PENDAHULUAN
2
faktor penguat (reinforcing factor) meliputi peran petugas kesehatan dan
dukungan aparat desa serta tokoh masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian Kurniawati (2015), terdapat beberapa faktor
yang berpengaruh terhadap pemanfaatan jamban seperti umur, pengetahuan,
pendidikan, kepemilikan jamban, dan jumlah anggota keluarga. Hasil penelitian
Baskoro (2018) menggunakan metode wawancara didapatkan faktor resiko
penyebab tidak tercapainya target ODF di Desa Bumirejo, Kecamatan Dampit
yaitu kurangnya pengetahuan, belum adanya peraturan khusus mengenai aturan
larangan BABS, masih kurangnya penyuluhan mengenai BABS dan jamban
sehat, aliran air dari PAM yang terbatas. Pada penelitian ini, aliran air tidak
menjadi hambatan dikarenakan di Desa Sukodono telah dialiri PAM yang dikelola
oleh desa.
Berdasarkan hal diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
yang berkaitan dengan “Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dalam
pemanfaatan jamban menuju deklarasi ODF (Open Defecation Free) pada kepala
keluarga di Desa Sukodono Kecamatan Dampit Kabupaten Malang”.
3
2. Mengetahui pengaruh faktor pemungkin (status ekonomi dan kepemilikan
jamban) dengan perilaku pemanfaatan jamban menuju deklarasi ODF
kepala keluarga di Desa Sukodono Kecamatan Dampit Kabupaten Malang.
3. Mengetahui pengaruh faktor penguat ( peran petugas kesehatan dan
dukungan aparat desa serta tokoh masyarakat) dengan perilaku
pemanfaatan jamban menuju deklarasi ODF kepala keluarga di Desa
Sukodono Kecamatan Dampit Kabupaten Malang.
4. Mengetahui perilaku pemanfaatan jamban menuju deklarasi ODF kepala
keluarga di Desa Sukodono Kecamatan Dampit Kabupaten Malang.
5. Mengetahui faktor dominan yang berpengaruh terhadap perilaku
pemanfaatan jamban menuju deklarasi ODF kepala keluarga di Desa
Sukodono Kecamatan Dampit Kabupaten Malang.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
dianggap dapat mempengaruhi individu dalam keluarga yang bermasalah dan
sebagai penentu pengambilan keputusan sehingga perilaku kepala keluarga
merupakan contoh perilaku yang nantinya akan diikuti atau ditiru oleh anggota
keluarga yang lain (Andreas, 2104).
Friedman (1981) dalam Andreas (2014) berpendapat keluarga memiliki
tugas dalam bidang kesehatan antara lain:
1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarganya
Secara tidak langsung, perubahan kecil dari tiap anggota keluarga menjadi
tanggung jawab keluarga. Oleh karena itu kepala keluarga hendaknya
memperhatikan perubahan yang terjadi dalam keluarga.
2) Pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat untuk setiap
anggota keluarganya.
Menurut Friedman tugas ini merupakan upaya keluarga dalam mencari
pertolongan yang tepat, dengan pertimbangan siapa diantara anggota keluarga
yang memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan dalam
keluarga.
Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit atau yang
tidak dapat membantu dirinya sendiri. Tugas ini dapat dilakukan dirumah
apabila keluarga dapat melakukan tindakan pertolongan pertama, diharapkan
tidak terjadi masalah yang lebih parah.
3) Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota.
4) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan dengan memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan yang ada.
Kedudukan utama setiap keluarga adalah fungsi perantara pada
masyarakat yang besar. Menurut Goode (2004) keberhasilan program pemerintah
dalam bidang kesehatan dalam masyarakat akan berhasil apabila anggotanya yaitu
tiap keluarga berhasil melaksanakan tanggung jawabnya. Sehingga peran keluarga
mampu berfungsi sebagai sarana pemecahan masalah kesehatan dan sosial yang
ada.
6
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Jamban
2.2.1 Faktor Predisposisi
2.2.1.1 Umur
Menurut Hurlock (1980) perkembangan pengetahuan manusia didasarkan
atas kematangan dan belajar. Membuang kotoran dari tubuh manusia termasuk
sistem ekskresi yang fisiologis yang sudah ada sejak manusia dilahirkan. Belajar
mengendalikan pembuangan kotoran, membedakan benar-salah dan
mengembangkan hati nurani adalah beberapa tugas pekembangan manusia sejak
masa bayi dan anak-anak. Seiring dengan bertambahnya umur maka akan
mencapai tingkat kematangan yang tinggi sesuai dengan tugas perkembangan
(Murwati, 2012).
Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin matang pula cara
berfikir seseorang tersebut, sehingga termotivasi untuk menggunakan atau
memanfaatkan jamban. Sebaliknya semakin muda umur seseorang, semakin tidak
mengerti arti pentingnya BAB di jamban sebagai salah satu upaya pencegahan
penyakit diare (Candra, 2012).
Perilaku membuang kotoran di sembarang tempat adalah perilaku salah
dan tidak sehat yang seharusnya sudah dapat diketahui dan diajarkan kepada
seseorang sejak bayi dan anak-anak. Masa usia pertengahan (40 – 60 tahun)
bertanggung jawab penuh secara sosial dan sebagai warga negara serta membantu
anak dan remaja belajar menjadi dewasa, sehingga seseorang mengetahui mana
yang benar dan mana yang salah yang akan mewujudkan perilaku yang sehat
(Murwati, 2012).
Sejalan dengan Eunike, R (2005) dalam teori Psikologi kesehatan yang
menyebutkan bahwa faktor perkembangan seperti usia dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan terhadap status kesehatannya. Hasil penelitian ini sesuai
dengan analisis psikologi yang menyebutkan bahwa warga negara yang berusia
40-60 tahun bertanggung jawab secara sosial membantu anak dan remaja menjadi
dewasa, sehingga individu-individu tersebut mengetahui cara mewujudkan
perilaku sehat.
7
2.2.1.2 Pengetahuan
A.Pengertian Jamban Sehat
Jamban diartikan sebagai suatu ruangan yang mempunyai fasilitas
pembuangan kotoran manusia, terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk
dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan
unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Depkes RI, 2009).
Pembuangan tinja ialah terkumpulnya kotoran manusia disuatu tempat
untuk menghindari penyakit yang dapat disebabkan oleh kotoran manusia
tersebut, sehingga fungsi jamban yaitu mencegah berkembangnya penyakit
(Soemardji, 1999).
Jamban merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pembangunan
jamban di setiap rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah
berkembangnya penyakit dan menjaga lingkungan menjadi bersih dan sehat.
Maka diharapkan tiap individu untuk memanfaatkan fasilitas jamban untuk buang
air besar. Manfaat yang didapat dari penggunaan jamban yaitu menjaga
lingkungan tetap bersih, nyaman dan tidak berbau (Dedi dan Ratna, 2013).
Salah satu akses sanitasi yang layak adalah jamban yang sehat. Dikatakan
akses sanitasi yang layak apabila penggunaan fasilitas tempat buang air besar
adalah milik sendiri atau milik bersama, kemudian kloset yang digunakan adalah
jenis leher angsa dan tempat pembuangan akhir tinja menggunakan tangki septic/
sarana pembuangan air limbah (SPAL). Berikut syarat jamban sehat menurut
Depkes RI (2003) dalam Tarigan (2008):
1. Tidak mencemari sumber air minum. Letak lubang penampungan kotoran
paling sedikit berjarak 10 meter dari sumur. Namun jarak ini akan menjadi
lebih jauh pada jenis tanah liat atau berkapur terkait dengan porositas
tanah, selain itu akan berbeda juga pada kondisi topografi yang
menjadikan posisi jamban diatas muka dan mengikuti aliran air tanah.
2. Tidak berbau dan tinja tidak dijamah oleh serangga maupun tikus. Untuk
itu lubang jamban harus ditutup rapat misal dengan menggunakan jamban
tipe leher angsa atau penutup lubang jamban yang rapat.
3. Air seni, air pembersih, dan air penggelontor yang digunakan untuk
menyiram tinja tidak mencemari tanah di sekitarnya. Untuk lantai jamban
8
harus cukup luas dengan luas minimal 1 X 1 meter dengan sudut
kemiringan yang cukup kearah lubang jamban.
4. Jamban mudah dibersihkan dan aman digunakan. Untuk itu harus dibuat
dari bahan bahan yang kuat dan tahan lama. Agar tidak mahal, hendaknya
bahan bahan yang digunakan adalah bahan yang ada di tempatnya.
5. Jamban dilengkapi dinding dan atap pelindung.
6. Cukup penerangan
7. Lantai kedap air
8. Luas jamban cukup atau tidak terlalu rendah
9. Ventilasi cukup baik.
10. Tersedia air, sabun dan alat pembersih. Tujuannya agar jamban tetap bersih
dan terhindar dari tinja. Pembersihan tinja dilakukan minimal 2-3 hari
sekali.
2.2.1.3 Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu pembentukan watak berupa sikap disertai
dengan kemampuan dalam ketrampilan, pengetahuan, dan kecerdasan. Di
Indonesia pendidikan formal dimulai dari SD hingga Perguruan tinggi. Semakin
tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, semakin mudah menyerap informasi
yang didapat guna menanggapi masalah yang di hadapi (Murwati, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Palneti (2001), analisa statistik
menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan
kepemilikan dan keadaan jamban keluarga (p<0,05). Hal ini disebabkan karena
rata rata masyarakat di desa yang diteliti hanya tamatan SMP, sehingga pemikiran
mereka tentang kepemilikan, pemanfaatan dan keadaan jamban masih sangat
kurang karena banyak yang tidak mengerti tentang hal itu.
Menurut Suherman (2009) ada hubungan antara pendidikan dengan
ketidakmauan menggunakan jamban pada keluarga, dimana responden yang
berpendidikan rendah memiliki resiko untuk tidak mau menggunakan jamban
pada waktu buang air besar (BAB) dibandingkan yang berpendidikan tinggi.
Sejalan dengan penelitian Erlinawati (2009) yang membuktikan bahwa
pendidikan ibu memiliki hubungan yang erat dengan perilaku keluarga terhadap
penggunaan jamban, dimana ibu dengan pendidikan tinggi memiliki peluang
untuk menggunakan jamban 17,4 kali dibandingkan dengan ibu yang
berpendidikan rendah (Erlinawati, 2009).
9
Rendahnya pendidikan menyebabkan banyak masyarakat yang tidak
mengetahui fungsi dari memanfaatkan jamban. Masyarakat yang berpendidikan
dasar / rendah yang tidak memiliki jamban dan yang sudah memiliki jamban perlu
dilakukan suatu pendekatan dan penerapan pola hidup bersih dan sehat dengan
cara door to door dari petugas kesehatan untuk memberikan pengertian terkait
perilaku BABS, pemanfaatan jamban serta menjaga kondisi rumah untuk tetap
bersih dan sehat (Widowati, 2015). Pendidikan merupakan faktor yang
berpengaruh dalam membentuk pengetahuan, sikap, persepsi, kepercayaan dan
penialaian seseorang terhadap kesehatan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi pendidikan seseorang makan semakin tinggi pula kesadarannya
untuk tetap menjaga kebersihan dan lingkungannya (Green, 2000).
2.2.1.4 Sikap
Sikap merupakan respon yang masih tertutup setelah adanya rangsang atau
stimulus, belum termasuk tindakan karena masih merupakan faktor predisposisi
dari perilaku.Sikap akan memberikan respon positif atau negatif. Sikap diri
seseorang nanti akan membentuk suatu tindakanmyang positif yaitu menerima
dan tindakan negatif yaitu menolak (Soekidjo, 2007). .
Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang
terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman sendiri ataupun dari pengalaman
orang lain. Sikap juga berasal dari orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat
mengakrabkan kita kepada sesuatu, atau menyebabkan kita menolaknya
(Notoadmodjo, 2007).
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: menerima (diartikan bahwa
subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan), merespon (memberikan
jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan
adalah suatu indikasi sikap), menghargai (mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga), dan
bertanggung jawab (bertanggung jawab atas segala suatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko merupakan sikap yang memiliki tingkatan paling tinggi)
(Notoadmodjo, 2003).
Sikap berbeda dengan tindakan, sikap merupakan reaksi tertutup, belum
reaksi terbuka. Karena sikap merupakan kesiapan untuk menghadapi suatu objek
10
tertentu. Maka dari itu sikap masih merupakan faktor predisposisi tindakan suatu
perilaku. Hasil penelitian Erlinawati, 2009 menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara sikap ibu dengan penggunaan jamban (OR= 8,5). Artinya sikap
ibu yang positif terhadap jamban mempunyai peluang 8.5 kali menggunakan
jamban jika dibandingkan dengan sikap ibu yang negatif. Suherman menyebutkan
bahwa hubungan sikap kepala keluarga (KK) terhadap ketidakmauan
menggunakan jamban diperoleh hasil yaitu Kepala Keluarga yang memiliki sifat
positif menggunakan jamban jauh lebih banyak (57,85%) dibanding sikap negatif
tidak mau menggunakan jamban (37,98%) (Erlinawati, 2009).
11
Penelitian menyebutkan kepemilikan jamban erat kaitannya dengan
perilaku keluarga terhadap pemanfaatan jamban, artinya keluarga yang memiliki
jamban berpeluang 27 kali untuk memanfaatkan jamban sebagai tempat buang air
besar dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki jamban (Erlinawati,
2009).
Masyarakat yang tidak memiliki jamban pribadi, mereka menggunakan
sarana jamban umum untuk kebutuhan buang air besar (BAB) atau menumpang
ke saudara dan tetangga untuk BAB. Jamban umum yang paling banyak
ditemukan adalah jamban cemplung yang terletak di tepi - tepi laut, dimana
kotoran langsung dibuang ke laut tanpa menggunakan saptictank, jamban
cemplung tidak memiliki tempat penampungan air. Sehingga masyarakat yang
hendak buang air besar mau tidak mau harus membawa air penggelontor dari
rumah untuk membasuh tinja setelah BAB tetapi tidak dapat digunakan untuk
membersihkan lantai sekitas jamban yang kotor dan tidak terdapat alat pembersih
jamban. Karena jamban yang digunakan adalah jamban umum, maka tidak ada
masyarakat yang bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan jamban tersebut.
Ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya memiliki jamban belum
disadari oleh sebagian besar masyarakat. Padahal dengan adanya jamban maka
kebersihan rumah akan lebih terjaga sehingga meningkatkan kualitas kesehatan
penghuninya. Selain itu dengan adanya jamban maka akan menambah nilai
estetika dari rumah itu sendiri (Iksan,dkk; 2012). Hal ini seperti yang utarakan
Soemardji (1999) dengan jamban, maka tinja yang dikeluarkan oleh manusia
tidak menimbulkan bau, pandangan yang tidak sedap dan mencegah kemungkinan
terjadi bahaya terhadap kesehatan dan bahaya penyebaran penyakit akibat tinja
(Soemardji, 1999).
12
bermakna antara pembinaan penggunaan jamban oleh petugas puskesmas dengan
perilaku keluarga terhadap penggunaan jamban. Hal ini menunjukkan keluarga
mendapatkan pembinaan dari petugas kesehatan memiliki peluang menggunakan
jamban sebesar 4,5 kali dibandingkan dengan keluarga yang tidak mendapatkan
pembinaan.
Menurut I Nengah Darsana (2012) hal-hal yang dibutuhkan dalam peran
petugas kesehatan adalah pemberian motivasi/dorongan, bimbingan teknis,
penggerakan, pemberdayaan serta penyuluhan dari petugas puskesmas dibantu
oleh kader kesehatan yang diharapkan petugas kesehatan dapat memberdayakan
masyarakat dengan cara menumbuhkan serta meningkatkan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan individu, keluarga dan masyarakat untuk mencegah
penyakit yang diharapkan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat sehingga
terciptanya lingkungan sehat serta aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya
kesehatan.
Peran petugas kesehatan yang dapat dilakukan menurut Kurniawati (2015)
berupa penyuluhan, pencarian masalah dan dorongan mengenai pemanfaatan
jamban, pengamatan ke tiap rumah dalam setahun terakhir serta penjelasan
penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari perilaku tidak memanfaatkan jamban.
13
masyarakat. Tokoh masyarakat merupakan panutan bagi masyarakat di sekitarnya,
sehingga peran tokoh masyarakat sangat diharapkan dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan.
Jenis dukungan dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu berupa pemberian
penyuluhan atau informasi mengenai jamban sehat dan dilanjutkan dukungan
berupa bantuan jamban di lingkungan tempat tinggal responden (Erlinawati,
2009).
Destiya (2015) berpendapat terdapat 4 jenis dukungan tokoh masyarakat
yaitu diantaranya adalah aparat desa dan tokoh masyarakat (kepala desa, ketua
RT/RW) serta tokoh agama berkoordinasi dengan tiap kepala keluarga untuk ikut
berpartisipasi memanfaatkan jamban, memiliki program pemberdayaan
masyarakat, ikut berperan dalam penyuluhan mengenai jamban sehat, serta
memberikan bantuan yang bertujuan untuk menggunakan dan memanfaatkan
jamban.
14
(ODF) diharapkan angka buang air besar di sembarang tempat dapat menurun
atau bahkan tidak ada lagi (Sholikhah, 2012).
Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010
dan hasil penelitian bersama antara United Nations International Children’s
Emergency Fund (UNICEF) terdapat 1,1 miliar orang atau 17% dari populasi
dunia masih buang air besar di daerah terbuka. Di Indonesia, terdapat 19,9%
rumah tangga yang melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS).
Sedangkan di Jawa Timur sebesar 39,4% rumah tangga melakukan BABS yang
menjadikan lahan terbuka sebagai tempat pembuangn tinja seperti kolam atau
sawah, sungai atau danau, lubang tanah, pantai atau kebun (Indonesia Urban
Water, Sanitation and Hygine, 2016).
Di Jawa Timur sebanyak 288 desa telah dinyatakan ODF yaitu Kabupaten
Magetan 42 desa, Bangkalan 30 desa, Pacitan 28 desa, Trenggalek 27 desa,
Ponorogo 25 desa, Nganjuk 18 desa, Sampang 14 desa, Kediri 12 desa,
Bojonegoro 10 desa, Gresik 10 desa, Jombang 8 desa, Pamekasan 8 desa,
Sumenep 8 desa, Probolinggo 7 desa, Lamongan 6 desa, Madiun 4 desa, Pasuruan
3 desa, Malang 3 desa, Jember 2 desa, Ngawi 2 desa, Tulungagung 2 desa. Lokasi
yang telah ODF akan mendorong lokasi lain untuk ikut menuju ODF pula. Pada
tahun 2010 di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 8 desa sudah ODF dan pada tahun
2011 meningkat menjadi 10 desa. Hal ini menggambarkan angka kesadaran
masyarakat dalam hal sanitasi lingkungan sudah baik, namun masyarakat masih
ada yang berperilaku buang air besar di luar jamban (Sholikhah, 2012).
Berdasarkan wawancara dengan petugas balai desa Sukodono, letak desa
Sukodono yang di daerah hulu apabila ada pencemaran di desa tersebut, maka
akan berpengaruh ke daerah hilir dari aliran sungainya. Selain itu,jumlah BABS
yang tinggi kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat perekonomian warga yang
rendah dan banyak warga yang hanya bekerja sebagai buruh lepas sehingga
ketidakmapuan dalam penyedian jamban sehat.
15
secara emosional dalam lingkup peraturan, peranan, struktur kekuasaan, bentuk
komunikasi, tatacara negoisasi serta tata cara penyelesaian masalah yang
disepakati bersama, sehingga memungkinkan pelbagai tugas dapt diselenggarakan
secara lebih efektif dan efisien (Azrul, 2002).
Menurut Kartono (2008) pengertian dari kepala keluarga adalah sebagai
berikut:
1) Kepala keluarga dikatakan suami, untuk istri dan anak anak, anak tiri, anak
angkat dan anak anak lainnya yang belum cukup umur dan merupakan
keluarga sedarah atau semenda dari si suami.
2) Kepala keluarga wanita dewasa yaitu wanita yang tidak (lagi) bersuami atau
disebut janda,untuk anak anak, anak tiri, anak angkat, dan anak anak lainnya
yang belum cukup umur dan merupakan keluarga sedarah atau semenda dari
bekas suaminya.
3) Lelaki atau wanita, yang meskipun belum cukup umur, tetapi sudah memiliki
pendapatan sendiri, atau dapat membuktikan bahwa kehidupannya tidak
ditanggung oleh orang tuanya.
4) Lelaki atau wanita yang sudah (penah) kawin, juga dalam hal umur mereka
kurang dari dua puluh satu tahun.
Peran kepala keluarga adalah pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan
pemberi rasa aman bagi keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya dan
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya (Riwidikodo, 2008).
Menurut Friedman (1981) dalam Andreas (2014) keluarga memiliki tugas
dalam bidang kesehatan antara lain:
1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarganya
Secara tidak langsung, perubahan kecil dari tiap anggota keluarga menjadi
tanggung jawab keluarga. Oleh karena itu kepala keluarga hendaknya
memperhatikan perubahan yang terjadi dalam keluarga.
2) Pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat untuk setiap
anggota keluarganya.
Tugas ini merupakan upaya keluarga dalam mencari pertolongan yang
tepat, dengan pertimbangan siapa diantara anggota keluarga yang memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan dalam keluarga.
3) Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit atau yang tidak
dapat membantu dirinya sendiri.
Tugas ini dapat dilakukan dirumah apabila keluarga dapat melakukan
tindakan pertolongan pertama, diharapkan tidak terjadi masalah yang lebih
parah.
16
4) Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota.
5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan dengan memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan yang ada.
17
2.5.3 Wilayah Kerja Puskesmas Dampit terdiri dari:
Desa/kelurahan : 5 desa/ 1 kelurahan
Dukuh : 24 dukuh
RK/RW : 52 RK/RW
RT : 386 RT
KK : 18.186 KK
GAKIN : 3.223 KK
NON GAKIN : 14.476 KK
Rumah : 16.202 rumah
Posyandu : 62 posyandu aktif, yang terdiri dari posyandu;
- Pratama : -
- Madya : 20
- Purnama : 42
- Mandiri : -
2.5.4 Karakteristik Daerah
Wilayah kerja Puskesmas Dampit termasuk kec Dampit merupakan
wilayah perkebunan kopi dan merupakan daerah pegunungan pedesaan
dengan berbagai permasalahan.
Sebagian besar penduduk berpenghasilan sebagai petani tanaman
perkebunan seperti kopi, cengkih, jagung dan sebagian kecil pedagang,
maupun TKI di luar negeri (Puskesmas Dampit, 2017).
18
Puskesmas ke :
Kantor Kabupaten Malang : 36 km
Dinas Kesehatan di Kepanjen : 22 km
RS Saiful Anwar : 37 km
RSUD Kepanjen : 21 km
2.5.5 Demografis
a. Jumlah penduduk kecamatan Dampit : 67.438 jiwa
terdiri dari laki-laki : 33.995 jiwa
perempuan : 33.443 jiwa
(jumlah penduduk berdasarkan Proyeksi Penduduk Jawa Timur Per
Kabupaten/Kota 2010 – 2020, umpan balik dari Dinas Kesehatan Ka bupaten
Malang).
b. Pertumbuhan penduduk berkisar antara 3,27 % s/d 4.66 % dengan rata-rata
pertumbuhan penduduk kec . Dampit adalah 3,52 %, merupakan daerah
urban.
c. Jumlah penduduk menurut golongan umur
Penduduk usia 15 - 59 th : 42.639 jiwa
usia < 15 th : 20.366 jiwa
usia > 59 th : 4.433 jiwa
2.5.6 Data Sarana
a. Sarana pendidikan
TK : 31 buah; SD : 32 buah; SLTP : 17 buah; SLTA : 7 buah dan Pondok
Pesantren : 5 buah.
b. Sarana ibadah
Langgar/Musholla :312
Masjid : 27
Gereja : 10
c. Kantor dinas/kantor lain
Kantor dinas yang vital antara lain kantor Kecamatan, Kapolsek, Koramil,
maupun kantor-kantor dinas yang lain atau kantor-kantor swasta serta bank-
bank hampir menyeluruh ada di Kel. Dampit yang merupakan wilayah kerja
puskesmas Dampit
2.5.7 Data Khusus
19
Sarana upaya kesehatan
- Puskesmas induk : 1 buah
- Puskesmas pembantu : 2 buah ( Srimulyo, Sukodono)
- Polindes : 6 buah (Polaman, Amadanom,
Bumirejo, Srimulyo, Baturetno dan Sukodono)
- Posyandu : Aktif 62 posyandu.
- Dokter praktek swasta : 8 orang
- dokter umum : 5 orang
- dokter spesialis : 0 orang
- dokter gigi : 3 orang
- Bidan praktek swasta : 5 orang
- BP swasta : 5 buah
- Rumah Bersalin : 1 buah
- Apotik : 5 buah
- Toko obat : - buah
- Pengobat tradisional/jamu : 29 orang
- Kader terlatih/terbina dari masyarakat.
- Dukun bayi terlatih : 16 orang
- Kader posyandu aktif : 300 orang.
2.5.8 Program Kesehatan Lingkungan (Kesling)
Program Kesling yang ada di Puskesmas Dampit tahun 2018 antara lain,
penyehatan air, penyehatan makanan dan minuman, penyehatan perumahan dan
sanitasi dasar, pembinaan tempat-tempat umum, klinik sanitasi, dan sanitasi total
berbasis masyarakat (STBM) (Data Profil Puskesmas Dampit, 2018).
20
Stuktur wilayah desa ini terbagi dalam kedalam 5 (lima) dusun yakni
Dusun Sawur, Dusun Kampung Teh, Dusun Wonosari, Dusun Wonorejo dan
Dusun Petung Sigar, yang terbagi menjadi 5 (lima) Rukun Warga (RW) dan 42
(empat puluh dua) Rukun Tetangga (RT) ditambah 10 (sepuluh) Rukun Tetangga
Pengembangan.
Dilihat dari topografi desa, desa sukodono terletak di ketinggian 400 – 600
m diatas permukaan laut, dan merupakan daerah yang sangat subur dengan curah
hujan yang cukup tinggi karena berada diantara laut selatan dan pegunungan
kendeng.
Kondisi perekonomian di desa ini sebagian besar merupakan daerah
pertanian terutama pertanian lahan kering atau perkebunan yang mencapai luas
1.051. ha atau 56,39 %, dengan komoditas kopi, salak pondoh, pisang mas dan
pisang lainnya, cengkeh, kelapa dan beberapa jenis tanaman lain yang berjumlah
sangat kecil. Sawah ada di desa ini tetapi dalam luas yang sangat kecil berkisar
antara 5,4 ha.
Keberadaan pengembangan perkebunan di desa ini selain karena kondisii
geografis juga karena faktor sejarah semasa kolonial belanda, desa ini merupakan
daerah perkebunan seperti perkebunan teh serta karet dan kopi sehingga jejak
rekam perkebunan di desa ini juga bisa dilihat dari nama-nama kampung di desa
ini seperti kampung teh, sawur yang konon berasal dari tempat menabur
pembenihan, bedengan yang sekarang bernama wonorejo yang konon merupakan
tempat penyemaian bibit atau pembesaran bibit untuk perkebunan (Profil Desa
Sukodono, 2017).
21
Gambar 2.2 Peta Wilayah Desa Sukodono
2.6.2 Demografi
Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa Sukodono tahun 2017,
jumlah penduduk Desa Sukodono adalah 10.305 jiwa dengan jumlah laki-laki
sebanyak 5.146 jiwa dan perempuan sebanyak 5.159 jiwa. Jumlah penduduk
demikian ini tergabung dalam 2610 KK (Profil Desa Sukodono, 2017).
2.6.3 Pekerjaan
Berdasarkan mata pencaharian usia kerja hampir 90% terdiri dari petani
dan buruh tani, pedagang sekitar 3%, selebihnya menekuni berbagai profesi
berbagai profesi seperti guru, sopir, tukang, TNI/Polri, dll.
Untuk meningkatkan derajat perekonomian terutama di bidang pertanian
berbagai program juga dilaksanakan di desa ini seperti : kelompok tani yang
terdiri dari 9 kelompok tani dan 1 asosiasi pisang mas.
Dibidang peternakan sebagian warga juga mengembangkan ternak
terutama sapi dan kambing dalam skala kecil dan juga mulai ada yang
mengembangkan peternakan susu kambing yaitu yang ada di dusun
wonosari.Dibidang perikanan sebagian kecil warga desa ini juga mengembangkan
perikanan air tawar terutama budidaya lele dan nila.
Berbagai industri rumah tangga juga tumbuh di desa ini seperti kerajinan
mebeler, kerajinan alumunium, industri beton /cor, industri makanan ringan,
seperti krupuk, kripik, jenang salak, dll. Menyadari atau melihat adanya potensi
diberbagai bidang ekonomi maka, desa ini sesunggunya, maka desa ini sangat
mungkin untuk terus dikembangkan menjadi desa dengan tingkat perekonomian
yang lebih baik, tentu hal ini membutuhkan komitmen dan perhatian dari semua
pihak (Profil Desa Sukodono, 2017).
2.6.4 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan Desa Sukodono bermacam-macam, mulai dari tamat
SD sampai sarjana. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat
dilihat pada tabel berikut:
22
Tabel 2.1 Tingkat Pendidikan Desa Sukodono
Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah
(orang) (orang) (orang)
Tamat SD/sederajat 400 447 847
Tamat SMP/sederajat 220 160 380
Tamat SMA/sederajat 30 50 80
Tamat D-1/sederajat 3 4 7
Tamat S-1/sederajat 7 8 15
Jumlah Total 660 669 1.329
Sumber: Profil Desa Sukodono, 2017
23
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
Perilaku Masyarakat
Faktor Perilaku
Perilaku khusus individu/ kelompok dan
kepala keluarga
24
Status Kesehatan
Perilaku KK dalam pemanfaatan
jamban
Keterangan:
Teori L.W Green mengenai masalah kesehatan dapat diteliti dengan
mempertimbangkan faktor perilaku dan non perilaku yang berhubungan dengan terjadinya
masalah kesehatan. Selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu faktor
predisposisi, faktor penguat, dan faktor pemungkin.
Faktor Predisposisi (Predisposising Factor) merupakan faktor dasar yang ada
dalam diri individu atau kelompok yang dapat mempermudah atau menghalangi individu
atau kelompok tersebut untuk berubah, yang masuk dalam faktor ini adalah jumlah anggota
keluarga, jenis kelamin, kepercayaan, umur, pengetahuan, sikap,dan pendidikan.
Faktor Pemungkin (Enabling Factor) merupakan faktor keberhasilan atau
penghalang perubahan perilaku, yang masuk dalam faktor ini adalah pekerjaan, status
ekonomi, kepemilikan jamban, ketersediaan pelayanan kesehatan, dan ketersediaan air
bersih.
Faktor Penguat (Reinforcing Factor), merupakan faktor yang dapat memberikan
rangsangan atau dukungan terhadap terjadianya suatu perubahan perilaku dan faktor ini
cukup berperan dalam masyarakat. Terwujud dalam dukungan keluarga, dukungan aparat
dan tokoh masyarakat, peran petugas kesehatan (Notoadmodjo, 2003).
Dari faktor predisposisi, pemungkin dan penguat dapat menentukan perilaku dari
individu, kelompok, maupun kepala keluarga sehingga akan berpengaruh dalam status
kesehatan (Notoadmodjo, 2003).
25
3.2. Kerangka Konsep
Faktor Predisposisi :
Umur
Pengetahuan
Pendidikan
Sikap
Faktor Penguat:
Peran petugas Kesehatan
Dukungan aparat desa dan
tokoh masyarakat
26
deklarasi ODF pada kepala keluarga di Desa Sukodono Kecamatan
Dampit Kabupaten Malang.
H1: Terdapat pengaruh antara faktor predisposisi (umur, pengetahuan,
pendidikan,dan sikap) dengan perilaku pemanfaatan jamban menuju
deklarasi ODF pada kepala keluarga di Desa Sukodono Kecamatan
Dampit Kabupaten Malang.
H0: Tidak terdapat pengaruh faktor pemungkin (status ekonomi dan
kepemilikan jamban) dengan perilaku pemanfaatan jamban menuju
deklarasi ODF kepala keluarga di Desa Sukodono Kecamatan Dampit
Kabupaten Malang.
H1: Terdapat pengaruh faktor pemungkin (status ekonomi dan kepemilikan
jamban) dengan perilaku pemanfaatan jamban menuju deklarasi ODF
kepala keluarga di Desa Sukodono Kecamatan Dampit Kabupaten Malang.
H0: Tidak terdapat pengaruh faktor penguat ( peran petugas kesehatan dan
dukungan aparat desa serta tokoh masyarakat) dengan perilaku
pemanfaatan jamban menuju deklarasi ODF kepala keluarga di Desa
Sukodono Kecamatan Dampit Kabupaten Malang.
H1: Terdapat pengaruh faktor penguat ( peran petugas kesehatan dan dukungan
aparat desa serta tokoh masyarakat) dengan perilaku pemanfaatan jamban
menuju deklarasi ODF kepala keluarga di Desa Sukodono Kecamatan
Dampit Kabupaten Malang.
27
2. Pengetahuan, merupakan aspek paling penting yang harus dimiliki
sebelum melakukan tindakan memanfaatkan jamban.
3. Pendidikan, semakin tinggi pendidikan maka semakin mudah menyerap
informasi yang didapat guna menanggapi masalah kesehatan yang di
hadapi.
4. Sikap, merupakan respon yang masih tertutup. Sikap akan memberikan
respon positif atau negatif dalam pemanfaatkan jamban.
5. Status ekonomi, merupakan pendapatan yang diperoleh oleh kepala
keluarga dalam satu bulan. Semakin tinggi status ekonomi suatu keluarga
maka semakin mudah seseorang untuk merubah perilakunya dalam
pemanfaatan jamban.
6. Kepemilikan jamban, ketersediaan jamban sebagai salah satu fasilitas
memungkinkan dalam memanfaatkan jamban.
7. Peran petugas kesehatan, merupakan faktor pendukung yang memiliki
kewenangan dalam memberikan arahan mengenai kesehatan lingkungan
kepada keluarga sebagai satuan unit terkecil.
8. Dukungan aparat desa dan tokoh masyarakat, merupakan faktor
pendukung yang kuat dan sangat berpengaruh serta dianggap penting oleh
masyarakat.
28
(Andreas, 2014)
Variabel Bebas
Faktor Predisposisi
2 Umur Usia responden (dinyatakan Kuesioner 1.≥ 40 tahun Nominal
dalam tahun) pada saat Linda, 2015 2. < 40 tahun
diwawancara, berdasarkan (Hurlock,1980)
KTP atau KK (Arito,2011).
29
9 Dukungan Pernyataan responden tentang Kuesioner 1 Mendukung Nominal
aparat desa ada tidaknya dukungan dari dengan skor: jika skor ≥ 2
dan tokoh aparat desa dan tokoh Ya:1 2 Tidak
masyarakat masyarakat. Tidak:0 mendukung
(Eunike R. Rustiana, 2005). jika skor< 2
(Saifuddin Azwar,
2008)
BAB IV
METODE PENELITIAN
30
Populasi adalah sekelompok subyek yang memiliki kuantitas dan
karakteristik tertentu (Sudarso, 2007).Populasi yang dipilih pada penelitian ini
adalah kepala keluarga (KK) di Desa Sukodono, Kecamatan Dampit. Populasi KK
di Desa Sukodono banyak 2.626 KK.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari subyek penelitian yang dipilih dengan sampling
tertentu untuk mewakili (representative) (Sudarso, 2007). Populasi penelitian
2.626 KK dengan memilih koefisien kepercayaan 95% yang akan selalu
memberikan jumlah subjek penelitian yang cukup (Lemeshow et al., 1990).
Dikarenakan besarnya populasi diketahui atau (finite), maka digunakan rumus
ukuran sampel untuk menaksir sebuah populasi. Sampel dalam penelitian ini
adalah KK Desa Sukodono yang merupakan seorang ayah jika dalam keluarga
tersebut terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Atau ibu, jika statusnya janda atau ayah
sedang berada di luar rumah karena perkejaan. Jumlah sampel yang didapatkan
berjumlah 96 KK, jumlah tersebut diperoleh menggunakan rumus Slovin sebagai
berikut:
Keterangan :
n : Besar sampel
N : Jumlah Populasi
d : Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,1)
31
Cluster sampling digunakan untuk menentukan sampel dalam objek yang akan
diteliti atau sumber data sangat luas (Sugiyono,2013).
Ni
ni = N .n
Keterangan:
ni : jumlah sampel menurut area
Ni : jumlah populasi di masing-masing Dusun
N : jumlah populasi di Desa Sukodono
n : jumlah sampel seluruhnya
Sampel yang didapatkan setiap dusun yang diperoleh dengan rumus diatas
adalah sebagai berikut:
32
4.4.1. Data Primer
Data primer adalah data yang secara langsung diambil dari objek peneliti
perorangan atau organisasi. Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari hasil
pengukuran secara langsung kepada responden yang berada disekitar bantaran
sungai secara door to door dengan bantuan kader setiap dusun melalui pembagian
kuisoner yang berisi yaitu identitas (umur, jenis kelamin, pendidikan, status
ekonomi, pekerjaan,dan kepemilikan jamban), pengetahuan, sikap, peran petugas
kesehatan, dukungan aparat desa dan tokoh masyarakat, dan perilaku dalam
pemanfaatan jamban .
4.4.1.1 Tahapan Enumerator
Tahapan Enumerator pada kader meliputi :
1. Perizinan dan persiapan kader
2. Pemaparan dan penentuan lokasi wilayah tempat penelitian yang terdiri dari
lima dusun, diantaranya Dusun Sawur, Dusun Kampung Teh, Dusun Wonosari,
Dusun Wonorejo, dan Dusun Petungsigar
3. Pembagian wilayah kader berdasarkan tanggungjawab kader terhadap dusun.
Dusun Sawur dipegang oleh 2 kader, Dusun kampung teh ada 6 kader, Dusun
Wonosari ada 4 kader, Dusun Wonorejo ada 2 kader, Dusun Petungsigar ada 2
kader
4. Penjelasan isi materi atau konten kuisioner kepada kader
5. Pengumpulan kuisioner oleh masing-masing kader
33
pekerjaan,dan kepemilikan jamban), pengetahuan, sikap, peran petugas kesehatan,
dukungan aparat desa serta tokoh masyarakat, dan perilaku dalam pemanfaatan
jamban .
Keterangan :
r = koefisien korelasi
x = skor objek pada item nomor 1
y = skor total subjek
xy = skor pertanyaan nomor 1 dikalikan total skor
Validitas instrumen dengan teknik ini untuk melihat nilai korelasi antara
skor masing-masing variabel dengan skor totalnya, sehingga r hitung (nilai
Pearson Correlation) > r tabel (0.361), maka item kuesioner adalah valid dan
sebaliknya.
Keputusan Uji :
Bila r hitung > r tabel : pertanyaan valid.
Bila r hitung < r tabel : pertanyaan tidak valid.
34
Pengetahuan A1-A8 0,367 - 0,754 0.361 Valid
Sikap B1-B6 0,651 - 0,784 0.361 Valid
Dukungan C1-C4 0,864 - 0,930 0.361 Valid
aparat dan
tokoh
masyarakat
Peran Petugas D1-D4 0, 851 - 0,938 0.361 Valid
kesehatan
Perilaku E1-E6 0,724 - 0,747 0.361 Valid
Pemanfaatan
Jamban
Keterangan :
r : Reliabilitas instrumen
K : Banyaknya item pertanyaan
: Jumlah variabel butir
35
: Variabel total
Penilaian reliabilitas instrumen, bila Alpha > 0,6, maka item kuesioner
reliabel dan sebaliknya.
36
dalam pemanfaatan jamban) dengan variabel bebas (umur, pengetahuan, sikap,
pendidikan, status ekonomi, kepemilikan jamban, peranan petugas kesehatan, dan
dukungan aparat desa dan tokoh masyarakat). Analisa ini digunakan untuk
mengetahui hubungan antara perilaku dalam pemanfaatan jamban dengan faktor
yang mempengaruhinya. Setelah data terkumpul dilakukan tabulasi data dalam
bentuk tabel dan dikelompokkan. Jawaban setiap pertanyaan akan diberi skor.
37
4.7. Diagram Alur Penelitian
Memilih Masalah
(Buang Air Besar Sembarangan)
Studi Pendahuluan
(Landasan Teori)
Merumuskan Masalah
(Perilaku dalam Pemanfaatan Jamban )
Hipotesis
Menetapkan Metode
Desain penelitian: observasional analitik dengan pendekatan
cross sectional
Tempat dan waktu : Desa Sukodono (terdiri dari 5 dusun) dan
Juli sampai Agustus 2018
Populasi : 2.626 KK (Data umum desa Sukodono, 2017)
Sampel : 96 KK (rumus Sloving)
Pengumpulan Data
38
Analisis Data
Menarik Kesimpulan
BAB V
HASIL PENELITIAN
96 100
Berdasarkan tabel diatas, dari 96 sampel yang diteliti pada penelitian ini, 68.8%
berusia ≥40 th dan 31.3% berusia <40 th, 18.8% adalah perempuan dan 81.3 %
adalah laki-laki. Berdasarkan pendidikan 16.7% tidak sekolah, 62.5% SD, 19.8%
SMP, 1.0% SMA. Berdasarkan status ekonomi 34.4% dengan pendapatan ≥Rp
39
1.500.000,00 dan 65.6% dengan pendapatan <Rp 1.500.000,00. Berdasarkan
pekerjaan terdapat 4.2% pedagang, 2.1% IRT, 2.1% wiraswasta, 18.8% buruh
tani, 72.9% sebagai petani. Berdasarkan kepelikan jamban 34.4% memiliki
jamban, dan 65.6%tidak memiliki jamban.
40
disimpulkan rata-rata pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan jamban
memiliki pengetahuan seimbang antara yang baik dan yang kurang.
Berdasarkan data yang diperoleh dari gambaran poin sikap mengenai kewajiban
setiap keluarga untuk memiliki jamban didapatkan sebanyak 93.8% (90 sampel)
yang berpendapat bahwa jamban wajib untuk dimiliki setiap keluarga dan 6.3% (6
sampel) berpendapat bahwa jamban tidak wajib dimiliki oleh keluarga. Sehingga
didapatkan kesimpulan bahwa setiap keluarga wajib memiliki jamban sendiri.
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Sikap Berdasarkan Poin Teguran Pada Anggota
Keluarga yang BABS
41
Kategori Jumlah Presentase
Ya 82 85.4%
Tidak 14 14.6%
Jumlah 96 100%
Berdasarkan data yang diperoleh dari gambaran poin sikap untuk menegur
anggota keluarga yang BABS didapatkan sebanyak 85.4% (82 sampel) yang
menegur anggoa keluarga apabila ada yang BABS dan 14.6% (14 sampel)
berpendapat anggota keluarga apabila ada yang BABS saat di luar rumah.
Kesimpulannya, lebih banyak responden yang bersikap menegur anggota keluarga
apabila ada dari salah satu anggota keluarga melakukan BABS di luar rumah.
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Sikap Berdasarkan Poin Prioritas Memiliki Jamban
Berdasarkan data yang diperoleh dari gambaran poin prioritas dalam memiliki
jamban, didapatkan sebanyak 93.8% (90 sampel) yang memprioritaskan
kepemilikan jamban dalam keluarga dan 6% (6.3 sampel) berpendapat bahwa
jamban bukan menjadi prioritas keluarga. Kesimpulannya, lebih banyak
responden yang memiliki prioritas utama untuk memiliki jamban.
Ya 48 50.0%
Tidak 48 50.0%
Jumlah 96 100%
42
Berdasarkan data yang diperoleh dari gambaran poin sikap responden mengenai
tempat BAB saat diluar rumah, didapatkan hasil yang seimbang antara sikap
untuk BABS di luar rumah dan sikap BAB pada jamban sebanyak 50.0% (48
responden).
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Sikap Terhadap Keputusan Tempat BAB saat
Kemarau
Berdasarkan data yang diperoleh dari gambaran poin keputusan responden dalam
memilih BAB saat kemarau, didapatkan sebanyak 52.1% (50 sampel) memilih
BAB di sungai saat kemarau dan 47.9% (46 sampel) yang tidak melalukan BABS
meskipun saat musim kemarau.
43
Jumlah 96 100%
44
Berdasarkan tabel diatas dapat diperoleh gambaran tentang dukungan aparat serta
tokoh masyarakat dalam pemanfaatan jamban, yaitu terdapat 38.5% yang
mendukung dan 61.5% yang tidak mendukung. Berdasarkan tabel diatas dapat
disimpulkan bahwa dukungan aparat desa serta tokoh masyarakat tidak
mendukung dalam pemanfaatan jamban.
45
tidak terjadi pengaruh antara umur dengan perilaku. Sehingga umur tidak
berpengaruh terhadap perilaku pemanfaatan jamban.
46
Tidak sekolah 9 56.3% 7 43.8% 16 100%
SD 24 40% 36 60% 60 100%
SMP 8 42.1% 11 57.9% 19 100%
SMA 0 0% 1 100% 1 100%
Jumlah 41 42.7% 55 57.3% 96 100%
47
Baik 6 14.6% 35 35,4% 41 100%
Jumlah 41 42.7% 55 57.3% 96 100%
Tabel 5.17 Pengaruh Sikap Kewajiban Memiliki Jamban Dengan Perilaku Pemanfaatan
Jamban
48
N % N % N % 0.287 (0.003)
Ya 35 38,9% 55 61,1% 90 100%
Tidak 6 100% 0 0% 6 100%
Jumlah 41 42.7% 55 57.3% 96 100%
Tabel 5.18 Pengaruh Sikap Teguran Pada Anggota Keluarga yang BABS dengan Perilaku
Pemanfaatan Jamban
49
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa 82 responden mengaku menegur
jika salah satu anggota keluarga yang BABS, 30 orang tidak memanfaatkan, dan
52 lainnya memanfaatkan. Sedangkan 14 repsonden mengaku tidak menegur jika
salah satu anggota keluarga BABS, 11 responden tidak memanfaatkan dan 3
responden yang memanfaatkan. Hal ini berarti terdapat kecenderungan antara
sikap dengan perilaku pemanfaatan jamban.
Tabel 5.19 Pengaruh Sikap Prioritas Memiliki Jamban dengan Perilaku Pemanfaatan
Jamban
50
Tidak 6 100% 0 0% 6 100%
Jumlah 41 42.7% 55 57.3% 96 100%
Tabel 5.20 Pengaruh Sikap BABS Saat Di Luar Rumah dengan Perilaku Pemanfaatan
Jamban
51
Jumlah 41 42.7% 55 57.3% 96 100%
Tabel 5.21 Pengaruh Sikap BABS Saat Di Luar Rumah dengan Perilaku Pemanfaatan
Jamban
52
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa 50 responden yang memiliki
sikap BABS saat musim kemarau, 16 orang tidak memanfaatkan, dan 34 lainnya
memanfaatkan. Sedangkan 46 repsonden yang memilik sikap tidak BABS saat
musim kemarau, 25 responden tidak memanfaatkan dan 21 responden yang
memanfaatkan. Hal ini berarti terdapat kecenderungan antara sikap dengan
perilaku pemanfaatan jamban.
Tabel 5.22 Pengaruh Sikap Tanggung Jawab Terhadap Kebersihan Jamban Umum dengan
Perilaku Pemanfaatan Jamban
53
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa 44 responden yang memiliki
sikap tanggung jawab terhadap kebersihan jamban umum, 14 orang tidak
memanfaatkan, dan 30 lainnya memanfaatkan. Sedangkan 52 repsonden yang
responden yang tidak memiliki sikap tanggung jawab terhadap kebersihan jamban
umum, 27 responden tidak memanfaatkan dan 25 responden yang memanfaatkan.
Hal ini berarti terdapat kecenderungan antara sikap dengan perilaku pemanfaatan
jamban.
54
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa 63 orang dengan ekonomi
rendah, 35 orang memanfaatkan, dan 28 lainnya tidak memanfaatkan. Sedangkan
33 orang dengan ekonomi tinggi, 55 lainnya memanfaatkan dan 41 lainnya tidak
memanfaatkan. Hal ini berarti tidak terdapat kecenderungan status ekonomi
dengan perilaku pemanfaatan jamban.
55
memanfaatkan. Hal ini berarti tidak terdapat kecenderungan kepemilikan jamban
dengan perilaku pemanfaatan jamban.
Tabel 5.25 Pengaruh Peran Petugas Kesehatan Dengan Perilaku Pemanfaatan Jamban
56
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa 27 orang tidak berperan, 16
orang memanfaatkan, dan 11 lainnya tidak memanfaatkan. Sedangkan 69 orang
berperan, 39 lainnya memanfaatkan dan 30 lainnya tidak memanfaatkan. Hal ini
berarti tidak terdapat kecenderungan peran petugas kesehatan dengan perilaku
pemanfaatan jamban.
Tabel 5.26 Pengaruh Dukungan Aparat Serta Tokoh Masyarakat Dengan Perilaku
Pemanfaatan Jamban
57
mendukung, 23 lainnya memanfaatkan dan 14 lainnya tidak memanfaatkan. Hal
ini berarti tidak terdapat kecenderungan peran aparat desa serta tokoh masyarakat
dengan perilaku pemanfaatan jamban.
58
Faktor Predisposisi
Umur 0.054 0.597 Tidak berpengaruh signifikan
Pengetahuan 0.063 0.536 Tidak berpengaruh signifikan
Pendidikan 0.147 0.546 Tidak berpengaruh signifikan
Sikap 0,490 0.000
Berpengaruh signifikan
Faktor Pemungkin
59
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Setiap
Step 1a 20.610 15480.700 .000 1 .999 8.930E8
keluarga
wajib
memiliki
jamban/WC
BABS saat
1.204 .518 5.390 1 .020 3.333
aktivitas di
luar rumah
BABS saat
1.203 .520 5.348 1 .021 3.332
musim
kemarau
Tanggung
.711 .524 1.845 1 .174 2.037
jawab
terhadap
Kebersihan
Jamban
umum
Berdasarkan tabel diatas, diketahui hasil uji regresi logistic menunjukkan bahwa
komponen yaitu sikap BABS saat aktivitas di luar rumah dan sikap BABS saat musim
kemarau berpengaruh signifikan terhadap perilaku pemanfaatan jamban. Hal ini
ditunjukkan dengan besar nilai signifkansi kedua komponen kurang dari <0,05. Diantara
kedua komponen tersebut, pengaruh yang paling dominan ditunjukkan oleh komponen
BABS saat aktivitas di luar rumah karena nilai Exp (B) (nilai odd rasio) pada variabel
ini lebih besar daripada komponen BABS saat musim kemarau.
BAB VI
PEMBAHASAN
60
6.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
Hasil penelitian di Desa Sukodono berdasarkan karakteristik responden,
umur ≥ 40 tahun sebesar 68,8% (66 responden), sedangkan umur <40 tahun
sebesar 31,3% (30 reponden).
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tingkat pendidikan responden
cukup beragam, mulai dari tidak sekolah hingga SMA. Responden yang tidak
sekolah sebesar 16,7% (16 reponden), SD 62,5% (60 responden), SMP 19,8%
(19 responden), SMA 1.0% (1 reponden). Dari data tersebut, mayoritas kepala
keluarga berpendidikan rendah. Rendahnya pendidikan menyebabkan banyak
masyarakat yang tidak mengetahui fungsi dari memanfaatkan jamban (Widowati,
2015). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Palneti (2001),
analisa statistik menyebutkan ada pengaruh yang signifikan antara tingkat
pendidikan dengan kepemilikan dan keadaan jamban keluarga. Hal ini disebabkan
karena rata rata masyarakat di desa yang diteliti hanya tamatan SMP, sehingga
pemikiran mereka tentang kepemilikan, pemanfaatan dan keadaan jamban masih
sangat kurang karena banyak yang tidak mengerti tentang hal itu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status ekonomi pada kepala keluarga
di Desa Sukodono tergolong rendah, yakni sebesar 65,6% (63 reponden),
sedangkan masyarakat yang memiliki ekonomi tinggi sebesar 34,4% (33
reponden). Menurut Notoatmojo (2010) ketersediaan fasilitas kehatan yang baik
ditentukan oleh pendapatan keluarga. Semakin tinggi pendapatan keluarga,
semakin baik pula fasilitas dan cara hidup sehat seseorang. Hal kebalikannya
berlaku pula apabila pendapatan keluarga rendah. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak dalam Kurniawati (2015), yaitu
semakin tinggi status ekonomi suatu keluarga maka semakin mudah seseorang
untuk merubah perilakunya.
Sedangkan berdasarkan pekerjaan, terdapat 4,2% pedagang (4 reponden),
2,1% IRT (2 responden), 2,1% wiraswasta (2 responden), 18,8% buruh tani
(18 reponden), dan mayoritas pekerjaan masyarakat di Desa Sukodono adalah
petani sebesar 72,9% (70 reponden). Berdasarkan penelitian Anggoro (2015)
dapat disimpulkan bahwa pekerjaan tidak ada pengaruh yang signifikan dengan
61
pemanfaatan jamban. Pekerjaan merupakan aktivitas utama yang dilakukan
seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang dapat menunjang kehidupannya
(Kurniawati, 2015).
Hasil penelitian mengenai kepemilikan jamban, sebagian kecil masyarakat
Sukodono memiliki jamban yakni sekitar 34,4% (33 reponden), sedangkan yang
tidak memiliki jamban sekitar 65,6% (63 reponden). Kepala keluarga yang tidak
memiliki jamban, selalu memanfaatkan sungai, wc umum, dan numpang di
tetangga atau saudara sebagai tempat pembuangan kotoran atau tinja. Kebiasaan
tersebut berlangsung sejak dahulu dan sudah terjadi turun-menurun (Simatupang
dkk, 2013).
62
Tarigan (2008) berpendapat setiap anggota keluarga yang sudah buang air
besar di jamban termauk upaya dalam pemanfaatan jaman yang akan berdampak
besar pada penurunan penyakit.
63
cukup beragam, mulai dari tidak sekolah hingga SMA. Terbanyak responden pada
masyarakat Sukudono adalah tamatan SD sebesar 62,5% (60 responden),
kemudian SMP 19,8% (19 reponden), tidak sekolah sebesar 16,7%
(16 responden), dan SMA sebesar 1.0% (1 responden).
Dari data diatas dapat dikatakan, pendidikan di Desa Sukodono tergolong
rendah karena mayoritas kepala keluarga tamat SD (62,5%) yang menyebabkan
kepala keluarga tidak memiliki informasi yang luas tentang pentingnya
berperilaku hidup bersih dan sehat yang berujung tidak adanya perubahan perilaku
dari setiap kepala keluarga atau adanya perubahan perilaku namun berlangsung
lama (Sutedjo, 2003).
6.2.2.4 Sikap
Berdasarkan hasil penelitian variabel sikap dalam penelitian ini adalah,
sikap baik sebesar 30,2% (29 responden), sedangkan sikap buruk sebesar 69,8%
(67 responden). Menurut Soekidjo (2007) sikap merupakan respon yang masih
tertutup setelah adanya rangsang atau stimulus, belum termasuk tindakan karena
masih merupakan faktor predisposisi dari perilaku.Sikap akan memberikan respon
positif atau negatif. Sikap diri seseorang nanti akan membentuk suatu tindakan
yang positif yaitu menerima dan tindakan negatif yaitu menolak. Hal ini didukung
oleh penelitian Erlinawati (2009) yang menunjukkan pengaruh yang bermakna
antara sikap ibu dengan penggunaan jamban. Suherman menyebutkan bahwa
pengaruh sikap kepala keluarga (KK) terhadap ketidakmauan menggunakan
jamban diperoleh hasil yaitu Kepala Keluarga yang memiliki sifat positif
menggunakan jamban jauh lebih banyak (57,85%) dibanding sikap negatif tidak
mau menggunakan jamban (37,98%) (Erlinawati, 2009).
64
kapita Desa Sukodono yakni sebesar Rp 1.500.000 per bulan, sehingga banyak
kepala keluarga yang belum memiliki jamban. Menurut Notoatmojo, 2010
ketersediaan fasilitas kehatan yang baik ditentukan oleh pendapatan keluarga.
Semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin baik pula fasilitas dan cara hidup
sehat seseorang. Hal kebalikannya berlaku pula apabila pendapatan keluarga
rendah. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Simanjuntak dalam
Kurniawati (2015) semakin tinggi status ekonomi suatu keluarga maka semakin
mudah seseorang untuk merubah perilakunya. Hasil penelitian menyebutkan
keluarga berpenghasilan rendah 4 kali berpengaruh dalam pemanfaatan jamban.
6.2.3.2 Kepemilikan Jamban
Pada penelitian ini didapatkan hasil sebagian kecil masyarakat Sukodono
memiliki jamban yakni sekitar 34,4% (33 responden), sedangkan yang tidak
memiliki jamban sekitar 65,6% (63 responden). Berdasarkan data tersebut, dapat
disimpulkan bahwa tingkat kepemilikan jamban berperan dalam perilaku dan
pemanfaatan jamban. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Erlinawati (2009), yang menyebutkan bahwa kepemilikan jamban erat kaitannya
dengan perilaku keluarga terhadap pemanfaatan jamban, artinya keluarga yang
memiliki jamban berpeluang 27 kali untuk memanfaatkan jamban sebagai tempat
buang air besar dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki jamban. Serta
sesuai pula dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitrianto dkk 2017
yang menyebutkan bahwa dari 93 responden hanya sebagian kecil yang memiliki
jamban yaitu sebanyak 27 orang (29,0%), dan sebagian besar tidak memiliki
jamban yakni 66 orang (71,0%).
65
dukungan dari petugas kesehatan untuk memanfaatkan jamban, sedangkan 27
responden (29,3%) mendapat dukungan dari petugas kesehatan.
Peran petugas kesehatan yang dibutuhkan menurut Darsana 2012, adalah
pemberian motivasi, bimbingan teknis, penggerakan, pemberdayaan serta
penyuluhan dari petugas kesehatan dibantu oleh kader kesehatan yang diharapkan
petugas kesehatan dapat memperdayakan masyarakat dengan cara menumbuhkan
serta meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan individu, keluarga
dan masyarakat untuk mencegah penyakit yang diharapkan dapat meningkatkan
kesehatan masyarakat sehingga terciptanya lingkungan seha serta aktif dalam
penyelenggaraan setiap upaya kesehatan.
6.2.4.2 Dukungan Aparat dan Tokoh Masyarakat
Hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sukodono, dapat diketahui bahwa
dukungan aparat dan tokoh masyarakat dengan perilaku kepala keluarga dinilai
sebagian besar tidak mendukung, yakni sekitar 59 responden (61,5%), sedangkan
sebanyak 37 responden (38,5%) mendukung perilaku pemanfaatan jamban. Hal
ini didasari oleh kurangnya lahan untuk membuat jamban, tidak ada dana, dan
kurang koordinasi dengan petugas kesehatan. Hasil penelitian ini sama dengan
penelitan yang dilakukan oleh Kurniawati, 2015 yang menyebutkan bahwa
sebesar 73,9% aparat dan tokoh masyarakat tidak mendukung perilaku kepala
keluarga dalam pemanfaatan jamban. Sedangkan sebesar 26,1% mendukung
perilaku pemanfaatan jamban.
Semua orang memiliki pengaruh di masyarakat setempat, baik tokoh
formal (ketua RT, ketua RW, ketua kampong, kepala dusun, dan kepala desa)
maupun tokoh non formal (tokoh agama, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda,
dan kepala suku) adalah orang-orang yang tergolong sebagai tokoh masyarakat.
Menurut Kurniawati 2015, terdapat empat jenis dukungan yaitu, partisipasi
pemanfaatan jamban, program pemberdayaan masyarakat, penyuluhan, serta
pemberian bantuan yang bertujuan untuk menggunakan dan memanfaatkan
jamban.
66
6.3 Pengaruh Antara Faktor Presdiposisi dengan Perilaku Kepala Keluarga
Dalam Pemanfaatan Jamban
6.3.1 Pengaruh Umur dengan Perilaku Kepala Keluarga Dalam Pemanfaatan
Jamban
Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok responden yang
memanfaatkan jamban dengan baik sebagian besar pada kelompok dewasa.
Sedangkan pada kelompok responden dengan pemanfaatan jamban yang buruk
sebagian besar pada kelompok muda. Berdasarkan analisis dihasilkan nilai
coefficient contingency sebesar 0,054 dan nilai signifikansi sebesar 0,597. Oleh
karena nilai signifikansi (0,597 > 0,05), maka H0 diterima,dan H1 ditolak. Dari
hasi tersebut dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh antara umur dengan
perilaku pemanfaatan jamban. Koefisien kontingensi sebesar 0,054 berada pada
kriteria pengaruh yang sangat lemah, artinya tidak terjadi pengaruh antara umur
dan periaku pemanfaatan jamban
Penelitian Kristyna Hulland, et al (2014) yang menyebutkan bahwa umur
dan jenis kelamin merupakan faktor penting untuk menentukan siapa di dalam
rumah tangga yang memiliki kemampuan dalam menggunakan teknolog.Faktor
perkembangan seperti usia dapat memengaruhi pengambilan keputusan terhadap
status kesehatannya, seperti berdasarkan penelitian oleh Hurllock (1980) yang
menyebutkan bahwa warga negara yang berusia 40-60 tahun bertanggung jawab
secara sosial membantu anak dan remaja menjadi dewasa, sehingga individu-
individu tersebut mengetahui cara mewujudkan perilaku sehat. Maka secara
umum program peningkatan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan jamban
perlu dilakukan pada semua golongan usia (Tarigan, 2008).
Pada penelitian ini yang dilakukan di Desa Sukodono didapatkan hasil
yang tidak signifikan antara umur dengan perilaku pemanfaatan jamban, hal ini
diduga karena tingkat kedewasaan tidak ditentukan oleh umur. Pernyataan
tersebut sesuai dengan Sutedjo (2003) yang menyebutkan bahwa umur muda dan
tua tidak berbeda partisipasinya dalam program kesehatan (p>0,05). Sehingga
tidak perlu adanya penggolongan umur untuk program peningkatan partisipasi
masyarakat.
67
6.3.2 Pengaruh Pengetahuan dengan Perilaku Kepala Keluarga Dalam
Pemanfaatan Jamban
Berdasarkan analisis bivariat diketahui bahwa 48 orang yang memiliki
pengetahuan kurang baik meliputi 39,6% (19 responden) tidak memanfaatkan
dan 60,4% (29 responden) yang memanfaatkan jamban. Sedangkan 48 orang juga
memiliki pengetahuan baik yang meliputi 45,8% (22 responden) tidak
memanfaatkan, dan 54,2% (26 responden) yang memanfaatkan jamban.
Berdasarkan analisis diperoleh nilai coefficient contingency sebesar 0.063
dan nilai signifikansi sebesar 0.536. Karena nilai signifikakansi (0.536 > 0.05)
maka H0 diterima dan H1 ditolak, dan disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh
yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku. Coeficient contingency
sebesar 0.063 berada pada kriteria pengaruh lemah, artinya pengaruh yang terjadi
antara pengetahuan dengan perilaku tidak signifikan. Sehingga pengetahuan tidak
berpengaruh terhadap perilaku pemanfaatan jamban.Hal ini berarti bahwa
responden yang memiliki pengetahuan baik maupun buruk, tingkat perilaku
pemanfaatan jamban adalah sama tingginya dibandingkan dengan yang tidak
memanfaatkan. Akan tetapi, pengetahuan tersebut tidak berpengaruh signifikan
terhadap perilaku pemanfaatan jamban.
Penelitian Meiridawati (2012) menyebutkan bahwa prosentase responden
dalam pemanfaatan jamban baik lebih tinggi pada yang berpengetahuan baik
48,3% dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang baik
(11,15) sehingga dengan uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara
pengetahuan jamban sehat dengan pemanfaatan jamban p=0,039 <0,05.Selain itu,
Kurniawati (2015) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan anatara
pengetahuan denga perilaku kepala kelurga dalam pemanfaatan jamban dan
peneliti tersebut menyimpulkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan
baik akan memiliki perilaku pemanfaatan jamban 3,9 kali lebih besar daripada
responden yang memiliki pengetahuan buruk.
Pada penelitian yang dilakukan di Desa Sukodo, memiliki pengetahuan
yang seimbang antara baik dan buruk. Hal ini diduga karena adanya kemauan dari
kepala keluarga untuk belajar mencari tahu sesuatu yang belum diketahui
walaupun tingkat pendidikan di Desa Sukodo rendah. Selain itu, masyarakat juga
68
menerima pengetahuan dari petugas kesehatan dan kader tentang perilaku
pemanfaatan jamban.
Hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Simanjutak
(2009) bahwa pengetahuan tidak ada pengaruh dengan perilaku buang air besar.
Rendahnya pendidikan menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mengetahui
fungsi dari memanfaatkan jamban (Widowati, 2015).
69
semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kesadaran untuk
tetap menjaga kebersihan dan lingkungannya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Suherman (2009) ada hubungan
antara pendidikan dengan ketidakmauan menggunakan jamban pada keluarga,
dengan responden yang berpendidikan rendah memiliki resiko untuk tidak mau
menggunakan jamban pada waktu BAB dibanding dengan yang berpendidikan
tinggi. Sejalan dengan penelitian Ernawati (2009) yang membuktikan bahwa
pendidikan KK memiliki hubungan yang erat dengan perialku keluarga terhadap
penggunaan jamban, dimana KK dengan pendidikan tinggi memiliki peluang
untuk menggunakan jamban17,4 kali dibanding dengan KK yang berpendidikan
rendah.
Pada penelitian yang dilakukan di Desa Sukodono, tingkat pendidikan
tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku pemanfaatan jamban. Hal ini
diduga meskipun tingkat pendidikan rendah, tapi masyarakat memiliki kemauan
untuk menno Kippggali informasi tentang pemanfaatan jamban. Dengan
pendidikan yang rendah, mayoritas warga bekerja sebagai petani, sehari-hari
warga pergi ke sawah bersama-sama dan saling berinteraksi satu sama lain. Dari
interaksi tersebut diduga warga berbagi informasi yang mereka dapatkan dari
petugas kesehatan yang telah banyak memberikan informasi tentang pentingnya
pola hidup sehat. Hasil analisis tersebut didukung oleh penelitian Sutedjo (2003)
yang menyebutkan tidak ada pengaruh antara pendidikan dengan perilaku
pemanfaatan jamban. Perbedaan ini dikarenakan pendidikan formal seseorang
tidak bisa dijadikan patokan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat terutama
dalam menggunakan jamban. Alasan lain yang mendukung yaitu status ekonomi
yang rendah, sehingga tidak mampu untuk membangun jamban, lebih nyaman di
tegalan, belum mengetahui manfaat jamban, nyaman di sungai dan tidak terbiasa
di jamban.
70
H0 ditolak dan H1 diterima, dan disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara sikap dengan perilaku. Coeficient contingency sebesar 0.490
berada pada kriteria pengaruh cukup kuat, artinya pengaruh yang terjadi antara
sikap dengan perilaku signifikan dan cukup kuat. Sehingga semakin baik sikap
seseorang maka sampel akan cenderung memanfaatkan, dan semakin buruk sikap
seseorang maka sampel juga cenderung memanfaatkan dan memiliki niatan untuk
berperilaku pemanfaatan jamban sehat.
Terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan, menurut Soekidjo (2007)
diperlukan suatu kondisi yang memungkinkan seseorang dapat menerapkan apa
yang sudah ia ketahui. Artinya pengetahuan atau sikap yang baik belum tentu
mewujudkan suatu tindakan yang baik. Karena perubahan sikap ke arah yang
lebih baik akan mempengaruhi terjadinya peran serta masyarakat yang merupakan
modal utama keberhasilan program kesehatan.
Menurut Green (2000) sikap merupakan faktor predisposisi yang akan
membentuk suatu tindakan atau perilaku. Ketidaksesuaian perilaku seseorang
dengan sikapnya akan menimbulkan masalah psikologis bagi individu – individu
yang bersangkutan, sehingga mereka akan berusaha merubah sikap atau
perilakunya.
Dari hasil penelitian di Desa Sukodono, rata-rata responden memiliki sikap
buruk sebanyak 55 responden dengan 35 responden yang berperilaku tidak
memanfaatkan jamban dan 20 responden memanfaatkan jamban. Sedangkan
responden yang bersikap baik, sebanyak 41 responden dengan 6 responden tidak
memanfaatkan jamban dan 35 responden yang memanfaatkan. Oleh karena
responden yang bersikap baik dan buruk sama-sama memiliki perilaku
pemanfaatan jamban yang lebih tinggi, perlu adanya upaya peningkatan sikap ke
arah yang benar. Dalam mengarahkan sikap yang benar, perlu dilakukan contoh
bagaimana menggunakan jamban yang benar, sehingga masyarakat akan
merespon dengan baik. Hal ini dapat dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga,
kemudian dilanjutkan oleh pemerintah serta petugas kesehatan melalui program -
program penyuluhan dengan melibatkan masyarakat sebagai objek sasaran sebuah
program mulai dari penyusunan hingga pelaksanaan program (Linda,2015). Hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang dialakukan dengan Suherman (2009) yang
71
menyebutkan bahwa sikap kepala keluarga (KK) terhadap pemanfaatan jamban
memiliki pengaruh dengan ketidakmauan keluarga dalam menggunakan jamban
dimana KK yang memiliki sikap positif lebih banyak mau menggunakan jamban
(57,85%) dibandingkan dengan KK yang memiliki sikap negatif (37,98%).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Tambak Lorok Semarang,
menunjukkan secara umum sikap responden terhadap perilaku pemanfaatan
jamban sebanyak 29 responden yang memiliki sikap baik 10 (34,5%) diantaranya
memanfaatkan jamban, dan sebanyak 66 responden yang memiliki sikap buruk
hanya ada 5 responden (9,5%) yg memanfaatkan, walaupun secara uji statistik
didapatkan hasil ada pengaruh antara sikap dengan perilaku KK dalam
memanfaatkan jamban, tetapi sikap yang baik di penelitian ini ternyata tidak
begitu mempengaruhi tindakan seluruh masyarakat Tambak Lorok untuk ikut serta
memanfaatkan jamban. Sehingga sebagian besar masyarakat masih memiliki sikap
yang buruk dalam pemanfaatan jamban. Hal ini tidak terlepas dari pendidikan dan
pengetahuan yang rendah yang dimiliki oleh kepala keluarga (Linda, 2015).
72
pendapatan rendah tidak memanfaatkan jamban sebesar 48 (44,9%) dan
memanfaatkan jamban keluarga sebesar 41 (38,3%). Sedangkan masyarakat
dengan penghasilan tinggi yang tidak memanfaatkan jamban sebanyak 4 (3,7%)
dan memanfaatkan jamban sebanyak 14 (13,1%).
Pada responden di Desa Sukodono sebagian besar, yaitu sebanyak 63
responden memiliki status ekonomi rendah, dengan 28 responden tidak
memanfaatkan jamban dan 35 responden memanfaatkan. Sedangkan sebanyak 33
responden memilik status ekonomi yang tinggi, dengan 13 responden tidak
memanfaatkan jamban dan 20 responden yang memanfaatkan jamban. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa perilaku pemanfaatan jamban lebih tinggi daripada
perilaku tidak memanfaatkan jamban, meskipun sebagian besar respon memiliki
status ekonomi rendah. Hal ini diduga karena warga Desa Sukodono memiliki
kemauan untuk memanfaatkan jamban, namun karena terbatas ekonomi sehingga
mereka tidak memiliki jamban sendiri, banyak dari mereka menggunakan sungai
dan jamban umum untuk BAB sehari-hari.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Simatupang dkk (2013) yang
dilakukan di Desa Marjandi Tongah, 58 KK memiliki jamban sedangkan 46 KK
yang tidak memiliki jamban, namun dari 46 oraang yang tidak memiliki jamban
juga memiliki keinginan untuk memanfaatkan jamban. Hal tersebut di karenakan
status ekonomi di Desa Marjandi Tongah cenderung rendah, sehingga tidak ada
biaya untuk membuat jamban.
73
Berdasarkan penelitian oleh Darsana (2012), kepemilikan jamban
berpengaruh secara signifikan dengan ekonomi, pengetahuan, sikap, dan peran
petugas kesehatan. Pada penelitian di Desa Sukodono, walaupun jumlah
responden yang tidak memiliki jamban lebih besar daripada yang memiliki
jamban, keduanya memiliki tingkat kesadaran untuk memanfaatkan jamban. Hal
tersebut diduga karena adanya kemauan dan niatan setiap kepala keluarga untuk
memanfaatkan jamban. Sehingga walaupun pengetahuan dan pendapatan dalam
keluarga rendah, mereka masih ingin memanfaatkan jamban. Hal ini ditunjukkan
dengan perilaku sebagiam warga yang memilih memanfaatkan jamban umum
untuk BAB.
Pada penelitian ini tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara
kepemilikan jamban dengan perilaku kepala keluarga dalam pemanfaatan jamban,
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2008). Hal tersebut diduga
karena baik yang memiliki jamban maupun tidak, mempunyai pemikiran jika
memanfaatkan jamban adalah suatu hal yang bukan prioritas utama dalam hidup
mereka, tidak masalah jika tidak memanfaatkan jamban asal tidak merugikan
hidupnya. Maka dari itu perlunya peningkatan pengetahuan tentang pentingnya
memanfaatkan jamban, hal ini tidak bisa lepas dari peran petugas kesehatan
maupun dukungan aparat desa dan tokoh masyarakat.
74
0,807>0,05, maka tidak terdapat Pengaruh yang signifikan dan sangat lemah
antara peran petugas kesehatan dengan perilaku pemanfaatan jamban.
Berdasarkan penelitian Erlinawati (2009) menyebutkan ada pengaruh
bermakna antara pembinaan penggunaan jamban oleh petugas puskesmas
terhadap perilaku keluarga dalam penggunaan jamban. Perbedaan penelitian dapat
saja terjadi karena karakteristik responden yang berbeda, penelitian sebelumnya
menggunakan ibu sebagai subyek dan dalam penelitian ini menggunakan kepala
keluarga sebagai responden.
Pada penelitian ini tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara peran
petugas kesehatan dengan perilaku kepala keluarga dalam pemanfaatan jamban.
Hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Meiridhawati (2012)
yang menjelaskan bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna antara dukungan
petugas kesehatan dengan pemanfaatan jamban. Responden yang mendapat
dukungan dari petugas kesehatan akan berpeluang memiliki perilaku
memanfaatkan jamban sebesar 2 kali dibanding dengan responden yang tidak
memiliki jamban.
Peran petugas kesehatan yang dibutuhkan menurut Darsana (2012) adalah
pemberian motivasi, bimbingan teknis, penggerakan, pemberdayaan serta
penyuluhan dari petugas puskesmas dibantu oleh kader kesehatan yang
diharapkan petugas kesehatan dapat memberdayakan masyarakat dengan cara
menumbuhkan serta meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan
individu, keluarga dan masyarakat untuk mencegah penyakit yang diharapkan
dapat meningkatkan kesehatan masyarakat sehingga terciptanya lingkungan sehat
serta aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya kesehatan.
75
karena nilai signifikansi (0,445>0,05), maka tidak terdapat Pengaruh yang
signifikan dan sangat lemah antara dukungan aparat dan tokoh masyarakat dengan
perilaku pemanfaatan jamban.
Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati
(2015), bahwa tidak ada Pengaruh yang bermakna antara dukungan aparat dan
tokoh masyarakat dengan perilaku pemanfaatan jamban, dimana p value (0,654 >
0,05). Menurut Kurniawati 2015, terdapat empat jenis dukungan yaitu, partisipasi
pemanfaatan jamban, program pemberdayaan masyarakat, penyuluhan, serta
pemberian bantuan yang bertujuan untuk menggunakan dan memanfaatkan
jamban. Selama ini dukungan dari aparat dan tokoh masyarakat pada warga Desa
Sukodono berupa penyuluhan yang dikoordinasikan kepada tiap kepala keluarga,
namun dukungan tersebut tidak diimbangi dengan bantuan yang bertujuan untuk
menggunakan dan memanfaatkan jamban sehat. Akibatnya, warga yang belum
memiliki jamban kesulitan untuk membangun.
Keterlibatan aparat dan tokoh masyarakat dirasa masih rendah oleh 59
responden dari 96 responden yang dijadikan sampel. Tidak meratanya dukungan
dari tokoh masyarakat merupakan faktor yang menyebabkan masyarakat tidak
merasakan adanya bentuk dukungan tersebut. Ketidakmerataan dapat disebabkan
seperti penyuluhan yang dilakukan di balai desa yang dihadiri oleh tokoh
masyarakat, sehingga informasi tentang pemanfaatan jamban sebagai sarana BAB
tidak berlangsung lama.
76
menggunakan jamban (57,85%) dibandingkan dengan KK yang memiliki sikap
negatif (37,98%).
Oleh karena hanya satu variabel yang berperngaruh terhadap perilaku
pemanfaatan jamban, maka uji regresi logistik dilanjutkan pada point pertanyaan
dalam kuisioner sikap. Berdasarkan uji regresi logistik menunjukkan bahwa
komponen yaitu sikap BABS saat aktivitas di luar rumah dan sikap BABS saat
musim kemarau berpengaruh signifikan terhadap perilaku pemanfaatan jamban.
Hal ini ditunjukkan dengan besar nilai signifkansi kedua komponen kurang dari
0,05. Diantara kedua komponen tersebut, pengaruh yang paling dominan
ditunjukkan oleh komponen BABS saat aktivitas di luar rumah karena nilai Exp
(B) (nilai odd rasio) pada variabel ini lebih besar daripada komponen BABS saat
musim kemarau.
Hasil uji coefficient contingency “Ketika anda sedang berada di luar
rumah, anda melakukan aktifitas buang air besar di laut/sungai/kebun, bukan di
jamban/WC” terhadap perilaku dalam pemanfaatan jamban menunjukkan
persentasi dari 48 responden (100%) yang menjawab “tidak”, 29 responden
(60,4%) diantaranya tidak memanfaatkan, dan 19 responden lainnya
memanfaatkan (39,6%). Sedangkan pada 48 responden (100%) yang menjawab
“ya”, 12 responden (25%) diantaranya tidak memanfaatkan, dan 36 responden
lainnya memanfaatkan (75%). Dari hasil uji statistik coefficient contingency
didapatkan nilai value 0.337 dengan nilai signifikansi 0.00 (< 0.05). Walaupun
secara uji statistik didapatkan hasil ada pengaruh antara sikap dengan perilaku KK
dalam memanfaatkan jamban, tetapi sikap yang baik di penelitian ini ternyata
tidak begitu mempengaruhi perilaku seluruh responden untuk ikut serta
memanfaatkan jamban. Sehingga sebagian besar masyarakat masih memiliki sikap
yang buruk dalam pemanfaatan jamban. Hal ini tidak terlepas dari pendidikan dan
pengetahuan yang rendah yang dimiliki oleh kepala keluarga di Desa Sukodono
(Linda, 2015). Setelah dilakukan uji regresi logistik, ternyata point ini merupakan
hal yang paling dominan berperngaruh dbandingkan dengan 5 point lainnya,
karena Exp(B) (nilai odd rasio) tertinggi dan nilai signifikansi 0.20 (<0.05).
Hal ini sama dengan penelitian Linda (2015) yang dilakukan di Tambak
Lorok Semarang, menunjukkan secara umum sikap responden terhadap perilaku
77
pemanfaatan jamban sebanyak 29 responden yang memiliki sikap baik 10 (34,5%)
diantaranya memanfaatkan jamban, dan sebanyak 66 responden yang memiliki
sikap buruk hanya ada 5 responden (9,5%) yg memanfaatkan.
Menurut Soekidjo (2007) untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan,
diperlukan suatu kondisi yang memungkinkan seseorang dapat menerapkan apa
yang sudah ia ketahui. Artinya pengetahuan atau sikap yang baik belum tentu
mewujudkan suatu tindakan yang baik. Karena perubahan sikap ke arah yang
lebih baik akan mempengaruhi terjadinya peran serta masyarakat yang merupakan
modal utama keberhasilan program kesehatan.
Hasil uji coefficient contingency “Saat musim kemarau, anda kesulitan
mendapatkan air bersih. Sehingga anda memutuskan untuk buang air besar di
sungai” terhadap perilaku dalam pemanfaatan jamban menunjukkan persentasi
dari 46 responden (100%) yang menjawab “tidak”, 25 responden (54,3%)
diantaranya tidak memanfaatkan, dan 21 responden lainnya memanfaatkan
(45,7%). Sedangkan pada 50 responden (100%) yang menjawab “ya”, 16
responden (32%) diantaranya tidak memanfaatkan, dan 34 responden lainnya
memanfaatkan (68%). Dari hasil uji statistik coefficient contingency didapatkan
nilai value 0.220 dengan nilai signifikansi 0.027 (< 0.05).
78
BAB V11
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahansan dalam penelitian ini,
dapat disimpulkan bahwa :
1. Distribusi dan frekuensi variabel di Desa Sukodono, mayoritas perilaku
masyarakat dalam memanfaatkan jamban baik. Pengetahuan seimbang, sikap
buruk terhadap pemanfaatan jamban. Petugas kesehatan banyak berperan, namun
aparat desa dan petugas kesehatan tidak berperan dalam pemanfaatan jamban.
Tingkat pendididkan rata-rata SD, berusia diatas 40 tahun dan mayoritas
pekerjaan petani.
2. Faktor presdiposisi (umur, pengetahuan, dan pendikan) tidak berpengaruh
signifikan terhadap perilaku pemanfaatan jamban. Sedangkan sikap memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pemanfaatan jamban.
3. Faktor Pemungkin (status ekonomi dan kepemilikan jamban) tidak berpengaruh
signifikan terhadap perilaku pemanfaatan jamban.
4. Faktor Penguat (peran petugas kesehatan dan dukungan aparat serta tokoh
msyarakat ) tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku pemanfaatan jamban.
5. Masyarakat Sukodono memilih BAB di WC pada saat melakukan aktivitas di
luar rumah.
7.2 Saran
1. Perlunya meningkatkan dukungan dari aparat desa dan tokoh masyarakat dalam
hal pemanfaatan jamban, misalnya lewat penyuluhan, forum arisan PKK,
pengajian, dengan metode ceramah dan diskusi yang dilakukan secara
menyeluruh.
79
DAFTAR PUSTAKA
Rineka Cipta.
Baskoro, dkk. 2018. Upaya Pemicuan Open Defecation Free terhadap Masyarakat
Desa Bumirejo, Kecamatan Dampit. Malang.
80
Departemen Kesehatan RI. 2003. Profil Kesehatan Indonesia. 2002
Departemen Kesehatan RI. 2009. Rumah Tangga Berprilaku Hidup Bersih Dan
Sehat, Jakarta
Dinkes Jatim. 2017. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2017
Eunike Sri Tyas. 2005. Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta.
Fakultas Psikologi. Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Hamzah, Bachtiar. 2012. Gambaran Pemanfaatan Sarana Air Bersih Dan Ajamban
Keluarga Yang Dilakukan Melalui Proyek PAB-PLP. Universitas Sumatra
Utara.
Ibrahim, I., D.Nuraeni, dan T.Ashar. 2012. Faktor Nfaktor Yang Berhubungan
Dengan Pemanfaatan Jamban Di Desa Pintu Langit Jae Kecamatan
Padangsidimpuan Angkoloa Julu Tahun 2012. 21 januari 2015 (15:52)
81
Kartono,D.2008. Modul Peran Tokoh Masyarakat dalam Kesehatan yang
Responsive jender. Jakarta
Lemeshow S., Hosmer D.W., Klar J., Lwanga S.K., dan Organization W.H., 1990.
Adequacy of sample size in health studies / Stanley Lemeshow ... [et al.].
82
Palneti, D. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepemilikan dan
Keadaan Jamban Keluarga di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang.Universitas Sumatera Utara. Medan
Profil Desa Sukodono. 2017. Laporan Tahunan Desa Sukodono Tahun 2017.
Malang: Desa Sukodono
Sara, Stephen Dan Ghaham, J. 2014. Ending Open Defecation In Rural Tanzania:
Which Factor Facilitate Latrine Adoption?. International Journal
Reasech. ISSN 1660-4610
Soemardji, Joseph, 1999. Pembuangan Kotoran Dan Air Limbah. Jakarta. EGC
83
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Yayuk Farida Baliwati. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta. Penerbit
Swadaya
84