Anda di halaman 1dari 11

ANEMIA

Ami Ashariati

Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Dr.Soetomo-FK UNAIR Surabaya

PENDAHULUAN

Anemia adalah sindroma klinik yang ditandai oleh adanya penurunan hematokrit,
hemoglobin dan jumlah eritrosit dalam darah. Anemia bukanlah penyakit melainkan sindroma
klinik yang terjadi akibat kelainan eritrosit atau merupakan manifestasi dari berbagai macam
penyakit sistemik sebagai penyakit dasar. Anemia ditandai dengan menurunnya “Oxygen-
carrying capacity” per unit volume darah atau menurunnya massa eritrosit dalam sirkulasi darah
yang secara laboratorium ditandai oleh penurunan hematokrit (HCT) atau hemoglobin (HGB).
Biasanya batas bawah yang dapat diterima untuk populasi orang dewasa adalah dengan
menggunakan kriteria WHO yang disarankan oleh panitia ahli sejak hampir 50 tahun yang lalu:
130 g / L (13,0 g/dL) pada pria dan 120 g / L (12,0 g/dL) pada wanita, tanpa perbedaan antara
usia dan ras. Survei populasi besar-besaran baru-baru ini berdasarkan kriteria WHO (NHANES-
III) menunjukkan bahwa hampir 10% pria dan wanita berusia di atas 65 tahun menderita anemia.
Prosentase ini meningkat menjadi 26% pada pria dan 20% pada wanita lebih tua dari 85 tahun.
Banyak dari subyek ini ternyata sehat, dan dalam kebanyakan kasus, penyelidikan klinis tidak
dilakukan ditemukan penyebab spesifik anemia. Hasil ini menunjukkan batas “normal” yang
yang agak rendah digunakan pada orang tua. Meski begitu, terlalu mudah penerimaan anemia
ringan sebagai fisiologis pada lansia berisiko diabaikan nya masalah ini. Masih terdapat
perdebatan tentang hemoglobin yang lebih rendah batas harus digunakan untuk mendefinisikan
anemia pada umumnya populasi dan terutama pada orang tua. Batasan yang relatif baru dengan
database besar (NHANES-III dan Scripps-Kaiser) di mana hemoglobin ditentukan batas yang
lebih rendah diusulkan. Batas ini (5% dari distribusi normal) adalah 137 g / L (13,7 g/dL) pada
pria kulit putih (20-59 tahun) dan 132 g / L (13,2 g/dL) untuk pria diatas usia 60 tahun; nilai
yang sesuai untuk wanita adalah 122 g / L (12,2 g/dL) pada semua umur. Untuk suku Afro-
Amerika, batas ini lebih rendah: 129 g / L (12,9 g/dL) pada pria muda dan 127 g / L (12,7 g/dL)
pada pria berusia lebih dari 60 tahun, sedangkan korespondensi nilai untuk wanita adalah

1
115 g / L (11,5 g/dL) pada semua umur. Definisi ini juga termasuk yang disebut
keadaan anemia semu (kehamilan, gagal jantung jantung dan hiperproteinemia) dimana
Konsentrasi Hb turun sebagai akibat dari peningkatan volume plasma. Di
Sebaliknya, penurunan massa sel darah merah dapat ditutupi oleh hemokonsentrasi akibat
penurunan volume plasma.
Untuk dapat menentukan diagnosis dan penyebab dari anemia diperlukan anamnesis
yang cermat, pemeriksaan fisik yang akurat dan hasil laboratorium yang handal dan terpercaya

Gambar 1. Beberapa Penyebab Anemia

PATOGENESIS
Anemia timbul apabila pemecahan/pengeluaran eritrosit lebih besar dari pada
pembentukan. Oleh karenanya anemia dapat terjadi melalui mekanisme sebagai berikut :
1. Perdarahan (pengeluaran eritrosit yang berlebih)
2. Pemecahan eritrosit yang berlebihan (hemolisis)
3. Pembentukan eritrosit yang berkurang

Perdarahan
Pada penderita yang mengalami perdarahan baik yang akut ataupun yang kronis
walaupun pembentukan eritrosit dalam batas normal, namun oleh karena pengeluaran eritrosit

2
berlebihan, maka jumlah eritrosit yang beredar dalam sirkulasipun menjadi berkurang, dan
terjadilah anemia.
Pemecahan eritrosit yang berlebihan
Anemia dalam golongan ini lebih dikenal sebagai anemia hemolitik. Berbagai macam
keadaan yang dapat menjadi penyebab dari anemia hemolitik adalah sebagai berikut :
A. Faktor yang berasal dari luar eritrosit (ekstrakorpuskuler) :
1. Reaksi antigen-antibodi
2. Obat-obatan dan bahan-bahan kimia
3. Rudapaksa pada eritrosit
4. Pemecahan oleh limpa yang berlebihan (hipersplenisme)
5. Keracunan logam.
B. Faktor yang berasal dari dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler), keadaan ini bisa terjadi
pada :
1. Herediter (bawaan), misalnya kelainan bawaan dari membran eritrosit, kekurangan enzim
pembentukan eritrosit dan sebagainya
2. Didapat
Pembentukan eritrosit yang berkurang
Apabila oleh karena sesuatu sebab pembentukan eritrosit yang matang berkurang, maka
jumlah eritrosit yang berada dalam sirkulasi darah pun berkurang dan timbul anemia.
Anemia dalam golongan ini dapat terjadi akibat beberapa keadaan sebagai berikut :
 Kekurangan bahan baku yang diperlukan untuk pembentukan eritrosit, yaitu misalnya
kekurangan zat besi, Vitamin B12, asam folat, protein, vitamin C.
 Kekurangan erotroblast (eritrosit yang paling muda)
 Infiltrasi sel-sel ganas kedalam sumsum tulang yang mendesak sistem eritroid ,misalnya yang
terjadi pada penderita leukemia, multiple mieloma, limfoma maligna, mielofibrosis mieloid
metaplasia dan sebagainya
 Anemia jenis sideroblastik (kelainan bawaan yang menyangkut sel eritrosit)
 Beberapa penyakit yang berasal dari kelenjar buntu misalnya : penyakit gondok, penyakit
anak ginjal serta penyakit kelenjar pituitaria
 Penyakit ginjal yang kronis
 Penyakit hati

3
 Penyakit kronis yang lain baik yang infeksi maupun yang non infeksi

GEJALA KLINIK

Perlu ditekankan bahwasanya anemia bukanlah merupakan penyakit tertentu dalam arti
“disease entity” akan tetapi hanyalah merupakan sindroma klinik yang ditimbulkan akibat
sesuatu proses patologis dalam tubuh yang merupakan “underlying disease” (penyakit dasar).
Jadi dalam menerangkan gejala-gejala anemia tentunya tidak lepas dari gejala-gejala penyakit
dasarnya. Dasar fisiologis dari timbulnya timbulnya gejala-gejala dari anemia adalah sebagai
berikut : salah satu fungsi eritrosit adalah sebagai alat transport oksigen, dengan adanya
hemoglobin didalamnya. Apabila eritrosit kurang berarti kadar hemoglobinpun berkurang dan
akhirnya timbulah anoksia dari jaringan target organ.

Gejala-gejala yang timbul adalah akibat dari anoksia jaringan tersebut atau reaksi
kompensasi dari target organ terhadap anoksia. Pada umumnya gejala dari anemia akan timbul
apabila kadar hemoglobin lebih kecil atau sama dengan 7.0 g/dl.

DIAGNOSIS
Karena anemia dapat bermanifestasi dalam berbagai macam gangguan, pendekatan
diagnostik yang efisien sangat penting. Pasien umumnya hadir dengan gejala anemia, yaitu
peningkatan kelelahan / kelelahan, dyspnoea dan penurunan usaha toleransi. Gejala gejala
tergantung pada derajatanemia dan penurunan kadar Hb. Oleh karena itu, pada tingkat Hb
tertentu, anemia dari kehilangan darah akut cenderung terwujud lebih parah daripada anemia
kronis (minggu sampai bulan). Gejala selama masa anak-anak harus mengingatkan salah satu
kemungkinan anemia oleh karena kelainan yang diwariskan , mis. Thalassemia.
Anamnesis terperinci sangat penting dan sering kali menghilangkan banyak spekulasi
saat melakukan investigasi. Ini harus mencakup:
 Interogasi terhadap keluhan dan durasi keluhan
 Riwayat transfusi
 Riwayat makanan, termasuk pica (keinginan untuk makanan yang tidak biasa, umumnya
terkait dengan defisiensi besi)
 Riwayat perjalanan (ke daerah malaria atau daerah infeksi lainnya yang endemik)
 Perubahan kebiasaan buang air besar

4
 Perdarahan (mis., Gastrointestinal dan genito-urinary)
 Riwayat obat-obatan (misalnya antikoagulan, antiplatelet) agen, agen renotoxic,
antikonvulsan)
 Penyakit kronis (misalnya HIV, tuberkulosis (TB))
 Operasi (misalnya gastrektomi, operasi usus kecil)
 Kehamilan terkini atau baru-baru ini
 Riwayat keluarga (terutama pada anak-anak).

Pemeriksaan Klinis
Berbagai macam tanda dan gejala mungkin terjadi menjadi jelas pemeriksaan sistematis
mengarahkan penyelidikan lebih lanjut dan mungkin mengungkapkan kemungkinan
penyebabnya.
 Kulit dan selaput lendir:
o Pucat adalah tanda klinis kardinal
o Anemia, yang harus dikonfirmasi dengan mengukur tingkat Hb
o Stomatitis Angularis
o Glossitis dalam kekurangan nutrisi
o Koilonychia (kuku berbentuk sendok) di kekurangan zat besi
o Uban prematur, yang sering mengalami MA
o Scleral ictus, yang mengindikasikan kemungkinan hemolisis atau eritropoiesis
tidak efektif.
 Neuromuskular:
o Kelemahan otot
o Sakit kepala, kurang konsentrasi, tinnitus
o parestesia, neuropati perifer, ataksia dan hilangnya rasa getaran, dan
proprioception pada anemia pernisiosa.
 Kardiovaskular:
o Sirkulasi hiperdinamik dengan hememik “flow” murmur
o Gagal jantung
 Petunjuk untuk infeksi, keganasan (misalnya lymphoma, leukemia, karsinoma
metastatik):

5
o Hepatosplenomegali
o Limfadenopati
o Manifestasi perdarahan (petechiae, purpura, ecchymosis), kegagalan BM.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, diferensial dan retikulosit bersama dengan hapusan darah
tepi mikroskopik harus menjadi titik awal dari investigasi. Ini mengkonfirmasi kecurigaan klinis
terhadap anemia dan dapat langsung dilanjutkan penyelidikannya. Laboratorium / populasi lokal
rentang referensi yang berumur dan jenis kelamin spesifik harus menggunakan referensi normal
berkisar untuk Hb pada orang dewasa di Witwatersrand daerah, Johannesburg, Afrika Selatan
(SA) adalah sebagai berikut:
 Laki-laki: 13,8 - 17,9 g / dL (anemia <13 g / dL)
 Perempuan: 12,4 - 15,5 g / dL (anemia <12 g / dL; kehamilan <11 g / dL).

Jumlah retikulosit memberi indikasi dari status sumsum tulang, yaitu apakah aktivitas
sumsum tulangnya yang menurun menurun verus respon yang sesuai terhadap anemia. Indeks
produksi retikulosit (Reticulocyte Production Index, RPI) menggambarkan representasi yang
lebih akurat dari aktivitas sumsum tulang dibandingkan hanya dari hitung retikulosit saja, karena
RPI dapat mengoreksi tingkat anaemia dan adanya retikulosit yang belum matang di dalam darah
tepi.

Perhitungan RPI adalah sebagai berikut:

Retikulosit% x Hematokrit pasien / 45 ÷ Pematangan retikulosit


waktu (hari) dalam darah perifer

Waktu pematangan retikulosit dihitung sebagai berikut:

Hematokrit> 40% = 1 hari, 30 - 40% = 1,5 hari, 20 - 30% = 2 hari, <20% = 2,5 hari

6
Indeks produksi retikulosit (RPI) yang menurun menandakan respons sumsum tulang
yang tidak optimal untuk koreksi dari anemia. Pemeriksaan sumsum tulang sesuai jika dicurigai
adanya patologi, mis. infiltrasi sumsum tulang, kegagalan sumsum tulang, dan myelodysplasia.
Aspirasi sumsum tulang berguna dalam menilai morfologi detail sel, namun arsitekturnya
terganggu, sedangkan pada bagian biopsi treksin arsitekturnya diawetkan, yang memungkinkan
untuk mendeteksi patologi, seperti granulomata dan fibrosis. Tes yang lebih khusus dilakukan
pada individu yang dicurigai memiliki kondisi langka yang menyebabkan anemia.

KLASIFIKASI ANEMIA

Untuk menentukan penyebab dari anemia perlu dilakukan klasifikasi baik secara
morfologis maupun patofisiologis. Klasifikasi berdasarkan morfologi sel darah merah ialah
anemia :

1. Hipokrom Mikrositer (MCV < 80 fl, MCH <27 pg)


2. Normokrom Normositer (MCV 80-95 fl, MCH 27–34 pg)
3. Makrositer (MCV > 95 fl)

Sebagai penyebab dari Anemia Hipokrom Mikrositer adalah defisiensi besi, anemia
karena penyakit kronis (ACD), keracunan logam berat, anemia sideroblastik dan thalassemia.
Sebagai penyebab Anemia Normokrom Normositer adalah perdarahan akut, hemolisis, anemia
pada penyakit kronis (ACD), dan hydremia pada kehamilan. Sebagai penyebab dari Anemia
Makrositer adalah defesiensi B12, asam folat, penyakit hati, dan pemberian obat-obat
antimetabolik.
Algoritme diagnosis anemia hipokrom mikrositer, anemia normokrom normositer, dan
anemia makrositer dapat dilihat di lampiran.

TERAPI
1. Cari penyebabnya dan berikan pengobatan yang memadai.
2. Bila anemia timbul sekunder akibat penyakit lain, dengan pengobatan penyakit dasarnya
anemia akan membaik. Pada anemia jenis ini umumnya tidak diperlukan obat-obat anti
anemia kecuali bila progresif dan timbul keluhan.
3. Transfusi darah hanya diberikan pada :
Perdarahan akut yang disertai dengan perubahan hemodinamik

7
Pada anemia yang kronik, progresif dan terdapat keluhan (Packed Red Cell)
4.Bila terdapat kegagalan faal jantung penderita harus istirahat total dan diberikan diuretika

RINGKASAN

Anemia bukan merupakan suatu penyakit, tapi merupakan suatu gejala yang harus
dicari penyebabnya. Ada banyak dan beragam penyebab anemia. Mengingat luasnya dari topik,
sejarah menyeluruh, pemeriksaan fisik dan sistematis dan investigasi laboratorium merupakan
elemen kunci untuk menentukan penyebab dari Anemia

DAFTAR PUSTAKA
Alli N, Vaughan J, Patel M. (2017). Anaemia: Approach to Diagnosis. S Afr Med J ;107(1):23-
27. DOI:10.7196/SAMJ.2017.v107i1.12148
Bintoro UY. (2015). Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 2 editor : Tjokroprawiro A,
Setiawan PB, Effendi C, Santoso D, Soegiarto G. Airlangga University Press. Hal
357-361
Buttarello M. (2016). Laboratory Diagnosis of Anemia: Are the Old and New Red Cell
Parameters Useful in Classification and Treatment, How?; Jnl. Lab. Hem, 38 (Suppl.
1), 123–132
Kuriakose P. (2015). Anemia: An Approach to Evaluation. CHRISMED Journal of Health and
Research; Vol 2; Issue 2
Tefferi A. (2003). Anemia in Adults: a Contemporary Approach to Diagnosis. Mayo Clin Proc;
78:1274-1280

8
LAMPIRAN

Tabel 1. Algoritme Diagnosis Anemia Hipokrom Mikrositer

9
Tabel 2. Algoritme Diagnosis Anemia Normokrom Normositer

10
Tabel 3. Algoritme Diagnosis Anemia Makrositer

11

Anda mungkin juga menyukai