PEMBAHASAN
A. Keimanan
Perkataan iman ( )إيمانdiambil dari kata kerja 'aamana' ( )أمن-- yukminu'
( )يؤمنyang berarti 'percaya' atau 'membenarkan'. Perkataan iman yang berarti
'membenarkan' itu disebutkan dalam al-Quran, di antaranya dalam Surah At-
Taubah ayat 62 yang bermaksud: "Dia (Muhammad) itu membenarkan
(mempercayai) kepada Allah dan membenarkan kepada para orang yang
beriman." Iman itu ditujukan kepada Allah, kitab kitab dan Rasul. Iman itu
ada dua jenis: Iman Hak dan Iman Batil. Definisi Iman
berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan
merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan
dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman
adalah mereka yang di dalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala
tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang
jujur atau orang yang memiliki prinsip. Atau juga pandangan dan sikap hidup.
Para imam dan ulama telah mendefinisikan istilah iman ini, antara lain, seperti
diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Talib: "Iman itu ucapan dengan lidah dan
kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan
anggota." Aisyah r.a. berkata: "Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan
dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota." Imam al-
Ghazali menguraikan makna iman: "Pengakuan dengan lidah (lisan)
membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan
rukun-rukun (anggota-anggota)." Oleh karena itu, iman menunjukan sikap
batin yang terletak dalam hati sehingga, orang yang percaya atau beriman
kepada Allah akan menunjukkan sikap batin yang sesuai dengan ajaran Allah.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Atthabrani, Iman
didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dalam lisan, dan
diwujudkan dengan amal perbuatan. Dengan demikian, iman merupakan
kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan serta dapat
juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup. Akidah islam dalam Al-
Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan keyakinan
yang mendorong seseorang untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu
sesuai dengan keyakinan yang diyakininya. Oleh karena itu, orang yang
mengimani aqidah islam akan melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan
hukum islam. Proses terbentuknya iman dimulai pada saat seseorang masih
dalam kandungan. Dalam hal ini. Nabi Muhammad SAW bersabda “Setiap
anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak
tersebut menjadi yahudi, nasrani, atau majusi”. Oleh karena itu, keimanan
seorang anak ditentukan oleh orang tuanya. Tak hanya itu, perilaku orang tua
dirumah jugalah menjadikan anak tersebut berperilaku baik atau buruk.Proses
pembentukan iman diawali dengan proses perkenalan yaitu mengenal serta
mengetahui bagaimana ajaran Allah. Karena tidak mungkin seseorang dapat
beriman kepada Allah tanpa terlebih dahulu mengenal dan mengetahui ajaran
Allah setelah mengenal dan mengetahui ajaran Allah harus dilakukan proses
pembiasan agar dapat melaksanakan ajaran Allah dengan senang, ikhlas, dan
benar. Dalam Islam dikenal beberapa tingkatan seseorang dalam keyakinan
beragama, diantaranya adalah:
Muslim : orang mengaku islam, kadar keimanannya termasuk yang
terendah, sebatas pengakuan Allah sebagai tuhan yang esa, belum ada
bedanya dengan iblis yang juga meyakini bahwa Allah adalah maha esa.
Mu'min : orang beriman, yang mengkaji syariat Islam sehingga
meningkat wawasan keislamannya.
Muhsin : orang yang memperbaiki segala perbuatannya agar menjadi
lebih baik
Mukhlis : orang yang ikhlas dalam beribadah, hidupnya hanya untuk
mengabdikan kepada Allah
Muttaqin : orang yang bertakwa, tingkatan ini adalah yang tertinggi di
antara tingkatan lainnya.
Al- Qur’an menjelaskan tanda – tanda orang beriman sebagai berikut :
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar. Jika dibacakan ayat Al-
Qur’an, maka bergejolak hatinya. Berusaha memahami ayat yang tidak
diketahui dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas darinya.
2. Senantiasa tawakal, bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah,
diiringi dengan doa agar tetap hidup dengan ajaran Allah.
3. Menafkahkan rezeki yang diterimanya.
4. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan.
5. Memelihara amanah dan menepati janji.
B. Ketaqwaan
Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi dan wiqayah yang berarti
takut, menjaga, memelihara dan melindungi. Maka taqwa dapat
diartikan sebagai sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam
pengalaman ajaran agama islam. Taqwa secara bahasa berarti penjagaan/
perlindungan yang membentengi manusia dari hal-hal yang menakutkan
dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, orang yang bertaqwa adalah
orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan
perintah-Nya dan tidak melanggar larangan-Nya kerena takut terjerumus ke
dalam perbuatan dosa. Taqwa adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat
dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan
dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan
benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan pada orang lain,
diri sendiri dan lingkungannya. Dari berbagai makna yang terkandung dalam
taqwa, kedudukannya sangat penting dalam agama islam dan kehidupan
manusia karena taqwa adalah pokok dan ukuran dari segala pekerjaan seorang
muslim. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa
“ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun
melalaikan yang wajib”. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada
Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan
menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada
Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan
segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu
dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan. Termasuk
dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang
dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan
dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah
itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya
seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan
tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan
orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad
hafizhahullah. Seorang yang bertaqwa (muttaqin) adalah seorang yang
menghambakan dirinya kepada Allah SWT dan selalu menjaga hubungan
dengannya setiap saat sehingga kita dapat menghindari dari kejahatan dan
kemunkaran serta membuatnya konsisten terhadap aturan-aturan Allah.
Ketaqwaan kepada Allah dapat dilakukan dengan cara beriman kepada Allah
menurut cara-cara yang diajarkan-Nya melalui wahyu yang
sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia,
seperti yang terdapat dalam surat Ali-imran 138 :
Allah SWT berfirman:
Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi
menjadi dua yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tahuid teoritis adalah
tahuid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Zat, sifat dan Perbuatan
Tuhan.
Adapun tahuid praktis yang disebut juga tauhid ibadah berhubungan
dengan amal dan ibadah manusia. Tahuid praktis merupakan penerapan dari
tauhid toritis. Seperti dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah ,
atau yang wajib disembah hanyalah Allah semata yang menjadikan-Nya
tempat tumpuhan hati dan tujuan gerak langkah.
Dalam menegakan tahuid, seseorang harus menyatukan iman dan amal,
konsep, dan pelaksanaan, pikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks.
Dengan demikian bertahuid adalah mengesakan Tuhan dengan pengertian
yakin dan percaya kepada Allah melalui fikiran membenarkan dengan hati ,
mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatannya. Oleh
karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah
mengucapkan kalimat tahuid dan dengan mengamalkan semua perintah Allah
dan menjahui larangannya.
Yang artinya :
1. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
4. Yang menguasai hari pembalasan
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah
kami memohon pertolongan
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus
7. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan
mereka yang sesat.
َ ط ِّي َبةً َح ٰيوة ً فَلَـنُحْ ِّي َينَّه ُمؤْ ِّمن َوه َُو ا ُ ْن ٰثى اَ ْو ذَكَر ِّم ْن
صا ِّل ًحـا َع ِّم َل َم ْن َ ۚ س ِّن اَجْ َر ُه ْم َولَـنَجْ ِّز َيـنَّ ُه ْم
َ ْكَانُ ْوا َما ِّباَح
َيَ ْع َملُ ْون
"Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan." (QS. An-Nahl 16: Ayat 97)
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat
dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang
beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya,
baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia senantiasa
berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162.
Allah SWT berfirman:
َب ْالعٰ لَ ِميْن
ِ اي َو َم َماتِ ْي ِ هّلِلِ َر َ قُ ْل ا َِّن
ُ ُص ََلتِ ْي َون
َ س ِك ْي َو َمحْ َي
"Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya sholatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam," (QS.
Al-An'am 6: Ayat 162)