Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN
A. Keimanan
Perkataan iman (‫ )إيمان‬diambil dari kata kerja 'aamana' (‫ )أمن‬-- yukminu'
(‫ )يؤمن‬yang berarti 'percaya' atau 'membenarkan'. Perkataan iman yang berarti
'membenarkan' itu disebutkan dalam al-Quran, di antaranya dalam Surah At-
Taubah ayat 62 yang bermaksud: "Dia (Muhammad) itu membenarkan
(mempercayai) kepada Allah dan membenarkan kepada para orang yang
beriman." Iman itu ditujukan kepada Allah, kitab kitab dan Rasul. Iman itu
ada dua jenis: Iman Hak dan Iman Batil. Definisi Iman
berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan
merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan
dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman
adalah mereka yang di dalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala
tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang
jujur atau orang yang memiliki prinsip. Atau juga pandangan dan sikap hidup.
Para imam dan ulama telah mendefinisikan istilah iman ini, antara lain, seperti
diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Talib: "Iman itu ucapan dengan lidah dan
kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan
anggota." Aisyah r.a. berkata: "Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan
dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota." Imam al-
Ghazali menguraikan makna iman: "Pengakuan dengan lidah (lisan)
membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan
rukun-rukun (anggota-anggota)." Oleh karena itu, iman menunjukan sikap
batin yang terletak dalam hati sehingga, orang yang percaya atau beriman
kepada Allah akan menunjukkan sikap batin yang sesuai dengan ajaran Allah.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Atthabrani, Iman
didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dalam lisan, dan
diwujudkan dengan amal perbuatan. Dengan demikian, iman merupakan
kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan serta dapat
juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup. Akidah islam dalam Al-
Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan keyakinan
yang mendorong seseorang untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu
sesuai dengan keyakinan yang diyakininya. Oleh karena itu, orang yang
mengimani aqidah islam akan melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan
hukum islam. Proses terbentuknya iman dimulai pada saat seseorang masih
dalam kandungan. Dalam hal ini. Nabi Muhammad SAW bersabda “Setiap
anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak
tersebut menjadi yahudi, nasrani, atau majusi”. Oleh karena itu, keimanan
seorang anak ditentukan oleh orang tuanya. Tak hanya itu, perilaku orang tua
dirumah jugalah menjadikan anak tersebut berperilaku baik atau buruk.Proses
pembentukan iman diawali dengan proses perkenalan yaitu mengenal serta
mengetahui bagaimana ajaran Allah. Karena tidak mungkin seseorang dapat
beriman kepada Allah tanpa terlebih dahulu mengenal dan mengetahui ajaran
Allah setelah mengenal dan mengetahui ajaran Allah harus dilakukan proses
pembiasan agar dapat melaksanakan ajaran Allah dengan senang, ikhlas, dan
benar. Dalam Islam dikenal beberapa tingkatan seseorang dalam keyakinan
beragama, diantaranya adalah:
 Muslim : orang mengaku islam, kadar keimanannya termasuk yang
terendah, sebatas pengakuan Allah sebagai tuhan yang esa, belum ada
bedanya dengan iblis yang juga meyakini bahwa Allah adalah maha esa.
 Mu'min : orang beriman, yang mengkaji syariat Islam sehingga
meningkat wawasan keislamannya.
 Muhsin : orang yang memperbaiki segala perbuatannya agar menjadi
lebih baik
 Mukhlis : orang yang ikhlas dalam beribadah, hidupnya hanya untuk
mengabdikan kepada Allah
 Muttaqin : orang yang bertakwa, tingkatan ini adalah yang tertinggi di
antara tingkatan lainnya.
Al- Qur’an menjelaskan tanda – tanda orang beriman sebagai berikut :
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar. Jika dibacakan ayat Al-
Qur’an, maka bergejolak hatinya. Berusaha memahami ayat yang tidak
diketahui dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas darinya.
2. Senantiasa tawakal, bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah,
diiringi dengan doa agar tetap hidup dengan ajaran Allah.
3. Menafkahkan rezeki yang diterimanya.
4. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan.
5. Memelihara amanah dan menepati janji.

B. Ketaqwaan
Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi dan wiqayah yang berarti
takut, menjaga, memelihara dan melindungi. Maka taqwa dapat
diartikan sebagai sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam
pengalaman ajaran agama islam. Taqwa secara bahasa berarti penjagaan/
perlindungan yang membentengi manusia dari hal-hal yang menakutkan
dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, orang yang bertaqwa adalah
orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan
perintah-Nya dan tidak melanggar larangan-Nya kerena takut terjerumus ke
dalam perbuatan dosa. Taqwa adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat
dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan
dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan
benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan pada orang lain,
diri sendiri dan lingkungannya. Dari berbagai makna yang terkandung dalam
taqwa, kedudukannya sangat penting dalam agama islam dan kehidupan
manusia karena taqwa adalah pokok dan ukuran dari segala pekerjaan seorang
muslim. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa
“ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun
melalaikan yang wajib”. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada
Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan
menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada
Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan
segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu
dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan. Termasuk
dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang
dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan
dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah
itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya
seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan
tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan
orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad
hafizhahullah. Seorang yang bertaqwa (muttaqin) adalah seorang yang
menghambakan dirinya kepada Allah SWT dan selalu menjaga hubungan
dengannya setiap saat sehingga kita dapat menghindari dari kejahatan dan
kemunkaran serta membuatnya konsisten terhadap aturan-aturan Allah.
Ketaqwaan kepada Allah dapat dilakukan dengan cara beriman kepada Allah
menurut cara-cara yang diajarkan-Nya melalui wahyu yang
sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia,
seperti yang terdapat dalam surat Ali-imran 138 :
Allah SWT berfirman:

‫اس َب َيان ٰهذَا‬ َ ‫ِّل ْل ُمت َّ ِّقيْنَ َّو َم ْو ِّع‬


ِّ َّ‫ظة َو ُهدًى ِّللن‬
"Inilah (Al-Qur'an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan
menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali
'Imran 3: Ayat 138)
Manusia juga harus beribadah kepada Allah dengan menjalankan
shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa selama sebulan penuh
dalam setahun, melakukan ibadah haji sekali dalam seumur hidup, semua itu
kita lakukan menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
Sebagai hamba Allah sudah sepatutnya kita bersyukur atas segala nikmat
yang telah diberikan-Nya, bersabar dalam menerima segala cobaan
yang diberikan oleh Allah serta memohon ampun atas segala dosa yang
telahdilakukan. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Selain kita harus
bertaqwa kepada Allah dan berhubungan baik dengan sesama serta
lingkungannya, manusia juga harus bisa menjaga hati nuraninya dengan baik
seperti yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dengan sifatnya
yang sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah, mawas diri dll.
Ketaqawaan terhadap diri sendiri dapat ditandai dengan ciri-ciri, antara lain :
1) Sabar
2) Tawaqal
3) Syukur
4) Berani
Sebagai umat manusia kita harus bersikap sabar dalam menerima apa saja
yang datang kepada dirinya, baik perintah, larangan maupun musibah. Selain
bersabar, manusia juga harus selalu berusaha dalam menjalankan segala
sesuatu dan menyerahkan hasilnya kepada Allah (tawaqal) karena umat
manusia hanya bisa berencana tetapi Allah yang menentukan, serta selalu
bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah dan berani dalam menghadapi
resiko dari seemua perbuatan yang telah ditentukan. Dijelaskan bahwa ciri-ciri
orang bertaqwa ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat dan kitab Allah. Aspek tersebut merupakan dasar keyakinan yang
dimiliki orang yang bertaqwa dan dasar hubungan dengan Allah. Selanjutnya
Allan menggambarkan hubungan kemanusiaan, yaitu mengeluarkan harta dan
orang-orang menepati janji. Dalam ayat ini Allah menggambarkan dengan
jelas dan indah, bukan saja karena aspek tenggang rasa terhadap sesama
manusia dijelaskan secara terurai, yaitu siapa saja yang mesti diberi tenggang
rasa, tetapi juga mengeluarkan harta diposisikan antar aspek keimanan dan
shalat. Taqwa dapat di tampilkan dalam bentuk hubungan seseorang
dengan lingkungan hidupnya. Manusia yang bertakwa adalah manusia
yang memegang tugas kekhalifahannya di tengah alam, sebagai subjek
yang bertanggung jawab menggelola dan memelihara lingkungannya.
Sebagaipenggelola, manusia akan memanfaatkan alam untuk kesejahteraan
hidupnya didunia tanpa harus merusak lingkungan disekitar mereka. Alam dan
segala petensi yang ada didalamnya telah diciptakan Allah untuk diolah
dan dimanfaatkan menjadi barang jadi yang berguna bagi manusia. Alam yang
penuh dengan sumber daya ini mengharuskan manusia untuk bekerja keras
menggunakan tenaga dan pikirannya sehingga dapat menghasilkan barang
yang bermanfaat bagi manusia. Disamping itu, manusia bertindak pula sebagai
penjaga dan pemelihara lingkungan alam. Menjaga lingkunan adalah
memberikan perhatian dan kepedulian kepada lingkungan hidup dengan saling
memberikan manfaat. Manusia memanfaatkan lingkungan untuk kesejahteraan
hidupnya tanpa harus merusak dan merugikan lingkungan itu sendiri. Orang
yang bertaqwa adalah orang yang mampu menjaga lingkungan dengan sebaik-
baiknya. Ia dapat mengelola lingkungan sehingga dapat bermanfaat dan juga
memeliharanya agar tidak habis atau musnah. Fenomena kerusakan
lingkungan sekarang ini menunjukan bahwa manusia jauh dariketaqwaan.
Mereka mengeksploitasi alam tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi pada
lingkungan itu sendiri dimasa depan sehingga mala petaka membayangi
kehidupan manusia. Contoh dari mala petaka itu adalah hutan yang dibabat
habis oleh manusia mengakibatkan bencana banjir dan erositanah sehingga
terjadi longsor yang dapat merugikan manusia. Bagi orang yang bertaqwa,
lingkungan alam adalah nikmat Allah yang harus disyukuri dengan cara
memenfaatkan dan memelihara lingkungan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Disamping itu alam ini juga adalah amanat yang harus dipelihara dan dirawat
dengan baik. Mensyukuri nikmat Allah dengan cara ini akan menambah
kualitas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Sebaliknya orang
yang tidak bersyukur terhadap nikmat Allah akan diberi azab yang sangat
menyedihkan. Azab Allah dalam kaitan ini adalah bencana alam akibat
eksploitasi alam yang tanpa batas karena kerusakan manusia.

Ciri- ciri Orang Taqwa Menurut Al-qur'an :


 Beriman pada yang ghaib
 Mendirikan salat
 Menafkahkan sebagaian rezeki yang Allah kurniakan kepadanya
 Beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad saw) dan
sebelum mu.
 Yakin kepada hari akhirat

Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi
menjadi dua yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tahuid teoritis adalah
tahuid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Zat, sifat dan Perbuatan
Tuhan.
Adapun tahuid praktis yang disebut juga tauhid ibadah berhubungan
dengan amal dan ibadah manusia. Tahuid praktis merupakan penerapan dari
tauhid toritis. Seperti dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah ,
atau yang wajib disembah hanyalah Allah semata yang menjadikan-Nya
tempat tumpuhan hati dan tujuan gerak langkah.
Dalam menegakan tahuid, seseorang harus menyatukan iman dan amal,
konsep, dan pelaksanaan, pikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks.
Dengan demikian bertahuid adalah mengesakan Tuhan dengan pengertian
yakin dan percaya kepada Allah melalui fikiran membenarkan dengan hati ,
mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatannya. Oleh
karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah
mengucapkan kalimat tahuid dan dengan mengamalkan semua perintah Allah
dan menjahui larangannya.

C. Korelasi Keimanan dan Ketakwaan


Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi
menjadi dua yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tahuid teoritis adalah
tahuid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Zat, sifat dan Perbuatan
Tuhan. Adapun tahuid praktis yang disebut juga tauhid ibadah berhubungan
dengan amal dan ibadah manusia. Tahuid praktis merupakan penerapan dari
tauhid toritis. Seperti dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah ,
atau yang wajib disembah hanyalah Allah semata yang menjadikan-Nya
tempat tumpuhan hati dan tujuan gerak langkah. Dalam ajaran islam yang
dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam
ibadah dan dalam perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
menegakan tahuid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep, dan
pelaksanaan, pikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian
bertahuid adalah mengesakan Tuhan dengan pengertian yakin dan percaya
kepada Allah melalui fikiran membenarkan dengan hati , mengucapkan
dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatannya. Oleh karena itu
seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan
kalimat tahuid dan dengan mengamalkan semua perintah Allah dan menjahui
larangannya.

D. Problema dan Tantangan dalam Kehidupan Modern


Problem-problem manusia dalam kehidupan modern adalah munculnya
dampak negatif (residu), mulai dari berbagai penemuan teknologi yang
berdampak terjadinya pencemaran lingkungan, rusaknya habitat hewan
maupun tumbuhan, munculnya beberapa penyakit, sehingga belum lagi dalam
peningkatan yang makro yaitu berlobangnya lapisan ozon dan penasan global
akibat akibat rumah kaca. Tidakkah kita belajar dari pohon, daun yang gugur
karena sudah tua apakah tidak menjadikan residu yang merugikan tetapi justru
bermanfaat bagi kesuburan pohon itu sendiri, ini menyiratkan perlunya
teknologi yang ramah lingkungan dan meminimalisasi dampak lingkungan
yang di timbulkannya. manusia juga tidak melihat di dalam kegelapan seperti
kelelawar, namun akal manusia yang dapat menciptakan lampu, untuk
mengatasi kelemahan itu. Manusia tidak mampu lari seperti kuda dan
mengangkat benda-benda berat seperti sekuat gajah, namun akal manusia telah
menciptakan alat yang melebihi kecepatan kuda dan sekuat gajah. Kelebihi
manusia dengan mahkluk lain adalah dari Akalnya. Sedangkan dalam bidang
ekonomi kapitalisme-kapitalisme yang telah melahirkan manusia yang
konsumtif, meterialistik dan ekspoloitatif. Aktualisasi taqwa adalah bagian
dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu pentingnya taqwa yang harus
dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia ini sehingga beberapa
syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud pembentukan diri
seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih sering lagi
setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu menganjurkan
jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa dalam
kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang
diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah). Taqwa adalah satu hal yang
sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim. Signifikansi taqwa bagi umat
islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi pembeda dengan umat lain
bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah refleksi iman seorang
muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti binatang, jin dan
iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap taqwa,
karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman
kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara
sederhana adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda
antara manusia dengan makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan
sudah mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan
keimanannya dengan bertaqwa dalam arti menjalankan segala perintah Allah
dan menjauhi segala laranganNya, dan dia juga tidak mau terikat dengan
segala aturan agamanya dikarenakan kesibukannya atau asumsi pribadinya
yang mengaggap eksistensi syariat agama sebagai pembatasan berkehendak
yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia beragama akan tetapi
agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam kehidupan sosialnya,
maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan tetapi
kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang
dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada
akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya
dan menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi
permasalahan sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan
modern yang serba mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap
detik dalam kehidupan umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang
dilarang agamanya akan tetapi sangat menarik naluri kemanusiaanya,
ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung. Keadaan seperti ini
sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang kental dalam
kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup
mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu
mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju
sikap taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami)
muslim siapapun. Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa
sekarang, baik yang berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk
normatif seperti himbauan khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini
dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yang pertama muslim yang
bersangkutan belum paham betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga
membuatnya enggan untuk memulai, dan yang kedua ketidaktahuannya
tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus mulai merilis sikap taqwa,
kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup tidak mendukung
dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang kehidupan yang
serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap individu muslim
harus paham pos – pos alternatif yang harus dilaluinya, diantaranya yang
paling awal dan utama adalah gadhul bashar (memalingkan pandangan),
karena pandangan (dalam arti mata dan telinga) adalah awal dari segala
tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap oleh panca indera
kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota tubuh dan
akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika penglihatan
atau pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang dilarang
agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka
pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan
nyata, dan jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai
sikap taqwa. Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural
ini dirasa perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal
yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri
menjadi muslim yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan
perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama, menjadikan seorang muslim
memiliki kesempatan besar dalam memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah
sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh dalam mengarungi kehidupan dunia
yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada kehidupan akhirat yang
kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu yang pasti dan tidak
dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah kematian menjadikan
taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam kehidupan manusia yang
sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan
hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih diri untuk
terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, karena
arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-
Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.
Problem dalam Hal Ekonomi
Semakin lama manusia semakin menganggap bahwa dirinya merupakan homo
economicus, yaitu merupakan makhluk yang memenuhi kebutuhan hidupnya dan
melupakan dirinya sebagai homo religious yang erat dengan kaidah – kaidah
moral. Ekonomi kapitalisme materialisme yang menyatakan bahwa berkorban
sekecil – kecilnya dengan menghasilkan keuntungan yang sebesar – besarnya
telah membuat manusia menjadi makhluk konsumtif yang egois dan serakah (saya
sendiri mengakuinya).
Problem dalam Bidang Moral
Dalam hal ini bersamaan dengan maraknya globalisasi masuklah sedikit demi
sedikit yang lama – lama menjadi bukit, yaitu faham liberalisme dalam bentuk
kebebasan berekspresi melalui teknologi informasi hasil rekaan manusia sendiri.
Pada hakikatnya Globalisasi adalah sama halnya dengan Westernisasi, setuju? Ini
tidak lain hanyalah kata lain dari penanaman nilai – nilai Barat yang
menginginkan lepasnya ikatan – ikatan nilai moralitas agama yang menyebabkan
manusia Indonesia pada khususnya selalu “berkiblat” kepada dunia Barat dan
menjadikannya sebagai suatu symbol dan tolok ukur suatu kemajuan.
Problem dalam Bidang Agama
Tantangan agama dalam kehidupan modern ini lebih dihadapkan kepada
faham Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan dunia hendaknya dipisahkan
dari urusan agama. Hal yang demikian akan menimbulkan apa yang disebut
dengansplit personality di mana seseorang bisa berkepribadian ganda. Misal pada
saat yang sama seorang yang rajin beribadah juga bisa menjadi seorang koruptor.
Problem dalam Bidang Keilmuan
Masalah yang paling kritis dalam bidang keilmuan adalah pada corak
kepemikirannya yang pada kehidupan modern ini adalah menganut
faham positivisme dimana tolok ukur kebenaran yang rasional, empiris,
eksperimental, dan terukur lebih ditekankan. Dengan kata lain sesuatu dikatakan
benar apabila telah memenuhi criteria ini. Tentu apabila direnungkan kembali hal
ini tidak seluruhnya dapat digunakan untuk menguji kebenaran agama yang
kadang kala kita harus menerima kebenarannya dengan menggunakan keimanan
yang tidak begitu poluler di kalangan ilmuwan – ilmuwan karena keterbatasan
rasio manusia dalam memahaminya.

E. Peran Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan


dalam Kehidupan Modern
Peran iman dan taqwa di dalam problem dan tantangan kehidupan
moderen adalah suatu masalah besar yang harus di hadapi oleh setiap orang
(Manusia) karna seperti yang kita lihat selama ini semakin bertambahnya
Zaman pasti akan ada perubahan! baik dalam segi moral, agama, budaya,
maupun dalam segi sosial kehidupan di dalam masyarakat. Dan yang paling
utama dalam segi agama, kepercayaan dan keyakinan sehingga dalam segi
iman dan taqwapun berkurang. Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia
sangat besar. Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh
iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan
Allah. Kalau Allah hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada
satu kekuatanpun yang dapat mencegahnya. Kepercayaan dan
keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia
yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan
kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis
kepercayaan pada khurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya.
Pegangan orang yang beriman adalah surat al-Fatihah ayat 1-7.

Yang artinya :
1. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
4. Yang menguasai hari pembalasan
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah
kami memohon pertolongan
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus
7. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan
mereka yang sesat.

2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.


Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut.
Banyak diantara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran,
karena takut menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin
sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman
mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS. an-
Nisa/4:78.

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,


kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika
mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari
sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun? (Q.S An-Nisaa 4:78)

3. Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.


Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia. Banyak orang yang melepaskan pendiriannya,
arena kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang manusia tidak
segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan dan bermuka
dua, menjilat dan memperbudak diri untuk kepentingan materi.
Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS.
Hud/11:6.
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).Q.S
Hud 11:6
4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.
Acapkali manusia dilanda resah dan dukacita, serta digoncang oleh
keraguan dan kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai
keseimbangan, hatinya tenteram (mutmainnah), dan jiwanya tenang
(sakinah), seperti dijelaskan dalam firman Allah surat ar-Ra’d/13:28.

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram


dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram. (Q.S Ra’d 13:28)

5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).


Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu
menekankan kepada kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik.
Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. an-Nahl/16:97.
Allah SWT berfirman:

َ ‫ط ِّي َبةً َح ٰيوة ً فَلَـنُحْ ِّي َينَّه ُمؤْ ِّمن َوه َُو ا ُ ْن ٰثى اَ ْو ذَكَر ِّم ْن‬
‫صا ِّل ًحـا َع ِّم َل َم ْن‬ َ ۚ ‫س ِّن اَجْ َر ُه ْم َولَـنَجْ ِّز َيـنَّ ُه ْم‬
َ ْ‫كَانُ ْوا َما ِّباَح‬
َ‫يَ ْع َملُ ْون‬
"Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan." (QS. An-Nahl 16: Ayat 97)
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat
dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang
beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya,
baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia senantiasa
berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162.
Allah SWT berfirman:
َ‫ب ْالعٰ لَ ِميْن‬
ِ ‫اي َو َم َماتِ ْي ِ هّلِلِ َر‬ َ ‫قُ ْل ا َِّن‬
ُ ُ‫ص ََلتِ ْي َون‬
َ ‫س ِك ْي َو َمحْ َي‬
"Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya sholatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam," (QS.
Al-An'am 6: Ayat 162)

7. Iman memberi keberuntungan


Orang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar, karena
Allah membimbing dan mengarahkan pada tujuan hidup yang
hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah orang yang
beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
QS. al-Baqarah/2:5.
Allah SWT berfirman:
َ‫ولٰٓئِكَ ُه ُم ْال ُم ْف ِل ُح ْون‬ ٰٓ ٰ ُ ‫ا‬
ٰ ُ ‫ولئِكَ َع ٰلى ُهدًى ِم ْن َّر ِب ِه ْم ۙ َوا‬

"Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah


orang-orang yang beruntung." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 5)
8. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi
biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal itu karena
semua gerak dan perbuatan manusia mukmin, baik yang dipengaruhi
oleh kemauan, seperti makan, minum, berdiri, melihat, dan berpikir,
maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti gerak jantung,
proses pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih dari serangkaian
proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ
tubuh yang melaksanakan proses biokimia ini bekerja di bawah
perintah hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur oleh hormon
yang diproduksi oleh kelenjar hipofise yang terletak di samping bawah
otak. Pengaruh dan keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan oleh gen
(pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak ia masih berbentuk
zigot dalam rahim ibu. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon
dan selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia.
Jika karena terpengaruh tanggapan, baik indera maupun akal,
terjadi perubahan fisiologis tubuh (keseimbangan terganggu), seperti
takut, marah, putus asa, dan lemah, maka keadaan ini dapat
dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu, orang-orang yang
dikontrol oleh iman tidak akan mudah terkena penyakit modern,
seperti darah tinggi, diabetes dan kanker.
Sebaliknya, jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman, tidak
mengacuhkan asas moral dan akhlak, merobek-robek nilai
kemanusiaan dalam setiap perbuatannya, tidak pernah ingat Allah,
maka orang yang seperti ini hidupnya akan diikuti oleh kepanikan dan
ketakutan. Hal itu akan menyebabkan tingginya produksi adrenalin dan
persenyawaan lainnya. Selanjutnya akan menimbulkan pengaruh yang
negatif terhadap biologi tubuh serta lapisan otak bagian atas.
Hilangnya keseimbangan hormon dan kimiawi akan mengakibatkan
terganggunya kelancaran proses metabolisme zat dalam tubuh
manusia. Pada waktu itu timbullah gejala penyakit, rasa sedih, dan
ketegangan psikologis, serta hidupnya selalu dibayangi oleh kematian.

Anda mungkin juga menyukai