),
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi
pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6
jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5
ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi,
saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan
CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai
hematokrit >30% dan atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
μg/kg/menit).
b. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada
umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang
mengalami obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan
ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.
c. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu
atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau
jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh
karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif,
penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin
seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan
dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan
endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.
Pemberian anti mikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam
berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab
teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik dari
pada monoterapi.
d. Terapi suportif
1) Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai
dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat,
ventilasi mekanik segera dilakukan.
2) Terapi cairan
o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid
(NaCl 0.9% atau ringer laktat) maupun koloid.
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin
perlu diberikan.
o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau
bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada
iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan
dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.
3) Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi.
Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi)
untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik
90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8μg/kg.menit, norepinefrin
0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-8μg/kg/menit atau
epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan :
dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit,
epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor
(amrinone dan milrinone).
4) Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum
bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki
keadaan hemodinamik.
5) Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi,
segera diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan
inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit)
seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada
sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi
pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu.
6) Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan
produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia
akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis,
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis,
kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin
7) Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat
penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien
yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-
110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru
diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah
pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam
praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko
hipoglikemia.
8) Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan
koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan
mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi
penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis
sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan
kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin
dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan,
tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
9) Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal.
Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari
pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.
10) Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal,
analog lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF,
antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit
asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-
asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA);
imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi);
nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi).
Endogenous activated protein C memainkan peranan penting
dalam sepsis: inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa
(activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari
human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan
mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian
yang tinggi.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Airway
Yakinkan kepatenan jalan napas, Berikan alat bantu napas jika perlu,
Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi
dan bawa segera mungkin ke ICU.
b. Breathing
Kaji jumlah pernapasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala
yang signifikan, Kaji saturasi oksigen, Periksa gas darah arteri untuk
mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan asidosis, Berikan 100%
oksigen melalui non re-breath mask, auskulasi dada, untuk mengetahui
adanya infeksi di dada, Periksa foto thorak.
c. Circulation
Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan,
Monitoring tekanan darah, tekanan darah, Periksa waktu pengisian
kapiler, Pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar,
Berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel, Pasang kateter,
Lakukan pemeriksaan darah lengkap, Catat temperature,
kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang dari 360C,
Siapkan pemeriksaan urin dan sputum, Berikan antibiotic spectrum
luas sesuai kebijakan setempat.
d. Disability
Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis
padahal sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat
kesadaran dengan menggunakan AVPU.
e. Exposure
Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan
tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.
f. Aktivitas dan istirahat
Subyektif : Menurunnya tenaga/kelelahan dan insomnia.
g. Sirkulasi
o Subyektif
Riwayat pembedahan jantung/bypass cardiopulmonary, fenomena
embolik (darah, udara, lemak)
o Obyektif
Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya
hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock), Heart
rate : takikardi biasa terjadi, Bunyi jantung : normal pada fase
awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi disritmia dapat
terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal, Kulit dan
membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi
(stadium lanjut).
h. Integritas Ego:
Subyektif
Keprihatinan/ketakutan, perasaan dekat dengan kematian.
Obyektif
Restlessness, agitasi, gemetar, iritabel, perubahan mental.
i. Makanan/Cairan
Subyektif : Kehilangan selera makan, nausea.
Obyektif : Formasi edema/perubahan berat badan, hilang/melemahnya
bowel sounds.
j. Neurosensori
Subyektif atau Obyektif : Gejala truma kepala, kelambatan mental,
disfungsi motorik
k. Respirasi
Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas, infeksi pulmolal
diffuse, kesulitan bernafas akut atau khronis.

2. Diagnosis Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Ketidakseimbangan
antara Hiperventilasi, edema paru.
2. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan autoregulasi ginjal
yang terganggu.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan cardiac
output yang tidak mencukupi.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah.
5. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload dan
preload.
6. Hipertermi / hipotermi berhubungan dengan proses infeksi.

3. Perencanaan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Ketidakseimbangan
antara Hiperventilasi, edema paru.
a) Observasi Keperawatan
□ Observasi tanda -tanda vital
□ Kaji frekwensi, irama dan kedalaman pernafasan
□ Pantau dan catat refleks batuk serta keberhasilan pasien dalam
mengeluarkan slym
□ Auskultasi suara nafas
□ Kaji dan catat produksi slym meliputi ; jumlah dan warna
b) Terapi keperawatan
□ Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontraindikasi
□ Lakukan suction sesuai kebutuhan
□ Lakukan fisioterapi dada
□ Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk menurunkan viskositas
sekresi
c) Pendidikan pasien / keluarga
□ Ajarkan teknik batuk efektif
□ Ajarkan kepada pasien / keluarga tentang perubahan pada
warna sputum, karakter, jumlah dan bau.
□ Jelaskan penggunaan peralatan pendukung dengan benar (mis
;oksigen, suctioning,inhaler, spirometer).
□ Instruksikan kepada pasien dan keluarga dalam perencanaan
perawatan di rumah (mis : pengobatan,hidrasi, nebulisasi,
postural drainase dan tanda - tanda komplikasi).
d) Kolaboratif
□ Lakukan pemeriksaan AGD
□ Pemberian terapi inhalasi dan oksigen

2. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan autoregulasi ginjal


yang terganggu.
a) Observasi keperawatan
□ Pantau warna, jumlah dan frekwensi kehilangan cairan
□ Observasi khusunya terhadap kehilangan cairan yang tinggi
elektrolit (mis : diare, drainase luka, pengisapan nasogastrik
□ Pantau perdarahan
□ Kaji adanya vertigo atau hipotensi postural
□ kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu
□ Timbang berat badan
□ Hitung atau timbang popok
□ Pantau hasil laboratorium (mis : Ht, BUN, albumin, protein
total, osmolaritas serum dan berat jenis urine)
b) Terapi keperawatan
□ Tingkatkan asupan oral sesuai dengan keinginan
□ Posisikan dalam trendelenburg atau tinggikan kaki bila
hipotensi, jika tidak merupakan Kontraindikasi.
c) Pendidikan pasien/keluarga
□ Anjurkan pasien untuk menginformasikan bila Haus
d) Kolaboratif
□ Laporkan abnormalitas elektrolit
□ Laporkan dan catat haluaran cairan kurang dari ………ML
□ Laporkan dan catan haluaran cairan lebih dari……….ML
□ Atur ketersedian produk darah
□ Berikan terapi IV sesuai anjuran
□ Tentukan jumlah cairan yang masuk dalam 24 jam
□ Pasang kateter urine bila perlu
□ Berikan cairan sesuai kebutuhan

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan cardiac


output yang tidak mencukupi
□ Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
□ Monitor adanya paretese
□ lnstruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi
atau laserasi
□ Gunakan sarung tangan untuk proteksi
□ Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
□ Monitor kemampuan BAB
□ Kolaborasi pemberian analgetik
□ Monitor adanya tromboplebitis
□ Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan mual, muntah.
a) Observasi Keperawatan
□ Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi.
□ Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan.
□ Ketahui makanan kesukaan pasien
□ Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
b) Terapi keperawatan
□ Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan
□ Hindari prosedur invasif sebelum makan
□ Berikan makanan yang sesuai dengan pribadi pasien, budaya
dan agama
□ Tawarkan higiene mulut sebelum makan
□ Tempatkan pasien pada posisi semi fowler atau fowler untuk
memudahkan menelan
c) Pendidikan untuk pasien/keluarga
□ Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana memenuhinya
□ Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan yang bergizi dan
tidak mahal
□ Ajarkan metode perencanaan makanan
□ mempertahankan keberhasilan menyusui
d) Kolaboratif
□ Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab perubahan nutrisi
□ Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan,
makanan pelengkap, pemberian makan melalui slang atau
nutrisi pasien

5. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload dan


preload.
a) Observasi keperawatan
□ Observasi tanda-tanda vital, adanya sianosis
□ Pantau tanda kelebihan cairan (edema)
□ kaji toleransi aktivitas dengan memperhatikan awal nafas
pendek, nyeri, palpitasi atau pusing.
□ Pantau asupan / haluaran, haluaran urine dan BB pasien
□ Pantau dan dokumentasikan denyut jantung, irama dan nadi
b) Terapi keperawatan
□ Ubah posisi pasien ke posisi telentang atau trendelenburg pada
saat tekanan darah pasien berada pada rentang lebih bawah
□ Ubah posisi pasien setiap 2 jam atau pertahankan aktivitas yang
dibutuhkan / sesuai untuk menurunkan statis sirkulasi perifer.
□ Minimalkan / hilangkan stressor lingkungan
c) Pendidikan untuk pasien / keluarga
□ Jelaska tujuan pemberian oksigen
□ Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan
palpitasi dan nyeri, durasi, faktor yang menyebabkan, daerah
kualitas dan intensitas.
□ Instruksikan pasien / keluarga dalam perencanaan untuk
perawatan di rumah, meliputi pembatasan aktivitas,
pembatasan Diet
□ Berikan informasi untuk teknik pengurangan Stres
d) Kolaboratif
□ Berikan antikoagulan untuk mencegah pembentukan trombus
perifer sesuaI program
□ Berikan dan titrasikan obat antiaritmia, inotropik, nitrogliserin
dan vasodilator untuk mempertahankan kontraktilitas, preload
& afterload

6. Hipertermi / hipotermi berhubungan dengan proses infeksi.


a) Observasi Keperawatan
□ Pantau hidrasi (kelembapan membrane mukosa, turgor kulit)
□ Pantau tekanan darah, nadi, pernafasan
□ Pantau suhu minimal setiap 2 jam
□ Pantau aktivitas kejang.
□ Pantau warna kulit
b) Terapi keperawatan
□ lepaskan pakaian yang berlebihan
□ Beri dan gunakan waslap untuk kompres pada aksila, kening,
leher dan lipat paha
□ Beri / anjurkan untuk asupan cairan oral.
□ Gunakan selimut pendingin
c) Pendidikan untuk pasien / keluarga
□ Ajarkan pasien / keluarga dalam mengukur suhu untuk
mencegah dan mengenali secara dini hipertermi
□ Ajarkan indikasi keletihan karena panas dan tindakan
kedaruratan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan.
d) Kolaboratif
□ Berikan obat antipiretik sesuai dengan kebutuhan
□ Gunakan matras dingin

Anda mungkin juga menyukai