Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Tn.M
No. Register : 00-35-30-79
Tempat Tanggal Lahir: Pasuruan 15 JULI 1966 (48 tahun)
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : petani
Alamat : Sukolilo – Prigen - Pasuruan
Tanggal MRS : 25 juni 2018 (pukul 12.00) Anamnesis

2. Keluhan Utama:
Gatal dan yeri seluruh tubuh

3. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien mengeluh gatal seluruh tubuh dan yeri seluruh tubuh sejak
seminggu yang lalu awal nya pasien mengeluhkan gatal di daerah lipatan
tetati menyebar ke seluruh tubuh tidak ada demam, tidak ada

1
2

4. Riwayat penyakit dahulu:


 Pasien pernah mengalami sakit seperti ini sejak 6 bulan yang lalu dan
sudah 2x MRS
 Pasien tidak Memiliki riwayat hipertensi dan diabetes
 Tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini

5. Riwayat Pengobatan
Selama sakit 6 bulan ini pasien kontrol ke poli kulit dan kelamin
RSUD Bangil, namun 1 bulan terakhir pasien tidak kontrol karena sudah
merasa enakan. Pasien lupa nama obat yang biasa diminum sebelumnya

6. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : cukup
GCS : 456
TV
TD : 120/80 mmHg
N : 98x/menit, reguler
RR : 20 x / menit
T : 37,0 °C
SpO2: 95%

K/L : An -/- Ict -/- Cya -/-, Dysp -/-


Kel. Tiroid dbn
KGB dbn
Thorax : Cardio : S1 S2 tunggal, Mur (-)
Pulmo : rh ≡│≡ , wh ≡│≡
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Hepar/Lien: tak teraba
3

Ekstremitas : Superior Inferior

- Edema -/- -/-

- Perabaan dingin -/- -/-

7. Status Dermatologis

 Lokasi: kepala dan leher

Efloresensi: tampak bula, multipel, ukuran diameter 1-2 cm, bula ada yang
sudah pecah menimbulkan erosi di atasnya ditutupi krusta warna
kecoklatan, makula hiperpigmentasi (+), Tanda Nikolski (+)

 Lokasi: Seluruh tubuh

Efloresensi: tampak makula hiperemi (+), makula hiperpigmentasi (+),


bentuk tidak teratur, multipel, berbatas tegas, erosi (+), krusta (+)

8. Foto Klinis
4
5

9. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah lengkap
6

9. Diagnosis klinis
Pemphigus vulgaris

10. Diagnosis banding

- dermatitis herpetiformis

- pemfigoid bulosa.

11. Penatalaksanaan

Inf NS

Inj.Dexametason 3x1 amp

Pehaclor 3x1 tab

Kompres PZ
7

Follow Up Pasien

Tgl S O A P
17/5/2018 Kulit seluruh tubuh KU: Cukup Pemfigus  Infus NS 14
terasa panas dan GCS:456 vulgaris tpm
nyeri seluruh tubuh TD : 130/80  Inj.
N : 89 Dexametason
S : 36,4 3x1 amp
RR : 20x  Inj.
Gentamicyn
Eflerosensi: 2x80 mg
- Kepala,leher:  Pehaclor 3x1
tampak bula, tab
multipel, ukuran  Kompres PZ
diameter 1-2
cm,
- generalisata
Makula
hiperemi (+),
makula
hiperpigmentasi
8

(+), krusta (+)

18/5/2018 Kulit seluruh tubuh KU : Cemah Pemfigus  Infus NS 14


terasa panas dan TD : 130/90 vulgaris tpm
nyeri seluruh tubuh N : 92  Inj.
masih sama dengan RR : 20 Dexametason
hari kemarin S : 36,5 3x1 amp
 Inj.
Eflerosensi: Gentamicyn
generalisata 2x80 mg
Makula  Pehaclor 3x1
hiperemi (+), tab
makula  Kompres PZ
hiperpigmentasi
(+), krusta (+)
19/5/2018 Kulit seluruh tubuh KU: Cukup Pemfigus  Infus NS 14
terasa panas dan GCS: 456 vulgaris tpm
nyeri seluruh tubuh TD : 120/80  Inj.
berkurang dari hari N : 85 Dexametason
kemarin RR : 19 3x1 amp
S : 36,5  Inj.
Gentamicyn
Eflerosensi: 2x80 mg
generalisata  Pehaclor 3x1
Makula tab
hiperemi (+),  Kompres PZ
makula
hiperpigmentasi
(+), krusta (+)
9

20/5/2018 Kulit seluruh tubuh KU: Cukup Pemfigus  Infus NS 14


terasa panas GCS: 456 vulgaris tpm
berkurang dari hari TD : 120/80  Inj.
kemarin dan nyeri N : 88x Dexametason
seluruh masih belum RR : 21x 2x1 amp
berkurang dari S : 36,0  Inj.
kemarin Gentamicyn
Eflerosensi: 2x80 mg
generalisata  Pehaclor 3x1
Makula tab
hiperemi (+),  Kompres PZ
makula
hiperpigmentasi
(+), krusta (+)

21/5/2018 kulit seluruh tubuh KU: Cukup Pemfigus  Infus NS 14


terasa panas GCS: 456 vulgaris tpm
berkurang dari hari TD : 110/80  Inj.
krmarin dan nyeri N : 86x Dexametason
seluruh tubuh RR : 21x 2x1 amp
berkuranf dari nyeri S : 36,3  Inj.
kemarin Gentamicyn
Eflerosensi: 2x80 mg
generalisata  Pehaclor 3x1
Makula tab
hiperemi (+),  Kompres PZ
makula
10

hiperpigmentasi
(+), krusta (+)

22/5/18 kulit seluruh tubuh KU: Cukup Pemfigus  Infus NS 14


terasa panas GCS: 456 vulgaris tpm
berkurang dari hari TD : 110/80  Inj.
krmarin dan nyeri N : 85x Dexametason
seluruh tubuh RR : 20x 1x1 amp
berkuranf dari nyeri S : 36,0  Kompres PZ
kemarin
Eflerosensi:
generalisata
Makula
hiperemi (+),
makula
hiperpigmentasi
(+), krusta (+)
11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Istilah “Pemphigus” berasal dari kata Yunani pemphix (gelembung atau
bula) dan vulgaris berasal dari kata latin. Pemfigus merupakan penyakit yang
berpotensi mengancam jiwa yang dapat menyebabkan bula dan erosi pada
kulit dan membran mukosa. Pemfigus vulgaris (PV) merupakan penyakit
yang jarang, kronis, bula intraepidermal dimana sering berakibat fatal dan
awalnya dinamakan oleh Wickmann pada 1791 (Hasan et al., 2013).
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun yang meliputi bula
dan erosi kulit dan membran mukosa. Istilah pemfigus merupakan kumpulan
penyakit kulit autoimun berbula, yang menyerang kulit dan membran mukosa
yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses
akantolisis (yaitu, pemisahan sel epidermal dari yang lainnya) dan secara
imunopatologik dengan ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom
12

pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam
sirkulasi darah (Solanki et al., 2012).
Pada dasarnya, pemfigus dibagi menjadi 4 tipe utama, yaitu (1)
vulgaris, (2) foliaceus, (3) paraneoplastik, dan (4) pemfigus IgA. Pada
pemfigus vulgaris (PV), bula terjadi pada bagian terdalam dari epidermis,
tepat di atas lapisan basal (Payne and Stanley, 2012).

Sumber: Wolff and Johnson, 2009


Gambar 3.1: Klasifikasi Pemfigus
B. Epidemiologi
1. Insidens dan prevalensi
Insidens pemfigus sekitar 1 pada 100.000 orang. Pemfigus vulgaris
(PV) merupakan jenis pemfigus yang paling umum dengan insidens 0,1
sampai 0,5 per 100.000 populasi dan tertinggi di antara pasien Yahudi. Di
India, Malaysia, Cina, dan Timur Tengah, total pemfigus vulgaris 70%
dari semua kasus pemfigus dan dapat menjadi penyakit autoimun berbula
yang paling umum (Venugopal et al., 2011). Di Jerusalem, insidens PV
diperkirakan 1,6 per 100.000 orang per tahun dan di Iran sekitar 10,0 per
100.000 orang per tahun. Di tempat lain di Eropa, insidensnya paling
rendah, mulai dari tinggi 0,7 kasus PV per 100.000 orang per tahun di
United Kingdom ke 0,5-1,0 per juta orang per tahun di Finlandia, Prancis,
Jerman, dan Switzerland (Payne and Stanley, 2012).
2. Onset usia
Usia rata-rata juga bervariasi menurut wilayah. Di Turkey, Arab
Saudi, Tunisia, dan Iran, rata-rata usia sekitar 40 tahun. Penelitian di
13

United States dan di tempat lain di Eropa rata-rata usia 50 dan 70 tahun.
Pemfigus jarang terjadi pada anak-anak, kecuali pada wilayah penyakit
endemik (Payne and Stanley, 2012).

C. Etiologi
Pemfigus merupakan penyakit autoimun. Mekanisme patofisiologi yang
tepat yang mendasari terjadinya penurunan imunitas masih harus dijelaskan,
namun penyakit ini ditandai oleh produksi autoantibodi yang ditujukan
terhadap desmoglein, protein transmembran yang terletak di desmosom yang
bertugas untuk adesi sel ke sel, menyebabkan akantolisis (Maibach and
Gorouhi, 2011).
Terapi penisilin pada reumatoid artritis menyebabkan pemfigus, lebih
sering tipe foliaceus. Penisilin dan captopril dapat menyebabkan akantolisis.
Dosis yang menyebabkan penyakit ini berkisar dari 250 – 1500 mg/hari, dan
obat ini biasanya digunakan selama rata-rata 13 bulan sebelum timbul
pemfigus. Obat jangka panjang, termasuk captopril, enalapril, penisilin,
tioprolin, interleukin-2 (IL-2), nifedipin, piroksikam, dan rifampisin, juga
dilaporkan dapat menyebabkan pemfigus (James et al., 2015).
Beberapa penelitian mengindikasikan predisposisi faktor terhadap
pemfigus dan hubungannya dengan penyakit autoimun lainnya. Analisis
statistik menunjukkan distribusi dari berbagai human leukocyte antigens
(HLAs). Banyak pasien dari HLA fenotip DR4 atau DR6 (James et al., 2015).

D. Faktor Pemicu
Menurut Ruocco et al. (2013), faktor pemicu atau pencetus pemfigus
adalah sebagai berikut.
1. Infeksi virus
 Beberapa laporan klinis telah menunjukkan hubungan infeksi virus,
pada partikular infeksi herpesvirus, pada patogenesis PV.
2. Agen fisik
14

 Beberapa agen fisik, seperti panas matahari, radiasi pengion, luka


bakar termal atau listrik, dan prosedur bedah dan bahkan kosmetik
terbukti dapat memicu pemfigus pada individu yang beresiko.
3. Kontak alergen
 Beberapa bahan kimia dapat mengeksaserbasi atau memicu PV
dengan mediasi dermatitis kontak alergi.
4. Faktor diet
 Faktor gizi jarang disebutkan sebagai pencetus pemfigus.
5. Stres emosional
6. Penggunaan obat-obatan

Sumber: Ruocco et al., 2013


Gambar 3.2: Obat-obatan Pencetus Pemfigus

E. Histopatologi
Karakteristik yang ditemukan pada PV termasuk akantolisis
suprabasilar dengan bentukan bula intraepidermal. Sel akantolitik bulat dan
15

tidak menunjukkan penghubung interseluler. Regenerasi epidermis terjadi dan


dapat menyebabkan pemisahan menjadi lebih tinggi karena sel regenerasi
tersebut. Setidaknya beberapa daerah biasanya masih menunjukkan
karakteristik “tombstone row” dari histologi basal keratinosit (James et al.,
2015).
Vesikel intraepitelial juga menunjukkan Tzanck cells. Akantolisis,
hilangnya adesi sel epidermal, merupakan temuan histologis utama.
Mikroskop cahaya menunjukkan bahwa proses dimulai dengan
pembentukkan edema di antara daerah keratinosit di bawah stratum basal.
Pada tahap selanjutnya, celah suprabasal berkembang menjadi lebar untuk
menimbulkan sebuah bula. Pada dasar dan sisi bula, sel akantolitik dapat
ditemukan dengan pemeriksaan sitologi (Tzanck cells) (Tamgadge et al.,
2011).

F. Patofisiologi
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun, intraepitelial, bula
yang mengenai kulit dan membran mukosa dan dimediasi oleh sirkulasi
autoantibodi ditujukan terhadap permukaan sel keratinosit (Zeina et al.,
2016).
16

Sumber: Bolognia et al., 2004


Gambar 3.3: Target Antigen pada Pemfigus

Pemfigus vulgaris ditandai dengan hilangnya adesi intraepidermal yang


disebabkan oleh autoantibodi IgG (IgG4 dan IgG1) terhadap desmoglein 1
(dsg1) dan desmoglein 3 (dsg3), dimana desmoglein merupakan komponen
kompleks adesi desmosom keratinosit epidermis yang terhubung ke
sitoskeleton keratin melalui interaksi dengan plak interseluler protein
plakoglobin (PG) dan desmoplakin (DP) (Scully and Challacombe, 2002).
17

Gambar 3.4: Komponen Desmosom

Bula pada pemfigus vulgaris berhubungan dengan terikatnya


autoantibodi IgG ke molekul permukaan sel keratinosit. Interselular atau
antibodi pemfigus vulgaris ini mengikat desmosom keratinosit dan area bebas
keratinosit dari membran sel keratinosit. Pengikatan autoantibodi
mengakibatkan hilangnya adesi sel ke sel, prosesnya dinamakan akantolisis
(Zeina et al., 2016).
Hilangnya adesi sel ke sel yang normal pada epidermis (akantolisis)
terjadi sebagai akibat dari antibodi klas IgG; antibodi ini terikat pada
desmosom, anggota dari kaderin. Pada pemfigus vulgaris (PV), desmoglein 3
(beberapa juga desmoglein 1). Semua pasien dengan PV mempunyai
autoantibodi terhadap desmoglein 3. Pemfigus vulgaris dengan lesi kulit
mempunyai antibodi terhadap desmoglein 1; sedangkan dengan lesi mukosa,
hanya terhadap desmoglein 3 (Wolff and Johnson, 2009).
Penelitian pada keratinosit telah menunjukkan bahwa hilangnya adesi
intraselular oleh autoantibodi patogen menyebabkan internalisasi dan
degradasi desmoglein, menunjukkan bahwa pengikatan antibodi pemfigus
mengakibatkan hilangnya fungsi desmoglein (Payne and Stanley, 2012).
18

Jika terjadi kerusakan pada satu atau lebih desomosomal protein, maka
perlekatan antara sel akan hilang yang akan mengakibatkan terbentuknya
vesikel atau bula yang bila pecah akan berubah menjadi erosi atau ulser. Pada
pemfigus vulgaris, terjadinya penumpukan antibodi klas IgG dan juga
kerusakan desmosom akibat antibodi tubuh bertindak melawan desmoglein 3
yaitu sel yang berfungsi untuk melekatkan antara satu sel dengan sel lain
(Scully and Challacombe, 2002).
Autoantibodi subklas dari IgG dan terdapat bukti terlibatnya
autoantibodi terhadap Dsg 3 dalam patogenesis penyakit ini. Dalam suatu
penelitian dimana serum IgG antibodi terhadap Dsg 3 yang diperoleh dari
penderita pemfigus vulgaris disuntikkan ke tikus uji yang baru lahir, terjadi
reaksi pembentukan bula seperti pada pemfigus vulgaris (Scully and
Challacombe, 2002).
Proses terjadinya akantolisis merupakan proses aktif yang lebih
kompleks dari sekadar interaksi sederhana antara antibodi dan molekul
perlekatan. Sinyal akibat perlekatan autoantibodi pemfigus vulgaris dengan
keratinosit mengaktivasi phospholipase C mengakibatkan peningkatan 1,4,5
trifosfat (IP3) dan diacylglycerol (DAG). Terjadi peningkatan kalsium
intraselular hasil pengaktifan IP3 yaitu dengan perlepasan simpanan kalsium.
Perubahan kalsium intraselular yang dirangsang oleh pemfigus vulgaris sama
seperti stimulasi sel keratosit dengan muskarinik agonists dimana pada sel
keratinosit, terdapat reseptor kolinergik fungsional yaitu dari klas nikotinik
dan muskarinik yang berfungsi merangsang perlekatan sel keratinosit.
Antagonis dari reseptor nikotinik dan muskarinik ini merangsang terjadinya
perpisahan sel dan akantolisis dalam percobaan in vitro. Peningkatan
diacylglycerol (DAG) mengaktivasi protein kinase C (PKC) dimana dsg3
akan mengalami fosforilasi oleh kinase dari PKC dan terpisah dari
plakoglobin yaitu komponen dari desmosom (Kalish, 2000).

G. Gejala Klinis
19

PV biasanya dimulai pada mukosa mulut, dan beberapa bulan bisa


berlalu sebelum lesi kulit terjadi; lesi dapat menetap untuk beberapa bulan,
setelah itu bula umum terjadi. Dalam beberapa minggu atau bulan, lesi dapat
meluas. Sakit dan nyeri pada lesi mulut dapat menghalangi asupan makanan
yang cukup. Epistaksis, suara serak, disfagia. Kelemahan, malaise, penurunan
berat badan. PF tidak memiliki lesi mukosa dan dimulai dengan bersisik,
krusta dengan dasar eritematosa, awalnya di daerah seboroik (Wolff and
Johnson, 2009).

Lesi kulit PV
Vesikel dan bula yang bulat dan oval dengan serous, lunak (Gambar
3.4), mudah pecah, timbul pada kulit dan mukosa yang tampaknya normal
dan eritematosa, tersebar secara acak, diskret. Cairan pada bula mula-mula
jernih tetapi dapat menjadi hemoragik atau seropurulen. Bula pecah dan
membentuk erosi. Erosi yang luas yang mudah berdarah (Gambar 3.5), krusta
terutama pada kulit kepala. Ketika bula mudah pecah, hanya erosi yang
terlihat pada banyak pasien. Rasa panas dan nyeri pada erosi atau bula yang
erosi. Bila sembuh, lesi akan meninggalkan bekas yang hiperpigmentasi
(Wolff and Johnson, 2009; James et al., 2015).

Sumber: Wolff and Johnson, 2009 Sumber: Wolff and Johnson, 2009
Gambar 3.5: Pemfigus Vulgaris Gambar 3.6: Pemfigus Vulgaris
20

Sumber: Payne and Stanley, 2012


Gambar 3.7: Pemfigus Vulgaris. (A) Bula yang Lunak; (B) Lesi Oral

Sumber: Payne and Stanley, 2012


Gambar 3.8: Pemfigus Vulgaris. Erosi yang Luas Akibat Bula

Tanda Nikolsky
Terlepasnya epidermis oleh penekanan jari lateral di sekitar lesi, dimana
diikuti dengan munculnya erosi. Tekanan pada bula menyebabkan pelebaran
lateral bula (Wolff and Johnson, 2009).

Tempat predileksi
Kulit kepala, wajah, dada, aksila, selangkangan, umbilikus. Pada pasien
yang terbaring di tempat tidur, terdapat perluasan ke punggung (Wolff and
Johnson, 2009).
21

Membran mukosa
Bula jarang terlihat, erosi pada mulut dan hidung, faring dan laring,
vagina (Wolff and Johnson, 2009).

H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histologi, imunofluoresensi pola
kulit perilesi, uji indirect immunofluorescence (IIF) serum, atau uji ELISA
untuk autoantibodi anti-desmoglein 1 (Dsg1) dan anti-Dsg3 (James et al.,
2015).
Menurut Venugopal and Murrell (2011), diagnosis PV dapat ditegakkan
menggunakan 4 kriteria utama, yaitu:
1. Gejala klinis
2. Mikroskop cahaya
3. Direct immunofluorescence
4. Indirect immunofluorescence

I. Diagnosis Banding
1. Pemfigoid bulosa
a. Etiologi dan patogenesis
 Interaksi antibodi dengan antigen pemfigoid bulosa (BPAG1 dan
BPAG2 (kolagen tipe XVII)) pada hemidesmosom basal keratinosit
diikuti dengan aktivasi komplemen dan penarikan neutrofil dan
eosinofil (Wolff and Johnson, 2009).

b. Gejala klinis
 Terjadi pada usia 60-80 tahun. Sering dimulai dengan erosi yang
prodromal (urtikaria, lesi papular) dan berkembang pada minggu
sampai bulan yang mungkin muncul tiba-tiba sebagai erosi yang
generalisata. Awalnya tidak ada gejala kecuali gatal sedang atau
berat; kemudian, nyeri dari lesi yang erosi (Wolff and Johnson,
2009).
22

 Lesi kulit
Eritematosa, tipe lesi – papular atau urtikaria bisa mendahului
pembentukkan bula. Bula: besar, tegang, firm-topped, oval atau
bulat; mungkin timbul pada kulit yang normal, eritematosa, atau
urtikaria dan mengandung cairan serous atau hemoragik. Erosi
dapat lokal atau generalisata, biasanya tersebar tetapi juga
dikelompokkan pada pola arciform dan serpigenosa. Bula pecah
kurang mudah daripada pemfigus, tetapi kadang-kadang besar,
merah terang, dan erosi perdarahan menjadi masalah besar.
Biasanya, bula awalnya tegang, kemudian pecah akan terbentuk
erosi, dan berubah menjadi krusta (Wolff and Johnson, 2009).

 Tempat predileksi
Aksila; medial paha, selangkangan, perut; fleksor lengan;
kaki bagian bawah (Wolff and Johnson, 2009).

 Membran mukosa
Hanya di mulut (10-35%); kurang parah dan nyeri dan kurang
mudah pecah daripada pemfigus (Wolff and Johnson, 2009).

c. Pemeriksaan penunjang
 Dermatopatologi
Mikroskop cahaya: neutrofil pada susunan “Indian-like” di
dermal-epidermal junction; neutrofil, eosinofil, dan limfosit pada
papiler dermis; bula subepidermal (Wolff and Johnson, 2009).

 Serum
Peredaran antibasement membran antibodi IgG dideteksi oleh
IIF pada 70% pasien. Autoantibodi pada pemfigoid bulosa
mengenal dua jenis antigen. BPAG1 merupakan 230-kDa
23

glikoprotein yang mempunyai homologi yang tinggi dengan


desmoplakin I dan merupakan bagian dari hemidesmosom. BPAG2
merupakan transmembran 180-kDa polipeptida (kolagen tipe XVII)
(Wolff and Johnson, 2009).

Sumber: Wolff and Johnson, 2009


Gambar 3.9: Pemfigoid Bulosa

2. Dermatitis herpetiformis
a. Etiologi dan patogenesis
 Diikuti dengan gluten-sensitivity enteropathy (GSE). GSE mungkin
berhubungan dengan simpanan IgA di kulit. Pasien memiliki
antibodi terhadap transglutaminase (TGs) yang mungkin menjadi
autoantigen utama pada penyakit ini. Autoantibodi epidermal TG
mungkin mengikat TG dalam usus dan beredar baik sendiri atau
kompleks imun atau simpanan di kulit. Dengan faktor-faktor
tambahan IgA mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif,
dengan kemotaksis berikutnya dari neutrofil yang melepaskan
enzim dan menghasilkan cedera jaringan (Wolff and Johnson,
2009).

b. Gejala klinis
 Gatal, episodik; rasa terbakar pada kulit; jarang, gatal bisa tida ada.
Gejala sering mendahului timbulnya lesi kulit sekitar 8-12 jam.
24

Konsumsi iodida dan kelebihan gandum merupakan faktor


eksaserbasi (Wolff and Johnson, 2009).

 Lesi kulit
Lesi terdiri dari papul eritematosa; vesikel kecil atasnya
keras, kadang-kadang hemoragik; bula (kadang-kadang). Lesi
tersusun dalam kelompok (karena itu disebut herpetiformis);
mengakibatkan ekskoriasis, krusta. Post inflamasi hiper- dan
hipopigmentasi pada daerah lesi yang sembuh (Wolff and Johnson,
2009).

 Tempat predileksi
Area ekstensor: siku, lutut. Area bokong, skapula, dan sakral.
Di sini, sering pada model “butterfly”. Kulit kepala, wajah, dan
hairline (Wolff and Johnson, 2009).

c. Pemeriksaan penunjang
 Imunogenetik
Berhubungan dengan HLA-B8, HLA-DR, dan HLA-DQ
(Wolff and Johnson, 2009).
 Dermatopatologi
Biopsi merupakan yang terbaik dari papul eritematosa awal.
Mikroabses (sel polimorfonuklear dan eosinofil) pada ujung papila
dermal. Infiltrasi neutrofil dan eosinofil. Vesikel subepidermal
(Wolff and Johnson, 2009).
 Imunofluoresensi
Dari kulit perilesi, terbaik pada bokong. Simpanan IgA
granular pada ujung papila yang berhubungan dengan small-bowel
disease. IgA granular ditemukan pada kulit normal pada banyak
pasien dan diagnosis. Juga ditemukan C3 dan C5 dan komponen
jalur komplemen alternatif (Wolff and Johnson, 2009).
25

 Peredaran antibodi
Antibodi IgA mengikat substansi intermyofibril otot polos
(antiendomysial antibodies) teradapat pada banyak pasien dan
mempunyai spesifitas terhadap TGs (Wolff and Johnson, 2009).

Sumber: Wolff and Johnson, 2009


Gambar 3.10: Dermatitis Herpetiformis

Pemfigus Vulgaris Pemfigoid Bulosa Dermatitis Herpetiformis


S Timbul plentingan- Timbul plentingan- Timbul plentingan-
plentingan berisi cairan, plentingan berisi cairan, plentingan berisi cairan,
terasa nyeri dan panas. terasa nyeri dan panas. terasa nyeri dan panas.
Gatal (±) Gatal (-) Gatal (+++)
O Makula eritema (+); Makula eritema (+); Makula eritema (+);
makula hiperpigmentasi vesikel (+) dan bula (+) vesikel (+) dan bula (+)
(+); vesikel (+) dan bula berdinding tegang; erosi berkelompok, berdinding
(+) berdinding kendur, (+), krusta (+) tebal
mudah pecah; erosi (+),
krusta (+)
Tanda Nikolsky (+) Tanda Nikolsky (-) Tanda Nikolsky (-)
Predileksi: kulit kepala, Predileksi: medial paha, Predileksi: punggung,
wajah, dada, aksila, selangkangan, perut; daerah sakrum, bokong,
selangkangan, umbilikus lengan; kaki bagian bawah lengan atas, sekitar siku,
26

dan lutut
A Pemfigus Vulgaris Pemfigoid Bulosa Dermatitis Herpetiformis
P Kortikosteroid Kortikosteroid D.D.S
D.D.S D.D.S

J. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Wolff and Johnson (2009), pemeriksaan penunjang pemfigus
vulgaris meliputi:
1. Dermatopatologi
PV: mikroskop cahaya (pilih awal bula kecil atau, jika tidak ada,
pinggiran bula atau erosi atau yang besar):
a. hilangnya kohesi intraseluler pada bagian epidermis paling bawah
b. akantolisis (pemisahan keratinosit)
c. bula yang dibagi tepat di atas lapisan sel basal dan dipisahkan

2. Imunopatologi
Pewarnaan direct imunofluorescence (IF) menunjukkan simpanan
IgG dan C3 pada lesi dan paralesi kulit pada substansi interseluler
epidermis.

3. Serum
Autoantibodi (IgG) dideteksi oleh indirect IF (IIF) atau enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer biasanya berhubungan dengan
aktivitas proses penyakit. Pada autoantibodi PV ditujukan terhadap 130-
kDa glikoprotein (Dsg3) dan terletak di desmosom.

K. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi andalan pada kasus pemfigus. Pada
pasien dengan pemfigus vulgaris (PV), terdapat ketidakseimbangan yang
jelas dari perbandingan T-helper dan T-supressor, yang dipulihkan oleh
27

terapi kortikosteroid. Lesi oral pemfigus vulgaris dapat merespon sebagian


terhadap kortikosteroid topikal atau intralesi. Kortikosteroid sistemik (1-2
mg/kg/hari) merupakan terapi pada pasein dengan lesi oral. Kortikosteroid
sistemik merupakan obat yang digunakan untuk terapi PV. (Hasan et al.,
2013).
Pemberian kortikosteroid sistemik, biasanya prednison, merupakan
terapi andalan untuk pemfigus. Sebelum terapi adjuvan imunosupresif
tersedia, dosis awal prednison yang sangat tinggi (> 2,0 mg/kg/hari)
digunakan untuk pengobatan, meskipun regimen tersebut secara
retrospektif telah dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas dari terapi.
Pada banyak pasien, penyakit ini dapat dikendalikann dengan 0,5-1,0
mg/kgBB/hari dosis tunggal, terutama jika digunakan pada kombinasi
dengan adjuvan terapi imunosupresif, yang diduga mengakibatkan lebih
sedikit komplikasi dan penurunan angka kematian dibandingkan dengan
dosis regimen kortikosteroid yang tinggi. Untuk pasien yang awalnya tidak
merespon atau memburuk, membagi dosis dengan digunakan dua atau tiga
kali sehari dapat mencapai kontrol penyakit. Dosis kortikosteroid sistemik
penuh telah ditetapkan sebagai 1,5 mg/kg/hari prednison setara selama 3
minggu. Oleh karena itu, pasien dimana dosis total prednison harian
melebihi sekitar 100 mg harus dipertimbangkan untuk terapi adjuvan.
Beberapa ahli telah menyarankan mengendalikan penyakit awal dengan
meningkatkan dosis prednison (meningkat 50% setiap 1 sampai 2 minggu
sampai penyakit terkontrol atau efek samping terjadi), dengan total dosis
harian setinggi 240 mg (Payne and Stanley, 2012).
Prednison ke dosis rendah mungkin harus menjadi tujuan. Terapi
minimal adalah 10 mg sehari prednison. Meskipun tidak ada pedoman
yang ditetapkan, jika aktivitas penyakit dapat dikendalikan sepenuhnya
pada prednison dosis minimal atau lebih rendah, maka monoterapi
kortikosteroid mungkin layak tergantung pada komorbiditas pasien dan
kontraindikasi terhadap imunosupresif alternatif. Jika pasien terus kambuh
28

dengan dosis prednison 10 mg atau lebih tinggi, adjuvan imunosupresif


harus dipertimbangkan (Payne and Stanley, 2012).
Pasien dengan penyakit yang ringan diterapi dengan dosis awal
prednisolon 40-60 mg per hari dan pada kasus yang berat, 60-100 mg per
hari. Jika tida ada respon 5-7 hari, dosis harus dinaikkan 50-100%
bertahap sampai penyakit terkontrol. Setelah remisi, induksi dan
maintenance dengan penyembuhan lesi, dosis kortikosteroid dapat secara
hati-hati diturunkan. Penurunan 50% setiap 2 minggu telah disarankan
(Solanki et al., 2012).
Kortikosteroid topikal dapat digunakan sebagai monoterapi pada
penyakit yang ringan, atau sebagai terapi adjuvan untuk membantu
penyembuhan lesi baru (Payne and Stanley, 2012).
Efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang meliputi
hipertensi, osteoporosis, aterosklerosis, ulkus peptikum, aseptik nekrosis,
diabetes melitus, miopati proksimal, glaukoma, katarak (Solanki et al.,
2012; Hasan et al., 2013).

2. Adjuvan terapi
Ketika diperlukan dosis kortikosteroid lebih besar daripada dosis
minimal, atau jika ada kontraindikasi terhadap kortikosteroid oral, agen
imunosupresif lainnya digunakan untuk terapi pemfigus. Dalam banyak
kasus, regimen pengobatan sering dimulai dengan agen imunosupresif dan
prednison secara bersamaan. Penelitian prospektif acak menunjukkan
bahwa agen imunosupresif, seperti azatioprin, mikofenolatmofetil,
siklofosfamid, siklosporin, metotreksat, klorambusil, gold, dapsone
memiliki efek steroid-sparing; penelitian retrospektif menyarankan
penurunan mortalitas dengan penggunaan adjuvan ditambah steroid
dibandingkan dengan steroid saja (Payne and Stanley, 2012).

a. Azatioprin
29

Azatioprin merupakan agen imunosupresif lini pertama untuk


pemfigus. Azatioprin dimetabolisme menjadi 6-thioguanine, yang
menghasilkan DNA strand dan blok sintesis DNA. Azatioprin
merupakan prodrug, yang diubah menjadi merkaptopurin yang aktif,
thioguanine, dan metabolit thioinosine, sebagian oleh thiopurine
methyltransferase (TPTM), suatu enzim dimana levelnya dapat
bervariasi dalam masyarakat (Payne and Stanley, 2012).
Pada pasien dengan level TPMT yang normal, konsensus dosis
regimen mendefinisikan kegagalan pengobatan adalah 2,5 mg/kg/hari
selama 12 minggu. Karena pasien dengan level TPMT yang normal
juga mungkin mengalami keracunan azatioprin, maka wajar untuk
memulai semua pasien dengan dosis yang lebih rendah (misalnya, 50-
100 mg sehari) dan titrasi ke atas sampai remisi klinis, target dosis 2,5
mg/kg/hari, atau muncul efek samping yang tidak diinginkan (Payne
and Stanley, 2012).
Dosis azatioprin 2-3 mg/kgBB sampai pembersihan lengkap.
Tapering dosis hingga 1 mg/kgBB. Azatioprin sendiri dilanjutkan
bahkan setelah penghentian terapi kortikosteroid dan mungkin harus
dilanjutkan selama berbulan-bulan atau tahun (Wolff and Johnson,
2009).
Efek samping azatioprin meliputi supresi sumsum tulang,
disfungsi hati, dan peningkatan insidens keganasan. Azatioprin
dimetabolisme oleh thiopurine methyltransferase (TPMT). Aktivitas
enzim yang rendah mengakibatkan akumulasi sitotoksik metabolit
thiopurine yang meningkatkan resiko toksisitas (Hasan et al., 2013).

b. Mikofenolatmofetil
Mikofenolat mofetil juga dianggap sebagai agen imunosupresif
lini pertama untuk pemfigus. Dosisnya sekitar 30-40 mg/kg/hari dua
kali sehari (2,0-3,0 g/hari) (Payne and Stanley, 2012).
30

Mikofenolatmofetil (MMF) menghambat sintesis de-novo purin


oleh penghambat nonkompetitif inosine monophosphate dehydrogenase
(IMPDH). Limfosit sel B dan sel T yang paling terpengaruh oleh MMF
karena sel-sel ini tidak memiliki purine salvage pathway. Karena
purine salvage pathway masih, maka obat ini dapat dianggap lebih
aman dari agen imunosupresif lainnya (Solanki et al., 2012).
MMF ditoleransi dengan baik, dengan efek samping distres
gastrointestinal dan anemia, leukopenia, dan trombositopenia (Solanki
et al., 2012).

c. Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan agen alkilasi yang mengikat DNA
nonspesifik selama siklus sel. Toksisitas siklofosfamid lebih tinggi dari
azatioprin dan mikofenolatmofetil, meskipun banyak pasien tidak
mengalami efek samping yang serius, seperti ulkus mukosa, alopecia,
nefrotoksisitas, kardiotoksisitas, hepatotoksisitas. Siklofosfamid,
meskipun lebih toksik daripada azatioprin atau mikofenolatmofetil,
dianggap sangat efektif dalam mengendalikan penyakit yang berat
(Payne and Stanley, 2012; Solanki et al., 2012).
Dosis siklofosfamid 100-200 mg per hari, dengan pengurangan
dosis sampai dosis maintenance 50-100 mg/hari. Atau terapi “bolus”
siklofosfamid dengan 1000 mg IV sekali seminggu atau setiap 2
minggu di tahap awal, diikuti dengan 50-100 mg/hari sebagai
maintenance (Wolff and Johnson, 2009).

d. Siklosporin
Siklosporin merupakan agen imunosupresif dengan aktivitas anti-
limfosit sel T (Solanki et al., 2012).
Efek samping siklosporin meliputi gangguan fungsi ginjal,
hipertensi, hipertrofi gingiva, tremor, gejala gastrointestinal, disfungsi
hepar, hiperkalemia, hiperurisemia (Hasan et al., 2013).
31

e. Metotreksat
Metotreksat merupakan antimetabolit yang menekan sintesis
DNA dan RNA selama fase S dari siklus sel. Efek samping metotreksat
yang paling umum adalah hepatotoksisitas (Solanki et al., 2012).
Dosisnya antara 10-30 mg/minggu. Efek samping lainnya
meliputi mual, muntah, nyeri gastrointestinal, dan infeksi sitemik. Bisa
juga terjadi anemia megaloblastik sekunder. Hal ini karena metotreksat
berperan sebagai antagonis asam folat dengan menghambat enzim asam
folat reduktase. Oleh karena itu, direkomendasikan bahwa pasien yang
menggunakan metotreksat juga harus menggunakan 1 mg asam folat
per hari untuk mencegah terjadinya anemia (Hasan et al., 2013).

f. Klorambusil
Penelitian menunjukkan bahwa klorambusil mungkin berpotensi
sebagai terapi adjuvan pada pemfigus ketika imunosupresan lainnya
gagal (Solanki et al., 2012).

g. Golg therapy
Gold therapy untuk kasus-kasus ringan. Setelah pengujian dosis
awal 10 mg IM, 25-50 mg gold sodium thiomalate diberikan IM pada
interval mingguan sampai dosis kumulatif maksimal 1 g (Wolff and
Johnson, 2009).

h. Dapsone
Dapsone merupakan preparat sulfon dengan aktivitas anti-
inflamasi terutama terhadap leukosit polimorfonuklear. Obat ini
menghambat toksisitas neutrofil dan kemotaksis dengan memblok
aktivitas mieloperoksidase. Dapsone umumnya menyebabkan anemia
hemolitik dan methemoglobulinemia (Solanki et al., 2012).
32

Dapsone merupakan agen anti-inflamasi. Dapsone disarankan


untuk menjadi adjuvan efektif untuk kortikosteroid pada PV. Namun,
mekanisme kerja dapsone yang tepat pada pemfigus vulgaris tidak
diketahui. Dapsone menunjukkan efek antibiotik, mengganggu migrasi
kemotaktik neutrofil, menurunkan pengeluaran prostaglandin dan
leukotrien, menghambat neutrofil ke dasar membran, menghambat
generasi radikal yang toksik, dan melindungi sel dari cedera yang
dimediasi neutrofil dan eosinofil. Hal ini tidak menghentikan proses
patogenesis awal tetapi menunjukkan efek annti-inflamasi. Dosis
maintenance dapsone diperlukan untuk mempertahankan respon klinis
telah dilaporkan sekitar 100 mg per hari (Hasan et al., 2013).
Salah satu efek samping dapsone adalah anemia hemolitik. Hal ini
biasa terjadi pada pasien dengan defisiensi glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD). Efek samping lainnya, yaitu ‘sulfone
syndrome’. Sindrom ini merupakan reaksi hipersenditivitas terhadap
dapsone, ditandai dengan drug-induced hepatitis, demam, dan ruam
terjadi pada 2 bulan dari memulai obat. Efek samping lainnya adalah
methemoglobinemia, agranulositosis, dan neuropati bisa terjadi (Hasan
et al., 2013).

Sumber: Alekhya et al., 2012


Gambar 3.11: Terapi Kortikosteroid
33

Sumber: Alekhya et al., 2012


Gambar 3.12: Terapi Adjuvan

3. Terapi biologikal
34

Sumber: Alekhya et al., 2012


Gambar 3.13: Terapi Biologikal

L. Prognosis
Pemfigus merupakan suatu keadaan yang berpotensial mengancam nyawa dengan
bula kronis, mampu menyebabkan kehilangan cairan, infeksi sekunder atau sepsis,
dan pada kasus yang jarang, bisa menyebabkan kematian. Angka kematiannya
adalah sekitar 70% sebagai akibat dari sepsis. Dengan adanya kortikosteroid,
mortalitasnya sekarang 6%, dengan sebagian besar kematian disebabkan oleh
terapi steroid. Literatur memberikan pemahan yang terbatas tentang faktor
prognosis pada pemfigus, tetapi pemfigus vulgaris dilaporkan mempunyai
prognosis yang lebih buruk dari pemfigus. Pada pemfigus vulgaris, penyakit yang
terbatas lesi pada mukosa mempunyai prognosis yang lebih baik daripada
kombinasi lesi pada mukosa dan kulit (Maibach and Gorouhi, 2011)
35

BAB IV
PEMBAHASAN

Pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun yang meliputi bula dan


erosi kulit dan membran mukosa. Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan
Kulit melepuh terasa cekot-cekot, gatal, dan panas. Awalnya muncul bula pada
bagian pipi kanan 14 hari yang lalu, semakin hari bula semakin banyak menyebar
keseluruh tubuh dan pecah hingga menyebabkan kulit pasien melepuh.

Pasien pernah mengalami sakit seperti ini sejak 6 bulan yang lalu dan sudah
2x MRS. Sejak 1 bulan terakhir pasien sudah tidak kontrol ke poli kulit RSUD
Bangil karena sudah merasa enakan . pasien lupa nama obat yang biasa diminum
sebelumnya. Berikut adalah tabel penjelasan secara teori dan gambaran klinis dari
pasien:

Teori Keadaan Pasien


S Lesi dimulai di mukosa mulut; dalam pasien mengeluh kulit melepuh
36

beberapa minggu atau bulan, lesi terasa cekot-cekot, gatal, dan panas.
dapat meluas di tempat-tempat lain, Awalnya muncul bula pada bagian
seperti kulit kepala, wajah, dada, pipi kanan lalu, semakin hari bula
aksila, selangkangan, umbilikus. semakin banyak menyebar
Rasa panas dan nyeri pada erosi atau keseluruh tubuh dan pecah hingga
bula yang erosi. Gatal (±) menyebabkan kulit pasien melepuh
O Vesikel dan bula yang bulat dan oval Tampak makula eritematous,
dengan serous, lunak, mudah pecah, makula hiperpigmentasi, erosi
timbul pada kulit dan mukosa yang pada seluruh tubuh. Tampak
tampaknya normal dan eritematosa, vesikula, bula pada kepala dan
tersebar secara acak, diskret. Cairan leher.
pada bula mula-mula jernih tetapi
dapat menjadi hemoragik atau
seropurulen. Bula pecah dan
membentuk erosi. Bila sembuh, lesi
akan meninggalkan bekas yang
hiperpigmentasi.
A Pemfigus Vulgaris Pemfigus Vulgaris
P Kortikosteroid  Infus NS 14 tpm
Terapi adjuvan  Inj. Dexametason 3x1 amp
Antibiotik (bila ada infeksi sekunder)  Inj. Gentamicyn 2x80 mg
 Pehaclor 3x1 tab
 Kompres PZ
37

BAB V
KESIMPULAN

Pemfigus vulgaris (PV) merupakan penyakit autoimun yang meliputi bula


dan erosi kulit dan membran mukosa. Pemfigus merupakan penyakit autoimun.
Penyakit ini ditandai oleh produksi autoantibodi yang ditujukan terhadap
desmoglein, protein transmembran yang terletak di desmosom yang bertugas
untuk adesi sel ke sel, menyebabkan akantolisis. PV biasanya dimulai pada
mukosa mulut. Dalam beberapa minggu atau bulan, lesi dapat meluas. PV dapat
diobati dengan berbagai jenis terapi. Terapi obat saat ini meliputi terapi
kortikosteroid, terapi adjuvan, dan terapi biologikal. Terapi kortikosteroid
merupakan terapi andalan untuk pengobatan PV, namun perlu diperhatikan efek
samping penggunaannya.
38

DAFTAR PUSTAKA

Alekhya, P., Vijayakumar, S., Dharak, R. 2012. Drug treatments in develompent


for pemphigus vulgaris (PV) – a review. International Journal of
Pharmaceutical Sciences Letters 2(3): 60-65.
Bolognia, J. L., Jorizzo, J. L., and Rapini, R. P. 2004. Dermatology. Spain:
ELSEVIER.
Hasan, S., Khan, N. I., Sherwani, O. A., Bhatt, V., Srivastava, H. 2013.
Pemphigus vulgaris: an insight on conventional and emerging treatment
modalities. International Research Journal of Pharmacy 4(3): 8-12.
James, W. D. et al. 2015. Andrews’s Disease of The Skin: Clinical Dermatology,
Twelfth Edition. China: ELSEVIER. Halaman 451-455.
Kalish, R. S. 2000. Pemphigus vulgaris: the other half of the story. The Journal of
Clinical Investigation 106(12): 1433-1435.
Maibach, H. I. and Gorouhi, F. 2011. Evidence Based Dermatology, Second
Edition. USA: PMPH-USA. Halaman 261, 262.
39

Payne, A. S. and Stanley, J. R. 2012. Pemphigus. In Fitzpatrick’s Dermatology in


General Medicine, Eight Edition. Edited by Lowell A. Goldsmith, Stephen
I. Katz, Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David J. Leffell, Klaus Wolff.
New York: McGrawHill. Halaman 586-588, 590-591, 597-598.
Ruocco, V. et al. 2013. Pemphigus: etiology, pathogenesis, and inducing or
triggering factors: facts and controversies. Clinics in Dermatology 31(4):
374-81.
Scully, C. and Challacombe, S. J. 2002. Pemphigus vulgaris: update on
etiopathogenesis, oral manifestations, and management. Crit Rev Oral Biol
Med 13(5): 397-408.
Tamgadge, S. et al. 2011. Pemphigus Vulgaris. Contemporary Clinical Dentistry
2(2): 134-137
Solanki, A., Chokshi, K., and Patel, S. 2012. Review article on treatment of
pemphigus vulgaris. International Journal of Current Pharmaceutical
Research 4(4): 10-14.
Venugopal, S. S. and Murrell, D. F. 2011. Diagnosis and clinical features of
pemphigus vulgaris. Dermatology Clinics 29(3): 373-380.
Wolff, K. and Johnson, R. A. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology, Sixth Edition. New York: McGrawHill. Halaman
106-112, 116-117.
Zeina, B. et al. 2016 Pemphigus Vulgaris. Article Medscape.

Anda mungkin juga menyukai