HK Intrnsionl

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional

Pengertian
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari
dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut
hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal
katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut
hukum atau kewenangan menurut hukum.
Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di pengadilan
Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa para pihak dilarang
melakukan “out of the jurisdiction of the court” terhadap anak-anak yang berarti melarang
membawa anak-anak keluar dari Inggris. Kata jurisdiction di sini berarti territory. Dalam
Piagam PBB sering digunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik.
Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan
kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa. Menurut
Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan
peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila
yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara
untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara
atau bangsa itu sendiri.
Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah
kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang, benda dan peristiwa hukum.
Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan Negara, persamaan derajat
Negara dan prinsip non intervensi.
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat menurut John
O’Brien, yaitu:
1. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda,
peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive
jurisdiction) ;
2. Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction) ;
3. Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum
(yudicial jurisdiction).
Adalah penting untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas. Menurut Akehurst,
khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang ketiga. Contoh enforcement
jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan lain-lain. Enforcement
jurisdiction menurut Akehurst merupakan powers of physical interference exercised by the
executive. Contoh enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta
kekayaan dan lain-lain. Adapun contoh judicial enforcement adalah persidangan yang
dilakukan pengadilan suatu Negara berkaitan dengan orang, banda maupun peristiwa tertentu.
Penerapan yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu kasus ditemukan
unsur asing. Misalkan saja kewarganegaraan pelaku dan/atau korban warga Negara asing., atau
tempat perbuatan atau peristiwa terjadi di luar negeri. Dalam kasus yang kompleks bisa
tersangkut banyak unsure asing, misalkan saja dalam kasus pembunuhan yang dilakukan Oki,
seorang mahasiswa WNI terhadap dua WNI lainnya dan WN India di New York tahun 1995.
Kasus ini menyangkut tiga Negara. Semua Negara mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap si
pembunuh, tetapi hanya ada satu Negara yang akan mengadilinya. Seorag pelaku kejahatan
tentu tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dalam perkara dan tuntutan yang sama. Negara
tempat dimana pelaku ditemukan memiliki kesempatan terbesar untuk menerpkan
yurisdiksinya. Meskipun demikian, belum tentu Negara tersebut mau menerapkan
yurisdiksinya. Dalam kasus mahasiswa Indonesia di atas meskipun pelaku ditangkap di New
York, tetapi atas permintaan pemerintah Indonesia, AS mengektradisikan pelaku ke Indonesia.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah mencoba
untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan
benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan,
yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan
ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka
yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial,
universal dan eksklusif.
Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan
pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suau Negara terhadap
perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional),
maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut
baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan.
Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hukum pengadilan suatu Negara terhadap
perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat
unsur asing di dalamnya.

Hukum internasional publik tidak banyak membuat aturan atau pembatasan berkaitan dengan
kasus-kasus perdata internasional. Hukum internasional publik lebih memfokuskan diri pada
yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang
menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum
internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial
jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :
1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang
dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip
territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan
yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi
terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas
territorialnya sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu
kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling
terganggu;
b. Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan;
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat
lebih efisien dan efektif;
d. Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada
system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia
datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah
(lawful) menurut system HN negaranya sendiri.
Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan
memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan
yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada
beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi
territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Terhadap pejabat diplomatik negara asing
b. Terhadap negara dan kepala negara asing
c. Terhadap kapal public negara asing
d. Terhadap organisasi internasional
e. Terhadap pangkalan militer negara asing

2. Prinsip Teritorial Subjektif


Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan
kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara
lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia
menembak B yang berada di seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini,
Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A
melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya timbul di
wilayah Malaysia.
3. Prinsip Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan
kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari
Negara lain. Prinsip territorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal
Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki mengklaim
memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh
kapal (wilayah eksttrateriotrial) Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat
mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu
tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah
Indonesia.
4. Prinsip Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan kejahatan
di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh
majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang
tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan
ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang
berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.
5. Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban
kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan
memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina)
yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika
mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur
Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat
Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.
6. Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan
internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun
korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam,
musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari
hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas
nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal dalam hukum internasional bertujuan untuk memproses fenomena
pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa
di bawah hokum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang
diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai
pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri menonjol
sebagai berikut:
a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara”
mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara
aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh
serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa
bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk
melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya.
b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu
mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana
serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan
antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat
dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah
apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa
melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan
pelanggaran hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada
di wilayah Negara lain.
c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku
serious crime atau yang lazim disebut internastional crime.
Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan hokum dalam
pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi
universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik pertautan
antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana
itu sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh hokum
internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya dapat
diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut hakim Supreme Court Amerika
Serikat dalam Hostage Case adalah :
“an international crime is such an act universally recognized as criminal, which is
considered as agrave matter of international concern and for some valid reason cannot be
left within the state that would have control over it under normal circumatances”
Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa syarat
sebagai berikut:
a. Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai
tindak pidana dalam semua system hokum pidana di semua Negara. Semua Negara
mengutuk (condemn) perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak.
b. Tindak pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai international crime, yaitu
bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan tindakannya bertentangan dengan
kepentingan umat manusia sehingga penegakan hokum internasionalnya harus dilakukan,
dengan melalui hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional, dengan
menghukum pelakunya.
c. Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka sangat
beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang jika dalam
keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.
Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime) dan piracy sebagai
kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404
Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of United States menyebutkan yurisdiksi
universal diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft,
genocide, war crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi
Jenewa 1949, pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan
kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi universal.
Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3
bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC
menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai
yurisdiksinya.
Prinsip Perlindungan
Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing yang melakukan
yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius yang
mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan, serta
kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi
perlindungan antara lain spying, plots to overthrow the government, forging currency,
immigration and economic violation.
Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris, dan lain-lain
termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang sangat berbahaya karena dapat
diinterpretasikan dengan sangat luas oleh suatu Negara untuk mengadili seseorang atas
dasar prinsip perlindungan bagi negaranya. Beberapa Negara barat menggunakan prinsip
ini dalam kasus perdagangan obat-obat terlarang juga terorisme. Adapun Indonesia
menyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum PIdananya bahwa Indonesia memiliki
yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan tindakan
mengancam dan kepentingan vital ekonomi Indonesia.
Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi
Kedaulatan Negara hanya dapat dilakasanakan di wilayah atau teritorialnya dan akan
berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau territorial Negara lain. Meskipun suatu Negara
memiliki judicial jurisdiction atau kewenangan untuk mengadili seseorang berdasarkan
prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hokum internasional, namun tidak begitu saja Negara
dapat melaksanakannya (enforcement jurisdiction) ketika orang tersebuut sudah melarikan
diri ke Negara lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang terpidana yang berhasil kabur
dari tahanan, Negara tidak bisa langsung menangkapnya lagi ketika si terpidana berhasil
kabur ke luar negeri. Untuk itulah dalam tata kra pergaulan internasional dibutuhkan
permohonan ekstradisi dari Requesting State kepada Requested State. Dengan demikian,
keterbatasan kedaulatan territorial bisa dijembatani melalui kerja sama dengan Negara-
negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya. Keberhasilan kerja sama penegakan
hokum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidakada perjanjian
bilateral maupun multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerja sama
penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak
karena tanpa ada perjanjian itupun kerja sama penegakan hokum dapat dilaksnakan
berlandaskan asas resiprositas (timbal balik).
Kerja sama penerapan yurisdiksi atau penegakan hokum yang tertua adalah ekstradisi
kemudian diikuti kerja sama penegakan hokum lainnya seperti, dengan “mutual assistance”
(MLAT’s); “transfer of sentenced person” (TSP); “transfer of criminal proceedings” (TCP),
dan “joint investigation” serta “handing over”
Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung” (umbrella act)
untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk
kerja sama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan
Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
(mutual assistance in criminal matters). Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama
penegakan hukum tersebut adalah, bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan
orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam
proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk
pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan. Permintaan penyerahan
pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian asset hasil
kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian
tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti
permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam
masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku
kejahatan yang bersangkutan.
Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional

Oleh :
Nama : Dina Mutiara Sari Damanik
Nim : 160200407

Dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional Grup C

Universitas Sumatera Utara


Fakultas Hukum
2018

Anda mungkin juga menyukai