PEMBAHASAN
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan
kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian
baru diikuti dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa
seorang muslim harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,
yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
2
B. Pembuktian Wujud Tuhan
Wujud Allah yang bersifat mutlak dan berdiri sendiri, tanpa awal dan
tanpa akhir adalah wajib, mesti ada karena tanpa adanya, alam semesta pun tidak
ada. Wujud Allah mempunyai keunikan jika dibandingkan dengan wujud
makhluk-Nya. Keunikan wujud Allah tampak dengan jelas pada perbedaan antara
wujud Allah dan wujud makhluk-Nya.
1. Metode Pembuktian Ilmiah
Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan,
sedangkan akidah agama berhubungan dengan ala di luar indera, yang
tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi
dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama
batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya
yang pelik. Adanya manusia, namun manusia sendiri mengakui bahwa
dia terjadi bukan atas kehendaknya sendiri. Kejadian alam dan manusia
ini memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah
meneptakannya, suatu “akal” yang tidak ada batasya. Jika percaya
tentang eksistensi alam dan manusia, maka secara logika harus percaya
tentang adanya pencipta alam.
3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pedekatan Fisika
Hukum Termodinamika II (Second law of Thermodynamics) yang
dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan
perubahan energi panas, membuktikan bahwa adanya alam ini tidak
mungkin bersifat azali (terjadi dengan sendirinya), pasti ada yang
menciptakannya. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam
sudah kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak
akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu, pasti ada yang
menciptakan alam yaitu Tuhan.
3
4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Semua sistem tata surya yang ada di alam ini, baik matahari, bumi,
bulan, bintang-bintang dan lainnya tidak ada yang diam dan berhenti
pada suatu tempat tertentu. Semuanya bergerak dan beredar pada garis
edarnya masing-masing tanpa pernah berbenturan antara satu dengan
yang lainnya. Keserasian alam ini oleh Ibnu Rusyd diberi istilah dengan
“dalil ikhtira”. Di samping itu, Ibnu Rusyd juga menggunakan metode
lain yaitu “dalil inayah”. Dalil inayah adalah metode pembuktian
adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi
kehidupan manusia.
Maka dengan memperhatika sistem yang luar biasa ini, dapat
disimpulkan mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya pasti
dibalik semuanya ada kekuatan yang mengendalikannya.
”Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-
kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap
di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku".
4
Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa
sadar kembali, dia berkata: ("Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman").”
Oleh karena segala usaha manusia dalam pembuktian wujud Allah itu
tetap nisbi dan terbatas, maka pembuktian perlu dicari hanya dari satu-satunya
sumber yaitu Al Qur-an dan Sunnah Rasul.
5
pada dewa-dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu
sesuai dengan bidangnya. Tujuan beragama dalam politeisme bukan
hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu,
tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk
menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.
d. Henoteisme
Istilah henoteisme ini muncul pada abad 19 oleh F. Max Muller.
Dalam henoteisme, satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang
disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan
(ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa
disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Monoteisme secara kebahasaan berasal dari bahasa Yunani Monos
yang berarti tunggal dan Theos yang artinya dewa. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan
bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat
Ketuhanan terbagi dalam 3 paham yaitu:
1) Deisme (Tuhan bersifat transenden: setelah penciptaan alam,
Tuhan tidak terlibat lagi dengan hasil ciptaannya).
2) Panteisme (Tuhan bersifat imanen: Tuhan menampakkan
diri dalam berbagai fenomena alam, artinya alam sendiri
itulah Tuhan).
3) Teisme (Tuhan pada prinsipnya bersifat transenden,
mengatasi semesta kenyataan, tetapi Tuhan juga selalu
terlibat dengan alam semesta).
Teisme dalam pandangan al-Ghazali, menurutnya Allah
adalah Zat yang Esa Pencipta alam serta berperan aktif dalam
mengendalikan alam. Allah menciptakan alam dari tidak ada
(cretio exnihilo). Karena itu, menurut al-Ghazali, mukjizat
adalah suatu peristiwa yang wajar karena Tuhan bisa
mengubah hukum alam yang dianggap tidak bisa berubah.
6
Al-Ghazali berpendapat, karena Maha Kuasa dan
berkehendak mutlak, Tuhan mampu mengubah segala
ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak mutlak-Nya.
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau
Ilmu Ushuluddindi kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi
Mhammad Saw. Secara garis besarnya terdiri dari:
a. Mu’tazilah: Secara harfiah, mu’tazilah berasal dari kata I’tazala
yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga
menjauh atau menjauhkan diri. Aliran ini berpendapat bahwa orang
Islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia
berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah baina
manzilatain).
b. Qodariah: Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa
segala tindakan manusia tidak diinterverensi oleh Tuhan.
Maksudnya, manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak
dan berbuat. Manusia sendiri yag menghendaki apakah ia akan kafir
atau mukmin, dan hal itu yang menyebabkan manusia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya.
7
bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik,
sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
Pandangan Asy’ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama
mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar
tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Namun ada
perbedaan pandangan dalam hal perbuatan manusia. Menurut
Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh
manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat
dengan Mu’tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua
yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujukan oleh manusia
itu sendiri.