PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn.M
No. Register : 00-35-30-79
Tempat Tanggal Lahir: Pasuruan 15 JULI 1966 (48 tahun)
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : petani
Alamat : Sukolilo – Prigen - Pasuruan
Tanggal MRS : 25 juni 2018 (pukul 12.00) Anamnesis
2. Keluhan Utama:
Gatal dan yeri seluruh tubuh
1
2
5. Riwayat Pengobatan
Selama sakit 6 bulan ini pasien kontrol ke poli kulit dan kelamin
RSUD Bangil, namun 1 bulan terakhir pasien tidak kontrol karena sudah
merasa enakan. Pasien lupa nama obat yang biasa diminum sebelumnya
6. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : cukup
GCS : 456
TV
TD : 120/80 mmHg
N : 98x/menit, reguler
RR : 20 x / menit
T : 37,0 °C
SpO2: 95%
7. Status Dermatologis
Efloresensi: tampak bula, multipel, ukuran diameter 1-2 cm, bula ada yang
sudah pecah menimbulkan erosi di atasnya ditutupi krusta warna
kecoklatan, makula hiperpigmentasi (+), Tanda Nikolski (+)
8. Foto Klinis
4
5
9. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah lengkap
6
9. Diagnosis klinis
Pemphigus vulgaris
- dermatitis herpetiformis
- pemfigoid bulosa.
11. Penatalaksanaan
Inf NS
Kompres PZ
7
Follow Up Pasien
Tgl S O A P
17/5/2018 Kulit seluruh tubuh KU: Cukup Pemfigus Infus NS 14
terasa panas dan GCS:456 vulgaris tpm
nyeri seluruh tubuh TD : 130/80 Inj.
N : 89 Dexametason
S : 36,4 3x1 amp
RR : 20x Inj.
Gentamicyn
Eflerosensi: 2x80 mg
- Kepala,leher: Pehaclor 3x1
tampak bula, tab
multipel, ukuran Kompres PZ
diameter 1-2
cm,
- generalisata
Makula
hiperemi (+),
makula
hiperpigmentasi
8
hiperpigmentasi
(+), krusta (+)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Istilah “Pemphigus” berasal dari kata Yunani pemphix (gelembung atau
bula) dan vulgaris berasal dari kata latin. Pemfigus merupakan penyakit yang
berpotensi mengancam jiwa yang dapat menyebabkan bula dan erosi pada
kulit dan membran mukosa. Pemfigus vulgaris (PV) merupakan penyakit
yang jarang, kronis, bula intraepidermal dimana sering berakibat fatal dan
awalnya dinamakan oleh Wickmann pada 1791 (Hasan et al., 2013).
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun yang meliputi bula
dan erosi kulit dan membran mukosa. Istilah pemfigus merupakan kumpulan
penyakit kulit autoimun berbula, yang menyerang kulit dan membran mukosa
yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses
akantolisis (yaitu, pemisahan sel epidermal dari yang lainnya) dan secara
imunopatologik dengan ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom
12
pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam
sirkulasi darah (Solanki et al., 2012).
Pada dasarnya, pemfigus dibagi menjadi 4 tipe utama, yaitu (1)
vulgaris, (2) foliaceus, (3) paraneoplastik, dan (4) pemfigus IgA. Pada
pemfigus vulgaris (PV), bula terjadi pada bagian terdalam dari epidermis,
tepat di atas lapisan basal (Payne and Stanley, 2012).
United States dan di tempat lain di Eropa rata-rata usia 50 dan 70 tahun.
Pemfigus jarang terjadi pada anak-anak, kecuali pada wilayah penyakit
endemik (Payne and Stanley, 2012).
C. Etiologi
Pemfigus merupakan penyakit autoimun. Mekanisme patofisiologi yang
tepat yang mendasari terjadinya penurunan imunitas masih harus dijelaskan,
namun penyakit ini ditandai oleh produksi autoantibodi yang ditujukan
terhadap desmoglein, protein transmembran yang terletak di desmosom yang
bertugas untuk adesi sel ke sel, menyebabkan akantolisis (Maibach and
Gorouhi, 2011).
Terapi penisilin pada reumatoid artritis menyebabkan pemfigus, lebih
sering tipe foliaceus. Penisilin dan captopril dapat menyebabkan akantolisis.
Dosis yang menyebabkan penyakit ini berkisar dari 250 – 1500 mg/hari, dan
obat ini biasanya digunakan selama rata-rata 13 bulan sebelum timbul
pemfigus. Obat jangka panjang, termasuk captopril, enalapril, penisilin,
tioprolin, interleukin-2 (IL-2), nifedipin, piroksikam, dan rifampisin, juga
dilaporkan dapat menyebabkan pemfigus (James et al., 2015).
Beberapa penelitian mengindikasikan predisposisi faktor terhadap
pemfigus dan hubungannya dengan penyakit autoimun lainnya. Analisis
statistik menunjukkan distribusi dari berbagai human leukocyte antigens
(HLAs). Banyak pasien dari HLA fenotip DR4 atau DR6 (James et al., 2015).
D. Faktor Pemicu
Menurut Ruocco et al. (2013), faktor pemicu atau pencetus pemfigus
adalah sebagai berikut.
1. Infeksi virus
Beberapa laporan klinis telah menunjukkan hubungan infeksi virus,
pada partikular infeksi herpesvirus, pada patogenesis PV.
2. Agen fisik
14
E. Histopatologi
Karakteristik yang ditemukan pada PV termasuk akantolisis
suprabasilar dengan bentukan bula intraepidermal. Sel akantolitik bulat dan
15
F. Patofisiologi
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun, intraepitelial, bula
yang mengenai kulit dan membran mukosa dan dimediasi oleh sirkulasi
autoantibodi ditujukan terhadap permukaan sel keratinosit (Zeina et al.,
2016).
16
Jika terjadi kerusakan pada satu atau lebih desomosomal protein, maka
perlekatan antara sel akan hilang yang akan mengakibatkan terbentuknya
vesikel atau bula yang bila pecah akan berubah menjadi erosi atau ulser. Pada
pemfigus vulgaris, terjadinya penumpukan antibodi klas IgG dan juga
kerusakan desmosom akibat antibodi tubuh bertindak melawan desmoglein 3
yaitu sel yang berfungsi untuk melekatkan antara satu sel dengan sel lain
(Scully and Challacombe, 2002).
Autoantibodi subklas dari IgG dan terdapat bukti terlibatnya
autoantibodi terhadap Dsg 3 dalam patogenesis penyakit ini. Dalam suatu
penelitian dimana serum IgG antibodi terhadap Dsg 3 yang diperoleh dari
penderita pemfigus vulgaris disuntikkan ke tikus uji yang baru lahir, terjadi
reaksi pembentukan bula seperti pada pemfigus vulgaris (Scully and
Challacombe, 2002).
Proses terjadinya akantolisis merupakan proses aktif yang lebih
kompleks dari sekadar interaksi sederhana antara antibodi dan molekul
perlekatan. Sinyal akibat perlekatan autoantibodi pemfigus vulgaris dengan
keratinosit mengaktivasi phospholipase C mengakibatkan peningkatan 1,4,5
trifosfat (IP3) dan diacylglycerol (DAG). Terjadi peningkatan kalsium
intraselular hasil pengaktifan IP3 yaitu dengan perlepasan simpanan kalsium.
Perubahan kalsium intraselular yang dirangsang oleh pemfigus vulgaris sama
seperti stimulasi sel keratosit dengan muskarinik agonists dimana pada sel
keratinosit, terdapat reseptor kolinergik fungsional yaitu dari klas nikotinik
dan muskarinik yang berfungsi merangsang perlekatan sel keratinosit.
Antagonis dari reseptor nikotinik dan muskarinik ini merangsang terjadinya
perpisahan sel dan akantolisis dalam percobaan in vitro. Peningkatan
diacylglycerol (DAG) mengaktivasi protein kinase C (PKC) dimana dsg3
akan mengalami fosforilasi oleh kinase dari PKC dan terpisah dari
plakoglobin yaitu komponen dari desmosom (Kalish, 2000).
G. Gejala Klinis
19
Lesi kulit PV
Vesikel dan bula yang bulat dan oval dengan serous, lunak (Gambar
3.4), mudah pecah, timbul pada kulit dan mukosa yang tampaknya normal
dan eritematosa, tersebar secara acak, diskret. Cairan pada bula mula-mula
jernih tetapi dapat menjadi hemoragik atau seropurulen. Bula pecah dan
membentuk erosi. Erosi yang luas yang mudah berdarah (Gambar 3.5), krusta
terutama pada kulit kepala. Ketika bula mudah pecah, hanya erosi yang
terlihat pada banyak pasien. Rasa panas dan nyeri pada erosi atau bula yang
erosi. Bila sembuh, lesi akan meninggalkan bekas yang hiperpigmentasi
(Wolff and Johnson, 2009; James et al., 2015).
Sumber: Wolff and Johnson, 2009 Sumber: Wolff and Johnson, 2009
Gambar 3.5: Pemfigus Vulgaris Gambar 3.6: Pemfigus Vulgaris
20
Tanda Nikolsky
Terlepasnya epidermis oleh penekanan jari lateral di sekitar lesi, dimana
diikuti dengan munculnya erosi. Tekanan pada bula menyebabkan pelebaran
lateral bula (Wolff and Johnson, 2009).
Tempat predileksi
Kulit kepala, wajah, dada, aksila, selangkangan, umbilikus. Pada pasien
yang terbaring di tempat tidur, terdapat perluasan ke punggung (Wolff and
Johnson, 2009).
21
Membran mukosa
Bula jarang terlihat, erosi pada mulut dan hidung, faring dan laring,
vagina (Wolff and Johnson, 2009).
H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histologi, imunofluoresensi pola
kulit perilesi, uji indirect immunofluorescence (IIF) serum, atau uji ELISA
untuk autoantibodi anti-desmoglein 1 (Dsg1) dan anti-Dsg3 (James et al.,
2015).
Menurut Venugopal and Murrell (2011), diagnosis PV dapat ditegakkan
menggunakan 4 kriteria utama, yaitu:
1. Gejala klinis
2. Mikroskop cahaya
3. Direct immunofluorescence
4. Indirect immunofluorescence
I. Diagnosis Banding
1. Pemfigoid bulosa
a. Etiologi dan patogenesis
Interaksi antibodi dengan antigen pemfigoid bulosa (BPAG1 dan
BPAG2 (kolagen tipe XVII)) pada hemidesmosom basal keratinosit
diikuti dengan aktivasi komplemen dan penarikan neutrofil dan
eosinofil (Wolff and Johnson, 2009).
b. Gejala klinis
Terjadi pada usia 60-80 tahun. Sering dimulai dengan erosi yang
prodromal (urtikaria, lesi papular) dan berkembang pada minggu
sampai bulan yang mungkin muncul tiba-tiba sebagai erosi yang
generalisata. Awalnya tidak ada gejala kecuali gatal sedang atau
berat; kemudian, nyeri dari lesi yang erosi (Wolff and Johnson,
2009).
22
Lesi kulit
Eritematosa, tipe lesi – papular atau urtikaria bisa mendahului
pembentukkan bula. Bula: besar, tegang, firm-topped, oval atau
bulat; mungkin timbul pada kulit yang normal, eritematosa, atau
urtikaria dan mengandung cairan serous atau hemoragik. Erosi
dapat lokal atau generalisata, biasanya tersebar tetapi juga
dikelompokkan pada pola arciform dan serpigenosa. Bula pecah
kurang mudah daripada pemfigus, tetapi kadang-kadang besar,
merah terang, dan erosi perdarahan menjadi masalah besar.
Biasanya, bula awalnya tegang, kemudian pecah akan terbentuk
erosi, dan berubah menjadi krusta (Wolff and Johnson, 2009).
Tempat predileksi
Aksila; medial paha, selangkangan, perut; fleksor lengan;
kaki bagian bawah (Wolff and Johnson, 2009).
Membran mukosa
Hanya di mulut (10-35%); kurang parah dan nyeri dan kurang
mudah pecah daripada pemfigus (Wolff and Johnson, 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
Dermatopatologi
Mikroskop cahaya: neutrofil pada susunan “Indian-like” di
dermal-epidermal junction; neutrofil, eosinofil, dan limfosit pada
papiler dermis; bula subepidermal (Wolff and Johnson, 2009).
Serum
Peredaran antibasement membran antibodi IgG dideteksi oleh
IIF pada 70% pasien. Autoantibodi pada pemfigoid bulosa
mengenal dua jenis antigen. BPAG1 merupakan 230-kDa
23
2. Dermatitis herpetiformis
a. Etiologi dan patogenesis
Diikuti dengan gluten-sensitivity enteropathy (GSE). GSE mungkin
berhubungan dengan simpanan IgA di kulit. Pasien memiliki
antibodi terhadap transglutaminase (TGs) yang mungkin menjadi
autoantigen utama pada penyakit ini. Autoantibodi epidermal TG
mungkin mengikat TG dalam usus dan beredar baik sendiri atau
kompleks imun atau simpanan di kulit. Dengan faktor-faktor
tambahan IgA mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif,
dengan kemotaksis berikutnya dari neutrofil yang melepaskan
enzim dan menghasilkan cedera jaringan (Wolff and Johnson,
2009).
b. Gejala klinis
Gatal, episodik; rasa terbakar pada kulit; jarang, gatal bisa tida ada.
Gejala sering mendahului timbulnya lesi kulit sekitar 8-12 jam.
24
Lesi kulit
Lesi terdiri dari papul eritematosa; vesikel kecil atasnya
keras, kadang-kadang hemoragik; bula (kadang-kadang). Lesi
tersusun dalam kelompok (karena itu disebut herpetiformis);
mengakibatkan ekskoriasis, krusta. Post inflamasi hiper- dan
hipopigmentasi pada daerah lesi yang sembuh (Wolff and Johnson,
2009).
Tempat predileksi
Area ekstensor: siku, lutut. Area bokong, skapula, dan sakral.
Di sini, sering pada model “butterfly”. Kulit kepala, wajah, dan
hairline (Wolff and Johnson, 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
Imunogenetik
Berhubungan dengan HLA-B8, HLA-DR, dan HLA-DQ
(Wolff and Johnson, 2009).
Dermatopatologi
Biopsi merupakan yang terbaik dari papul eritematosa awal.
Mikroabses (sel polimorfonuklear dan eosinofil) pada ujung papila
dermal. Infiltrasi neutrofil dan eosinofil. Vesikel subepidermal
(Wolff and Johnson, 2009).
Imunofluoresensi
Dari kulit perilesi, terbaik pada bokong. Simpanan IgA
granular pada ujung papila yang berhubungan dengan small-bowel
disease. IgA granular ditemukan pada kulit normal pada banyak
pasien dan diagnosis. Juga ditemukan C3 dan C5 dan komponen
jalur komplemen alternatif (Wolff and Johnson, 2009).
25
Peredaran antibodi
Antibodi IgA mengikat substansi intermyofibril otot polos
(antiendomysial antibodies) teradapat pada banyak pasien dan
mempunyai spesifitas terhadap TGs (Wolff and Johnson, 2009).
dan lutut
A Pemfigus Vulgaris Pemfigoid Bulosa Dermatitis Herpetiformis
P Kortikosteroid Kortikosteroid D.D.S
D.D.S D.D.S
J. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Wolff and Johnson (2009), pemeriksaan penunjang pemfigus
vulgaris meliputi:
1. Dermatopatologi
PV: mikroskop cahaya (pilih awal bula kecil atau, jika tidak ada,
pinggiran bula atau erosi atau yang besar):
a. hilangnya kohesi intraseluler pada bagian epidermis paling bawah
b. akantolisis (pemisahan keratinosit)
c. bula yang dibagi tepat di atas lapisan sel basal dan dipisahkan
2. Imunopatologi
Pewarnaan direct imunofluorescence (IF) menunjukkan simpanan
IgG dan C3 pada lesi dan paralesi kulit pada substansi interseluler
epidermis.
3. Serum
Autoantibodi (IgG) dideteksi oleh indirect IF (IIF) atau enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer biasanya berhubungan dengan
aktivitas proses penyakit. Pada autoantibodi PV ditujukan terhadap 130-
kDa glikoprotein (Dsg3) dan terletak di desmosom.
K. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi andalan pada kasus pemfigus. Pada
pasien dengan pemfigus vulgaris (PV), terdapat ketidakseimbangan yang
jelas dari perbandingan T-helper dan T-supressor, yang dipulihkan oleh
27
2. Adjuvan terapi
Ketika diperlukan dosis kortikosteroid lebih besar daripada dosis
minimal, atau jika ada kontraindikasi terhadap kortikosteroid oral, agen
imunosupresif lainnya digunakan untuk terapi pemfigus. Dalam banyak
kasus, regimen pengobatan sering dimulai dengan agen imunosupresif dan
prednison secara bersamaan. Penelitian prospektif acak menunjukkan
bahwa agen imunosupresif, seperti azatioprin, mikofenolatmofetil,
siklofosfamid, siklosporin, metotreksat, klorambusil, gold, dapsone
memiliki efek steroid-sparing; penelitian retrospektif menyarankan
penurunan mortalitas dengan penggunaan adjuvan ditambah steroid
dibandingkan dengan steroid saja (Payne and Stanley, 2012).
a. Azatioprin
29
b. Mikofenolatmofetil
Mikofenolat mofetil juga dianggap sebagai agen imunosupresif
lini pertama untuk pemfigus. Dosisnya sekitar 30-40 mg/kg/hari dua
kali sehari (2,0-3,0 g/hari) (Payne and Stanley, 2012).
30
c. Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan agen alkilasi yang mengikat DNA
nonspesifik selama siklus sel. Toksisitas siklofosfamid lebih tinggi dari
azatioprin dan mikofenolatmofetil, meskipun banyak pasien tidak
mengalami efek samping yang serius, seperti ulkus mukosa, alopecia,
nefrotoksisitas, kardiotoksisitas, hepatotoksisitas. Siklofosfamid,
meskipun lebih toksik daripada azatioprin atau mikofenolatmofetil,
dianggap sangat efektif dalam mengendalikan penyakit yang berat
(Payne and Stanley, 2012; Solanki et al., 2012).
Dosis siklofosfamid 100-200 mg per hari, dengan pengurangan
dosis sampai dosis maintenance 50-100 mg/hari. Atau terapi “bolus”
siklofosfamid dengan 1000 mg IV sekali seminggu atau setiap 2
minggu di tahap awal, diikuti dengan 50-100 mg/hari sebagai
maintenance (Wolff and Johnson, 2009).
d. Siklosporin
Siklosporin merupakan agen imunosupresif dengan aktivitas anti-
limfosit sel T (Solanki et al., 2012).
Efek samping siklosporin meliputi gangguan fungsi ginjal,
hipertensi, hipertrofi gingiva, tremor, gejala gastrointestinal, disfungsi
hepar, hiperkalemia, hiperurisemia (Hasan et al., 2013).
31
e. Metotreksat
Metotreksat merupakan antimetabolit yang menekan sintesis
DNA dan RNA selama fase S dari siklus sel. Efek samping metotreksat
yang paling umum adalah hepatotoksisitas (Solanki et al., 2012).
Dosisnya antara 10-30 mg/minggu. Efek samping lainnya
meliputi mual, muntah, nyeri gastrointestinal, dan infeksi sitemik. Bisa
juga terjadi anemia megaloblastik sekunder. Hal ini karena metotreksat
berperan sebagai antagonis asam folat dengan menghambat enzim asam
folat reduktase. Oleh karena itu, direkomendasikan bahwa pasien yang
menggunakan metotreksat juga harus menggunakan 1 mg asam folat
per hari untuk mencegah terjadinya anemia (Hasan et al., 2013).
f. Klorambusil
Penelitian menunjukkan bahwa klorambusil mungkin berpotensi
sebagai terapi adjuvan pada pemfigus ketika imunosupresan lainnya
gagal (Solanki et al., 2012).
g. Golg therapy
Gold therapy untuk kasus-kasus ringan. Setelah pengujian dosis
awal 10 mg IM, 25-50 mg gold sodium thiomalate diberikan IM pada
interval mingguan sampai dosis kumulatif maksimal 1 g (Wolff and
Johnson, 2009).
h. Dapsone
Dapsone merupakan preparat sulfon dengan aktivitas anti-
inflamasi terutama terhadap leukosit polimorfonuklear. Obat ini
menghambat toksisitas neutrofil dan kemotaksis dengan memblok
aktivitas mieloperoksidase. Dapsone umumnya menyebabkan anemia
hemolitik dan methemoglobulinemia (Solanki et al., 2012).
32
3. Terapi biologikal
34
L. Prognosis
Pemfigus merupakan suatu keadaan yang berpotensial mengancam nyawa dengan
bula kronis, mampu menyebabkan kehilangan cairan, infeksi sekunder atau sepsis,
dan pada kasus yang jarang, bisa menyebabkan kematian. Angka kematiannya
adalah sekitar 70% sebagai akibat dari sepsis. Dengan adanya kortikosteroid,
mortalitasnya sekarang 6%, dengan sebagian besar kematian disebabkan oleh
terapi steroid. Literatur memberikan pemahan yang terbatas tentang faktor
prognosis pada pemfigus, tetapi pemfigus vulgaris dilaporkan mempunyai
prognosis yang lebih buruk dari pemfigus. Pada pemfigus vulgaris, penyakit yang
terbatas lesi pada mukosa mempunyai prognosis yang lebih baik daripada
kombinasi lesi pada mukosa dan kulit (Maibach and Gorouhi, 2011)
35
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pernah mengalami sakit seperti ini sejak 6 bulan yang lalu dan sudah
2x MRS. Sejak 1 bulan terakhir pasien sudah tidak kontrol ke poli kulit RSUD
Bangil karena sudah merasa enakan . pasien lupa nama obat yang biasa diminum
sebelumnya. Berikut adalah tabel penjelasan secara teori dan gambaran klinis dari
pasien:
beberapa minggu atau bulan, lesi terasa cekot-cekot, gatal, dan panas.
dapat meluas di tempat-tempat lain, Awalnya muncul bula pada bagian
seperti kulit kepala, wajah, dada, pipi kanan lalu, semakin hari bula
aksila, selangkangan, umbilikus. semakin banyak menyebar
Rasa panas dan nyeri pada erosi atau keseluruh tubuh dan pecah hingga
bula yang erosi. Gatal (±) menyebabkan kulit pasien melepuh
O Vesikel dan bula yang bulat dan oval Tampak makula eritematous,
dengan serous, lunak, mudah pecah, makula hiperpigmentasi, erosi
timbul pada kulit dan mukosa yang pada seluruh tubuh. Tampak
tampaknya normal dan eritematosa, vesikula, bula pada kepala dan
tersebar secara acak, diskret. Cairan leher.
pada bula mula-mula jernih tetapi
dapat menjadi hemoragik atau
seropurulen. Bula pecah dan
membentuk erosi. Bila sembuh, lesi
akan meninggalkan bekas yang
hiperpigmentasi.
A Pemfigus Vulgaris Pemfigus Vulgaris
P Kortikosteroid Infus NS 14 tpm
Terapi adjuvan Inj. Dexametason 3x1 amp
Antibiotik (bila ada infeksi sekunder) Inj. Gentamicyn 2x80 mg
Pehaclor 3x1 tab
Kompres PZ
37
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA