Anda di halaman 1dari 5

CEGAH NIKAH DINI DENGAN SEX EDUCATION

Oleh
Putu Dyah Pramesti Cahyani

Perkiraan jumlah penduduk Indonesia di tahun 2020 adalah 280 juta jiwa atau
bahkan lebih, grafik kenaikan jumlah penduduk sangat signifikan setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil SDKI 2012, 17 persen perempuan yang berusia 20-24 tahun
melaporkan bahwa mereka menikah sebelum usia 18 tahun sedangkan pernikahan
anak perempuan berusia 15 tahun adalah 3 persen. Hal ini berarti 340,000 perkawinan
di Indonesia terjadi pada anak perempuan berusia dibawah 18 tahun. Sementara itu,
menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, menunjukkan bahwa di antara perempuan pernah
kawin usia 20-24 tahun, 25 persen menikah sebelum usia 18 tahun.
Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan
rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Di Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, dan
Jawa Barat, angka kejadian pernikahan dini berturut-turut 39,4%, 35,5%, 30,6%, dan
36%. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah
anak perempuan mendapat haid pertama. Menikah di usia kurang dari 18 tahun
merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama
negara berkembang. Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1954 secara
eksplisit menentang pernikahan anak, namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini
masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan perlindungan
hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan. Implementasi Undang-Undangpun
seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur
norma sosial suatu kelompok masyarakat.
Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia dengan
berbagai latar belakang. Telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat
risiko yang timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia
dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan
bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini. Hal
lain yang perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan
dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian
ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan
perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap
kejadian kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan
kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak
termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam menghentikan praktek
pernikahan usia dini. (Sari Pediatri 2009;11(2):136-41).
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor
menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara
luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit
untuk mengubah. Alasan ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial
setelah menikah menyebabkan banyak orangtua mendorong anaknya untuk menikah
di usia muda.
Selain faktor budaya dan ekonomi, salah satu faktor yang menyebabkan
tingginya angka pernikahan dini adalah kehamilan di luar nikah sehingga memaksa
remaja untuk menikah di usia dini atau yang lebih dikenal dengan istilah “married by
accident”. Ini disebkan rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
yaitu tentang masa subur. Remaja perempuan dan laki-laki usia 15-24 tahun yang
mengetahui tentang masa subur mencapai 65 % (SDKI 2007) terdapat kenaikan
dibanding hasil SKRRI tahun 2002-2003 sebesar 29% dan 32%. Sehingga, dapat
dikatakan tingginya angka pernikahan dini di Indonesia dipengaruhi oleh rendahnya
pengetahuan remaja terkait kesehatan reproduksi.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada
masa remaja akan terjadi perubahan-perubahan fisik maupun psikis. Masa remaja
juga dicirikan dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri seseorang dalam berbagai
hal, tidak terkecuali bidang seks. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, organ
reproduksipun mengalami perkembangan dan pada akhirnya akan mengalami
kematangan. Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain
menyebabkan perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja.
Remaja mulai merasakan dengan jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya,
misalnya muncul ketertarikan dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan
kepuasan seksual. Kematangan organ reproduksi dan perkembangan psikologis
remaja yang mulai menyukai lawan jenisnya serta arus media informasi baik
elektronik maupun non elektronik akan sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual
individu remaja tersebut. Sebagai akibat proses kematangan sistem reproduksi ini,
seorang remaja sudah dapat menjalankan fungsi prokreasinya, artinya sudah dapat
mempunyai keturunan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa remaja sudah
mampu bereproduksi dengan aman secara fisik. Oleh karena itu, untuk mencegah
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, maka remaja perlu diberkali dengan
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (sex education).
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan
sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek
yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Hal ini terkait
pada suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta
mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman.
Menurut UNESCO, Pendidikan kesehatan reproduksi atau sex aducation
adalah sebuah pendidikan yang dikembangkan agar memberikan kesempatan bagi
remaja untuk mengeksplorasi nilai-nilai dan sikap diri serta melatih kemampuan
pengambilan keputusan da keterampilan penekanan resiko di semua aspek
seksualitas. Dengan kata lain, pendidikan kesehatan reproduksi dapat membantu
remaja dalam mengenali resiko dalam kehidupan seksualitas sehingga remaja dapat
membedakan perilaku seksual yang beresiko dan perilaku seksual yang aman.
Pendidikan kesehatan reproduksi dapat diberikan kepada remaja melalui
berbagai cara. Tidak hanya melalui pendidikan formal di sekolah, namun juga dapat
diberikan melalui pendidikan informal dari orang tua, teman sebaya atau dari media
baik itu media masa, media cetak ataupun media sosial.
Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi seorang remaja. Sejak
lahir, orang tua akan mendidik anak mereka dan mengajarkan perbedaan antara
sesuatu yang baik dan buruk. Pendidikan kesehatan reproduksi idealnya dapat
diberikan oleh orang tua sejak dini. Mulai dari menyadarkan anak tentang perbedaan
jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki serta mengajarkan anak tentang fungsi
dari organ reproduksi. Setelah anak menginjak masa remaja, peran orang tua adalah
mengajarkan anak tentang batasan perilaku seksual serta tentang perilaku seksual
yang beresiko. Dengan demikian, para remaja akan memiliki kemampuan untuk
membedakan mana perilaku seksual yang aman dan mana perilaku seksual yang
beresiko. Mungkin akan terasa sedikit tabu bagi orang tua jika membahas tentang
seksual dengan anak mereka. Namun, saat ini para orang tua harus sadar betapa
pentingnya memberikan. pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seksual
sejak dini kepada remaja untuk mencegah kehamilan di luar nikah yang pada
akhirnya mengharuskan remaja untuk menikah di usia dini.
Selain melalui orang tua, pengetahuan remaja terkait kesehatan reproduksi
dan seksual dapat diperoleh dari teman sebaya. Namun, dewasa ini pergaulan anak
remaja cenderung mengikuti budaya barat yang identik dengan perilaku seksual yang
bebas atau lebih dikenal dengan istilah freesex. Untuk mencegah hal tersebut, maka
perlu dibentuk seorang remaja yang mampu menyebarkan pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi serta pendidikan seksual kepada teman sebayanya atau dikenal
dengan istilah “tutor sebaya”. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membentuk
tutor sebaya adalah melalui Program GenRe.
Program Genre merupakan suatu program yang dibentuk oleh pemerintah
yang bertujuan untuk membentuk remaja yang memiliki perencanaan yang matang
dalam hal pendidikan yang terencana, berkarir dalam pekerjaan yang terencana, serta
menikah dengan penuh perencanaan sesuai dengan siklus kesehatan reproduksi
sehingga dengan demikian dapat terbentuk generasi emas bagi Indonesia. Program
GenRe akan memilih Duta Genre di masing-masing wilayah yang nantinya akan
membantu untuk mengatasi masalah remaja salah satunya melalui pendidikan
kesehatan reproduksi dan seksual.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan juga berperan penting dalam
mengatasi masalah pernikahan dini di Indonesia. Hingga saat ini, pemerintah telah
membentuk berbagai program untuk mengatasi masalah remaja di Indonesia
diantaranya Program GenRe, Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP),
Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR) , Pusat Informasi Konseling
Remaja/Mahasiswa (PIKM-R/M) dan Bina Keluarga Remaja (BKR). Seluruh
program tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu membantu remaja agar
memahami dan mempraktikkan perilaku hidup sehat dan berakhlak untuk mencapai
ketahanan remaja sebagai dasar mewujudkan Generasi Berencana (GenRe).
Untuk mengatasi masalah pernikahan dini di Indonesia tidak hanya menjadi
tanggungjawab satu pihak saja. Namun, dibutuhkan kerjasama antara orang tua,
teman sebaya serta pemerintah untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi
dan pendidikan seksual sejak dini kepada remaja. Orang tua sebagai pendidik pertama
dan utama bagi remaja, tutor sebaya sebagai penyebar pengetahuan terkait kesehatan
reproduksi dan seksual kepada remaja dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan
yang akan membentuk program-program terkait kesehatan reproduksi remaja. Ketika
seluruh elemen tersebut bekerja sama, maka remaja akan memiliki pengetahuan yang
cukup tentang kesehatan reproduksi dalam hal ini tentang fungsi organ reproduksi,
perilaku seksual yang aman, masa subur, serta umur yang tepat untuk menikah maka
dapat dipastikan kejadian kehamilan di luar nikah yang menjadi penyebab remaja
harus menikah di usia dini dapat ditekan bahkan dihentikan. Dengan demikian, angka
pernikahan usia dini di Indonesia dapat berkurang di setiap tahunnya.

DAFTAR PUSTAKA
UNICEF. Child protection information sheet: child marriage. [diunduh 20 Mei 2017].
Didapat dari: www. unicef.org. 2006.
BKKBN.2001. Remaja Mengenai Dirinya. Jakarta : BKKBN
Tim KRR Perinasia. 2007. Materi pelatihan KRR. Jakarta : Perinasia

Anda mungkin juga menyukai