Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Siapakah Tuhan itu


Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh
manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-
Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di
dalamnya yang dipuji, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk


kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan
mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri,
meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di
saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.

Berdasarkan logika al-Qur’an, setiap manusia pasti mempunyai sesuatu


yang dipertaruhkannya. Dengan demikian, manusia tidak mungkin atheis, tidak
mungkin tidak ber-Tuhan. Orang-orang komunis pada hakikatnya juga ber-Tuhan.
Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan
kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian
baru diikuti dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa
seorang muslim harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,
yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.

2
B. Pembuktian Wujud Tuhan
Wujud Allah yang bersifat mutlak dan berdiri sendiri, tanpa awal dan
tanpa akhir adalah wajib, mesti ada karena tanpa adanya, alam semesta pun tidak
ada. Wujud Allah mempunyai keunikan jika dibandingkan dengan wujud
makhluk-Nya. Keunikan wujud Allah tampak dengan jelas pada perbedaan antara
wujud Allah dan wujud makhluk-Nya.
1. Metode Pembuktian Ilmiah
Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan,
sedangkan akidah agama berhubungan dengan ala di luar indera, yang
tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi
dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama
batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya
yang pelik. Adanya manusia, namun manusia sendiri mengakui bahwa
dia terjadi bukan atas kehendaknya sendiri. Kejadian alam dan manusia
ini memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah
meneptakannya, suatu “akal” yang tidak ada batasya. Jika percaya
tentang eksistensi alam dan manusia, maka secara logika harus percaya
tentang adanya pencipta alam.
3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pedekatan Fisika
Hukum Termodinamika II (Second law of Thermodynamics) yang
dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan
perubahan energi panas, membuktikan bahwa adanya alam ini tidak
mungkin bersifat azali (terjadi dengan sendirinya), pasti ada yang
menciptakannya. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam
sudah kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak
akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu, pasti ada yang
menciptakan alam yaitu Tuhan.

3
4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Semua sistem tata surya yang ada di alam ini, baik matahari, bumi,
bulan, bintang-bintang dan lainnya tidak ada yang diam dan berhenti
pada suatu tempat tertentu. Semuanya bergerak dan beredar pada garis
edarnya masing-masing tanpa pernah berbenturan antara satu dengan
yang lainnya. Keserasian alam ini oleh Ibnu Rusyd diberi istilah dengan
“dalil ikhtira”. Di samping itu, Ibnu Rusyd juga menggunakan metode
lain yaitu “dalil inayah”. Dalil inayah adalah metode pembuktian
adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi
kehidupan manusia.
Maka dengan memperhatika sistem yang luar biasa ini, dapat
disimpulkan mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya pasti
dibalik semuanya ada kekuatan yang mengendalikannya.

Walaupun manusia telah menghayati wujud Allah melalui ciptaan-Nya,


pengalaman batin atau fitrah manusia sendiri, namun dia masih juga
menginginkan pembuktian secara langsung bertemu muka. Bahkan Nabi Musa
a.s., sekalipun beliau adalah utusan Allah pernah memohon kepada Allah agar Dia
menampakkan diri kepadanya, seperti diriwayatkan Al-Qur’an :

Q.S. Al-A’raf, 7 : 143

”Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-
kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap
di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku".

4
Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa
sadar kembali, dia berkata: ("Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman").”

Oleh karena segala usaha manusia dalam pembuktian wujud Allah itu
tetap nisbi dan terbatas, maka pembuktian perlu dicari hanya dari satu-satunya
sumber yaitu Al Qur-an dan Sunnah Rasul.

C. Sejarah Pemikiran tentang Tuhan


1. Pemikiran Barat
Teori Evolusionisme(Max Muller & E. B. Taylor) (1877), yaitu teori yang
menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Prosesnya adalah sebegai berikut:
a. Dinamisme
Secara etimologis, dinamisme berasal dari kata Yunani dynamis atau
dynaomos yang artinya kekuatan atau tenaga. Menurut paham ini,
manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh
pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang
berpengaruh negatif.
b. Animisme (kepercayaan terhadap benda)
Kata animisme berasal dari bahasa latin anima yang artinya roh atau
nyawa yang mencakup nafas atau jiwa manusia. Disamping
kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai
adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap
benda baik mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati.
c. Politeisme
Secara harfiah, politeisme berasal dari bahasa Yunani poly dan
theoi, yang berarti banyak Tuhan. Politeisme adalah kepercayaan

5
pada dewa-dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu
sesuai dengan bidangnya. Tujuan beragama dalam politeisme bukan
hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu,
tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk
menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.
d. Henoteisme
Istilah henoteisme ini muncul pada abad 19 oleh F. Max Muller.
Dalam henoteisme, satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang
disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan
(ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa
disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Monoteisme secara kebahasaan berasal dari bahasa Yunani Monos
yang berarti tunggal dan Theos yang artinya dewa. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan
bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat
Ketuhanan terbagi dalam 3 paham yaitu:
1) Deisme (Tuhan bersifat transenden: setelah penciptaan alam,
Tuhan tidak terlibat lagi dengan hasil ciptaannya).
2) Panteisme (Tuhan bersifat imanen: Tuhan menampakkan
diri dalam berbagai fenomena alam, artinya alam sendiri
itulah Tuhan).
3) Teisme (Tuhan pada prinsipnya bersifat transenden,
mengatasi semesta kenyataan, tetapi Tuhan juga selalu
terlibat dengan alam semesta).
Teisme dalam pandangan al-Ghazali, menurutnya Allah
adalah Zat yang Esa Pencipta alam serta berperan aktif dalam
mengendalikan alam. Allah menciptakan alam dari tidak ada
(cretio exnihilo). Karena itu, menurut al-Ghazali, mukjizat
adalah suatu peristiwa yang wajar karena Tuhan bisa
mengubah hukum alam yang dianggap tidak bisa berubah.

6
Al-Ghazali berpendapat, karena Maha Kuasa dan
berkehendak mutlak, Tuhan mampu mengubah segala
ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak mutlak-Nya.
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau
Ilmu Ushuluddindi kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi
Mhammad Saw. Secara garis besarnya terdiri dari:
a. Mu’tazilah: Secara harfiah, mu’tazilah berasal dari kata I’tazala
yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga
menjauh atau menjauhkan diri. Aliran ini berpendapat bahwa orang
Islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia
berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah baina
manzilatain).
b. Qodariah: Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa
segala tindakan manusia tidak diinterverensi oleh Tuhan.
Maksudnya, manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak
dan berbuat. Manusia sendiri yag menghendaki apakah ia akan kafir
atau mukmin, dan hal itu yang menyebabkan manusia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya.

c. Jabariah: Secara bahasa, jabariyah mengandung pengertian


memaksa. Jika dikatakan bahwa Allah mempunyai sifat Al-Jabbar
(dalam bentuk muballaghab), itu artinya bahwa Allah Maha
Memaksa. Aliran ini meyakini bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku
manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah
Aliran ini menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah baina
manzilatain). Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan
kufr, maka predikat bagi seseorang haruslah salah satunya. Jika
tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, al-asy’ari berpendapat

7
bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik,
sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
Pandangan Asy’ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama
mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar
tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Namun ada
perbedaan pandangan dalam hal perbuatan manusia. Menurut
Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh
manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat
dengan Mu’tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua
yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujukan oleh manusia
itu sendiri.

Pada prinsipnya aliran-aliran di atas tidak bertentangan dengan ajaran


dasar Islam. Umat Islam yang memilih aliran mana saja sebagai teologi yang
dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari Islam.

Anda mungkin juga menyukai