Anda di halaman 1dari 26

Diagnosis dan Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi

Pendahuluan

Sindroma koroner akut nerupakan sindroma klinis yang terdiri dari infark miokard akut
dengan atau tanpa elevasi segmen ST serta angina pectoris tidak stabil. Walaupun presentasi
klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi. Keluhan utama adalah nyeri dada dan
klasifikasi berdasarkan gembaran elektrokardiogram (EKG), yaitu yang pertama, pasien dengan
nyeri dada khas disertai elevasi segmen ST : terjadi oklusi total akut arteri koroner sehingga tujuan
utama pengobatan adalah reperfusi secara cepat dan komplit dengan fibrinolitik atau angioplasti
primer. Yang kedua adalah pasien dengan nyeri dada khas tanpa elevasi segmen ST: gambaran
EKG berupa depresi segmen ST persisten atau transien, gelombang T yang inverse atau mendatar
atau EKG normal.1 STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.2

Anamnesis

Merupakan suatu wawancara antara pasien dengan dokter untuk mengetahui riwayat
kondisi pasien, riwayat penyakit pasien dahulu, riwayat penyakit keluarga, gejala-gejala yang
dialami pasien. Jenis anamnesis yang dapat dilakukan adalah autoanamnesis dan alloanamnesis.
Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan bila
pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat terdekatnya
yang mengikuti perjalanan penyakitnya.3

1. Identitas pasien
Menanyakan kepada pasien : Nama lengkap pasien, umur pasien ,tanggal lahir, jenis
kelamin,agama, alamat, umur (orang tua), pendidikan dan pekerjaan (orang tua) ,suku
bangsa.
2. Keluhan utama : pasien datang dengan keluhan nyeri pada dada terus menerus sejak 40
menit yang lalu

1
3. Riwayat Penyakit Sekarang : nyeri konstan yang muncul pada dada bagian tengah
menjalar ke lengan kiri. Nyeri mulai timbul saat pasien sedang bermain futsal yaitu sejak
3 jam yang lalu/
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Menanyakan riwayat penyakit dahulu (penyakit sebelumnya). Apakah sebelumnya pasien
pernah mengalami penyakit yang sama, ataupun penyakit lain yang pernah pasien derita.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun terakhir
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama. Tanyakan
pula tentang kebersihan perorangan atau kebiasaan bermain: ayah pasien meninggal karena
serangan jantung.
6. Pertanyaan-pertanyaan khusus yang dapat ditanyakan berhubungan dengan infark miokard
akut antara lain mengenai keluhan sakit dada, dan faktor resiko.4

• Faktor pencetus yang paling sering : kegiatan fisik yang berat seperti futsal.
• Kualitas sakit dada : didaerah mid sternal, rasa sakit tidak jelas akan tetapi banyak yang
menggambarkan seperti ditusuk, dibakar atau ditimpa beban berat.
• Penjalaran : ke rahang, leher, bahkan ke lengan dan jari tangan.
• Gejala atau tanda penyerta : mual, muntah, keringat dingin dan berdebar-debar dan sesak
nafas.
• Lama sakit pada pada infark : lebih dari 30 menit dan tidak hilang dengan pemberian obat-
obatan antiangina, biasanya akan hilang dengan pemberian analgesik seperti Morfin atau
Petidin. Sedangkan angina : tidak lebih dari 30 menit dan umumnya masih respon dengan
obat anti angina baik oral maupun parenteral.
• Faktor resiko PJK berupa usia, jenis kelamin, keturunan, kepribadian tipe a, obesitas,
merokok, dm, hiperkolesterolemia, maupun hipertensi.4
Pemeriksaan Fisik

Dalam kasus ini, pemeriksaan fisik yang digunakan adalah pemeriksaaan fisik jantung
patologis. Yang perlu dilakukan saat pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.5

Inspeksi

2
Pada inspeksi yang kita lihat yaitu pada kulit toraks apakah terjadi perubahan warna kulit,
apakah terdapat lesi kulit, benjolan, pelebaran kapiler (mis. Spider naevi) dan sebagainya.
Kemudian perhatikan bentuk toraks, apakah simetris atau asimetris, dan apakah terdapat
deformitas seperti pectus excavatum, pectus carinatum, barrel chest, dan lain lain. Salah satu
kelainan bentuk toraks yang dapat dijumpai adalah Voussure cardia que (pectus carinatum),
adalah tonjolan lokal yang lebar antara sternum dan apex kordis. Di tempat tersebut sering
dijumpai pulsasi jantung. Ictus kordis akan tampak sebagai pulsasi dengan ventricular heaving
yang kuat angkat dan cepat, pada sela iga 3, 4 atau 5, disekitar linea medioklavikularis kiri.5

Pemeriksaan jugular venous pressure (JVP) juga merupakan hal penting dalam
pemeriksaan fisik. JVP mencerminkan tekanan atrium kanan atau central venous pressure (CVP),
yang paling baik diperiksa melalui inspeksi pada pulsasi vena jugularis. Namun pemeriksaan ini
sulit dilakukan pada anak dibawah 12 tahun. Setelah pemeriksaan JVP, lakukan pemeriksaan
denyut arteri karotis, dimana akan menggambarkan fungsi jantung dan terutama dalam mendeteksi
adanya stenosis atau insufisiensi katup aorta.5

Palpasi

Pada pemeriksaan palpasi dalam keadaan patologis dapat teraba adanya pulsasi yang keras
dan bergelombang, yang disebut ventricular heaving. Kelainan ini sering dijumpai pada kasus
mitral insufisiensi dan aneurisma ventricel. Sedangkan pada pulsasi yang keras seperti pukulan di
daerah ventrikel kanan disebut ventrikular lift. Bila impuls apikal ini sulit diraba pasa posisi pasien
berbaring terlentang, mintalah pasien untuk berbaring miring ke sisi kiri (left lateral decubitus),
dan mintalah pasien untuk ekshalasi maksimal dan stop nafas untuk beberapa detik.5

Perkusi

Dengan perkusi dapat ditentukan batas- batas jantung, yang pada keadaan patologis seperti
pembesaran jantung kanan maupun kiri, maka pinggang jantung akan melebar ke arah kiri atau
kanan, disertai menghilangnya pinggang jantung.5

Auskultasi

3
Keadaan patologis yang harus diidentifikasi dengan cara auskultasi adalah gallop dan
murmur. Gallop yaitu bunyi jantung seperti derap kaki kuda yang sedang berlari. Sering dijumpai
pada decompensatio kordis. Murmur adalah bising jantung yang harus didengar baik baik dan
dibedakan. Ada pula aritmia yaitu denyut jantung yang tidak teratur atau ireguller, yang dapat
berupa percepatan atau perlambatan irama sinus (takikardia dan bradikardia) atau irama yang
melompat seperti pulsus bigeminus, trigerminus dll, atau irama yang benar benar irreguler, yang
dapat ditemukan stenosis mitral, stenosis trikuspid.5

Tanda fisik lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late systolic apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu
pertama paska STEMI.2

Pemeriksaan Penunjang

EKG

Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien


dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera
dalam 10 menit sejak kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI
tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval
5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior. EKG sisi kanan
harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.2
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau Non
STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika

4
EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata
tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark (mural/ transmural)
sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/ nontransmural.2

Gambar 1. Gambaran EKG normal, STEMI, NSTEMI1

Tabel gambaran spesifik pada rekaman EKG1

Daerah infark Perubahan EKG

Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.

Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan


resiprokal (depresi ST) V1 – V6, I, aVL.

5
Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6.

Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF,


terutama gelombang R pada V1 – V2.

Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior

Lokasi Infark Q-wave / Elevasi ST A. Koroner


Anteroseptal V1 dan V2 LAD

Anterior V3 dan V4 LAD

Lateral V5 dan V6 LCX

Anterior ekstrinsif I, a VL, V1 – V6 LAD / LCX

High lateral I, a VL, V5 dan V6 LCX

Posterior V7 – V9 (V1, V2*) LCX, PL

Inferior II, III, dan a VF PDA

Right ventrikel V2R – V4R RCA


Gelombang R yang tinggi dan depresi ST di V1 – V2 sebagi mirror image dari perubahan sedapan
V7 – V9.
LAD = Left Anterior Descending artery; PL = PosteriorDescending Artery.
LCX = Left Circumflex.; RCA= Right Coronary Artery.

Pemeriksaan Enzim Jantung

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CKMB) dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga

6
akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA , terapi reperfusi
diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.2

Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).2

 CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-
24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB.
 cTn ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn 1. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTnT masih dapat dideteksi setelah
5-14 hari, sedangkan cTn 1 setelah 5-10 hari.2

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :2

 Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
 Creatinin kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
 Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
 Pemeriksaan Kolesterol Serum
Kolesterol merupakan lemak darah yang disintesis di hati serta ditemukan dalam
sel darah merah, membrane sel, dan otot. Kolesterol serum digunakan sebagai indikator
penyakit arteri koroner dan aterosklerosis. Hiperkolesterolemia menyebabkan
penumpukan plak di arteri koroner sehingga menyebabkan miokard infark. Peningkatan
kolesterol juga bisa karena obat-obatan seperti aspirin. Nilai rujukan : Nilai ideal <
200mg/dL. Risiko sedang : 200-240 mg/dL. Risiko tinggi: > 240 mg/dL.
 Pemeriksaan Lipoprotein
Lipoprotein adalah lipid yang berikatan dengan protein. Fraksi lipoprotein : HDL
(kelompok α) , LDL, VLDL (kelompok β). Kelompok β merupakan contributor terbesar
terjadi nya aterosklerosis pada penyakit arteri koroner. Kelompok α membantu mengurangi
deposit lemak di pembuluh darah. Nilai rujukan : HDL 29-77 mg/dL , LDL 60-160 mg/dL.

7
Garis horizontal menunjukkan upper preference limit (URL) biomarker jantung
pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai yang mempresentasikan 99th percentile
kelompok kontrol tanpa STEMI. Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah
leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri
dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/µL.2

Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler dan
konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat luasnya iskemia bila dilakukan
waktu dada sedang berlangsung.2

Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar X pada jantung dan
pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri
koroner.2

Working Diagnosis

Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi

Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia
miokard. Sindrom koroner akut mencakup:6

1. ST elevation myocard infarct (STEMI)


2. Non-ST elevation myocard infarct (NSTEMI)
3. Unstable angina pectoris (UAP)

Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara
maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien
mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir,
sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama
setelah IMA. IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan

8
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA
tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya.2

Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas
dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥ 2mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang
berdampingan atau ≥1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA,
prinsip utama penatalaksaan adalah time is muscle.2

Epidemiologi

Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara
maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian
terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,
meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.2 Di Inggris penyakit kardiovaskular membunuh 1
dari 2 penduduk dalam populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000 kematian pada tahun
1998.7

Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit
kardiovaskuler menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun
1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap
menempati urutan pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan
SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan di rumah sakit (RS) selama 5
tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6
dengan persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. PJK terus-menerus menempati urutan pertama
di antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%.
Kejadian sindrom koroner akut menunjukkan laki-laki lebih rawan terkena untuk sekitar umur 70
tahun atau lebih. Semakin bertambah umur, semakin bertambah pula risiko terkena sindrom
koroner akut ini.8

9
Etiologi

Terjadinya infark miokard akut biasanya dikarenakan aterosklerosis pembuluh darah


koroner. Nekrosis miokard akut terjadi akibat penyumbatan total arteri koronaria oleh trombus
yang terbentuk pada plak aterosklerosis yang tidak stabil. Ini semua juga sering mengikuti ruptur
plak pada arteri koroner dengan stenosis ringan. Penurunan aliran darah koroner dapat juga
disebabkan oleh syok dan hemoragik. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
miokard merupakan dasar dari terjadinya proses iskemik tersebut.2,9 Pada kondisi yang jarang,
STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner,
abnormalitas kongenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.2

Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi ketika aliran darah koroner berkurang secara mendadak setelah
oklusi trombus pada arteri coroner yang sebelumnya telah mengalami aterosklerotik. Bila
berkembang dengan lambat, stenosis arteri coroner derajat tinggi biasanya tidak menyebabkan
STEMI karena seiring waktu akan terbentuk jejaring kolateral yang banyak. Sebaliknya, STEMI
terjadi bila thrombus arteri coroner terbentuk dengan cepat di tempat cedera vascular. Cedera ini
disebabkan atau difasilitasi oleh berbagai faktor, seperti kebiasaan merokok, hipertensi, dan
akumulasi lemak.2

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture
atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis
dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin
rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik.2
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokonstriktor local yang poten) dihasilkan sehingga terjadi aktivasi trombosit lebih lanjut lagi,
dan potensi terhadap fibrinolysis pun terbentuk. Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Bila telah berubah menjadi bentuk fungsionalnya,

10
reseptor ini mempunyai afinitas tinggi terhadap protein adhesi yang larut (integrin) seperti
fibrinogen. Keran merupakan protein multivalent, fibrinogen dapat mengikat dua trombosit
sekaligus sehingga terbentuklah anyaman (cross-link) dan agregasi trombosit 2
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor
VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian
menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas
congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.2

Gejala Klinis

 Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum, bisa menjalar
ke dada kiri atau kanan, ke rahang, ke bahu kiri dan kanan dan pada lengan. Penderita
menggambarkan rasa nyeri seperti tertekan, terhimpit, diremas-remas atau kadang hanya
sebagai rasa tidak enak di dada. Walau sifatnya dapat ringan, tapi rasa sakit itu biasanya
berlangsung lebih dari setengah jam (>30 menit).2
 Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas.
Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin. Volume dan
denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat.
Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama
beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.2
 Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan
petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:2
1. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk,
rasa diperas, dan diplintir.
3. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

11
6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.

Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien cemas dan gelisah, seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).2

Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral
dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama
pasca STEMI.2

Diagnosis Banding

Unstable Angina Pectoris (UAP)

Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: (1) pasien dengan angina yang masih
baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per
hari. (2) pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu
serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi
makin ringan. (3) pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.2,10
Menurut pedoman America Heart Association (AHA) angina tak stabil dan infark tanpa
elevasi (NSTEMI = non ST elevation myocardial infarktion) ialah apakah iskemia yang timbul
cukup berat sehingga menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga petanda kerusakan
miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan
sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk seperti
adanya depresi segmen ST ataupun elavasi sebentar atau adanya gelombang T yang negatif
kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak
bias dibedakan dari NSTEMI.2

12
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba
terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan
yang minimal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% terjadi
infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.2,10

Tabel 1. Perbedaan antara UAP, NSTEMI dan STEMI2

Jenis Nyeri dada EKG Enzim Jantung

UAP Angina pada waktu istirahat Depresi segmen ST. Tidak meningkat.
/ aktivitas ringan, crescendo
Inversi gelombang T.
angina, bisa hilang dengan
nitrat. Tidak ada gelombang Q.

NSTEMI Lebih berat dan lama ( >30 Depresi segmen ST. Meningkat minimal
menit ), tidak hilang dengan 2x dari nilai batas
Inversi T dalam.
nitrat, mungkin perlu opiat atas normal.

STEMI Lebih berat dan lama ( > 30 Hiperakut T. Meningkat minimal


menit ) tidak hilang dengan 2x dari nilai batas
Elevasi segmen ST > 0,1 mV
nitrat, mungkin perlu opiat. atas normal.
pada 2 atau lebih sadapan
ekstremitas, >0,2 mV pada
prekordial.

Gelombang Q.

Inversi Gelombang T.

Angina Prinzmetal
Angina Prinzmental ditandai dengan nyeri dada akibat iskemia miokard transien yang
terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan pada kenyataan nyeri sering terjadi di

13
malam hari saat istirahat atau selama tidur REM (gerakan mata cepat) dan bisa memiliki siklus
pola kekambuhan. Pada angina Prinzmetal (varian), terjadi spasme pada satu atau lebih arteri
koroner yang menimbulkan iskemia jantung di bagian hilir dengan atau tanpa aterosklerosis.8
Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan aterosklerosis. Pada lain waktu, arteri koroner
tidak tampak mengalami sklerosis.11
Angina Prinzmetal dapat terjadi akibat hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan
curah kalsium di otot polos arteri atau gangguan produksi atau pelepasan prostaglandin atau
tromboksan (ketidakseimbangan antara vasodilator koroner dan vasokonstriktor). Ada
kemungkinan bahwa walaupun tidak jelas tampak lesi pada arteri, dapat terjadi kerusakan lapisan
endotel yang samar. Hal ini menyebabkan peptida vasoaktif memiliki akses langsung ke lapisan
otot polos dan menyebabkan kontraksi arteri koroner. Disritmia sering terjadi pada angina varian.
Angina Prinzmetal tidak mereda dengan istirahat tetapi biasanya menghilang dalam 5 menit. 11

Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST

Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST
(non ST elevation miocardial infarction = NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan
dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan
keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA
menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Gejala yang
paling sering dikeluhkan adalah nyeri pda, yang menjadi salah sata gejala yang paling sering
didapatkan pada pasien yang datang ke IGD.2
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh penurunan suplai
oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Nyeri dada dengan
lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti
diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala
yang sering ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada
NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop
atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih
besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.2

14
Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan
hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial (TIMI) III
Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor outcome yang
buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan risiko outcome yang buruk meningkat secara
progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun
perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan
NSTEMI.2

Perikarditis

Perikarditis adalah peradangan primer maupun sekunder perikard parietalis, viseralis atau
keduanya. Etiologi bervariasi luas dari virus, bakteri, tuberkulosis, jamur, uremia, neoplasia,
autoimun, trauma, infark jantung sampai ke idiopatik. Respons perikard terhadap peradangan
bervariasi dari akumulasi cairan atau darah (efusi perikard), deposisi fibrin, proliferasi jaringan
fibrosa, embentukan granuloma atau kalsifikasi. Itulah sebabnya manifestasi klinis perikarditis
sangat bervariasi dari yang tidak khas sampai yang khas.2
Nyerinya bersifat khas yaitu retrosternal dan prekordial kiri, menjalar ke belakang dari tepi
trapezius. Keluhan paling sering adalah sakit/nyeri dada yang tajam, retrosternal atau sebelah kiri.
Bertambah sakit bila bernapas, batuk atau menelan. Keluhan lainnya rasa sulit bernapas karena
nyeri pleuritik di atas atau karena efusi perikard. Pemeriksaan jasmani didapatkan friction rub
presistolik, sistolik atau diastolik. Bila efusi banyak atau cepat terjadi,akan didapatkan tanda
tamponad. Elektrokardiografi menunjukkan elevasi segmen ST. Gelombang T umumnya ke atas,
tetapi bila ada miokarditis akan ke bawah (inversi).2
Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi perikard). Foto paru dapat normal atau
menunjukkan patologi (misalnya bila penyebabnya tumor paru, TBC dan lain-lain). Pemeriksaan
laboratorium yang dianjurkan: leukosit, ureum, kreatinin, enzim jantung, mikrobiologis
parasitologis, serologis, virologis, patologis dan imunologis untuk mencari penyebab peradangan
dari sediaan darah, ciran perikard dan atau jaringan biopsi perikard.2

Penatalaksaan

15
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.2

Tatalaksana pra-rumah sakit

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian
di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar
terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain :2

 Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.


 Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
 Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan
perawat yang terlatih.
 Melakukan terapi reperfusi.

Tatalaksana di IGD

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup


mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.2

Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama saat kedatangan)1

• Tirah baring (bedrest total).


• Oksigen 4L/menit (saturasi O2 dipertahankan >90%). Pada semua pasien STEMI tanpa
komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
• Aspirin 160 – 325 mg (dikunyah). Inhibisi cepat sikooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-
325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
• Nitrat diberikan 5 mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri.

16
• Clopidogrel 300mg peroral (jika sebelumnya belum pernah diberi).
• Morfin IV bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat. Morfin sangan efektif mengurangi nyeri
dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis
total 20 mg.
• Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner) dan reperfusi
miokard harus harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi 12 jam.1

Terapi Medika Mentosa

Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan
efektivitas mengurangi preload adan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan
kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner
dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau melalui infus intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbid
dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg per jam. Karena adanya
toleransi terhadap nitrat, dosis dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah terkendali
infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.2

Penyekat Beta/Beta Blocker


Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan
denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Data-data menunjukkan penyekat beta dapat
memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien dengan infark miokard, meta analisis dari 4700
pasien dengan angina tak stabil menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan risiko infark
sebesar 13 % (p<0,04).
Semua pasien dengan angina tak stabil harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi.
Berbagai macam beta blocker seperti propanolol, metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien
dengan angina tak stabil, yang menunjukkan efektivitas yang serupa.
Kontar indikasi pemberian penyekat beta antara lain pasien dengan asma bronkial, pasien dengan
bradiaritmia.2

17
Antagosis Kalsium
Antagosis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin seperti
nifedipin dan golongan non dihirdropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan dapat
menyebabkan vasodilatasi koroner dan menunjukkan tekanan darah. Golongan dihidropiridin
mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih
sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil.
Meta analisis studi pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapati antagonis kalsium,
menunjukkan tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien yang sebelumnya tidak
mendapat antagonis pemberian nifedipin menaikkan infark dan angina yang rekuren sebesar 16%,
sedangkan kombinasii nifedipin dan metoprolol dapat mengurangi kematian dan infark sebesar
20%. Tapi kedua studi secara statistik tak bermakna. Kenaikan mortalitas mungkin karena
pemberian nifedipin menyebabkan takikardi dan kenaikan kebutuhan oksigen. Verapamil dan
diltiazem dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner
akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan
keuntungan pada golongan nondihidropiridin. Pada pasien sindrom koroner akut (SKA) dengan
faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium biasanya pada pasien yang ada kontraindikasi
dengan antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi keluhan angina masih refrakter.2
ACE Inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Manfaat maksimal tampak pada pasien
dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya dan/atau
ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika
inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien
dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark.2
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor
ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensi. Penelitian klinis dalam

18
tatalaksana pasien gagal jantung termasuk dari penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan
bahwa angiotensin receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi
ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor ACE.2

Non Medika Mentosa

Terapi Bedah

Terapi bedah merupakan terapi definitif dari STEMI. Prosedur invasif yang dapat dilakukan,
yaitu:2

 Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) disediakan untuk pasien yang sulit mencapai terapi
obat secara maksimal & mereka yang menggunakan catheterisasi kardiak.
 Percutaneous coronary intervention (PCI) atau coronary artery bypass graft (CABG) dapat dibuat
untuk menyembuhkan iskemia berlanjut atau berulang & untuk membantu mencegah
perkembangan manjadi MI atau kematian.
 Indikasi & metode yang disukai adalah berada di luar posedur ini, biasanya berdasarkan atas hasil
dari suatu angiografi.2

Terapi Reperfusi Farmakologis2

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan disfungsi dan
dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi hiperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-
needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam
30 menit atau door-to-balloon (atau medical contact-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai
dalam 90 menit. Obat fibrinolitik yang dapat diberikan untuk terapi reperfusi adalah streptokinase
(SK), Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase), reteplase (retavase), Tenekteplase (TNKase).2

Indikasi untuk Revaskularisasi

19
Secara umum, pasien yang memiliki indikasi untuk dilakukan arteriography koroner dan
tindakan kateterisasi menunjukkan penyempitan arteri koroner adalah kandidat yang potensial
untuk dilakukan tindakan revaskularisasi miokard. Selain itu, tindakan revaskularisasi dilakukan
pada pasien, jika:2

 Pengobatan tidak berhasil mengontrol keluhan pasien.


 Hasil uji non-invasif menunjukkan adanya risiko miokard.
 Dijumpai risiko tinggi untuk kejadian dan kematian.
 Pasien lebih memilih tindakan intervensi dibanding dengan pengobatan biasa dan
sepenuhnya mengerti akan risiko dari pengobatan yang diberikan kepada mereka.2

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)2


Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengambalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat,
atau gejala sudah ada sekurang – kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan mudah
hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas,
dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.2
Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Coronary artery bypass grafting, atau operasi CABG, adalah teknik yang menggunakan
pembuluh darah dari bagian tubuh yang lain untuk memintas (melakukan bypass) arteri yang
menghalangi pemasokan darah ke jantung. Vena kaki atau arteri mamari (payudara) internal bisa
digunakan untuk operasi bypass. Operasi ini membantu memulihkan aliran darah yang normal ke
otot jantung yang tersumbat. Pada operasi bypass, pembuluh cangkok baru, yaitu arteri atau vena
sehat yang diambil dari kaki, lengan, atau dada pasien, kemudian diambil lewat pembedahan dan
dijahitkan ke sekeliling bagian yang tersumbat. Pembuluh cangkok ini memasok darah beroksigen
ke bagian jantung yang membutuhkannya, sehingga "mem-bypass" arteri yang tersumbat dan
memulihkan aliran darah ke otot jantung.2

20
Komplikasi STEMI

Disfungsi Ventrikular

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling
ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut,
hasil ini berasal dari ekspansi infark; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan
hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk Progresivitas dilatasi dan
konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada
pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus
diberikan.2

Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering
dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen
sering dijumpai kongesti paru.2

Edema Paru Akut


Pada miokard infark, seringkali terjadi bendungan sirkulasi vena. Pada pasien dengan
miokard infark atau gagal jantung kiri, hal ini menyebabkan bendungan pasif sirkulasi paru.
Seiring dengan semakin parahnya gagal ventrikel kiri, tekanan hidrostatik pada pembuluh paru
meningkat sehingga terjadi kebocoran cairan dan kadang-kadang eritrosit ke dalam jaringan
intersitium dan rongga udara paru untuk menyebabkan edema paru. Kongesti sirkulasi paru juga
meningkatkan resistensi vaskular paru dan karenannya peningkatan beban kerja bagi sisi kanan

21
jantung. Peningkatan beban ini apabila menetap dan parah, akhirnya menyebabkan sisi kanan
jantung akan mengalami kegagalan.2

Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan ekspresi klinik yang paling berat dari kegagalan ventrikel
kiri dan dihubungkan dengan besarnya kerusakan struktur pada ventrikel kiri yang lebih dari 80%
pada pasien STEMI. Biasanya syok kardiogenik dikarenakan oleh ruptru musculus papilaris. Syok
kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang diakibatkan oleh
gagal jantung rendah preload dikoreksi. Tidak ada definisi yang jelas dari parameter hemodinamik,
akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang
dari 90 mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg) dan atau penurunan
pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kg/jam) dengan laju nadi lebih dari 60 kali per menit dengan
atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas antara sindrom curah jantung rendah
dengan syok kerdiogenik.2

Infark Ventrikel Kanan


Sekitar sepertiga pasien dengan ifnark inferoposterior menunjukan sekurang-kurangnya
nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas primer pada ventrikel
kanan. Infark ventrikel kanan secara klnis menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi
segmen ST pada sadapan EKG sisi kanan terutama sadapan V4R, sering dijumpai dalam 24 jam
pertama pasien dengan infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk
mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk neningkatkan tampilan
dengan reduksi pulmonary capillary wedge (PCW) dan tekanan arteri pulmonalis.2

Ekstrasistol Ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel spontan yang tidak sering dapat terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas
ektopik ventrikel dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan

22
hipomagnesimia meruapakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi
kalium serum diupayakan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2,0 mm/liter.2

Takikardia dan fibrilasi ventrikel


Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda
bahaya aritmia sebelumnya. 2

Fibrilasi Atrium
Fibrilasi atrium dan debar atrium adalah pola pelepasan elektrik yang sangat cepat yang
membuat atrium berkontraksi sangat cepat sekali, sehingga menyebabkan ventrium berkontraksi
lebih cepat dan kurang efeisien daripada yang normal. Irama abnormal ini dapat terjadi secara
sporadis atau menetap. Selama fibrilasi atau berdebar, kontraksi atrium begitu cepat sehingga
dinding atrium hanya bergetar, sehingga darah tidak dipompa secra efektif ke ventrium. Pada
fibrilasi, irama atrium tidak beraturan sehingga irama ventrium juga tidak beraturan, dalam debar,
irama atrium dan ventrium biasanya teratur. Untuk kedua hal di atas, detak ventrium lebih lambat
daripada atrium karena nodus atrioventrikular dan simpul His tidak dapat mengatur impuls elektrik
seperti kecepatan rata-rata dan hanya beberapa detik hingga empat detik impuls berlangsung.
Sedangkan detak ventrium terlalu cepat untuk terisi secara penuh. Sehingga jumlah darah yang
dipompa keluar ke jantung tidak memadai, tekanan darah jatuh dan gagal jantung bisa terjadi. 2

Asistol Ventrikel
Resusitasi segera mencakup kompresi dada, atropin, vasopresin, epinefrin, dan pacu
jantung sementara harus diberikan pada asistol ventrikel. 2

Pencegahan8

1. Melakukan aktivitas fisik dan olahraga yang teratur. Dilakukan minimal 30 menit dalam sehari
agar mempunyai efek terhadap sistem jantung & pembuluh darah. Olahraga dapat mengurangi
risiko sebanyak 45%, pengurangan berat badan sebanyak 55%.
2. Berhenti merokok.
3. Menghindari stress.

23
4. Pengontrolan tekanan darah dengan gaya hidup, diet dapat menurunkan risiko secara
bermakna.
5. Diet: mengurangi lemak dan kolesterol. Hindari makanan yang banyak mengandung
kolesterol, pilihlah daging putih (ikan, ayam tanpa kulit) dan hindari daging merah (sapi,
kambing dan lain-lain). Banyak makan makanan yang mengandung serat, sehingga membantu
dalam mengganggu penyerapan lemak. Jangan terlalu banyak kalori sehingga berlebih, hal ini
menjaga dari kelebihan berat badan/obesitas. Jadi pada intinya makan harus seimbang gizi dan
kalori.8

Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :2


 Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana ; S3 gallop, kongesti
paru dan syok kardiogenik
 Klasifikasi Forrester, berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary
capillary wedge pressure (PCWP).
 TIMI risk score, adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis
sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.2

24
Gambar 2. Klasifikasi prognosis IMA2

Secara keseluruhan, pasien yang dirawat dengan operasi coronary bypass memiliki
kelangsungan hidup 5-10 tahun dengan presentase 92% dan 81%. Kurang dari 1% pasien
mengulang revaskularisasi dalam waktu 4 tahun atau lebih. Dalam meta analisis, random studi
membandingkan terapi pengobatan dan operasi, operasi memberikan 39% dan 17% penurunan
dari kematian yang kumulatif dalam waktu 5-10 tahun.2

Kesimpulan

STEMI terjadi karena adanya ruptur plak aterosklerosis pada arteri koronaria yang
menyebabkan agregasi trombosit, sehingga menyumbat aliran darah dan menyebabkan jaringan
jantung yang diperdarahi mengalami kekurangan oksigen hingga infark. Gejala khasnya
merupakan nyeri dada kiri yang menjalar hingga lengan dan leher, namun ketikda beristirahat tidak
menunjukkan adanya perbaikan, dan nyeri bertahan lebih dari 30 menit. Gejala demikian sesuai
dengan skenario, sehingga pasien tersebut dinyatakan menderita STEMI.

Daftar Pustaka

1. Dharma S. Pedoman praktis sistematika interpretasi EKG. Jakarta: Erlangga;2009.h.72.


2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing;2009.h.1725-54.
3. Gleadle, Jonathan.At a Glance Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta:Erlangga; 2003.
h.112-3.
4. Sutanti YS. Buku panduan keterampilan medik. Jilid 5. Jakarta: FK Ukrida;2011.h.7-16.

25
5. Bickley, Lynn. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC;2009. h.220-1; 238-9; 266-9; 272-3; 279-80; 285-7; 297.
6. PB PAPDI. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI;
2006.h.1729-64.
7. H Gray, Keith D, Morgan. Lecture notes kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta:
Erlanga;2005.h.107-50.
8. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi: pemeriksaan dan manajemen. Edisi ke-2.
Jakarta: EGC;2007. h.35-6.
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC;2005.h.578-87.
10. Isselbacher, et all. Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-3. Volume 3.
Jakarta: EGC;2008.h.1201-44.
11. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi corwin. Edisi ke-3. Jakarta: EGC;2009.h.492-8.

26

Anda mungkin juga menyukai