Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Seiring dengan perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama
berangsur-angsur bergeser bahkan bersebrangan dengan ilmu. Bagi kalangan ilmuwan Barat,
agama adalah penghalang kemajuan karena beranggapan jika ingin maju agama tidak boleh
lagi mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia seperti politik dan sains.
Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh ke-dua abad
ke-18, merupakan titik awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern.
Hal inilah yang mengantarkan Barat mencapai sukses luar biasa dalam pengembangan
teknologi masa depan. Sedangkan ummat Islam malah mengalami kemunduran-kemunduran
sistematik dalam alur peradabannya. Praktis dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan
bumi yang paling terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia dikarenakan
begitu rendahnya kemajuan yang diraih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahkan ummat Islam menjadi penonton bahkan terbuai oleh kenikmatan semu yang
disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan teknologinya.
Sejak terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua
bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oleh ahli sains dan
cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran
filsafah Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme dan materialisme. Sehingga konsep,
penafsiran dan makna ilmu itu sendiri tidak bias terhindarkan dari pengaruh pemikirannya.
Ummat Islam mempelajari sains barat tanpa menyadari kaitan temali historis Barat dan ilmu-
ilmu Barat, sehingga ummat Islam pun terjatuh dalam hegemoni Barat dan proses ini
mengakibatkan esensi peradaban Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban
Barat yang sekuler.
Menghadapi keadaan yang demikian itu, ummat Islam mencari sebab-sebabnya. Sebab-
sebab tersebut yang utama di antaranya karena ummat Islam tertinggal dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta adanya perpecahan. Di kalangan ummat Islam paling kurang

1
timbul sikap menghadapi keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut sebagai
berikut:
1. Sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat
sebagai ilmu pengetahuan yang sekuler. Karena itu ilmu tersebut harus ditolak.
2. Sikap yang didasarkan pada asumsi bahw ailmu pengetahuan Barat sebagai ilmu yang
bersifat netral. Karenanya ilmu tersebut harus diterima apa adanya tanpa disertai rasa
curiga dan sebagainya.
3. Sikap yang diadasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat
sebagai ilmu yang bersifat sekuler dan materialisme. Namun diterima oleh ummat
Islam dengan terlebih dahulu dilakukan proses Islamisasi.
Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi tema dan term popular di kalangan intelektual
Islam, di Indonesia maupun di negara-negara lain. Hal tersebut tidak lepas dari kesadaran
ber-Islam di tengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Di Ameriaka istilah ini telah menjadi simbol dari sebuah keinginan besar
untuk member warna Islam pada berbagai disiplin ilmu. Dengan sebuah konsep bahwa
ummat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat mana kala mampu mentransformasiakan
ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu atau memahami wahyu dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan.
Hal inilah yang memunculkan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara
keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat relegius dan
bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2. Bagaimana telaah Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologi Islamisasi Ilmu
Pengetahuan?
3. Bagaimana tantangan ilmu-ilmu keIslaman di tengah perkembangan ilmu pengetahuan
modern ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Pandangan Islam terhadap ilmu menjadi landasan bagi pengembangan ilmu disepanjang
sejarah kehidupan ummat Islam, sejak dari zaman klasik sampai sekarang. Sejak
kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu dan
menawarkan cahaya untuk mengubah jahiliyah menuju masyarakat yang berilmu dan
beradab.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan
Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw secara
jelas menegaskan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan
bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, proses
Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran dengan dilakukannya penerjemahan
terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi
ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali Tahafut al-Falasifah. Hal yang demikian
walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tetapi aktivitas yang sudah mereka
lakukan semisal dengan makna Islamisasi.
Ada dua tokoh yang dianggap sebagai pencetus gagasan Islamisasi Pengetahuan yaitu
Ismail Raji al-Faruqi (seorang sarjana yang mendirikan lembaga International Institute of
Islam Thought di Amerika Serikat) serta Syed M. Naquib al- Attas (seorang sarjana Budaya
Melayu yang membentuk lembaga International Institute of Islam Thought and Civilization
di Kuala Lumpur). Gagasan ini timbul sejak dasawarsa 1970-an.
Munculnya ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan disebabkan adanya premis bahwa ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu yang terkontaminasi oleh premis demikian dan
telah melalui proses sekularisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan,
justru ini akan membahayakan ummat Islam. Naquib al-Attas menegaskan bahwa ilmu itu
tidaklah bebas nilai tapi sarat akan nilai. Sedangkan al Faruqi menjelaskan bahwa akibat
kemunduran ummat Islam, karena adanya system pendidikan yang berusaha menjauhkan

3
ummat Islam dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya
dijadikan kebanggaan tersendiri atas agama Islam. Oleh sebab itu ia memberikan solusi, yaitu
perlunya perbaikan system pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama
sebagai langkah membentuk peradaban Islam yang sempurna.
Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat kritikan dari
kalangan pemikir Muslim sendiri, seperti Fazlul Rahman, Muhsin Muhdi, Abdus Salam
Soroush, Bassam Taibi dan lainnya. Fazlul Rahman misalnya mengemukakan bahwa ilmu
pengetahuan tidak dapat di Islamkan karena tidak ada yang salah dalam ilmu pengetahuan.
Walaupun dalam perkembangannya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dikritik, tetapi gagasan
Islamisasi ini merupakan suatu revolusi epistemologis yang merupakan jawaban terhadap
krisis epistemology yangh bukan hanya melanda dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban
Barat Sekuler.

B. Telaah Islamisasi Pengetahuan


1. Telaah Ontologis
Islamisasi berasal dari kata Islamization yang berarti peng-Islaman. Islamisasi
merupakan salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-
ilmun agama dan ilmu-ilmu umum.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut al-Attas adalah pembebasan manusia dari
tradisi magis, mitologis, animistis, kultur nasional( yang bertentangan dengan Islam) dan
belenggu paham sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwayanya, sebab
manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya
dan berbuat tidak adil terhadapnya. Sedangkan al-Faruqi berpendapat bahwa Islamisasi
Ilmu Pengetahuan adalah usaha untuk mendefenisi kembali, menyusun ulang data,
memikirkan kembali argument dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai
kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan
semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan
bermanfaat bagi cita-cita.
Secara ontologis, Islamisasi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam relitas
alam semesta, sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur. Pandangan akan

4
adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler tetapi dalam pandangan Islam
hukum tersebut adalah ciptaan Allah.
‫ِهِماَعَط ىَ ِلإ ُناَسْنِْْلا ِرُظْنَيْلَف‬
Artinya: Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.

Dengan perintah yang sangat singkat ini, manusia dapat menentukan objek ilmu
untuk dipelajari yang tiada akhirnya. Dalam konteks ini untuk memahami nilai-nilai
kewahyuan, ummat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya
saat ini, ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan
ummat manusia. Dengan demikian dapat dipahami untuk mengulang kembali kesuksesan
yang pernah diraih di masa silam, Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus tetap digalakkan.

2. Telaah Epistemologis
Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana
cara memperolehnya. Sehingga dapat dipahami bahwa epistemology mempersoalkan
metodologi penerapan ilmu pengetahuan, dalam hal ini proses Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
Al-Qur’an merupakan kitab yang sangat sempurna dalam menjelaskan metode
pengembangan ilmu. Misalnya perlu mengingat dan menghafal tersirat dalam QS al-
Baqarah (2) : 31

َ ‫ض ُه أم َعلَى أال َم ََلئكَة فَقَا َل أ َ أنبئُوني بأ َ أس َماء هَؤُ ََلء إ أن ُك أنت ُ أم‬
َ‫صادقين‬ َ ‫َو َعلَّ َم آدَ َم أاْل َ أس َما َء ُكلَّ َها ث ُ َّم َع َر‬

Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.

Di samping perlu mengingat dan menghafal di atas, diperlukan juga metode


observasi, eksperimen, demonstrative dan metode intuitif. Hal ini misalnya ketika Allah
Swt memperlihatkan kepada Qabil dengan mengirimkan burung gagak menggali tanah
untuk menguburkan burung yang mati. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi,

5
observasi dan meniru kerja ciptaan-Nya merupakan yang lazim misalnya meniru konsep
fungsi sayap dan ekor dalam pesawat terbang. Selain observasi yang merupakan landasan
pengkajian ilmu pengetahuan semata juga dibutuhkan kemampuan imajinasi, analisa dan
sintesa terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab
melalui observasi laboratorium.

Sebagai contoh QS al-Ghasyiyah (88): 17-20:

‫( ْتَقِلُخ َفْيَك ِلِبِْْلا ىَ ِلإ َنوُرُظْ َني ََلَ َفأ‬17) ‫( ْتَعِفُر َفْي َك ِءاَم َّسلا ىَلِإَو‬18) ‫صن َفْي َك ِلاَبِجْلا ىَلِإَو‬
ُ ِ ‫( ْتَب‬19) ‫َفْي َك ِض ْ َرْْلا ىَلِإَو‬
‫ْتَحِطُس‬

Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan
langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas tidak bisa dengan observasi atau eksperimen
saja, melainkan diperlukan hipotesa yang membutuhkan proses berfikir dan berimajinasi
yang intens. Dalam al-Qur’an disampaikan bahwa masih ada proses pengembangan ilmu
dan teknologi yang lebih hakiki yaitu ilham yang diberikan kepada beberapa orang.
Dari keterangan di atas memberikan gambaran kepada ummat Islam untuk
melihat sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengalami
proses yang panjang tentang transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia
Barat dalam hubungan timbal balik, baik itu dalam bentuk kajian, penafsiran maupun
dalam bentuk penerjemahan.
Kondisi tersebut di atas dapat memungkinkan terjadi karena di dalam al-qur’an
sendiri terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang berbagai macam disiplin ilmu,
diantaranya:
a. Yang berhubungan dengan pengetahuan alam terdapat dalam QS Saba’)34( : 10
dan QS al-Hadid (57) : 25.

6
b. Yang berhubungan dengan geografi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 22 dan
QS ar-Rad (13) :3.
c. Yang berhubungan dengan kesehatan terdapat dalam QS al-Baqarah (2) :184
dan 222, al Mudatsir (74) : 74, al-Maidah (5) : 6, an-Nisa (4) : 43 dan al-A’raf )7(
: 31.
d. Yang berhubungan dengan sejarah terdapat dalam QS Yusuf (12) : 109, al-Ashr
(103) : 2, Maryam (19) : 2-15, al-Maidah (5) : 110-120 dan al-Baqarah (2) : 30-
39.
e. Yang berhubungan dengan matematika terdapat dalam QS al-Isra’ )17( : 12 dan
14 serta al-Muzammil (73) : 20
f. Yang berhubungan dengan ekonomi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 29, al-
Mulk (67) : 15, an-Naba’ )78( : 9-11 dan ad-Dhuha (93) : 6-8.

Dari keaneka ragaman disiplin ilmu di masing-masing bidang dapat diperlihatkan


di dunia Barat, maka dalam hal ini Juhaya S Praja mengemukakan pendapatnya bahwa
upaya Islammisasi telah menunjukkan hasilnya di Barat. Menurutnya ini adalah gejala
aneh, mengapa tidak lahir di dunia Islam?. Alasannya mungkin karena sarjana Muslim
yang hidup di dunia Barat menghadapi langsung tantangan dunia nyata terhadap Islam
dan ummatnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang terjadinya proses
Islamisasi Ilmu Pengetahuan , meskipun tidak dimulai dari tanah kelahirannya. Sehingga
dengan epistemology dapat dijelaskan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan disusun
menggunakan kajian ijtihadiyah dengan langkah-langkah yang telah teruji seperti
mengingat, menghafal, observasi, eksperimen, demonstrative, metode intuitif, mengkaji,
imajinasi, analisa dan sintesa serta adanya ilham.

3. Telaah Aksiologis
Istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan sering dipandang sekelompok pemikir hanya
sebagai proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria
suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan. Konsekuensi dari epistemology
Islamisasi Ilmu Pengetahuan, maka aksiologinya yaitu mengandung nilai rohaniah atau

7
moral yang bersumber dari agama (Islam) sifatnya adalah absolute dan kebenarannya
bersifat permanen. Hal ini karena bersumber dari Dzat yang absolute (mutlak) yaitu Allah
Swt.
Telaah aksiologi sasarannya adalah manfaat dari hasil kajian yang dijadikan
bahasan materi, dengan artian bahwa aksiologidiartikan nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam hubungannya dengan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan, dapat dikatakan bahwa dengan Islamisasi dapat diketahui dengan jelas
kalau Islam bukan hanya mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat, puasa, zakat dan
haji saja, melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan duniawi
termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain beberapa hal di atas, juga muncul para filosof dan cendikiawan muslim
tidak lain oleh karena mereka bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam saja tetapi juga
menguasai ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan ilmu, mereka dapat mempelajari
gejala alam dan menciptakan peralatan untuk mengontrol gejala-gejala alam sesuai
dengan hukumnya.

C. Tantangan Ilmu-ilmu Islam di Tengah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Moderen


Ketergantungan ummat Islam dalam pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting dalam
membina ummat hampir tidak dapat dihindari dari pengaruh Barat.Ujung-ujungnya krisis
identitas pun tidak terhindarkan oleh ummat Islam. Menurut AM. Syaefuddinj, ketidak
berdayaan ummat Islam itu membuatnya bersifat ntaqiyyah. Artinya kaum muslimin telah
menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu.
Melemahnya orientasi social ummat Islam ini secara tidak sadar telah memilah-milah
pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertian parsial dalam hakikat hidup
bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual semata, sementara urusan lain banyak
didomionasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, ummat Islam lebih
mengenal budaya Barat dari pada budayanya sendiri.

Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan
sains modern, di antaranya:

8
1. Ambivalensi Teknologi.
Teknologi bagaimanapun bentuknya akan selalu bersifat ambivalen, yaitu ada
untung ruginya.yang dalam bahasa Fiqhinya disebut manfaat dan mudharat bagi
manusia dan alam lingkungannya. Dalam lingkungan hidup misalnya dengan muncul
istilah pengikisan lapisan ozon, radiasi nuklir, limbah industry, rekayasa genetika dan
lainnya. Hal ini penting mengingat teknologi pada kenyataannya merupakan alat bagi
manusia, sementara dalam kehidupan manusia memiliki tujuan dan cara pencapaiaan
yang tentunya harus mengandung nilai agama. Oleh karena itu, seorang ilmuan
Muslimharus menyadari ia harus memulai sesuatu, kemanapun ia beranjak, ia harus
melangkah dari tradisi ke-Islaman yang merupakan identitasnya.
2. Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi atas
realitas sosio-kultur.
Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya literature-literatur tentang ilmu-
ilmu empiris Islam seperti Sosiologi Islam, Antropologi Islam, Psikologi Islam,
ekonomi Islam dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan tokoh ilmuan Muslim di
abad renaisans Islam, di mana hasil karyanya dijadikan sumber rujukan dalam studi
pustaka. Ini dapat dilihat dari karya Ibn Ya’qub an-Nadim yang berisi tentang
ensiklopedia (al-Fihrist), bidang Astronomi oleh Mahani, bidang Zologi oleh ad-
Dinawari dan lain sebagainya.
3. Belum adanya paradigma yang jelas tentang posisi nilai normative, eksistensi dan
struktur keilmuan Islam.
Sebagai misal dalam mensikapi problematika tantangan modernisasi yang
ditandai oleh pesatnya perkembangan industrialisasi, transformasi, canggihnya alat-alat
informasi, dan kuatnya paham rasionalisme yang apabila dihadapkan kepada agama, di
kalangan muslim belum mampu menyelesaikan dengan cara dialektis tetapi masih
bersifat normative. Dan para peneliti Muslim masih kurang siap menghadapi atau
menolak gagasan-gagasan asing, karena tidak adanya persiapan secara memadai untuk
melawan mereka melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap promis-promis
palsu. Akibat yang ditimbulkan tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur
keilmuan Islam menjadi tidak jelas. Ada yang datang dari Barat, seperti westernisasi,

9
rasionalisme, sekularisme, gagasan filsafat Barat dan semua yang berbau ke Barat-
Baratan semua ditolak bahkan dikafirkannya.

Adapun upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas, Ismail Razi al-faruqi melakukan
langkah-langkah berikut:
1. Memadukan system pendidikan Islam, dikotomi pendidikan umum dan islam harus
dihilangkan.
2. Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua
tahap, yaitu mewajibkan bidang studi sejarah Peradaban Islam dan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
3. Untuk mengatasi persoalan metodologi, ditempuh langkah-langkah berupa
penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam.
4. Menyusun langkah kerja sebagai berikut:
a. Menguasai disiplin modern.
b. Menguasai warisan khasanah Islam.
c. Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah
penelitian pengetahuan modern.
d. Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan Islam
dengan pengetahuan modern.
e. Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunnatullah.1[18]
Sementara al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini,
secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia,
visi intelektual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling
berkaitan. Kelima prinsip itu adalah:
a. Mengandalkan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
b. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan
kebenaran.

10
c. Membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia
sekuler.
d. Pembelaan terhadap doktrin humanism.
e. Peniruan terhadap drama dan tragedy yang dianggap sebagai realitas universal
dalam kehidupan spiritual, atau transedental atau kehidupan batin manusia.
Kelima hal tersebut di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam
pengembangan keilmuan Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan
harus dihindari oleh ummat Islam.
Demikianlah pembahasan tentang Islamiasasi Ilmu pengetahuan serta berbagai
tantangannya, yang pada intinya bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi
ummat Islam dalam berbagai bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak
bertentangan dengan norma-norma Islam. Di samping itu, Islamisasi Ilmu pengetahuan
juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekuler yang ingin
memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan.
Islamisasi ilomu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu untuk diteruskan
oleh ummat Islam dari generasi-ke generasi untuk menjawab krisis epistimologis yang
melanda dunia saat ini.

11
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan makalah di atas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai


berikut:
1. Bahwa proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan
Islam yaitu pada Rasulullah sampai sekarang. Adapun orang yang diangap sebagai pencetus
Islamisasi Ilmi Pengetahuan adalah Syeikh Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
2. Telaah Islamisasi Ilmu Pengetahuan dapat dilihat dari segi:
a. Ontologi, yaitu Islamisasi Ilmu Penegtahuan merupakan upaya pembebasan ilmu
pengetahuan dari makna, idiologi dan prinsip-prinsip sekuler sehingga terbentuk ilmu
pengetahuan baru yang sesuai dengan fitrah Islam.
b. Epistemologi, yaitu Islamisasi Ilmu Pengetahuan disusun dengan menggunakan kajian
ijtihadiyah dengan langkah-langkah yang telah teruji seperti mengingat, menghafal,
observasi, eksperimen, demonstrative, metode intuitif, mengkaji, imajinasi, analisa dan
sintesa serta adanya ilham.
c. Aksiologi, yaitu Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengandung makna nilai rohaniah atau
moral yang bersumber dari agama Islam untuk mencapai ridha Allah Swt serta untuk
membantu tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
3. Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan sains
modern, di antaranya:
a. Ambivalensi Teknologi.
b. Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi atas
realitas sosio-kultur.
c. Belum adanya paradigma yang jelas tentang posisi nilai normative, eksistensi dan
struktur keilmuan Islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, Cet. VI ; Bandung : Mizan, 1996
Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: CRSD Press, 2005.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet; XXVI: Jakarta: PT
Gramedia, 2005
Ibrahim, Marwah Daud, “Etika, Strategi Ilmu dan Teknologi Masa Depan” (ed.)
Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka
mCidesendo,2000.
Ismail, Muhammad Ismail, Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer,
www. Hidayatullah.com, 06 Desember 2009.
Karim, Ahmad, al-Gazwu al-Fikr, Kairo: al-Azhar, 1414 H.
Kartanegara, Mulyadi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
Cet.I;Bandung: Mizan, 2003, Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka
Cidesendo,2000
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet. IX; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350
with an Introduction to Medieval Muslim Education, diterjemahkan Joko S. Kahhar dan
Supriyanto Abdullah, Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis
abad kemasan Islam , Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Raharjo, M. Dawan, Strategi Islamisasi Pengetahuan, (ed.) Moeflich Hasbullah, \
Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka, Cidesendo,2000.
Syaefuddin, AM., Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1991.

13

Anda mungkin juga menyukai