atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat.
Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang mengganggu sistem
imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik dengan pola bawaan khusus.
Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau
pengobatan.
Meskipun kemungkinan defisiensi imun harus dipikirkan pada seseorang yang sering
mengalami infeksi, tetapi sejatinya penyakit imunodefiensi angka kejadiannya tidak tinggi.
Karena itu selalu pertimbangkan kondisi lain yang membuat seseorang lebih rentan
terhadap infeksi, seperti penyakit sickle cell, diabetes, kelainan jantung bawaan, malnutrisi,
splenektomi, enteropati, terapi imunosupresif dan keganansan.
Penyebab
Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik berhasil
mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola menurunnya
terkait pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan autosomal (Tabel 28-1).
Penyebab defisiensi imun
Defek genetikDefek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan
(misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen
tunggal khusus pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-
linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor
sel T) Kelainan multifaktorial dengan kerentanan
genetik (misal common variable immunodeficiency)
Obat atau toksinImunosupresan (kortikosteroid,
siklosporin)Antikonvulsan (fenitoin)
Penyakit nutrisi dan metabolikMalnutrisi ( misal kwashiorkor)Protein
losing enteropathy (misal limfangiektasia intestinal)Defisiensi vitamin
(misal biotin, atau transkobalamin II)
Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati Akrodermatitis)
9. Sindrom Omenn AR AD
Defisiensi IL-12Rβ1
10. Defisiensi IL-2Rα
AR AD
11. Defisiensi fosforilase
Defisiensi IL-12p40
purin nukleosida
AR
12. Defisiensi MHC kelas II Defisiensi STAT1
13. Defisiensi MHC kelas I AR
disebabkan oleh defek E. Imunodefisiensi terkait
TAP-2 kelainan
14. Defisiensi CD3γ atau limfoproliferatif
CD3ε 1. Defisiensi Fas
15. Defisiensi CD8 (defek 2. Defisiensi ligan Fas
ZAP-70) 3. Defisiensi FLICA atau
caspase 8
4. Tidak diketahui
(defisiensi caspase 3)
C. Imunodefisiensi selular XL F. Defisiensi AR
lainnya19. Sindrom Wiskott- komplemen41. Defisiensi C1q
Aldrich
F. Defisiensi komplemen ARAR 1. Retardasi pertumbuhan, ARXL
(lanjutan) AR anomali wajah dan XL
1. Defisiensi C1r AR imunodefisiensi
2. Defisiensi C4 AR 2. Progeria (Sindrom
3. Defisiensi C2 Hutchinson-Gilford)
4. Defisiensi C3 AR Imonodefisiensi dengan defek
5. Defisiensi C5 dermatologi
6. Defisiensi C6 1. Albinisme parsial
Kelompok dan Penyakit Inheritansi Kelompok dan Penyakit Inheritansi
7. Defisiensi C7 AR 2. Diskeratosis kongenital
8. Defisiensi C8α 3. Sindrom Netherton
9. Defisiensi C8β AR 4. Enterohepatika
10. Defisiensi C9 akrodermatitis
AR
11. Inhibitor C1 5. Displasia ektoderma
12. Defisiensi faktor I anhidrotik
XL
13. Defisiensi faktor H 6. Sindrom Papillon-
14. Defisiensi faktor D AD Lefevre
15. Defisiensi properdin Defek metabolik herediter
G. Imunodefisiensi terkait AR 1. Defisiensi
dengan AR transkobalamin 2
atau sekunder penyakit lain AR 2. Asidemia metilmalonik
Instabilitas kromosom atau 3. Asiduria orotik herediter
defek perbaikan XL tipe 1
1. Sindrom Bloom 4. Defisiensi karboksilase
2. Anemia Fanconi biotin-dependen
3. Sindrom ICF 5. Manosidosis
4. Sindrom kerusakan 6. Penyakit penyimpanan
Nijmegen glikogen, tipe 1b
5. Sindrom Seckel 7. Sindrom Chediak-
6. Pigmentosum Higashi
Xeroderma Hiperkatabolisme imunoglobulin
Defek kromosom 1. Hiperkatabolisme
1. Sindrom Down familial
2. Sindrom Turner 2. Limfangiektasia
3. Delesi kromosom cincin intestinal
18 H. Imunodefisiensi lainnya
Abnormalitas skeletal 1. Sindrom hiper IgE
1. Short-limbed skeletal 2. Kandidiasis
dysplasia mukokutaneus kronik
2. Hipoplasia rambut- 3. Kandidiasis
kartilago mukokutaneus kronik
Imunodefisiensi dengan dengan
retardasi pertumbuhan umum poliendokrinopati
1. Displasia imuno-oseus (APECED)
Schimke 4. Hiposplenia herediter
2. Imunodefisiensi tanpa atau kongenital atau
Kelompok dan Penyakit Inheritansi Kelompok dan Penyakit Inheritansi
ibu jari asplenia
3. Sindrom Dubowitz 5. Sindrom Ivemark
6. Sindrom IPEX
7. Displasia ektodermal
(defek NEMO)
AD = autosomal dominan; ADA = adenosine deaminase; AID = activation-induced cytidine
deaminase; AR = autosomal recessive, capsace = cysteinyl; aspartate = specific proteinase;
FLICE = Fas-associating protein with death domain-like Il-1 converting enzyme; G6PD =
glucose 6-phosphate dehydorgenase; ICF = immunodeficiency, centromeric instability, facial
anomalies; IFN = interferon; Ig = immunoglobulin; IL = interleukin; IPEX = immune
dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy; MHC = major histocompatibility complex;
NEMO = IKK-gamma; SCID = severe combined immunodeficiency; TAP-2 = transporter
associated with antigen presentation, XL = X-linked
(Dikutip dengan modifikasi dari IUIS Scientific Committee, 2003)
Defisiensi sel T berhubungan dengan absen MHC kelas I dan atau kelas II
(sindrom limfosit telanjang)
Penyakit graft-versus-host
Sindrom Job
Defisiensi tuftsin
Namun kadar IgG akan sangat kurang apabila IgG yang didapat dari ibu sedikit,
seperti pada prematuritas. Bayi-bayi yang lahir pada minggu gestasi ke 26-32 mungkin
membutuhkan perawatan intensif agar dapat bertahan hidup, di sisi lain perawatan invasif
dapat meningkatkan risiko infeksi. Terapi pengganti imunoglobulin dapat bermanfaat pada
bayi berat lahir rendah di negara dengan prosedur invasif dan insidens infeksi bakteri cukup
tinggi, sampai bayi tersebut mampu memproduksi antibodi protektif sendiri.
1. Hipersplenisme
2. Neutropenia imun
(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)
Fungsi neutrofil dapat dibagi dalam beberapa stadium dan defek kualitatif dapat
diklasifikasikan sesuai tahapan fungsi yang terganggu. Pergerakan neutrofil yang menurun
dapat timbul tanpa dikaitkan dengan defek fagositosis dan mekanisme penghancuran.
Fungsi opsonisasi yang kurang karena defisiensi antibodi berat atau kadar C3 yang rendah
dapat meningkatkan kerawanan terhadap infeksi, hal ini diperberat bila neutrofil
mempunyai fungsi fagosit yang buruk, baik primer atau sekunder.
Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin dengan
infeksi neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus rekuren, terutama
septikemia dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.
Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien dengan keganasan diseminata
menandakan adanya defek imun, meskipun sulit membedakan efek imunosupresif dari
penyakit ataupun efek pengobatan. Obat imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek
fungsi sel, terutama limfosit dan polimorf, namun hipogamaglobulinemia berat jarang
terjadi. Pasien dengan obat untuk mencegah penolakan organ transplan juga dapat timbul
infeksi oportunsistik meskipun tidak biasa. Bentuk iatrogenik lain dari defisiensi imun
sekunder adalah yang berhubungan dengan splenektomi.
Terdapat dua jalur masuk utama bagi organisme oportunistik, yaitu orofaring dan
saluran cerna bagian bawah. Paru menjadi tempat tersering dalam infeksi pada pejamu
imunokompromais. Manifestasi klinis berupa demam non-spesifik, dispnea dan batuk kering
dengan gambaran foto dada infiltrat pulmonal. Namun sarana penunjang seperti sputum
dan kultur darah tidak banyak membantu, lebih dipilih bilas bronkoalveolar, biopsi
transbronkial dan biopsi paru terbuka. Pentingnya diagnosis dini dan tatalaksana sangat
ditekankan mengingat infeksi paru pada pasien imunokompromasi memiliki angka
mortalitas lebih dari 50%.
Walaupun penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis terdapat
berbagai tanda dan gejala yang dapat membimbing kita untuk mengenal penyakit ini (Tabel
28-8). Sesuai dengan gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat diarahkan terhadap
kemungkinan penyakit defisiensi imun.
Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang
diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk defisiensi antibodi
kongenital, infeksi rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2 tahun, karena IgG
ibu yang ditransfer mempunyai proteksi pasif selama 3-4 bulan pertama. Beberapa
defisiensi antibodi primer bersifat diturunkan melalui autosom resesif atau X-linked.
Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi dibandingkan dengan defek primer.
Pemeriksaan fisik defisiensi antibodi jarang menunjukkan tanda fisik diagnostik,
meskipun dapat menunjukkan infeksi berat sebelumnya, seperti ruptur membran timpani
dan bronkiektasis. Tampilan klinis yang umum adalah gagal tumbuh.
Jari tabuh
Penyakit autoimun
Hepatosplenomegali
Ensefalitis kronik
Meningitis berulang
Pioderma gangrenosa
Kolangitis sklerosis
Stomatitis kronik
Granuloma
Keganasan limfoid
Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan apa yang kita
cari (Tabel 28-9).
Titer isoaglutinin
Uji lanjutan:
Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)
Riset:
Fenotiping sel B lanjut
Biopsi kelenjar
Ig-survival in vivo
Kadar Ig sekretoris
Sintesis Ig in vitro
Analisis mutasi
Defisiensi sel T
Uji tapis:
Hitung limfosit total dan morfologinya
Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts
Uji lanjutan:
Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)
HLA typing
Analisis kromosom
Riset:
Advance flow cytometry
Analisis sitokin dan sitokin reseptor
Riset apoptosis
Biopsi
Analisis mutasi
Defisiensi fagosit
Uji tapis:
Hitung leukosit total dan hitung jenis
Titer IgE
Uji lanjutan:
Reduksi dihidrorhodamin
Phagocytosis assay
Bactericidal assays
Riset:
Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin)
Oxidative metabolism
Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH)
Analisis mutasi
Defisensi komplemen
Uji tapis:
Titer C3 dan C4
Aktivitas CH50
Uji lanjutan:
Opsonin assays
Component assays
Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
Riset:
Aktivitas jalur alternatif
PENGOBATAN
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan klinisnya maka
pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada dasarnya pengobatan tersebut
bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi, atau kausal.
Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan memenuhi kebutuhan gizi
dan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa, kebutuhan oksigen,
serta melakukan usaha pencegahan infeksi. Substitusi dilakukan terhadap defisiensi
komponen imun, misalnya dengan memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim,
serum hipergamaglobulin, gamaglobulin, imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut
diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai dengan kondisi klinis.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi imun, terutama
pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen gizi, pengobatan keganasan,
dan lain-lain). Defisiensi imun primer hanya dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati,
sumsum tulang) atau rekayasa genetik.