Anda di halaman 1dari 16

KLIPING

OLEH :

ANGGOTA : - NOVIA

- GUNAWAN

- HUAN

KELAS : X TN 2
PESAN BAGI PARA HAKIM

Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari
bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk menguburjenazah bapaknya
itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya
dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani,
menyalati dan mendo’akannya, maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi
Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun… demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu
tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang
dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-
lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran
dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk
pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain
rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu
Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu
Nawas.

“Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan Sultan.

“Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.”jawab Abu
Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”

“Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai
supaya bersih dan segar.” kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang
dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.

“Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?” kata wazir.

“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata Abu Nawas.

“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.


“Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas sembari menyaruk
debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu
Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.

Dengan geram Sultan berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas
kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka
rela ataupun terpaksa.”

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan
di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak
selayaknya berada di hadapan seorang raja.

“Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda.

“Ya Baginda, tahukah Anda….?”

“Apa Abu Nawas…?”

“Baginda… terasi itu asalnya dari udang !”

“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”

“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para
pengawalnya. “Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali”

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara
yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia
dicegat oleh penjaga.]

“Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan
perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka
engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana
bagianku itu?”

“Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang
diberikan kepada tadi?”

“lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”

“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”


“Wan ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering
menerima hadiah dari Baginda.”

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang
itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan
menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus
melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al
Rasyid.

“Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu
Nawas yang teiah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan.
Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.”

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas
berada di hadapan Baginda ia ditanya.”Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli
penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?”

Berkata Abu Nawas,”Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia
menerima pukulan itu.”

“Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?” tanya
Baginda.

“Tuanku,”kata Abu Nawas.”Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan
perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi
dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua
puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan
kepadanya.”

“Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjianseperti itu dengan
Abu Nawas?” tanya Baginda.

“Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu gerbang.

“Tapi hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan.”

“Hahahahaha! Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!”sahut Baginda.”Abu Nawas
tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah
orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu
itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!”

“Ampun Tuanku,”sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.

Abu Nawas berkata,”Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan
hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah
waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus
mencari nafkah untuk keluarga hamba.”

Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa
terbahak-bahak, “Hahahaha…jangan kuatir Abu Nawas.”

Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak


kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.

Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik
seperti orang gila sungguhan.

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya.

“Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?”

Wazir atau perdana meneteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah
otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi.”

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama.

“Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.”

“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika
tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja.”

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid
mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama
berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui
jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada
Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur
kepada Tuhan.

“Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang mengerikan.

Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja.”

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:

Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggii Abu
Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah
lunglai.

Berkata bapaknya,”Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan
telinga kiriku.”
Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya,
ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

“Bagamaina anakku? Sudah kau cium?”

“Benar Bapak!”

“Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.”

“Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali.
Tapi… yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?”

“Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?”

“Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.”

Berkata Syeikh Maulana “Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya
kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak
suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak
kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hai yang sama, namun jika kau tidak suka
menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh
Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap
memilihmu sebagai Kadi.”

Nan, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri
agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya
seperti hakim yang memutus suatu
perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh
sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya
sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal
KAKEK DAN SEEKOR ANJING

Suatu hari hidup seorang kakek yang hidup hanya dengan istrinya, kakek itu bernama Bahri.
Suatu hari saat kakek Bahri sedang berjalan pulang dia melihat seekor anjing kecil yang
terlantar dijalanan. Seketika kakek Bahri mendekati anjing malang tersebut dan membawanya
pulang, sesampainya dirumah istri kakek Bahri yang bernama nenek Sri membuka pintu. Saat
nenek Sri membuka pintu dan melihat suaminya membawa anjing malang tersebut perasaan
nenek sri tersbut menjadi buruk. Keesokan harinya kakek Bahri sengaja tidak bekerja hanya
untuk mengobati anjing malang tersebut, melihat kakek Bahri yang tidak bekerja nenek Sri
pun marah kepada kakek bahri lalu nenek sri berkata
Nenek sri: “pak kenapa bapak tidak bekerja?”
Kakek Bahri: “Bapak sengaja tidak bekerja untuk mengobati anjing malang ini.”
Nenek Sri: “Kalau bapak hari ini tidak bekerja bagaimana kita bisa makan?”
Kakek Bahri: “Kan singkong dibelakang masih ada, hari ini kita makan singkong dulu saja.”
Nenek Sri: “Dasar anjing pembawa sial” dengan nada yang sangat marah
kakek bahri: “Bu jangan bicara begitu ini anjing juga ciptaan tuhan.” dengan nada marah

Suatu hari saat kakek bahri ingin membeli sesuatu diwarung anjing itu menggonggong, lalu
kakek bahri berkata
Kakek bahri: “Kenapa anjing itu terus menggonggong?” tanyanya
ternyata maksud anjing tersebut menggonggong adalah akan ada tamu yang akan datang
kerumah kakek bahri.
Karena merasa kesal anjing tersebut mendatangi warung yang kakek bahri tuju, ternyata
anjing tersebut tidak menemukan kakek bahr, anjing tersebut hanya menemukan sandalnya,
karena merasa sakit hati gonggongannya tidak didengar kakek bahri akhinya anjing tersebut
mengambil salah satu sendal kakek bahri. Saat kakek bahri hendak pulang dia heran dan
berkata,
Kakek Bahri: “kenapa sandalku tidak ada sebelah?” terheran-heran
lalu kakek bahri pulang hanya dengan sandal sebelah. Saat sampai dirumah ternyata
sandalnya sudah ada dihalaman depan rumahnya dan ada gigitan anjing, kakek bahri lalu
sadar kenapa anjing ini mengambil sandalku, mungkin dia sakit hati karena dia tadi sudah
menggonggong aku tidak mendengarnya.

Keesokan harinya nenek sri berjalan menuju pasar tapi anjing peliharaannya tersebut
mengikutinya, sesampainya dipasar dia terus dipandangi oleh orang-orang dipasar dengan
pandangan yang aneh. Saat dia sampai ditukang sayur lalu tukang sayurpun berkata kepada
nenek sri
Tukang sayur: “Bu anjing siapa itu?” terherah-heran
Nenek sri: “Saya tidak tahu bang.” dengan perasaan malu
Mendengar perkataan nenek sri anjing tersebut pergi karena sakit hati. Lalu sesampainya
dirumah kakek bahri berkata kepada nenek
kakek bahri: “Bu si jackie kemana?, bapak tidak melihat dia dari tadi?
Nenek sri: “Ibu tidak tahu kemana dia.” sambil menyembunyikan sesuatu.

Kakek bahri setiap hari terus mencari anjing tersebut tetapi tidak pernah ketemu.
Karena putus asa kakek bahri setiap harinya terus sedih karena anjing yang sangat
disayanginya pergi entah kemana.
Melhat keadaan suaminya yang terus memburuk nenek sri pun mencoba untuk jujur kepada
kakek bahri.
Nenek Sri: “Pak sebenarna aku tahu dimana si jackie?”
Kakek bahri: “Dimana bu?” dengan mata yang berkaca-kaca
Nenek sri: “beberapa hari yang lalu ibu pergi kepasar saat diperjalanan ibu diikuti oleh si
jackie, saat ibu sedang membeli sayur tiba-tiba tukng sayur itu berkata kepada ibu, tukang
sayur itu menanyakan pemilik anjing tersebut, lalu ibu menjawab say tidak tahu.
kakek bahri: “Jadi ibu tidak mengangap jackie?” dengan marah
Nenek sri: “Ibu malu karena dipasar banyak yang memandangi ibu dengan pandangan yang
aneh.
Saat mereka sedang berbicara, terdengar suara lolongan anjing dari luar rumah. Merekapun
dengan cepat keluar rumah dan benar saja suara lolongan anjing tersebut adalah si jackie.
Melihat si jackie nenek sri dengan rasa bersalah meminta maaf kepada si jackie dan kakek
bahri berpesan kepada nenek sri agar tidak berkata seperti itu lagi.

Akhirnya mereka semua menjadi keluarga yang bahagia walaupun kakek bahri dan nenek sri
tidak mempunyai anak, karena dengan keberadaan si jackie sudah cukup untuk mengobati
perasaan mereka untuk mempunyai anak.
KEONG MAS

Raja Kertamarta adalah raja dari Kerajaan Daha. Raja mempunyai 2 orang putri, namanya
Dewi Galuh dan Candra Kirana yang cantik dan baik. Candra kirana sudah ditunangkan oleh
putra mahkota Kerajaan Kahuripan yaitu Raden Inu Kertapati yang baik dan bijaksana.

Tapi saudara kandung Candra Kirana yaitu Galuh Ajeng sangat iri pada Candra kirana,
karena Galuh Ajeng menaruh hati pada Raden Inu kemudian Galuh Ajeng menemui nenek
sihir untuk mengutuk candra kirana. Dia juga memfitnahnya sehingga candra kirana diusir
dari Istana ketika candra kirana berjalan menyusuri pantai, nenek sihirpun muncul dan
menyihirnya menjadi keong emas dan membuangnya kelaut. Tapi sihirnya akan hilang bila
keong emas berjumpa dengan tunangannya.

Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut. Keong
Emas dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi
dilaut tetapi tak seekorpun didapat. Tapi ketika ia sampai digubuknya ia kaget karena sudah
tersedia masakan yang enak-enak. Sinenek bertanya-tanya siapa yang memgirim masakan ini.

Begitu pula hari-hari berikutnya sinenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek
pura-pura kelaut ia mengintip apa yang terjadi, ternyata keong emas berubah menjadi gadis
cantik langsung memasak, kemudian nenek menegurnya ” siapa gerangan kamu putri yang
cantik ? ” Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh saudaraku
karena ia iri kepadaku ” kata keong emas, kemudian candra kirana berubah kembali menjadi
keong emas. Nenek itu tertegun melihatnya.

Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang.
Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu
dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu
Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya.
Ia menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan arah
yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan,
diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden
Inu dari burung gagak itu.Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung
itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya
raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia
menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya
sudah habis. Tapi ternyata ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihatnya
tunangannya sedang memasak. Akhirnya sihirnya pun hilang karena perjumpaan dengan
Raden Inu. Tetapi pada saat itu muncul nenek pemilik gubuk itu dan putri Candra Kirana
memperkenalkan Raden Inu pada nenek. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya
keistana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Galuh Ajeng pada Baginda Kertamarta.

Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Galuh Ajeng mendapat hukuman
yang setimpal. Karena takut Galuh Ajeng melarikan diri kehutan, kemudian ia terperosok dan
jatuh kedalam jurang. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapatipun
berlangsung. Mereka memboyong nenek dadapan yang baik hati itu keistana dan mereka
hidup bahagia.
ROBOHNYA SURAU KAMI

tanya Kakek,
“Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu
dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar
baginya ialah karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk
diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar
kampungku yang cocok dengan watak pelakupelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan
bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi
pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami
sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah
membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin
tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh
tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah
begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar
dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya
lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang
bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku
sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan?
Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka
mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga
seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin
rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak
pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan,
sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak
kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada
umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk
membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap
waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku
terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku
nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang
yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka
tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah
dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di
dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu
yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil
membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang
masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang
masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu
nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka,
bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-
nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku
juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia
insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya.
Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus
dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba
menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya
mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat
merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut
terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti
kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan
ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya,
karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.
Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh
pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan
semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini
kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di
dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin
gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah
suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar.
Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling
taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di
luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka.
Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang
cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya,
bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi
kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri
kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat
tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau
semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah
saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke
neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan
yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di
kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia
bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir
selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali.
Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.”
KANCIL DAN BUAYA

Suatu hari Si Kancil, binatang yang katanya cerdik itu, sedang berjalan-jalan di pinggir hutan.
Dia hanya ingin mencari udara segar dan melihat matahari yang cerah bersinar. Di dalam
hutan terlalu gelap karena pohon-pohon sangat lebat.

Si Kancil ingin berjemur di bawah terik matahari. Di sana ada sungai besar yang airnya
dalam sekali. Setelah sekian lama berjemur, Si Kancil merasa ada yang berbunyi di perutnya.

kruuuk…kruuuuuk…kruuuuuk.

Wah, rupanya Si Kancil sudah lapar. Si Kancil membayangkan betapa nikmatnya kalau ada
makanan kesukaannya yaitu ketimun. Namun kebun ketimun ada di seberang sungai,
bagaimana cara menyeberanginya ya? Si Kancil berfikir sejenak.

Tiba-tiba Si Kancil melompat kegirangan, dan berteriak: “Buaya….buaya…. ayo


keluaaaaar….. Aku punya makanan untukmu…!!” seperti itulah si Kancil berteriak kepada
buaya-buaya yang banyak tinggal di sungai yang dalam itu.

Sekali lagi Kancil berteriak, “Buaya…buaya… ayo keluar… mau daging segar tidaaaak?”

Tak lama kemudian, seekor buaya muncul dari dalam air, “Bruaaar… siapa yang teriak siang-
siang begini.. mengganggu tidurku saja.” “Hei Kancil, diam kau.. kalau tidak aku makan
nanti kamu.” Kata buaya kedua yang muncul bersamaan.

“Wah…. bagus kalian mau keluar, mana buaya yang lain?” kata si Kancil kemudian. “Kalau
cuma dua ekor masih sisa banyak nanti makanannya ini. Ayo keluar semuaaa…!” si Kancil
berteriak lagi.

“Ada apa Kancil sebenarnya, ayo cepat katakan,” kata buaya.

“Begini buaya, maaf kalau aku mengganggu tidurmu, tapi aku akan bagi-bagi daging segar
buat buaya-buaya di sungai ini,” makanya kalian harus keluar semua untuk menghabiskan
daging-daging segar ini.

Mendengar bahwa mereka akan dibagikan daging segar, buaya-buaya itu segera memanggil
teman-temannya untuk keluar semua.

“Hei, teman-teman semua, ada makanan gratis nih! Ayo kita keluaaaar….!” pemimpin dari
buaya itu berteriak memberikan komando. Tak berapa lama, bermunculanlah buaya-buaya
dari dalam air.

“Nah, sekarang aku harus menghitung dulu ada berapa buaya yang datang, ayo kalian para
buaya segera baris berjajar hingga ke tepi sungai di sebelah sana,” “Nanti aku akan
menghitung satu persatu.”
Lalu tanpa berpikir panjang, buaya-buaya itu segera mengambil posisi, berbaris berjajar dari
tepi sungai satu ke tepi sungai lainnya, sehingga membentuk seperti jembatan.

“Oke, sekarang aku akan mulai menghitung,” kata si Kancil yang segera melompat ke
punggung buaya pertama, sambil berteriak,

“Satuuu….. duaaaa….. tigaaaa…..”

begitu seterusnya sambil terus meloncat dari punggung buaya yang satu ke buaya lainnya.
Hingga akhirnya si Kancil sampai di seberang sungai. Dan di dalam Hatinya tertawa, “Mudah
sekali ternyata.”

Begitu sampai di seberang sungai, Kancil berkata pada buaya, “Hai buaya-buaya bodoh,
sebetulnya tidak ada daging segar yang akan aku bagikan. Tidakkah kau lihat bahwa aku
tidak membawa sepotong daging pun?” “Sebenarnya aku hanya ingin menyeberangi sungai
ini, dan aku butuh jembatan untuk lewat. Kalau begitu saya ucapkan terima kasih pada kalian,
dan mohon maaf kalau aku mengerjai kalian,” kata si Kancil.

“Haaaa!….huaaaaaahh… sialan… Kancil nakal, ternyata kita cuma dibohongi. Awas kau
kancil ya.. kalau ketemu lagi saya makan kamu,” kata buaya-buaya itu geram.

Si Kancil segera berlari menghilang di balik pepohonan dan menuju kebun Pak Tani untuk
mencari ketimun makanan kesukaannya.

Anda mungkin juga menyukai