Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FITOTERAPI

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fitoterapi

Dosen Pengampu :
Dr. Kintoko, M.Sc., Apt

Disusun Oleh :
WIDA SAFITRI
1500023087

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah dengan tema Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) ini dengan baik.
Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan terkait fitoterapi pada PPOK
serta untuk memenuhi tugas mata kuliah fitoterapi.
Pada kesempatan kali ini penulis tidak lupa menyampaikan rasa syukur dan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini dan memberik dukungan kepada penulis.
Penyusun menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun segi
penyampaian yang menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak
untuk kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat melengkapi khasanah ilmu
pengetahuan yang senantiasa berkembang dengan cepat.

Yogyakarta, 15 Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A. Definisi PPOK.............................................................................................. 3
B. Epidemiologi ................................................................................................ 4
C. Etiologi ......................................................................................................... 4
D. Patofisiologi ................................................................................................. 6
E. Gejala ........................................................................................................... 8
F. Fitoterapi ...................................................................................................... 9
G. Mekanisme Aksi ........................................................................................ 10
H. Toksisitas ................................................................................................... 13
I. Efek Samping ............................................................................................. 13
J. Dosis........................................................................................................... 14
K. Kontra Indikasi ........................................................................................... 14
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 15
A. Kesimpulan ................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit kronis pada
paru yang ditandai dengan batuk produktif dan dispnea serta terjadi obstruksi
saluran napas. PPOK meskipun bersifat kronis dan merupakan gabungan dari
emfisema, bronkitis kronis maupun asma, tetapi dalam keadaan tertentu dapat
terjadi perburukan dari fungsi pernapasan (Tabrani, 2010).
Menurut WHO, pada tahun 2016 PPOK menempati urutan ketiga
penyebab kematian di dunia setelah penyakit jantung iskemik dan stroke
dengan membunuh lebih dari 3 juta orang (WHO, 2018). Prevalensi PPOK
meningkat dengan pertambahan usia dan status riwayat merokok (Devereux,
2011). Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2004 menunjukkan
PPOK menyumbang angka kesakitan sekitar 35%.
Fitoterapi merupakan salah satu pendekatan alternatif pelengkap
menggunakan produk tumbuhan alami sebagai obat mengatasi berbagai
masalah kesehatan. Sebagian senyawa tumbuhan diketahui memiliki sifat
antioksidan dan antiinflamasi karena mengandung senyawa bioaktif.
Fitoaleksin merupakan salah satu senyawa bioaktif yang bermanfaat bagi
kesehatan manusia antara lain antiinflamasi, antioksidan, kardioprotektif, dan
neuroprotektif. Salah satu senyawa fitoaleksin polifenol yang dapat
digunakan pada terapi PPOK ada resveratrol. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa resveratrol memiliki manfaat besar diantaranya sebagai
antiinflamasi, antioksidan dan dapat meningkatkan sensitivitas terhadap
steroid (Smoliga et a., 2011). Di Finlandia, 1300 pasien PPOK
mengkonsumsi senyawa polifenol dan menunjukkan adanya penurunan gejala
klinis seperti batuk, produksi sputum, sesak napas, dan menurunkan frekuensi
eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru berdasarkan hasil VEP1 (Tabak et
al., 2001).

1
2

Berdasarkan uraian diatas, makalah ini akan dibahas terkait PPOK mulai
dari definisi, epidemiologi, penyebab dan gejalanya. Selain itu juga terkait
fitoterapi yang dapat digunakan dalam mengatasi atau mengobati PPOK.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan PPOK?
2. Bagaimana epidemiologi, etiologi, dan gejala PPOK?
3. Bagaimana fitroterapi pada PPOK serta dosis, toksisitas, efek samping
dan kontra indikasinya?

C. Tujuan
Tujuan yang dicapai dalam pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui yang dimaksud PPOK
2. Untuk mengetahui epidemiologi, etiologi, dan gejala PPOK
3. Untuk mengetahui fitoterapi pada PPOK beserta dosis, toksisitas, efek
samping, dan kontra indikasinya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
ditandai oleh perambatan aliran udara yang bersifat irreversible dan
reversible sebagian. Keterbatasan aliran udara ini bersifat progresif yang
disebabkan oleh respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
merugikan (Mangunnegoro, 2010). Global Initiative For Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang
memiliki karakteristik keterbatasan jalan napas tersebut biasanya progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi pada paru yang disebabkan oleh
bahan atau gas yan merugikan (WHO, 2011).
Istilah PPOK ditujukan untuk mengelompokkan penyakit-penyakit
yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Anonim,
2003). Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding
alveoli (PDPI, 2001). Menurut Amin (1996), diagnosis emfisema cukup
dilaksanakan secara klinis, artinya tidak harus berdasarkan pemeriksaan
patologi anatomi, akan tetapi berdasarkan manifestasi klinisnya.
Bronkitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus yang
berlebih kedalam cabang bronkus yang bersifat kronik dan kambuhan,
disertai dengan batuk yang terjadi hampir 3 bulan dalam setahun atau dua
tahun berturut-turut. (Ikawati, 2011). Menurut Amin (1996) secara klinis
diagnosis bronkitis kronik dapat ditegakkan dari anamnesis yang cermat atas
keluhan yang dirasakan dan foto torak yang menunjukkan gambaran tramline.
Selain itu pemeriksaan rutin seperti pada emisema tetap dilakukan guna
menyingkirkan penyakit paru lainnya yang mempunyai gejala serupa,
misalnya tuberkulosis paru, kanker paru, bronkoekstasis dan lainnya.

3
4

B. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1990 PPOK
menempati urutan keenam sebagai penyebab kematian di dunia, tahun 2002
PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab kematian di dunia dan
WHO memprediksi tahun 2030 PPOK akan menempati urutan ketiga sebagai
penyebab kematian di dunia. Prevalensi dari PPOK meningkat, tahun 1944
kira-kira 16,2 jjuta laki-laki dan perempuan menderita PPOK di Amerika dan
lebh dari 52 juta individu di dunia.
Berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES) tahun 1986 asma,
bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat kelima sebagai
penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT
DEPKES 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik
dan emfisema menduduki peringkat keenam dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan
bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Wilayah Yogyakarta
sendiri memiliki prevalensi PPOK sebesar 3,1% (Anonima, 2013)

C. Etiologi
Faktor genetik (endogen) merupakan faktor etiologi PPOK yang
mendasar. Defisiensi alfa1-antitripsin, suatu protein penghambat elastase
adalah faktor keturunan. Faktor tersebut dapat bermanifes menjadi PPOK
tanpa adanya pengaruh faktor luar (eksogen), akan tetapi yang banyak
dijumpai adalah kecenderungan PPOK meningkat akibat adanya interaksi
antar faktor endogen dan eksogen (Amin, 1996).
Faktor risiko lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjangkitnya
PPOK digolongkan menjadi dua, yakni faktor host dan faktor lingkungan.
Faktor host meliputi bakat genetik (antara lain defisiensi alfa 1-antitripsin),
jenis kelamin, umur, kekurangan gizi, mengalami infeksi saluran pernapasan
semasa kanak-kanak dan kebiasaan merokok. Sedangkan faktor lingkungan
5

meliputi adanya polutan didalam rumah (indoor polution) dan polutan diluar
rumah (outdoor polution).
1. Faktor Host
a. Genetik
Faktor risiko genetik yang diketahui dengan baik adalah riwayat
keluarga kekurangan alfa 1-antitripsin. Faktor lain yang berhubungan
dengan genetik meliputi respon saluran napas yang berlebihan (airways
responsiveness) terhadap pemajanan lingkungan (Burgarner dan Speizer,
1992). Respon yang berlebih pada jalan napas diduga juga menjadi
faktor risiko terjadinya PPOK (ATS, 2005).
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko dibandingkan wanita, karena berkaitan
dengan kebiasaan merokok pada laki-laki. Namun adanya kecenderungan
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah
perokok pada wanita (Prescott, 2000).
c. Umur
Elastisitas paru berkaitan erat dengan umur seseorang. Semakin tua
umur maka elastisitas parunya semakin berkurang. Semakin
berukurangnya elastisitas paru, risiko untuk terkena PPOK semakin besar
(Tabrani, 1996).
d. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan
risiko 30 kali lebih besar dari pada yang tidak merokok, dan merupakan
penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan
mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya
rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang
terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua
penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10% orang yang tidak
merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok
tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK (Ikawati,
2011).
6

e. Kekurangan gizi dan infeksi saluran pernapasan


Riwayat kekurangan gizi dan sering mengalami infeksi saluran
pernapasan semasa kanak-kanak diduga merupakan salahs atu faktor
risiko untuk terjadi PPOK (ATS, 2005). Studi epidemiologi tentang
PPOK membuktikan sering mengalami infeksi saluran pernapasan masa
kanak-kanak ada hubungan denan fungsi paru yang relatif lemah ketika
dewasa. Pasien seperti ini dan karena penggunaan rokok menunjukkan
angka kemunduran fungsi paru dengan cepat (Pretty, 1996)

2. Faktor lingkungan
a. Polusi didalam rumah
Di negara berkembang, polusi udara dalam rumah dikaitkan dengan
penggunaan kayu bakar (biomass) untuk memasak dan penghangat,
merupakan unsur penting dan berkontribusi terhadap kejadian PPOK,
terutama pada wanita (ATS, 2005)
b. Polusi diluar rumah
Polusi diluar rumah dapat berupa debu, asap pabrik, asap kendaraan
dan sebagainya. Debu yang terhisap dalam jumlah yang banyak dan
dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan PPOK. Peneliti
menemukan pemejanan debu batu bara dan merokok dapat menyebabkan
kelainan paru (Petty, 1996).

D. Patofisiologi
Perubahan kompleks pada struktur jaringan saluran napas berkaitan
dengan patogenesis PPOK. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam
patogenesis PPOK diantaranya adalah adanya inflamasi, ketidakseimbangan
oksidan dan antioksidan serta ketidakseimbangan protease dan antiprotease.
Hipotesa inflamasi berasal dari asap rokok yang menyebabka penarikkan sel
imun kedalam saluran napas dan paru. Produk yang diakibatkan oleh asap
rokok dan sel imun menimbulkan respons inflamasi berkepanjangan yang
berdampak pada kerusakan epitel saluran napas dan jaringan paru,
7

menurunnya mekanisme pertahanan paru, serta mengganggu memperbaiki


jaringan paru. Peningkatan respon inflamasi ditandai dengan adanya
peningkatan sel epitel, makrofag alveolar, netrofil, dan limfosit T terutama
CD8+ di saluran napas dan paru.
Mekanisme kedua yaitu adanya ketidakseimbangan antara oksidan
dan antioksidan. Sumber oksidan pada PPOK adalah Reactive
Oxygen/Nitrogen Species (ROS/RNS) dan dapat berasal dari lingkungan
seperti asap rokok, asap kendaraan atau polusi udara, sedangkan sumber
oksidan endogen berasar dari metabolisme aerob seluler berupa respirasi
mitokondria dan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH).
Peningkatan ROS/RNS yang tidak diimbangi dengan pertahanan antioksidan
menyebabkan terjadinya fenmena stres oksidatif. Stres oksidatif ini berperan
dalam mengatur beberapa proses penting antara lain meningkatkan respon
inflamasi, menurunkan pertahanan antioksidan endogen, aktivasi protease dan
inaktivasi antiprotease, serta proses apoptosis. Selain itu stres oksidatif juga
menurunkan efek kortikosteroid akibat menurunnya kadar enzim HDAC.
Mekanisme ketiga yaitu ketidakseimbangan protease dan antiprotease.
Peningkatan aktivitas protease menyebabkan kerusakan matriks ekstraseluler,
tanpa matriks sel epitel dan kompartemen unit alveolar rusak berdampak pada
terjadinya emfisema paru. Peningkatan aktivitas protease ini disebabkan
karena adanya inflamasi abnormal dimana sel inflamasi melepaskan enzim
proteolitik serta diperkuat oleh faktor genetik defisiensi alfa-1-antitripsin
(α1AT). Mekanisme patofisiologi PPOK dijelaskan pada gambar 1.
8

Gambar 1. Patofisiologi PPOK

E. Gejala
Menurut Kepmenkes (2008), gejala klinis yang biasa ditemukan pada
penderita PPOK adalah sebagai berikut :
1. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul selama 2 bulan
dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang
diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermitten. Batuk
kadang terjadi pada malam hari.
2. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena pengingkatan produksi sputum. Kadang-
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai
batuk. Karakteristik batuk dan dahak kronik ini dapat terjadi pada pagi
hari ketika bangun tidur.
3. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Sering kali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat
9

sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan


teliti, gunakan ukuran sesak napas sesaui skala sesak.

F. Fitoterapi
Fitoterapi merupakan salah satu pendekatan alternatif pelengkap yang
menggunakan produk tumbuhan alamai sebagai obat dalam mengatasi
berbagai masalah kesehatan. Sebaian tumbuhan diketahui mempunyai sifat
antioksidan dan antiinflamasi karena mengandung senyawa bioaktif. Suatu
senyawa yang dapat digunakan dalam pengobatan alternatif pada PPOK
adalah resveratrol.
Reveratrol (RES, 3,5,4’-trihydroxystilbene) merupakan salah satu
senyawa golongan polifenol yang banyak ditemukan di kulit anggur, akar
kering Polygonum cuspidatum atau knotweed Jepang, dan red wine.
Resveratrol juga ditemukan dalam kacang-kacangan dan buah beri.
Resveratrol telah menarik banyak perhatian ahli biologi dan kimia karena
memiliki aktivitas biologi yang luas bagi kesehatan manusia. resveratrol
termasuk dalam senyawa stilbenoid (turunan stilbene terhidroksi) atau
senyawa polifenol karena memiliki lebih dari dua gugus hidroksil dalam
struktur kmianya (Veres, 2004).
Resveratrol memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, antikanker,
kardioprotektif, neuroprotektif dan antipenuaan. Sejumlah studi penelitian
menunjukkan bahwa resveratrol memiliki manfaat besar antara lain
antiinflamasi dan anitoksidan. Pemberian reveratrol pada PPOK berperan
sebagai antiinflamasi, antioksidan, dan meningkatkan sensitivitas terhadap
steroid (Scalbert et al., 2011 dan Tabak et al., 2001). Penelitian di Finlandia
terhadap 1300 penderita PPOK menunjukkan konsumsi senyawa polifenol
dapat menurunkan gejala klinis seperti batuk, produksi sputum, sesak napas,
menurunkan frekuensi eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru berdasarkan
hasil VEP1 (Tabak et al., 2011). Mekanisme overlapping resveratrol dalam
menargetkan paru-paru pada PPOK terdapat pada gambar 1.
10

Gambar 2. Gambaran skematik manfaat resveratrol

G. Mekanisme Aksi
Resveratrol pada PPOK berkaitan dengan aktivitas antioksidan dan
antiinflamasi. Sifat antiinflamasi dan antioksidan reveratrol di paru-paru telah
ditunjukkan dalam model praklinis. Resveratrol menyebabkan penuerunan
neutrofilia jaringan paru dan sitokin proinflamasi dalam model tikus dari
radang saluran napas akut lipopolisakarida (LPS) (Birrel et al., 2005).
Resveratrol sebagai antiinflamasi mempunyai sifat pleiotrofik yaitu
mampu mentargetkan berbagai jalur signal seluler. Resveratrol menurunkan
respon inflamasi paru pada PPOK melalui hambatan beberapa jalur signal
sensitif redoks intraseluler seperti NFκβ, AP1, dan PKC. Resveratrol secara
langsung menghambat faktor transkripsi utama NFκβ melalui hambatan
pembentukan inhibitor κβ kinase (IκK). Hambatan enzim IκK dapat menekan
fosforilasi dan degradasi protein Iκβ kinase sehingga mencegah translokasi
heterodimer subunit p65 dan p50 NFκβ kedalam inti sel. Inhibitor κβ kinase
(IκK) merupakan enzim inhibitor pendegradasi Iκβ sehingga jumlah Iκβ
meningkat dan aktivitas NFκβ terhambat. Faktor transkripsi sekunder API,
MAPKp38, dan PKC juga dapat dihambat oleh resveratrol. Hambatan
aktivasi NFκβ menurunkan berbagai ekspresi gen inflamasi (seperti
11

TNFα,IL1, IL6, IL8, dan GM-CSF), molekul adhesi, dan enzim protease
seperti MMPs pada PPOK Hambatan NFκβ oleh resveratrol pada penderita
PPOK terjadi di sel epitel saluran napas dan makrofag alveolar28,74. Hambatan
NFκβ juga dapat meningkatkan efek antiinflamasi steroid. Efek resveratrol
pada jalur NFκβ, dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 3. Efek resveratrol pada jalur NFκβ

Resveratol juga diketahui dapat memperbaiki sensitivitas


glukokortikoid terhadap stres oksidatif yang ditimbulkanoleh asap rokok oleh
regulasi aktivitas HDAC di jalur sel monosit atau makrofag (U937) dan
MonoMac6 (Rahman et al., 2005). Aktivitas fungsi enzim HDAC dapat
terganggu karena adanya Reactive Oxygen/Nitrogen Species (ROS/RNS) dan
juga menyebabkan meningkatnya transkripsi gen proinflamasi dalam intisel.
Histon deasetilasi (HDAC) terdiri dari kelas 1,2,3 dan 4. Suatu penelitian
baru menunjukkan bahwa asap rokok mengganggu fungsi HDAC3 pada
makrofag alveolar pada manusai secara in vitro dan pada paru tikus secara in
vivo. Penurunan kadar atau aktivitas enzim HDAC menyebabkan efek faktor
ttranskripsi NFκβ semakin kuat dan efek terapi antiinflamasi steroid mneurun
pada perokok dan penderita PPOK.
12

Gambar 4. Efek stres oksidatif dan diet polifenol pada inflamasi paru

Resveratrol diketahui bekerja secara langsung dengan menghambat


transkripsi gen proinflamasi dengan meningkatkan pembentukan kompleks
HDAC6-p65 dengan reseptor glukokortikoid sehingga menyebabkan NFκβ
menjadi tidak efektif. Selain itu resveratrol dapat menghambat aktivitas NFκβ
dengan menghalangi fosforilasi dan degradasi protein inhibitor kaffa β (Iκβ)
sebagai protein penting yang mengikat NFκβ.
Resveratrol sebagai antioksidan yang berperan mengikat radikal bebas
dengan menyumbangkan atom hidrogen ke molekul radikal bebas yang
bersifat reaktif sehingga menjadi lebih stabil. Resveratrol juga dapat
menghambat peroksidasi lemak dan meningkatkan fungsi antioksidan
enzimatik endogen superoxide dismutase (SOD), MnSOD, glutation (GSH),
dan katalase (CAT) melalui aktivitas sirtuin1 dan nuclear factor E2 related
factor 2 (Nrf2) (Pandey and Rizvi, 2011 dan Aggarwal and Shishodia, 2006).
Selain itu resveratrol juga diketahui mampu melindungi sel epitel saluran
napas dari kerusakan oksidatif dengan menginduksi sitetis GSH melalui
transkipsi nuclear faktor E2related factor2 (Nrf2).
13

Menurut Putri et al (2017), resveratol efektif dalam menurunkan kadar


IL-8 plasma. Resveratol dapat menghambat pelepasan IL-8 oleh sel epitel
bronkus yang diakibatkan oleh pejanan asap rokok dan LPS (Aggrawal and
Sishodia., 2006). Interleukin (IL)-8 merupakan sitokin proinflamasi yang
disintesis oleh sel epitel, netrofil dan makrofag sebagai respons terhadap
stimulus (Mukaida, 2003). Resveratrol dapat menghambat faktor transkripsi
utama NFκβ melalui hambatan pembentukan inhibitor κβ kinase (IκK)
(Aggrawal and Sishodia., 2006). Hambatan enzim IκK mencegah fosforilasi
dan degradasi protein Iκβ kinase sehingga mencegah translokasi heterodimer
subunit p65 dan p50 NFκβ kedalam inti sel (Aggrawal and Sishodia., 2006
dan Louise, 2004). Hambatan NFκβ mencegah pelepasan kadar IL-8 yang
meningkat akibat infeksi, polutan serta komorbid.

H. Toksisitas
Studi penelitian menunjukkan bahwa efek toksik akut pemberian
resveratrol terjadi pada dosis letal (LD50) yaitu rata-rata lebih dari 3000
mg/hari. Efek toksik yang ditimbulkan adalah nefrotoksik yang ditandai
dengan peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum, peningkatan berat
ginjal, perubahan patologi ginjal dan peningkatan keparahan perubahan
hispatologi di ginjal.

I. Efek Samping
Pemberian resveratrol intravena 80 mg/kg/hari pada tikus selama 5
hari tidak menunjukkan efek samping. Kemudian dilanjutkan pemberian
resveratrol oral 250 mg/kg/hari selama 5 hari juga tidak menunjukkan adanya
efek samping pada tikus (Juan et al., 2002). Pemberian resveratrol jangka
panjang dalam dosis tinggi (300 mg) pada tikus juga menimbulkan efek
samping. Efek samping tersebut meliputi penurunan nafsu makan dan berat
badan serta peningkatan enzim hati (ALT), kadar BUN dan kreatinin.
Dalam studi multi-dosis, 40 relawan menerima satu dosis resveratrol
(25, 50, 100, 150 mg atau plasebo) setiap 4 jam selama 48 jam. Efek samping
14

yang paling sering terjadi adalah sakit kepala. Efek merugikan lainnya adalah
mialgia, somnolen (kelompok 25 mg), epididimitis (kelompok 100 mg) serta
pusing dan sakit kepala (kelompok 150 mg) (Almeida et al., 2009). Banyak
peneliti menunjukkan pemberian resveratrol oral dosis 300-1000 mg/hari
tidak menimbulkan efek samping pada tikus.

J. Dosis
Penelitian klinis pada manusia menunjukkan bahwa pemberian
resveratrol tidak menunjukkan adanya efek samping, sehingga dapat
digunakan dalam terapi. Food Drug Administration (FDA)
merekomendasikan pemberian resveratrol oral dosis 300 mg/hari. Pemberian
resveratrol 1 x 500 mg per oral secara statistik memberikan pengaruh
bermakna pada penurunan nilai skor CAT (COPD Assessment Test) penderita
PPOK (Putri et al., 2017). Produk suplemen diet resveratrol rata-rata sekitar
50 sampai 500 mg. Penelitian klinis pada manusia menunjukkan bahwa
pemberian resveratrol 50-1000 mg/hari tidak menunjukkan efek samping.

K. Kontra Indikasi
Resveratrol dapat mengganggu pembekuan daea, sehingga orang
dengan gangguan pendarahan harus menghindari konsumsi resveratrol. Juga
bagi yang akan menjalani operasi terjadwal disarankan untuk berheneti
menggunakan resveratrol setidaknya dua minggu sebelumnya. Selain itu
resveratrol tidak dianjurkan digunakan oleh pasien yang hipersenstif terhadap
resveratrol, atau pasien dengan kondisi tekanan darah tinggi, serangan jantung
selama 30 hari terakhir, aritmia, penyakit hati yang berat, penyakit jantung,
ansietas, dan hamil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan yaitu :
1. PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progresif irreversible atau
reversible parsial.
2. Penyebab PPOK meliputi faktor lingkungan (outdorr polutant dan
indoor polutant) dan faktor risiko dari host (genetik, usia, jenis
kelamin, kebiasaan merokok). Gejala yang ditimbulkan berupa batuk
kronik, berdahak kronik sera sesak napas. Untuk gejala fisiknya
ditemukan hal-hal seperti inspeksi, palpitasi, perkuasi dan auskultasi.
3. Fitoterapi yang dapat dilakukan pada PPOK ini adalah dengan
menggunakan senyawa aktif resveratrol yang bekerja sebagai
antiinflamasi dan antioksidan pada PPOK. Dosis yang dapat digunakan
pada pengobatan PPOK adalah 500 mg/hari dan tidak menimbulkan
efek samping. Penggunaan resveratrol dosis besar dalam jangka
panjang menyebabkan penurunan nafsu makan dan berat badan, serta
penurunan fungsi hati dan ginjal.

15
16

DAFTAR PUSTAKA

Almeida, L., Vaz-da-Silva, M., Falcao, A., Soares, E. Et al., 2009.


Pharmacokinetics and Safety Profiel of Trans-resveratrol in A Rising Multi-
dose Study in Healthy Volunteers. Mol. Nutr. Food Res. 53, S7-15
Amin, M. 1996. Penyakit Paru Obstruktif Menahun; Polusi Udara, Rokok Dan
Alfa-1-Antitripsin, Airlangga University Press, Surabaya.
Anonim. 2001. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) : Pedoman Praktis
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia, Jakarta.
Anonim. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) : Pedoman Praktis
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia, Jakarta.
Anonim. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.Jakarta.
Birrel et al., 2005. Resveratrol, An Extract Of Red Wine, Inhibits
Lipopolysaccharide Induce Airway Neutrophilia And Inflammatory
Mediators Through An Nf-Kappab-Independent Mechanism. FASEB J. 19 :
840-841
Burgarner, J.R. Dan Speizer, F.E. 1992. Health Sector Priorities Riview; Chronic
Obstructive Pulmonary Disease, Population. Health And Nutrition Division
Population And Human Resources Departement The World Bank,
Washington, DC. 20 : 433.
Global Initiative For Chronic Onstructive Lung Disease (GOLD), 2010, Global
Strategy For Diagnosis, Management, And Prevention Of Copd (Update
2010) National Heart, Lung And Blood Institute.
Global Initiative For Chronic Onstructive Lung Disease (GOLD), 2010,
Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease, National Heart, Lung And Blood Institute.
Ikawati, Z. 2011. Penyakit Sistem Pernapasan Dn Tatalaksana Terapinya. Bursa
Ilmu, Yogyakarta.
17

Mangunnegoro, H. 2003. PPOK : Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanan Di


Indonesia. Penghimpunan Dokter Paru Indonesia.
Menteri Kesehatan (Menkes). 2008. Pedoman Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
Petty, T.L. 1996. Definitions, Course, And Prognosis Of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Respiratory Care Clinics Of North America.
Prescott, E. 2000. Tobaccoc-Related Disease : The Role Of Gender, Dan Med
Bull, 47 : 115-131
Putri, W., Suradi., Diffah., Harsini. 2017. Pengaruh Resveratrol Terhadap Kadar
Interleukin-8 Plasma, MMP-9 Plasma Dan Skor CAT Penderita PPOK
Eksaserbasi. Jurnal Respirasi Indonesi. 37(2) : 119-128
Rahman, Irfan. 2006. Antioxidant Therapies in COPD. International Journal of
COPD. I(1) : 15-29
Tabrani, R. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Lektor Fisiologindan Biokimia Universitas
Riau Direktur Chest Clinic Pekanbaru, Cetakan I
World Health Organization. 2011. The World Medicine Situation 2011 3ed.
Rational Use Of Medicine, Geneva.
World Health Organization. 2018. Death by Cause, Age, Sex, by Country and by
Region, 2000-2006. Geneva.

Anda mungkin juga menyukai