Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

Obat antipsikosis, dengan sinonim neuroleptics, major tranquillizers,

ataractics, ataupun antipsychotics bermanfaat pada terapi sindrom psikosis

akut maupun kronik, yang mana merupakan suatu gangguan kejiwaan yang

berat. Ciri terpenting obat-obatan antipsikosis ialah : (1) berefek antipsikosis,

yakni berguna mengatasi agresifitas, hiperaktifitas dan labilitas emosional

penderita psikosis; (2) dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam dan

anestesia: (3) dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversible atau

ireversibel. Pada neuroleptic yang lebih baru, efek samping ini diperoleh

minimal sehingga antipsikotik memiliki pembagian golongan berdasarkan efek

samping ektrapiramidal yang ditimbulkan, antara lain antipsikotik tipikal (efek

samping ekstrapiramidal yang nyata) dan atipikal (efek samping minimal); (4)

tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis.


1

Sejak ditemukannya Chlorpromazine, suatu neuroleptik golongan

Phenothiazine pada tahun 1950, pengobatan untuk psikosis terutama

Schizophrenia terus dikembangkan. Istilah neuroleptik sebagai sinonim

antipsikotik berkembang dari kenyataan bahwa obat antipsikotik sering

menimbulkan gejala saraf berupa gejala ektrapiramidal. Dengan


2

dikembangkannya golongan baru yang hampir tidak menimbulkan gejala

ekstrapiramidal, istilah neuroleptic tidak lagi dianggap sebagai sinonim dari

antipsikotik. Selanjutnya ditemukan generasi kedua antipsikotik yakni

haloperidol, yang penggunaannya cukup luas hingga selama 4 dekade. 1

Pada tahun 1990, ditemukan Clozapine yang dikenal sebagai generasi

pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat

ini sedikit menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal

symptom) yang umumnya terjadi dengan obat antipsikotik tipikal yang

ditemukan lebih dahulu. Sejak ditemukannya clozapine, pengembangan obat

baru golongan atipikal ini terus dilakukan, sebagaimana terbukti dengan

beredarnya obat baru yaitu Risperidon, Olanzapine, Zotepine, Ziprasidon dan

lainnya. 1

Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal memiliki afinitas tinggi dalam

menghambat reseptor dopamine 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan

reaksi ektrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya

memiliki afinitas yang lemah terhadap dopamine 2, selain itu juga memiliki

afinitas terhadap reseptor dopamine 4, serotonin, histamin, reseptor

muscarinic dan reseptor α-adrenergic. Golongan antipsikosis atipikal diduga

efektif untuk gejala “positif” (seperti bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun

gejala “negatif” (miskin kata-kata, afek yang datar, menarik diri dari lingkungan,

inisiatif menurun) pada pasien schizophrenia. Sementara golongan

antipsikosis tipikal umumnya hanya berespon untuk gejala positif. 1


3

BAB II

KLASIFIKASI

A. Obat Anti-Psikosis Tipikal (Generasi Pertama)

1. Phenothiazine

a. Rantai Aliphatic : Chlorpromazine

b. Rantai Piperazine : Perphenazine, Trifluoperazine, Fluphenazine

c. Rantai Piperidine : Thioridazine

2. Butyrophenone : Haloperidol

3. Diphenyl-butyl-piperidine : Pimozide

B. Obat Anti-Psikosis Atipikal (Generasi Kedua)

1. Benzamide : Sulpiride

2. Dibenzodiazepine : Clozapine, Olanzapine, Quetiapine, Zotepine

3. Benzisoxazole : Risperidon, Aripiprazole

Adapun sediaan dan dosis anjuran dari obat-obatan antipsikosis yang

beredar di Indonesia, yakni sesuai tabel berikut ini.


4

Tabel 1. Sediaan antipsikosis beserta dosis anjurannya

No Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran


Tab 25-100 mg 300-1000 mg/hari
1. Chlorpromazine Amp 50mg/2cc 50-100 mg (im) setiap 4-6
jam
Tab 0,5-5 mg 5-20 mg/hari
Amp 5mg/cc 5-10 mg (im) setiap 4-6 jam
2. Haloperidol
Amp 50mg/cc 50 mg (im) setiap 2-4
minggu
3. Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/hari
Tab 2,5-5 mg 10-15 mg/hari
4. Fluphenazine Vial 25 mg/cc 12.5-25 mg (im) setiap 2-4
minggu
5. Trifluoperazine Tab 1-5 mg 15-50 mg/hari
6. Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/hari
Amp 100mg/2cc 3-6 amp/hari (im)
7. Sulpiride
Tab 200 mg 300-600 mg/hari
8. Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/hari
Tab 1-2-3 mg 2-8 mg/hari
9. Risperidone Vial 25-50 mg/cc 25-50 mg (im) setiap 2
minggu
10. Clozapine Tab 25-100 mg 150-600 mg/hari
11. Quetiapine Tab 25-300 mg 300-800 mg/hari
12. Olanzapine Tab 5-10 mg 10-30 mg/hari
13. Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/hari
14. Aripiprazole Tab 5-15 mg 10-30 mg/hari
5

BAB III

INDIKASI

Gejala target dari penggunaan obat antipsikosis ialah gejala psikosis itu

sendiri, dengan berbagai macam golongan, generik, dosis, sediaan, serta lama

dan cara pemberian dapat ditentukan sesuai dengan variasi gangguan atau

kelainan yang didapatkan pada penderita. Sindroma psikosis terbagi atas

fungsinonal (mis : schizophrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif, psikosis

reaktif singkat) dan organic (mis : sindrom delirium, dementia, intoksikasi

alkohol, amfetamin). 2

Adapun butir-butir diagnostik yakni : 2

1. Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing

ability), bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang

terganggu, daya nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan daya tilikan

diri (insight) terganggu.

2. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala

POSITIF : gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak

wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan

(tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali

(disorganized), dan gejala NEGATIF : gangguan perasaan (afek tumpul,

respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif,


6

apatis), gangguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang

stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan

cenderung menyendiri (abulia).

3. Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam

gejala : tidak mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan melakukan

kegiatan rutin.

Obat antipsikosis tidak diperuntukkan (kontraindikasi) bagi penderita

dengan kelainan sebagai berikut : 2

a. Penyakit hati (hepato-toksik);


b. Penyakit darah (hemato-toksik);
c. Epilepsi (menurunkan ambang kejang);
d. Kelainan jantung (menghambat irama jantung);
e. Febris yang tinggai (thermoregulator di SSP);
f. Ketergantungan alkohol (peningkatan supresi SSP);
g. Penyakit SSP (Parkinson, tumor otak, dll); dan
h. Gangguan/perburukan kesadaran oleh “depresan SSP’;
7

BAB IV

MEKANISME KERJA

Suatu hipotesis mengatakan bahwa sindrom psikosis terjadi berkaitan

dengan aktivitas neurotransmitter dopamine yang meningkat (hiperaktivitas

sistem dopaminergik sentral). 2

Mekanisme kerja obat antipsikosis tipikal ialah mem-blokade dopamine

pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik pada

jalur mesocortical, mesolimbic, nigrostriatal, tuberoinfundibular, reseptor

kolinergik muskarinik, histamin, dan α1 adrenergik, serta sistem ektrapiramidal

(dopamine D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala positif.2, 4

Gambar 1. Mekanisme blokade reseptor dopamin oleh antipsikosis tipikal


8

Sedangkan obat antipsikosis atipikal selain berafinitas terhadap reseptor

dopamine D2, juga terhadap reseptor serotonin 5 HT2 (serotonin-dopamine

antagonists), sehingga efektif juga untuk gejala negatif. Di samping itu,

antipsikosis golongan kedua bersifat lebih fleksibel dan cepat dilepaskan

karena tidak terikat ketat pada target kerjanya, serta hal ini pula yang membuat

bersihan metabolitnya lebih efektif, sehingga gejala ekstrapiramidal dapat

diminimalisir oleh akibat tumpukan sisa obat. Dengan mekanisme ganda yang

dimilikinya, kinerja obat antipsikosis atipikal juga lebih optimal dalam

memblokade jalur reseptor neutransmitter. 2, 4

Gambar 2. Perbandingan mekanisme blokade reseptor neurotransmitter oleh


antipsikosis tipikal dan atipikal
9

BAB V

EFEK SAMPING

Adapun efek samping penggunaan obat-obatan anti psikosis antara lain :2

1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan

berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun);

2. Gangguan otonomi (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik : mulut

kering, kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan

intraokuler meninggi, gangguan irama jantung;

3. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),

hematologic (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.

Efek samping tersebut ada yang dapat ditolerir oleh pasien, ada yang

lambat dan ada yang sampai membutuhkan obat simptomatis untuk

meringankan penderitaan pasien. Efek samping dapat juga bersifat

“irreversible” : tardive dyskinesia (gerakan berulang involunter pada lidah,

wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, di mana pada waktu tidur gejala

tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi

pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan

dengan dosis obat anti-psikosis. Bila terjadi gejala tersebut, obat antipsikosis

secara perlahan dihentikan, dan dicoba pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h

(dopamine depleting agent). Pemberian obat antiparkonsion atau l-dopa dapat


10

memperburuk keadaan. Obat pengganti antipsikosis yang paling baik adalah

clozapine 50-100 mg/h. 2

Prinsip penggunaan obat antipsikosis yang ingin dicapai ialah hasil/respon

yang optimal dengan efek samping minimal. Pada penggunaan jangka

panjang, secara periodik harus dilakukan pemerikasaan laboratorium terhadap

darah rutin, urine lengkap, fungsi hati dan ginjal untuk deteksi dini perubahan

akibat efek samping obat. Antipsikosis hampir tidak pernah menimbulkan

kematian sebagai akibat overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian,

untuk menghindari akibat yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan

bilas lambung bila obat belum lama dikonsumsi. 2

Penggunaan chlorpromazine injeksi (intramukular) sering menimbulkan

hipotensi ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek blokade α-

adrenergik). Tindakan untuk mengatasinya yakni dengan pemberian injeksi

nor-adrenalin oleh (nor-epinephrine) sebagai stimulator α-adrenergik. Pada

keadaan ini tidak diberikan adrenalin karena selain bersifat α-adrenergic

stimulator juga merupakan β-adrenergik stimulator, sehingga efek β-

adrenergik tetap ada dan dapat terjadi syok. Hipotensi ortostatik seringkali

dapat dicegah dengan cara pasien tidak langsung bangun setelah mendapat

suntikan dan dibiarkan tetap dalam posisi berbaring sekitar 5-10 menit. Bila

dibutuhkan dapat diberikan norepinephrine bitartrate (Levophed Abbot/Raivas;

Dexa medica/Vascon Fahrenheit) ampul 4 mg/4cc dalam infus 1000 ml

dextrose 5% dengan kecepatan 2-3 cc/menit. 2


11

Antipsikosis kuat (haloperidol) sering menimbulkan gejala

ekstrapiramidal/sindrom Parkinson. Tindakan untuk mengatasinya yakni

dengan pemberian tablet Trihexyphenidyl (Artane) 3-4 x 2 mg/hari, Sulfas

Atropin 0,50-0,75 mg/intramuskular. Bila sindrom Parkinson sudah terkendali,

maka dilakukan penurunan dosis secara bertahap untuk menentukan apakah

terapi anti Parkinson masih dibutuhkan. Secara umum, anjuran penggunaan

obat anti-Parkinson tidak melebihi tiga bulan mengingat adanya risiko

keracunan Atropin. Tidak dianjurkan pula pemberian profilaksis anti-Parkinson

oleh karena dapat mempengaruhi penyerapan obat antipsikotis sehingga

kadarnya dalam plasma rendah, serta dapat menghalangi manifestasi gejala

psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis antipsikosis agar

mencapai dosis efektif. 2

Sindrom neuroleptik maligna (SNM) merupakan kondisi yang mengancam

kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat antipsikosis (khususnya

yang berjenis kerja panjang dengan risiko yang lebih besar). Semua pasien

dengan terapi antipsikosis memiliki risiko untuk mengalami SNM namun

dengan kondisi dehidrasi, kelelahan atau malnutrisi, risiko ini menjadi lebih

tinggi. Adapun butir diagnostiknya antara lain: 2

a. Suhu badan > 38 ºC (hiperpireksis);

b. Adanya sindrom ektrapiramidal berat (rigiditas);

c. Terdapat gejala disfungsi otonomik (inkontinensia uri/alvi);

d. Perubahan status mental;


12

e. Perubahan tingkat kesadaran; dan

f. Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat.

Tindakan segera yang dilakukan ialah menghentikan obat antipsikosis,

memberi obat agonis dopamin (Bromokriptin 3 x 7.5-60 mg/hari; l-dopa 2 x 100

mg/hari; atau Amantadin 200 mg/hari); dan selanjutnya memberi perawatan

suportif untuk pasien. 2


13

BAB VI

INTERAKSI OBAT

1. Antipsikosis + antipsikosis lain = potensiasi efek samping obat dan tidak

terbukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara dua obat antipsikosis).

Misalnya, chlorpromazine + reserpine = potensiasi efek hipotensif.

2. Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik

meningkat (hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma,

ileus, penyakit jantung).

3. Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk

kasus dengan gejala gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive

therapy).

4. Antipsikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat antipsikosis pada

pagi hari sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh

karena angka mortalitas yang tinggi.

5. Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan

serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus

lebih besar. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat

antipsikosis haloperidol.

6. Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurun disebabkan

gangguan absorpsi.
14

BAB VII

CARA PENGGUNAAN

A. Pemilihan Obat

Pada dasarnya semua antipsikosis memiliki efek primer/klinis yang sama

pada dosis ekivalen, perbedaannya terutama pada efek sekunder (efek

samping : sedasi, otonomik, atau ekstrapiramidal). Sebagaimana yang

ditunjukkan pada tabel berikut ini, dengan kekuatan efek samping yang

bervariasi pada berbagai jenis antipikosis. 2

Tabel 2. Dosis dan sediaan antipsikosis dengan variasi kekuatan efek


sampingnya

Antipsikosis Mg. Eq Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Ekst. Pir

Chlorpromazine 100 150 – 1600 +++ +++ ++


Thioridazine 100 100 – 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 – 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 – 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 – 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 – 100 + + ++++
Pimozide 2 2–6 + + ++
Clozapine 25 25 – 100 ++++ + -
Zotepine 50 75 – 100 + + +
Sulpiride 200 200 – 1600 + + +
Risperidone 2 2–9 + + +
Quetiapine 100 50 – 400 + + +
Olanzapine 10 10 – 20 + + +
Aripiprazole 10 10 – 20 + + +
15

Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang

dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis

ekivalen. Misalnya chlorpromazine dan thioridazone yang berefek samping

sedatif kuat terutama digunakan terhadap sindrom psikosis dengan gejala

dominan : gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan,

perilaku dan lain sebagainya. Sementara trifluoperazine, fluphenazine dan

haloperidol dengan efek samping sedatif lemah digunakan terhadap sindrom

psikosis dengan gejala dominan : apatis, menarik diri, perasaan tumpul,

kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi dan lain-lain.

Namun, haloperidol dapat dengan mudah menimbulkan gejala ekstrapiramidal

pada penderita yang rentan terhadap efek samping tersebut, sehingga

kemungkinan terapi beralih ke pemberian thioridazine sesuai dosis ekivalen

yang mana efek samping ekstrapiramidalnya ringan. Untuk pasien yang

menunjukkan gejala tardive dyskinesia dapat diberi clozapine yang merupakan

antipsikosis tanpa efek samping ektrapiramidal, namun bersifat sedatif kuat. 2

Bila antipsikosis tertentu tidak memberi respon klinis dengan dosis optimal

setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan pemberian

antipsikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama) dengan dosis

ekivalennya, di mana profil efek samping belum tentu sama. Jika pasien

memiliki riwayat pengobatan antipsikosis sebelumnya dengan jenis tertentu

yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, maka

dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. 2


16

Pada pasien schizophrenia dengan gejala negatifnya (misalnya afek

tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) yang lebih menonjol

dibandingkan gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak

terkendali), maka pilihan antipsikosis atipikal perlu dipertimbangkan,

khususnya penderita schizophrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping

ekstrapiramidal atau memiliki risiko/komplikasi medik adanya gejala

ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication). 2

Terkait pilihan terapi parenteral, pemberian injeksi long-acting

antipsychotic (fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau haloperidol decanoas 50

mg/cc secara intramukcular setiap 2-4 minggu sangat berguna untuk pasien

yang tidak mau/sulit mengkonsumsi obat secara teratur atau yang tidak efektif

terhadap medikasi oral. Namun, sebaiknya sebelum pemberian parenteral,

pasien dicoba untuk diberikan per oral terlebih dahulu selama beberapa

minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitifitas. Dosis dimulai

dengan ½ cc tiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru ditingkatkan

menjadi 1 cc/bulan. Pemberian obat ini hanya sebagai terapi stabilisasi dan

pemeliharaan terhadap kasus schizophrenia. 15-25% kasus menunjukan

toleransi yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal. Haloperidol 5-10

mg (intramuskular) dapat diulang setiap 30 menit, dengan dosis maksimum 20

mg/hari. Biasanya dalam 6 jam sudah dapat mengatasi gejala-gejala akut dari

sindrom psikosis (seperti agitasi, hiperaktifitas psikomotor, impulsif,

mengamuk/menyerang, gaduh gelisah, perilaku destruktif). 2


17

Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak yang bersifat

hiperaktif, dengan emosional labil dan perilaku destruktif. Juga sering

digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (ansietas,

depresi, agitasi), dosis yang diberikan 20-200 mg/hari. Hal ini disebabkan

thioridazine lebih cenderung mengarah pada blokade reseptor dopamin di

sistem limbik dari pada di sistem ektrapiramidal pada SSP (kebalikan dari

haloperidol). 2

Haloperidol dosis kecil sangat efektif untuk sindrom Gilles de la Tourette’s.

Gangguan ini biasanya timbul mulai antara usia 2-15 tahun. Terdapat gerakan-

gerakan involunter, berulang, cepat dan tanpa tujuan, yang melibatkan banyak

kelompok otot (tics). Disertai tics vokal yang multipel (misalnya suara “klik”,

dengusan, batuk, mengeram, menyalak, atau kata-kata tidak baik/koprolalia).

Pasien mampu menahan tics secara volunteer selama beberapa menit hingga

jam. 2

Pada pasien usia lanjut atau dengan sindrom psikosis organik, obat

antipsikosis diberikan dalam dosis kecil dengan efek samping sedasi dan

otonomik yang minimal (hipotensi ortostatik), yakni golongan high potency

neuroleptics misalnya haloperidol, trifluoperazine, fluphenazine atau

antipsikosis atipikal (misalnya, haloperidol 0.5-1 mg/hari atau risperidon 0.5-1

mg/hari). Penggunaan pada wanita hamil, berisiko tinggi anak yang dilahirkan

menderita gangguan saraf ekstrapiramidal. 2


18

B. Pengaturan Dosis

Terkait pengaturan dosis obat antipsikosis, perlu dipertimbangkan : 2

1. Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu


Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam

2. Waktu paruh : 12-14 jam (pemberian obat 1-2 kali/hari)

3. Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dan efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.

Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran, dinaikkan setiap 2-

3 hari sampai mencapai dosis efektif, lalu dievaluasi setiap dua minggu dan

bila perlu dinaikkan hingga ke dosis optimal yang dipertahankan sekitar 8-12

minggu, bila kondisi telah stabil maka dosis diturunkan secara gradual setiap

dua minggu hingga mencapai dosis pemeliharaan (maintenance) yang

dipertahankan 6-24 bulan (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu. Bila sampai

jangka waktu tertentu hasil terapinya dinilai sudah cukup mantap, dosis dapat

diturunkan secara gradual tiap 2-4 minggu sampai berhenti pemberian obat

(tapering off). 2

C. Lama Pemberian

Pada umumnya, pemberian antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama

3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali.

Untuk gejala psikosis reaktif singkat, penurunan obat secara bertahap setelah

hilangya gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan. Untuk pasien dengan
19

serangan sindrom psikosis yang multi episode, terapi pemeliharaan diberikan

paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang cukup lama ini dapat

menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali. Efek obat antipsikosis secara

relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih

memiliki efek klinis, sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan

setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian barulah gejala sindrom

psikosis kambuh kembali. Hal ini disebabkan oleh metabolisme dan ekskresi

obat sangat lambat, selain itu metabolit-metabolit tersebut masih memiliki

keakftifan antipsikosis. 2

Antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walapun

diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat

kecil sekali. Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala cholinergic

rebound seperti gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan

lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent

(injeksi sulfas atropine 0,25 mg intramuscular atau tablet trihexyphenidyl 3x2

mg/hari). Oleh karena itu, pada penggunaan bersama obat antipsikosis +

antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis

dihentikan lebih dulu, kemudian baru menyusul obat antiparkinson. Di samping

itu, perlu adanya perhatian khusus terhadap pemberian antikolinergik untuk

penderita dengan delirium, mesti dihindari penggunaannya karena dapat

memperberat penyakit. 2

Anda mungkin juga menyukai